Thursday, October 28, 2021

Ajaran Gereja Tidak Tunduk Pada Pemungutan Suara

 

 

Ajaran Gereja Tidak Tunduk Pada Pemungutan Suara 

https://www.crisismagazine.com/2021/church-teaching-is-not-up-for-vote?mc_cid=72bfe8a27a&mc_eid=64c8a0fa3d

 

 

 

Pastor Mario Alexis Portella

 

Fr. Mario Alexis Portella is a priest of the Cathedral of Santa Maria del Fiore and Chancellor of the Archdiocese of Florence, Italy. He was born in New York and holds a doctorate in canon law and civil law from the Pontifical Lateran University in Rome. 

 

[Foto: Uskup Agung Georg Baetzing, Ketua Konferensi Waligereja Jerman.

Dialah yang memimpin Gereja Katolik Jerman untuk berjalan menyimpang.

 

 

“Kami di sini untuk melestarikan demokrasi, bukan mempraktikkannya.” Begitulah kata-kata Kapten Frank Ramsey (diperankan oleh Gene Hackman) dalam film Crimson Tide tahun 1995. Ramsey, Komandan kapal selam nuklir, mengatakan ini kepada Pejabat Eksekutifnya, Letnan Komandan Ron Hunter (diperankan oleh Denzel Washington), ketika keduanya berbeda pendapat tentang keputusan apa yang harus diambil setelah masalah komunikasi radio di atas USS Alabama mencegah kapal selam itu menerima perintah dengan jelas selama konfrontasi tegang dengan kapal perang Rusia.

 

 

****************

 

 

Kebalikan yang ekstrim tampaknya telah terjadi pada 1 Oktober 2021, ketika para uskup dan pemimpin awam Katolik Jerman, dengan suara 168 banding 28 — dengan lima abstain —secara terbuka menentang arahan Roma ketika mereka menyerukan Gereja untuk memberkati hubungan sesama jenis. Roma, pada Maret 2021, telah menyatakan pemberkatan seperti ini tidak mungkin, karena Tuhan “tidak dapat memberkati dosa.”

 

“Tampaknya,” sebagaimana dinyatakan oleh Annette Florczak dari Maria 1.0, sebuah organisasi yang didedikasikan untuk menegakkan doktrin Katolik tradisional, “para anggota Jalan Sinode Jerman melihat Gereja sebagai demokrasi, di mana ajaran dan kebenaran bisa berubah sesuai dengan suara mayoritas. Itu melewati batas kesombongan dan sangat menyedihkan.”

 

Namun ini bukanlah apa yang seharusnya menjadi sebuah sinode.

 

Seperti yang dikatakan pada Canon 342: “Sinode para Uskup ialah himpunan para Uskup yang dipilih dari pelbagai kawasan dunia yang pada waktu-waktu yang ditetapkan berkumpul untuk membina hubungan erat antara Paus dan para Uskup, dan untuk membantu Paus dengan nasihat-nasihat guna memelihara keutuhan dan perkembangan iman serta moral, guna menjaga dan meneguhkan disiplin gerejawi, dan juga mempertimbangan masalah-masalah yang menyangkut karya perutusan Gereja di dunia.”

 

Sinode para Uskup adalah konferensi episkopal nasional, sekelompok uskup di wilayah tertentu atau bagian dunia yang berbeda yang bertemu pada waktu tertentu dengan empat tujuan:

 

1. untuk mempromosikan hubungan yang erat antara Paus Roma dan Dewan Uskup;

2. membantu Paus Roma dalam membela dan mengembangkan iman dan moral;

3. untuk membantu Paus Roma dalam pelestarian dan penguatan disiplin gerejawi;

4. untuk mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan mengenai misi Gereja di dunia (yaitu, modus vivendi et operandi khusus Gereja, Umat Allah).

 

 

Sejak awal Gereja institusional, kata “sinode” telah diterapkan, dengan arti khusus, pada majelis-majelis gerejawi yang diadakan di berbagai tingkatan (keuskupan, provinsial, regional, patriarkat, atau universal) untuk membedakan dan mengenali, dengan bantuan terang Firman Tuhan dan mendengarkan Roh Kudus, pertanyaan-pertanyaan doktrinal, liturgis, kanonik, dan pastoral yang muncul seiring berjalannya waktu.

 

Ini didasarkan pada Kitab Suci. Dalam Kisah Para Rasul, misalnya, “tujuh orang yang terkenal baik, penuh dengan Roh dan dengan hikmat” telah dipilih oleh para Rasul dan dipercayakan dengan tugas “memberikan makanan” (Kisah Para Rasul 6:1-6).

 

Ini tidak berarti bahwa sinode dapat menciptakan disiplinnya sendiri, terutama jika bertentangan dengan ketaatan kepada doktrin Gereja. Sinode juga tidak dapat menyelesaikan masalah atau menyusun dekrit, kecuali jika Paus Roma telah menganugerahkannya kekuasaan musyawarah; dia kemudian mengesahkan keputusan itu, jika ada, dan jika hal itu memang layak.

 

Fungsi khusus dari sinode adalah untuk membahas hal-hal yang diusulkan kepadanya dan memberikan rekomendasi, tidak ada yang lain. Namun apa yang terjadi di Jerman adalah upaya untuk secara salah mengartikan dan menyanggah doktrin Gereja, sekaligus membahayakan persekutuan umat beriman dengan Kristus dan Gereja-Nya. Semua ini karena sinode Jerman, dalam pendekatannya yang demokratis — cenderung lebih oligarkis — banyak klerus yang memilih untuk tidak mematuhi hukum Gereja.

 

Ini bukan serangan terhadap demokrasi di mana pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat harus memperdebatkan, menetapkan, dan membuat undang-undangnya sendiri tentang alasan untuk melakukan pengawasan dan memajukan hak-hak kodrati. Di dalam Gereja, bagaimanapun, tidak ada ruang untuk memperdebatkan iman dan moral yang diwahyukan oleh Tuhan dalam Kitab Suci, apalagi memberikan suara untuk hal-hal seperti itu.

 

Paus St. Pius X, dalam ensikliknya Notre charge apostolique (1910), memperingatkan kita terhadap prosedur semacam itu dalam struktur Gereja:

Kita tidak perlu menunjukkan di sini bahwa munculnya Demokrasi universal tidak menjadi perhatian bagi tindakan Gereja di dunia; kita telah mengingat bahwa Gereja selalu menyerahkan kepada bangsa-bangsa untuk memberikan diri mereka bentuk pemerintahan yang menurut mereka paling sesuai dengan kebutuhan mereka. Yang ingin kami tegaskan…adalah bahwa adalah suatu kesalahan dan bahaya untuk mengikatkan ajaran Katolik, secara prinsip, pada suatu bentuk pemerintahan tertentu. Kesalahan dan bahaya ini semakin besar ketika agama diasosiasikan dengan sejenis demokrasi yang doktrin-doktrinnya salah.

 

Sementara Paus Roma dipilih oleh Dewan Kardinal — pemilihan orang-orang untuk memerintah Gereja didasarkan pada Kitab Suci seperti halnya “pemilihan” Rasul Matias untuk menggantikan Yudas Iskariot (Kisah Para Rasul 1:21-22) — Gereja itu sendiri bukanlah demokrasi karena merupakan lembaga non-politik, bertentangan dengan apa yang telah dipercayai oleh para uskup Jerman.

 

Sementara para uskup dapat memiliki kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di dalam keuskupan mereka masing-masing, tetapi tidak tergantung pada mereka untuk menguraikan hukum Gereja apa yang harus atau tidak harus dipatuhi. Dalam hal ini seorang paus juga tidak dapat, meskipun memiliki “kekuasaan penuh dan tertinggi dalam Gereja” (Canon 332 §1), secara sah membuat undang-undang norma yang akan mewajibkan umat beriman untuk bertindak bertentangan dengan iman dan moral.

 

Masalah utama tidak selalu melonggarkan hukum Canon dalam hierarki Gereja yang memungut dan memilih, melainkan kurangnya penegakan norma-norma Gereja oleh mereka yang dipercayakan dengan tugas ini.

 

Pada bulan Juni, Konferensi Episkopal Uskup Katolik AS memilih untuk menolak Presiden Joe Biden dan politisi Katolik lain (Nancy Pelosi) yang memproklamirkan diri secara terbuka mendukung aborsi, untuk menerima Komuni Kudus. Para uskup yang memberikan suara untuk ini telah melakukan hal yang benar, meskipun mereka menolak memberikan Ekaristi kepada orang yang berdosa secara terbuka (telah diketahui oleh publik) tidak perlu dilakukan pemungutan suara di antara para klerus itu sendiri, karena hukuman itu telah ditetapkan oleh norma-norma Gereja.

 

Namun Kardinal Luis Ladaria, Prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman, mengirim surat kepada Konferensi Uskup Katolik AS yang mendesak mereka untuk mempertimbangkan dengan hati-hati sebelum membuat keputusan apakah tokoh masyarakat Katolik — seperti Presiden Biden — harus ditolak untuk menerima Komuni jika mereka mendukung aborsi. Dengan kata lain, menurut Kardinal Luis Ladaria, yang adalah Prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman di Vatikan sana, berpendapat bahwa seseorang bebas untuk mempertimbangkan sendiri ajaran Gereja apa yang harus diikuti. Inilah kenyataan ironis Gereja kita.

 

Apa yang diajarkan dan dianut oleh Gereja tidak bergantung pada suara mayoritas atau bagaimana perasaan seseorang tentang suatu doktrin tertentu. Meskipun mungkin ada hal-hal tertentu dalam iman Kristen kita yang terbuka bagi orang atau jemaat untuk memutuskan, namun hal itu terbatas; hal-hal seperti ini jumlahnya kecil. Kebenaran adalah Kebenaran, dan apa yang diajarkan Gereja tidak dapat diingkari, terlepas dari apa yang diputuskan oleh mayoritas.

 

 

 


  


 

--------------------------------------------

 

Silakan membaca artikel lainnya di sini: 

Imam Memaksa Para Seminaris Untuk Berenang Telanjang

Bakal Konsili Vatikan III?

Garda Swiss Mengundurkan Diri Karena Menolak Vaksinasi COVID

Pedro Regis 5191 – 5195

Kaum Kiri Telah Mengatur Berbagai Masalah di Amerika...

Kesepakatan Mafia St. Gallen Menyebabkan Pengunduran Diri Paus Benediktus XVI

Dua Perusahaan Investasi Raksasa Mengontrol Hampir Semua Yang Anda Beli