OCTOBER 11,
2021
Ajaran Gereja Tidak Tunduk Pada Pemungutan Suara
Pastor Mario Alexis
Portella
Fr. Mario Alexis Portella is a priest of the Cathedral of Santa Maria del Fiore and Chancellor of the Archdiocese of Florence, Italy. He was born in New York and holds a doctorate in canon law and civil law from the Pontifical Lateran University in Rome.
[Foto: Uskup
Agung Georg Baetzing, Ketua Konferensi Waligereja Jerman.
Dialah yang memimpin Gereja Katolik
Jerman untuk berjalan menyimpang.
“Kami
di sini untuk melestarikan demokrasi, bukan mempraktikkannya.” Begitulah
kata-kata Kapten Frank Ramsey (diperankan oleh Gene Hackman) dalam film Crimson Tide tahun 1995. Ramsey,
Komandan kapal selam nuklir, mengatakan ini kepada Pejabat Eksekutifnya, Letnan
Komandan Ron Hunter (diperankan oleh Denzel Washington), ketika keduanya
berbeda pendapat tentang keputusan apa yang harus diambil setelah masalah
komunikasi radio di atas USS Alabama mencegah kapal selam itu menerima perintah
dengan jelas selama konfrontasi tegang dengan kapal perang Rusia.
****************
Kebalikan yang ekstrim tampaknya telah terjadi pada 1 Oktober 2021, ketika para uskup dan pemimpin awam Katolik Jerman, dengan suara 168 banding 28 — dengan lima abstain —secara terbuka menentang arahan Roma ketika mereka menyerukan Gereja untuk memberkati hubungan sesama jenis. Roma, pada Maret 2021, telah menyatakan pemberkatan seperti ini tidak mungkin, karena Tuhan “tidak dapat memberkati dosa.”
“Tampaknya,”
sebagaimana dinyatakan oleh Annette Florczak dari Maria 1.0, sebuah organisasi yang didedikasikan untuk menegakkan
doktrin Katolik tradisional, “para anggota Jalan Sinode Jerman melihat Gereja
sebagai demokrasi, di mana ajaran dan kebenaran bisa berubah sesuai dengan
suara mayoritas. Itu melewati batas kesombongan dan sangat menyedihkan.”
Namun
ini bukanlah apa yang seharusnya menjadi sebuah sinode.
Seperti
yang dikatakan pada Canon
342: “Sinode para Uskup ialah himpunan para Uskup yang dipilih dari
pelbagai kawasan dunia yang pada waktu-waktu yang ditetapkan berkumpul untuk
membina hubungan erat antara Paus dan para Uskup, dan untuk membantu Paus
dengan nasihat-nasihat guna memelihara keutuhan dan perkembangan iman serta
moral, guna menjaga dan meneguhkan disiplin gerejawi, dan juga mempertimbangan
masalah-masalah yang menyangkut karya perutusan Gereja di dunia.”
Sinode
para Uskup adalah konferensi episkopal nasional, sekelompok uskup di wilayah
tertentu atau bagian dunia yang berbeda yang bertemu pada waktu tertentu dengan
empat tujuan:
1.
untuk mempromosikan hubungan yang erat antara Paus Roma dan Dewan Uskup;
2.
membantu Paus Roma dalam membela dan mengembangkan iman dan moral;
3.
untuk membantu Paus Roma dalam pelestarian dan penguatan disiplin gerejawi;
4.
untuk mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan mengenai misi Gereja di dunia
(yaitu, modus vivendi et operandi
khusus Gereja, Umat Allah).
Sejak
awal Gereja institusional, kata “sinode”
telah diterapkan, dengan arti khusus, pada majelis-majelis gerejawi yang
diadakan di berbagai tingkatan (keuskupan, provinsial, regional, patriarkat,
atau universal) untuk membedakan dan mengenali, dengan bantuan terang Firman
Tuhan dan mendengarkan Roh Kudus, pertanyaan-pertanyaan doktrinal, liturgis,
kanonik, dan pastoral yang muncul seiring berjalannya waktu.
Ini
didasarkan pada Kitab Suci. Dalam Kisah Para Rasul, misalnya, “tujuh orang yang
terkenal baik, penuh dengan Roh dan dengan hikmat” telah dipilih oleh para
Rasul dan dipercayakan dengan tugas “memberikan makanan” (Kisah Para Rasul
6:1-6).
Ini tidak berarti bahwa sinode dapat menciptakan
disiplinnya sendiri, terutama jika bertentangan dengan ketaatan kepada doktrin
Gereja. Sinode juga tidak dapat menyelesaikan masalah atau menyusun
dekrit, kecuali jika Paus Roma telah menganugerahkannya kekuasaan musyawarah;
dia kemudian mengesahkan keputusan itu, jika ada, dan jika hal itu memang layak.
Fungsi
khusus dari sinode adalah untuk membahas hal-hal yang diusulkan kepadanya dan
memberikan rekomendasi, tidak ada yang lain. Namun apa yang terjadi di Jerman
adalah upaya untuk secara salah mengartikan dan menyanggah doktrin Gereja,
sekaligus membahayakan persekutuan umat beriman dengan Kristus dan Gereja-Nya.
Semua ini karena sinode Jerman, dalam pendekatannya yang demokratis — cenderung
lebih oligarkis — banyak klerus yang memilih untuk tidak mematuhi hukum Gereja.
Ini
bukan serangan terhadap demokrasi di mana pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, untuk rakyat harus memperdebatkan, menetapkan, dan membuat
undang-undangnya sendiri tentang alasan untuk melakukan pengawasan dan memajukan
hak-hak kodrati. Di dalam Gereja,
bagaimanapun, tidak ada ruang untuk memperdebatkan iman dan moral yang
diwahyukan oleh Tuhan dalam Kitab Suci, apalagi memberikan suara untuk
hal-hal seperti itu.
Paus
St. Pius X, dalam ensikliknya Notre charge apostolique (1910), memperingatkan kita terhadap prosedur
semacam itu dalam struktur Gereja:
Kita tidak perlu menunjukkan di sini bahwa
munculnya Demokrasi universal tidak menjadi perhatian bagi tindakan Gereja di
dunia; kita telah mengingat bahwa Gereja selalu menyerahkan kepada
bangsa-bangsa untuk memberikan diri mereka bentuk pemerintahan yang menurut mereka
paling sesuai dengan kebutuhan mereka. Yang
ingin kami tegaskan…adalah bahwa adalah suatu kesalahan dan bahaya untuk
mengikatkan ajaran Katolik, secara prinsip, pada suatu bentuk pemerintahan
tertentu. Kesalahan dan bahaya ini semakin besar ketika agama diasosiasikan
dengan sejenis demokrasi yang doktrin-doktrinnya salah.
Sementara
Paus Roma dipilih oleh Dewan Kardinal — pemilihan orang-orang untuk memerintah
Gereja didasarkan pada Kitab Suci seperti halnya “pemilihan” Rasul Matias untuk
menggantikan Yudas Iskariot (Kisah Para Rasul 1:21-22) — Gereja itu sendiri bukanlah demokrasi karena merupakan lembaga
non-politik, bertentangan dengan apa yang telah dipercayai oleh para uskup
Jerman.
Sementara
para uskup dapat memiliki kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di
dalam keuskupan mereka masing-masing, tetapi tidak tergantung pada mereka untuk menguraikan hukum Gereja apa yang
harus atau tidak harus dipatuhi. Dalam hal ini seorang paus juga tidak dapat,
meskipun memiliki “kekuasaan penuh dan tertinggi dalam Gereja” (Canon 332 §1), secara sah membuat undang-undang norma yang
akan mewajibkan umat beriman untuk bertindak bertentangan dengan iman dan
moral.
Masalah
utama tidak selalu melonggarkan hukum Canon dalam hierarki Gereja yang memungut
dan memilih, melainkan kurangnya
penegakan norma-norma Gereja oleh mereka yang dipercayakan dengan tugas ini.
Pada
bulan Juni, Konferensi Episkopal Uskup Katolik AS memilih untuk menolak
Presiden Joe Biden dan politisi Katolik lain (Nancy Pelosi) yang
memproklamirkan diri secara terbuka mendukung aborsi, untuk menerima Komuni
Kudus. Para uskup yang memberikan suara untuk ini telah melakukan hal yang
benar, meskipun mereka menolak memberikan Ekaristi kepada orang yang berdosa secara
terbuka (telah diketahui oleh publik) tidak perlu dilakukan pemungutan suara di
antara para klerus itu sendiri, karena hukuman itu telah
ditetapkan oleh norma-norma Gereja.
Namun
Kardinal Luis Ladaria, Prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman, mengirim
surat kepada Konferensi Uskup Katolik AS yang mendesak mereka untuk
mempertimbangkan dengan hati-hati sebelum membuat keputusan apakah tokoh
masyarakat Katolik — seperti Presiden Biden — harus ditolak untuk menerima Komuni
jika mereka mendukung aborsi. Dengan kata lain, menurut Kardinal Luis Ladaria, yang
adalah Prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman di Vatikan sana, berpendapat bahwa seseorang
bebas untuk mempertimbangkan sendiri ajaran Gereja apa yang harus diikuti. Inilah
kenyataan ironis Gereja kita.
Apa
yang diajarkan dan dianut oleh Gereja tidak bergantung pada suara mayoritas
atau bagaimana perasaan seseorang tentang suatu doktrin tertentu. Meskipun
mungkin ada hal-hal tertentu dalam iman Kristen kita yang terbuka bagi orang
atau jemaat untuk memutuskan, namun hal itu terbatas; hal-hal seperti ini
jumlahnya kecil. Kebenaran adalah Kebenaran, dan apa yang diajarkan Gereja
tidak dapat diingkari, terlepas dari apa yang diputuskan oleh mayoritas.
--------------------------------------------
Silakan
membaca artikel lainnya di sini:
Imam
Memaksa Para Seminaris Untuk Berenang Telanjang
Garda
Swiss Mengundurkan Diri Karena Menolak Vaksinasi COVID
Kaum
Kiri Telah Mengatur Berbagai Masalah di Amerika...
Kesepakatan
Mafia St. Gallen Menyebabkan Pengunduran Diri Paus Benediktus XVI
Dua
Perusahaan Investasi Raksasa Mengontrol Hampir Semua Yang Anda Beli