Sunday, October 17, 2021

Bertahan dari “Sinodalitas”

 

 

Bertahan dari “Sinodalitas” 

https://www.crisismagazine.com/2021/surviving-synodality?mc_cid=8aaa93affa&mc_eid=64c8a0fa3d 

 

 

 


 

Selama bertahun-tahun hingga sekarang ini, umat Katolik biasa telah dibombardir oleh Francis dengan sejumlah kata kunci yang trendi dan slogan-slogan yang menarik: “Gereja yang mendengarkan,” “proses pendampingan,” “pastoral,” dan banyak lagi lainnya. Sementara kata-kata ini tidak selalu salah atau tidak pantas untuk wacana gerejawi, namun kata-kata ini sering berfungsi sebagai kuda Troya yang melaluinya heterodoksi (atau popularitas) dan heteropraksi (modernisasi) muncul atau dimunculkan.

 

Saat persiapan untuk Sinode tentang Sinodalitas dimulai, berita mengenai perpanjangan “Jalan Sinode” Gereja Jerman (yang sesat dan menuju kepada skisma Gereja Katolik) ke tahun 2023, telah memastikan bahwa umat Katolik biasa seperti kita-kita ini akan terus mendengar kata “sinodalitas” untuk masa depan yang tidak terduga panjangnya. Dalam sambutan pembukaannya untuk tahap persiapan sinode, paus Francis berkata, “Tidak perlu untuk membuat gereja lain, tetapi untuk membuat gereja yang berbeda.” Tentu saja, disini orang akan bertanya-tanya: di mana letak perbedaan antara keduanya? Pernyataan yang sangat ambigu! Dan lebih jauh lagi, bagaimana seorang Katolik biasa yang percaya dengan tulus, dapat bertahan di era “sinodalitas” macam ini?

 

Mengingat sifat jargon Gereja kontemporer a la Francis saat ini yang sangat meresap, ada baiknya kita menyaring arti benar dan salah dari kata-kata populer itu, karena orang akan memisahkan gandum dari sekam (Matius 3:12). Jelaslah bahwa “sinode,” seperti banyak istilah lain yang digunakan di Gereja saat ini, digunakan tanpa pandang bulu dan tanpa ketepatan. Kata "sinode" adalah kombinasi dari dua kata Yunani, yang satu berarti "bersama" dan yang lain berarti "jalan". Pada nilai nominal, kata-kata itu berkonotasi adanya rasa kelompok seperjalanan, bepergian bersama, dalam arah yang sama.

 

Di Gereja awali, kata "sinode" digunakan untuk menggambarkan orang Kristen paling awal, yang dikenal sebagai pengikut "Jalan," yaitu Kristus. Ketika para pengikut ini bersatu dan membentuk komunitas permanen, istilah “sinode” pada akhirnya merujuk pada majelis atau badan Gereja, baik di tingkat lokal, regional, atau universal. Dengan demikian, dalam Gereja perdana, kata “sinode” secara bersamaan dapat merujuk pada Gereja universal dalam ibadat liturginya serta penggunaan istilah yang lebih akrab sebagai badan pemerintahan atau administratif Gereja.

 

“Sinodalitas,” sejauh mengacu pada Gereja sebagai perjalanan bersama di jalan Kristus, hampir tidak menyinggung atau menentang. Namun, dalam penggunaan yang kontemporer saat ini, istilah tersebut dapat berfungsi sebagai topeng untuk sengaja menyembunyikan wajah perbedaan pendapat. Setiap perjalanan membutuhkan titik awal dan titik akhir. Di Gereja, kita tidak perlu membuat penanda ini. Jadi, paus Francis bisa saja benar dengan berkata bahwa “tidak perlu menciptakan Gereja baru.” Ada satu Gereja, yang berfungsi sebagai Tubuh Mistik Kristus, yang secara erat bersatu dengan Kristus.

 

Persatuan ini bukanlah hubungan sebab-akibat belaka, seperti penyatuan antara seorang tukang kayu dan sebuah rumah. Sebaliknya, persatuan ini integral dan langsung; seperti halnya tubuh yang berfungsi dengan baik, kepala disatukan dengan leher, yang disatukan dengan bahu, dan seterusnya. Inilah sebabnya, ketika Saulus berhadapan dengan Kristus setelah penganiayaannya terhadap orang-orang Kristen, Kristus tidak bertanya mengapa Saulus menganiaya para pengikut-Nya, melainkan “Mengapa engkau menganiaya Aku?” (Kisah Para Rasul 9:45). Kristus, Sang Kepala, menyempurnakan Tubuh-Nya, Gereja (Efesus 4:16). Jadi, Gereja yang benar-benar sinode akan berjalan di jalan Kristus dan pergi ke mana saja Kepalanya memerintahkan.

 

Seperti yang diajarkan Paus Pius XII, karena kepala memiliki keunggulan alami atas tubuh, maka “semua anggota yang kepadanya ditempatkan untuk kebaikan mereka secara alami akan dibimbing oleh kepalanya sebagai yang diberkahi dengan kekuatan yang lebih tinggi, sehingga Penebus Ilahi memegang kemudi komunitas Kristen universal dan mengarahkan jalannya” (Mystici Corporis Christi, 37).

 

Dengan kata lain, Kristus-sebagai-Kepala tidak melumpuhkan anggota-anggota Tubuh, melainkan memerintahkan tindakan-tindakan mereka menuju tujuan yang semestinya. Jadi, sejauh “perjalanan bersama” membawa kita untuk bertindak sesuai dengan ajaran dan teladan Kristus, maka itu harus dianggap sebagai sinodalitas yang otentik. Namun, jika kita saat ini menemukan, dalam "perjalanan" kita bersama, bahwa kita menghibur diri dengan berbagai kepalsuan dan kesalahan (atau "mendampingi" orang mau bunuh diri dari tebing jurang), maka kita dapat dengan benar menyimpulkan bahwa ini adalah sinodalitas yang tidak otentik, yang salah.

 

Terlalu sering, kata sinodalitas disalahartikan untuk mempromosikan Gereja yang kontemporer, demokratis dan egaliter, di mana setiap ajaran dan praktik dipertimbangkan untuk diperdebatkan, seolah-olah mayoritas uskup Rhineland yang mendukung pemberkatan perkawinan sesama jenis, entah bagaimana, hal itu dianggap bisa mengungkapkan suara penegasan dan pembenaran dari Roh Kudus. Upaya naas lainnya dari sinodalitas macam ini mendorong gagasan sekuler tentang "inklusivitas" dan modernisasi ajaran Gereja agar sesuai dengan nyaman di dalam zeitgeist (semangat zaman).

 

Proyek-proyek semacam itu tidak hanya bertentangan dengan misi ilahi Gereja, tetapi juga tidak memenuhi sinodalitas otentik. Ini akan mirip dengan Kepala yang memerintahkan jari untuk tidak menyentuh kompor yang panas, dan jari yang menuduh bahwa perintah Kepala terlalu menghakimi tentang suhu kompor, maka jari akan melanjutkan untuk menyentuh kompor itu, dan akibatnya, jari menderita luka bakar. Karena Gereja mengalir dari Penebus Ilahinya, Yesus Kristus, maka semua tindakan Gereja termasuk gerakan sinodalitas yang saat ini dipromosikan oleh Francis dan kelompoknya seharusnya berangkat dari dan menempuh perjalanan menuju wahyu Kristus dan transmisinya yang otentik.

 

Salah satu elemen yang lebih indah dari sinodalitas otentik adalah bahwa hal itu menunjuk pada mode keberadaan Gereja. Dengan ini, maksud saya sinodalitas, yang dipahami dengan benar, dapat benar-benar membantu umat Katolik memahami apa itu Gereja, dan bagaimana mereka berpartisipasi dalam misi sucinya. Gereja, meskipun hierarkis, bukanlah organisasi top-down belaka di mana para elit gerejawi mengeluarkan perintah, dan kaum awam mematuhinya.

 

Sehubungan dengan pembagian yang tepat antara umat awam dan orang-orang yang ditahbiskan, Gereja sinode memperhitungkan seluruh umat beriman. Melalui rahmat yang dicurahkan dalam Baptisan Kudus, semua orang Kristiani dipanggil untuk berpartisipasi dalam tiga munera atau karakter Kristus, yaitu mengajar, menguduskan, dan memerintah, sesuai dengan keadaan hidup masing-masing. Dengan demikian, seorang pria yang sudah menikah dan ayah dari tiga anak dapat mengenal Iman yang benar, mengajarkannya, dan menguduskan rumahnya dan keluarganya melalui karya belas kasih jasmani dan rohani. Pada masa krisis gerejawi, sangat mungkin bahwa Iman lebih berhasil diwartakan oleh seorang wanita awam homeschooling daripada oleh anggota Kuria Romawi.

 

Ketika dihadapkan dengan "sinodalitas", umat Katolik yang setia harus secara bersamaan berhati-hati dan penuh harapan. Kehati-hatian diperlukan, karena kata “sinodalitas” telah dan akan terus digunakan untuk membenarkan amoralitas dan kemerosotan doktrin. Namun, tidak semuanya di hadapan sinode menjadi hilang. Dalam Gereja yang benar-benar sinode, setidaknya di Amerika, tanggapan yang lebih keras menyusul skandal sexual Theodore McCarrick seperti yang direncanakan oleh USCCB bahwa Theodore McCarrick tidak akan dipecat atau dijatuhkan oleh Vatikan. Gereja sinode tidak akan pernah mentolerir penghancuran sistematis Ritus Roma atau membenarkannya sebagai bentuk "ketaatan" kepada paus.

 

Seperti yang dicatat oleh seorang komentator, “Jika sinodalitas adalah sesuatu dari bejana kosong, tidak ada alasan ia tidak dapat diisi dengan hal-hal yang baik.” Jika umat Katolik ingin selamat dari “sinodalitas,maka itu hanya akan mungkin dengan melawan produk palsu itu dengan hal yang nyata.

 

[Photo Credit: Vatican Media (synod.va)]

 

By John A. Monaco

John A. Monaco adalah mahasiswa doktoral teologi di Universitas Duquesne di Pittsburgh, PA, dan Sarjana Tamu di Pusat Veritas untuk Etika dalam Kehidupan Publik di Universitas Fransiskan Steubenville.

 

------------------------------------- 

 

  

----------------------------------------------

 

Silakan membaca artikel lainnya di sini: 

Shelley Anna - 17, 18, 20, 30 September 2021 & 19 Oktober 2021

Uskup Schneider: Francis Mengikuti Pandangan Materialistik

Pelapor Pfizer Mengatakan Bahwa Vaksin 'Bersinar'

Laporan Baru Mengungkapkan Bahwa COVID-19 Adalah Senjata Biologis

Francis Mengkritik Aborsi, Tapi Mencintai Para Politisi pro-Aborsi

Bentrokan Keras di Roma Menandai Pembukaan Sinode Oleh Paus

Perang Vatican Melawan Tradisi