OCTOBER 13, 2021
Bertahan dari “Sinodalitas”
https://www.crisismagazine.com/2021/surviving-synodality?mc_cid=8aaa93affa&mc_eid=64c8a0fa3d
Selama
bertahun-tahun hingga
sekarang ini, umat Katolik
biasa telah dibombardir oleh
Francis dengan sejumlah kata kunci yang trendi dan slogan-slogan
yang menarik: “Gereja yang mendengarkan,” “proses pendampingan,”
“pastoral,” dan banyak lagi lainnya. Sementara
kata-kata ini tidak selalu salah atau tidak pantas untuk wacana gerejawi, namun kata-kata ini
sering berfungsi sebagai kuda Troya yang melaluinya
heterodoksi (atau
popularitas) dan heteropraksi (modernisasi) muncul atau dimunculkan.
Saat
persiapan untuk “Sinode tentang Sinodalitas” dimulai,
berita mengenai perpanjangan “Jalan Sinode” Gereja Jerman (yang sesat dan menuju kepada skisma
Gereja Katolik) ke tahun 2023, telah
memastikan bahwa umat Katolik biasa seperti kita-kita ini akan terus
mendengar kata “sinodalitas” untuk masa depan yang tidak terduga panjangnya. Dalam sambutan
pembukaannya untuk tahap persiapan sinode, paus Francis berkata, “Tidak perlu untuk membuat gereja lain, tetapi untuk
membuat gereja yang berbeda.” Tentu saja, disini orang akan bertanya-tanya: di mana letak perbedaan antara keduanya? Pernyataan yang sangat ambigu! Dan lebih
jauh lagi, bagaimana seorang Katolik biasa yang percaya dengan tulus, dapat
bertahan di era “sinodalitas” macam ini?
Mengingat sifat jargon Gereja kontemporer a la Francis
saat ini yang sangat meresap, ada baiknya kita menyaring
arti benar dan salah dari kata-kata populer itu, karena orang akan memisahkan
gandum dari sekam (Matius 3:12). Jelaslah bahwa “sinode,” seperti banyak
istilah lain yang digunakan di Gereja saat ini, digunakan tanpa pandang bulu
dan tanpa ketepatan. Kata "sinode" adalah kombinasi dari dua kata
Yunani, yang satu berarti "bersama" dan yang lain berarti "jalan".
Pada nilai nominal, kata-kata itu berkonotasi
adanya rasa kelompok seperjalanan, bepergian bersama, dalam arah yang sama.
Di Gereja awali, kata "sinode" digunakan untuk menggambarkan orang
Kristen paling awal, yang dikenal sebagai pengikut "Jalan," yaitu Kristus. Ketika para pengikut ini bersatu dan membentuk komunitas
permanen, istilah “sinode” pada akhirnya merujuk pada majelis atau badan
Gereja, baik di tingkat lokal, regional, atau universal. Dengan demikian, dalam
Gereja perdana, kata “sinode” secara bersamaan dapat merujuk pada Gereja
universal dalam ibadat liturginya serta penggunaan istilah yang lebih akrab
sebagai badan pemerintahan atau administratif Gereja.
“Sinodalitas,” sejauh
mengacu pada Gereja sebagai perjalanan bersama di jalan Kristus, hampir tidak
menyinggung atau
menentang. Namun, dalam penggunaan yang kontemporer saat ini,
istilah tersebut dapat berfungsi sebagai topeng
untuk sengaja menyembunyikan wajah
perbedaan pendapat. Setiap perjalanan
membutuhkan titik awal dan titik akhir. Di Gereja, kita tidak perlu membuat
penanda ini. Jadi, paus Francis bisa saja benar dengan berkata bahwa
“tidak perlu menciptakan Gereja baru.” Ada satu Gereja, yang berfungsi
sebagai Tubuh Mistik Kristus, yang secara erat bersatu dengan Kristus.
Persatuan ini bukanlah hubungan sebab-akibat belaka,
seperti penyatuan antara seorang tukang kayu dan sebuah rumah. Sebaliknya,
persatuan ini integral dan langsung; seperti halnya tubuh yang berfungsi dengan baik, kepala disatukan dengan
leher, yang disatukan dengan bahu, dan seterusnya. Inilah sebabnya, ketika Saulus berhadapan
dengan Kristus setelah penganiayaannya terhadap
orang-orang Kristen, Kristus tidak bertanya mengapa Saulus menganiaya para
pengikut-Nya, melainkan “Mengapa engkau menganiaya Aku?” (Kisah Para Rasul
9:45). Kristus, Sang Kepala, menyempurnakan Tubuh-Nya, Gereja (Efesus 4:16). Jadi,
Gereja yang benar-benar sinode akan berjalan di jalan Kristus dan pergi ke mana
saja Kepalanya memerintahkan.
Seperti yang diajarkan Paus Pius XII, karena kepala
memiliki keunggulan alami atas tubuh, maka “semua anggota yang kepadanya
ditempatkan untuk kebaikan mereka secara alami akan dibimbing oleh kepalanya
sebagai yang diberkahi dengan kekuatan yang lebih tinggi, sehingga Penebus
Ilahi memegang kemudi komunitas Kristen universal dan mengarahkan jalannya” (Mystici Corporis Christi, 37).
Dengan kata lain, Kristus-sebagai-Kepala tidak melumpuhkan anggota-anggota Tubuh, melainkan memerintahkan tindakan-tindakan mereka menuju tujuan yang semestinya. Jadi, sejauh “perjalanan bersama” membawa kita untuk bertindak sesuai dengan ajaran dan teladan Kristus, maka itu harus dianggap sebagai sinodalitas yang otentik. Namun, jika kita saat ini menemukan, dalam "perjalanan" kita bersama, bahwa kita menghibur diri dengan berbagai kepalsuan dan kesalahan (atau "mendampingi" orang mau bunuh diri dari tebing jurang), maka kita dapat dengan benar menyimpulkan bahwa ini adalah sinodalitas yang tidak otentik, yang salah.
Terlalu sering, kata sinodalitas
disalahartikan untuk mempromosikan Gereja yang kontemporer, demokratis dan egaliter, di mana setiap ajaran dan praktik
dipertimbangkan untuk diperdebatkan, seolah-olah mayoritas uskup Rhineland yang
mendukung
pemberkatan perkawinan sesama
jenis, entah bagaimana, hal itu dianggap bisa mengungkapkan suara penegasan dan pembenaran dari Roh Kudus. Upaya naas lainnya dari sinodalitas macam ini
mendorong gagasan sekuler tentang "inklusivitas"
dan modernisasi ajaran Gereja agar sesuai dengan nyaman di dalam zeitgeist (semangat zaman).
Proyek-proyek semacam itu tidak hanya bertentangan dengan
misi ilahi Gereja, tetapi juga tidak memenuhi sinodalitas otentik. Ini akan
mirip dengan Kepala yang memerintahkan jari untuk tidak menyentuh kompor yang
panas, dan jari yang menuduh bahwa
perintah Kepala terlalu menghakimi tentang suhu kompor, maka jari
akan melanjutkan untuk menyentuh kompor
itu, dan akibatnya, jari menderita luka bakar. Karena Gereja mengalir dari Penebus
Ilahinya, Yesus Kristus, maka semua
tindakan Gereja — termasuk gerakan sinodalitas yang saat
ini dipromosikan oleh Francis dan kelompoknya — seharusnya berangkat dari dan menempuh perjalanan menuju wahyu
Kristus dan transmisinya yang otentik.
Salah satu elemen yang lebih indah dari sinodalitas
otentik adalah bahwa hal itu menunjuk pada mode keberadaan Gereja. Dengan ini,
maksud saya sinodalitas, yang dipahami dengan benar, dapat benar-benar membantu
umat Katolik memahami apa itu Gereja, dan bagaimana mereka berpartisipasi dalam
misi sucinya. Gereja, meskipun hierarkis, bukanlah organisasi top-down belaka
di mana para elit gerejawi mengeluarkan perintah, dan kaum awam mematuhinya.
Sehubungan dengan pembagian yang tepat antara umat awam dan orang-orang yang ditahbiskan, Gereja sinode memperhitungkan seluruh umat
beriman. Melalui rahmat yang dicurahkan dalam Baptisan Kudus, semua orang Kristiani dipanggil untuk berpartisipasi dalam
tiga munera atau
karakter Kristus, yaitu mengajar, menguduskan, dan memerintah, sesuai
dengan keadaan hidup masing-masing. Dengan demikian, seorang pria yang sudah menikah dan ayah
dari tiga anak dapat mengenal Iman yang benar, mengajarkannya, dan menguduskan
rumahnya dan keluarganya melalui karya belas kasih
jasmani dan rohani. Pada masa krisis gerejawi, sangat mungkin bahwa Iman lebih
berhasil diwartakan oleh seorang wanita awam
homeschooling daripada oleh anggota Kuria Romawi.
Ketika dihadapkan dengan "sinodalitas", umat
Katolik yang setia harus secara bersamaan berhati-hati dan penuh harapan. Kehati-hatian
diperlukan, karena kata “sinodalitas” telah dan akan terus
digunakan untuk membenarkan amoralitas dan kemerosotan doktrin. Namun,
tidak semuanya di hadapan
sinode menjadi hilang. Dalam Gereja yang benar-benar sinode, setidaknya
di Amerika, tanggapan
yang lebih keras menyusul skandal sexual Theodore
McCarrick — seperti yang direncanakan oleh USCCB — bahwa Theodore McCarrick tidak akan dipecat atau dijatuhkan oleh Vatikan. Gereja sinode tidak akan pernah mentolerir penghancuran
sistematis Ritus Roma atau membenarkannya sebagai bentuk "ketaatan"
kepada paus.
Seperti yang dicatat
oleh seorang komentator, “Jika
sinodalitas adalah sesuatu dari bejana kosong, tidak ada alasan ia tidak dapat
diisi dengan hal-hal yang baik.” Jika umat Katolik ingin selamat dari
“sinodalitas,” maka itu hanya akan mungkin dengan melawan
produk palsu itu dengan hal
yang nyata.
[Photo Credit: Vatican Media (synod.va)]
By John A. Monaco
John A. Monaco adalah mahasiswa doktoral teologi di Universitas Duquesne di Pittsburgh, PA, dan Sarjana Tamu di Pusat Veritas untuk Etika dalam Kehidupan Publik di Universitas Fransiskan Steubenville.
-------------------------------------
----------------------------------------------
Silakan membaca artikel lainnya di sini:
Shelley
Anna - 17, 18, 20, 30 September 2021 & 19 Oktober 2021
Uskup
Schneider: Francis Mengikuti Pandangan Materialistik
Pelapor
Pfizer Mengatakan Bahwa Vaksin 'Bersinar'
Laporan
Baru Mengungkapkan Bahwa COVID-19 Adalah Senjata Biologis
Francis
Mengkritik Aborsi, Tapi Mencintai Para Politisi pro-Aborsi
Bentrokan
Keras di Roma Menandai Pembukaan Sinode Oleh Paus
Perang
Vatican Melawan Tradisi