Monday, October 18, 2021

Umat Katolik Yang Cacat atau L.A.M.E.

 

Umat Katolik Yang Cacat atau L.A.M.E. 

https://www.churchmilitant.com/news/article/the-l.a.m.e-catholic

 

by Raymond de Souza, KHS, KM, KofC  •  ChurchMilitant.com  •  October 15, 2021 

 

 Semua kejahatan di dunia berasal dari umat Katolik yang suam-suam kuku.

(Paus St.Pius V) 

 

Suam-suam kuku, apatis, biasa-biasa saja, dan tidak menentu atau berubah-ubah

 

 

Semua orang tahu apa itu bebek lumpuh. Ini adalah sasaran empuk bagi pemburu dan pemangsa. Tetapi ada versi yang dipersonifikasikan dari bebek ini di dalam Gereja kontemporer saat ini, yang dapat diringkas dengan akronim: L.A.M.E. (kata lame sendiri berarti cacat atau timpang. Namun di sini kata ‘lame’ itu diperpanjang menjadi LAME)

 

Umat Katolik yang LAME memiliki kombinasi cacat yang unik:

  • "L" - "lukewarm" atau suam-suam kuku
  • "A" - "apathetic" atau apatis
  • "M" - "mediocre" atau sikap setengah-setengah atau sedang-sedang saja
  • "E" - "erratic" atau tak menentu, tak teratur, atau suka berpindah atau berubah sikap. 

 

Seperti halnya setiap manusia, maka umat Katolik yang cacat atau timpang (L.A.M.E.) dikaruniai oleh Sang Pencipta dengan kehendak bebas, kecerdasan, kepekaan dan kapasitas untuk melakukan berbagai tindakan. Tapi kehendak bebasnya dibebani oleh sikap "suam-suam kuku," yang diwakili dengan huruf ‘L’ (lukewarm)" Inilah penyebab peringatan terkenal dari Tuhan kita: Why 3:15 Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas! Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku.

 

St. Alphonsus Liguori, Doktor moral Gereja yang agung, mengungkapkan keheranannya bahwa Tuhan kita lebih suka orang itu dingin daripada suam-suam kuku:

 

Apakah lebih baik menjadi dingin, yaitu, kehilangan kasih karunia, daripada menjadi hangat? Ya, dalam arti tertentu lebih baik menjadi dingin; karena orang yang kedinginan lebih mudah mengubah hidupnya, disengat oleh teguran dari hati nuraninya; sedangkan orang yang suam-suam kuku mengontrak kebiasaan tertidur dalam kesalahannya, tanpa berpikir, atau bersusah payah untuk memperbaiki dirinya sendiri; dan dengan demikian dia membuat proses penyembuhannya, seolah-olah, putus asa atau sangat sulit.

 

St. Alphonsus Liguori menjelaskan bagaimana orang yang bersikap suam-suam kuku tidak mau mengerahkan upaya sekecil apa pun untuk mendapatkan Surga:

 

Jiwa seperti ini tidak akan pernah menjadi orang suci dan akan kehilangan mahkota yang indah, yang telah Tuhan siapkan untuknya, jika dia dengan setia berhubungan dengan kasih karunia atau rahmat Tuhan. Burung saja, segera merasa terlepas dari jeratnya dia akan langsung terbang; dan jiwa, segera setelah dia terlepas dari keterikatan duniawi, segera terbang kepada Tuhan. Tetapi jika jiwa terikat oleh sikap suam-suam kuku, meskipun hanya dengan seutas benang tipis, itu sudah cukup untuk mencegahnya terbang kepada Tuhan. Oh, betapa banyak orang-orang yang tekun berdoa dan beribadah yang tidak menjadi orang suci, karena mereka tidak mau melakukan usaha yang keras untuk melepaskan diri dari keterikatan kecil tertentu!

 

Masuk akal bahwa jiwa yang suam-suam kuku secara alami akan menghasilkan kepekaan yang apatis. Oleh karena itu, huruf "A" berarti "apatis".

 

Seorang Katolik yang apatis adalah orang yang tidak memiliki motivasi untuk melakukan sesuatu atau tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Meskipun ada yang mengatakan bahwa sikap apatis bisa menjadi gejala masalah kesehatan mental, dalam kasus umat Katolik yang L.A.M.E., itu adalah sikap di mana dia tidak memiliki sikap. Dia bersikap acuh tak acuh terhadap krisis di dalam Gereja dan masyarakat; tidak berarti apa-apa atau kecil baginya jika 70% umat Katolik tidak percaya akan Kehadiran Nyata Tuhan di dalam Ekaristi; dia bosan tentang imam-imam dan uskup homoseksual, atau melakukan korupsi dan penyimpangan keuangan, dan kurangnya formasi imamat yang amat tinggi dalam banyak kasus. Dia tidak peduli dengan semua itu.

 

Dia mungkin tidak memiliki keinginan untuk melakukan apa pun yang membutuhkan pemikiran atau bahkan emosi. Dia tidak mencintai Tuhan dan apa yang baik, atau dia juga tidak membenci Iblis dan apa yang jahat. Apatis adalah kurangnya sentimen tersebut.

Alih-alih merasakan emosi apa pun, dia tidak memihak. Hal-hal yang dulu membuatnya bahagia tidak membuatnya bergairah lagi. Dia tidak lagi merasa termotivasi untuk mencapai tujuannya, terutama evangelisasi dan ortodoksi Katolik.

 

Dengan kemauan yang suam-suam kuku, acuh tak acuh terhadap kebaikan atau kejahatan, kebajikan atau keburukan, dan kepekaan yang apatis, umat Katolik yang L.A.M.E. juga memiliki kecerdasan yang biasa-biasa saja. Jadi, "M" (mediocre) berarti "biasa-biasa saja."

 

 

Contoh orang yang biasa-biasa saja

 

Sikap biasa-biasa saja adalah kejahatan dari mereka yang, sepenuhnya terserap oleh kesenangan kemalasan dan hanya menikmati apa pun yang ada dalam jangkauan tangan mereka, sepenuhnya membatasi diri pada apa yang langsung, menjadikan stagnasi pada kondisi normal dari keberadaan mereka.

 

Mereka juga tidak melihat ke depan atau ke atas: Mereka tidak menganalisis atau memperkirakan atau meramalkan. Bahkan untuk berpikir saja sudah malas. Mereka terlalu malas untuk mengabstraksi, memikirkan segalanya, menarik kesimpulan atau membuat dugaan. Kehidupan mental mereka direduksi menjadi sensasi di sini dan sekarang. Surga kecil mereka tidak melampaui kebutuhan sehari-hari: kursi malas yang nyaman, selimut hangat, dan televisi besar. 

 

Sikap biasa-biasa saja adalah kejahatan dari mereka yang hanya mau menikmati apa pun yang ada dalam jangkauan tangan mereka. GabTweet 

 

Dan semakin orang yang bersikap biasa-biasa saja melihat bahwa semua pintu tertutup rapat, yaitu pintu yang sebenarnya bisa terbuka untuk petualangan, risiko, kemuliaan (dan karena itu juga pintu menuju cakrawala Iman), cakrawala luas yang abstrak, penerbangan logika dan seni, keagungan jiwa, kepahlawanan, maka semakin bahagia dia. Meski tidak berniat demikian, orang yang bersikap biasa-biasa saja memaksakan kediktatoran orang biasa-biasa saja atas jiwa-jiwa yang berwawasan luas.

 

Seolah-olah semua ini belum cukup, ekumenisme, dengan banyak ocehan dialog yang tak kenal lelah dan sering sia-sia, cukup tepat sebagai agama dari orang yang biasa-biasa saja, karena semua agama didesak untuk mengatakan secara serempak bahwa, terlepas dari sekte mana yang "dipilih, " orang dapat mencapai hubungan yang baik dengan Tuhan demi kesehatan mereka, bisnis kecil mereka dan keamanan mereka -- bahkan setelah kematian.


Dari perspektif ini, ada ilusi bahwa Tuhan menginginkan pluralitas agama. Dia secara ekumenis acuh tak acuh, sama seperti
orang yang biasa-biasa saja, pada gilirannya, apakah mereka memiliki salib, patung keramik pagan atau jimat kafir, di mana mereka bisa tidur atau bekerja (seperti Pachamama kecil), secara dahsyat mereka bersikap acuh tak acuh terhadap Tuhan.

 

Akhirnya, umat Katolik yang L.A.M.E. menjadi tidak menentu dalam tindakannya ("E" berarti "erratic" atau "tidak menentu").

 

Kata "tidak menentu" digunakan untuk menggambarkan perilaku yang tidak dapat diprediksi dan tidak konsisten — atau setidaknya tidak sesuai dengan standar perilaku untuk serangkaian keadaan tertentu. Umat Katolik yang L.A.M.E. adalah bersikap tidak menentu.

Suatu hari, dia tertarik dengan khotbah atau ceramah tentang apologetika yang dia dengar, atau buku yang dia baca tentang kehidupan seorang pahlawan, tentang film yang dia tonton tentang misionaris atau ksatria yang hebat, dan dia memutuskan untuk mengarahkan hidupnya sesuai dengan itu. Beberapa jam kemudian, keesokan paginya, dia benar-benar lupa akan antusiasme kemarin dan hanya tertarik untuk mengorganisir tim sepak bola baru untuk sekolah putranya. Keesokan harinya dia akan rajin berdoa Rosario di depan klinik aborsi, dan sehari setelah itu, dia akan melupakannya dan melakukan sesuatu yang lain. Meskipun sebagian besar antusiasmenya baik dalam diri mereka sendiri, perilakunya yang tidak menentu membuatnya tidak konstan, tidak dapat diprediksi, dan tidak dapat diandalkan. Orang yang bersikap seperti ini tidak dapat dipercaya. 

 

Dia benar-benar lupa akan antusiasmenya kemarin. GabTweet 


Di sini kita memiliki hasil setengah abad
sikap L.A.M.E. perilaku di Barat, termasuk oleh sejumlah besar uskup dan imam. Beberapa pastor bahkan secara aktif mendorong perilaku semacam ini dalam berbagai khotbah mereka.

 

Bagaimana kita menyembuhkan ketimpangan atau kecacatan ini?

 

Klerus harus berkhotbah dari mimbar tentang upaya meniru dedikasi sempurna Kristus untuk karya Bapa-Nya — demi tujuan menyelamatkan umat manusia. Umat Katolik yang L.A.M.E. harus terkesan dengan:

 

  • Militansi Tuhan kita untuk menyelamatkan jiwa-jiwa, seperti ketika Dia berkata:

"Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku." (Yoh 2:17)

  • Bagi Tuhan "'ya' berarti ya, 'tidak' berarti tidak."

Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat. 5:37)

  • Nasihat untuk "jadilah sempurna, sama seperti Bapa Surgawimu adalah sempurna" “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna." (Mat 5:48)
  • Gagasan bahwa "siapa yang berdiri teguh sampai akhir akan diselamatkan"

Tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.” (Mat. 24:13) 

 

Maka biarlah para imam yang baik menyadari bahwa mereka telah memiliki program itu selama 2.000 tahun, dan yang mereka butuhkan hanyalah bertobat atas sikap L.A.M.E. mereka. Mereka harus menerapkan hikmat Injil pada diri mereka sendiri, dan kemudian memberitakannya kepada orang-orang, supaya mereka tidak binasa dalam dosa mereka. (Luk. 13:3).

 

--------------------------------------

 

Silakan membaca artikel lainnya di sini: 

Uskup Schneider: Francis Mengikuti Pandangan Materialistik

Pelapor Pfizer Mengatakan Bahwa Vaksin 'Bersinar'

Laporan Baru Mengungkapkan Bahwa COVID-19 Adalah Senjata Biologis

Francis Mengkritik Aborsi, Tapi Mencintai Para Politisi pro-Aborsi

Bentrokan Keras di Roma Menandai Pembukaan Sinode Oleh Paus

Perang Vatican Melawan Tradisi

Bertahan dari “Sinodalitas”