DI DALAM LEMARI VATIKAN
Frếdếric Martel
KEKUASAAN
HOMOSEXUALITAS
KEMUNAFIKAN
DAFTAR ISI
CATATAN DARI
PENULIS DAN PENERBIT
|
|
Bab 1. Domus Sanctae Marthae
|
|
Bab 2. Teori Gender
|
|
Bab 3. Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?
|
|
Bab 4. Buenos Aires
|
|
Bab 5. Sinode
|
|
Bab 6. Roma Termini
|
|
BAGIAN II - PAULUS
|
Bab 7. Kode Maritain
|
Bab 8. Persahabatan
Yang Penuh Cinta
|
|
BAGIAN III – YOHANES PAULUS
|
Bab 9. Kolese Suci
|
Bab 10. Legiun
Kristus
|
|
Bab 11. Lingkaran
Nafsu
|
|
Bab 12. Garda Swiss
|
|
Bab 13. Perang Salib
Melawan Gay
|
|
Bab 14. Diplomasi
Paus
|
|
Bab 15. Rumah Tangga
Aneh
|
|
Bab 16. Rouco
|
|
Bab 17. CEI
(Konferensi Episkopal Italia)
|
|
Bab 18. Seminaris
|
|
BAGIAN IV - BENEDICTUS
|
Bab 19. Pasif Dan
Putih
|
Bab 20. Wakil Paus
|
BAGIAN IV
Benedictus
Bab 20
Wakil Paus
Foto itu sangat tidak nyata sehingga
tampak seperti diedit dengan photoshop. Sekretaris utama negara Vatikan,
Tarcisio Bertone, tampaknya dinobatkan dengan penuh keagungan: dia duduk di
kursi yang tinggi di atas mimbar biru, mengenakan mitra kuning bergaris merah. Alasan
yang dipentaskan tiga kali ini - mimbar, takhta, mitra - membuatnya tampak
seperti raksasa yang sedikit menakutkan. Dia duduk kaku seperti seorang kaisar
selama upacara sakral, kecuali bahwa dia menderita kelebihan kalsium dalam
darahnya.
Di sebelah kanannya, Kardinal Jorge
Bergoglio nampak sangat kecil: duduk di kursi logam biasa, di luar mimbar, dia
hanya berpakaian putih. Jika Tarcisio Bertone mengenakan kacamata hitam
penerbang, maka Bergoglio memakai kacamatanya yang biasa dan besar. Kasula Bertone
yang berwarna emas bertepian renda putih mengingatkan saya pada serbet nenek
saya. Di pergelangan tangannya ada sebuah jam tangan berkilau: sebuah Rolex,
telah disematkan disitu. Ketegangan antara kedua pria itu jelas: Bertone
menatap lurus ke depan dengan ekspresi ingin tahu, membeku seperti mummi. Sedangkan
mulut Bergoglio terbuka seolah berisi alarm, mungkin karena dia melihat ‘sang Caesar’
yang agung ini.
Foto ini, yang mudah ditemukan di
Google dan Instagram, berasal dari November 2007, diambil saat perjalanan oleh
sekretaris negara ke Argentina untuk upacara beatifikasi. Pada saat itu,
Bertone adalah sosok paling kuat di Gereja Katolik, setelah Benediktus XVI. Dia
dikenal sebagai 'wakil paus.' Beberapa tahun kemudian, dia dipindahkan.
Bergoglio akan dipilih menjadi paus dengan nama Francis.
Tarcisio Bertone lahir di Piedmont
pada tahun 1934. Dia berbagi tempat asal ini - Italia Utara - dengan Angelo
Sodano, pendahulunya di Sekretariat Negara Vatikan. Bersama dengan Sodano, dia
adalah penjahat kedua dalam buku ini. Dan tentu saja, di ‘panggung besar teater
Shakespeare’ yang selalu menjadi acuan Kuria Romawi, dua raksasa kesombongan
dan kekakuan ini akan menjadi 'musuh komplementer.'
Sebagai putra petani gunung, Bertone
adalah seorang Salesian, seorang anggota kongregasi Katolik yang didirikan di
Italia, yang menempatkan pendidikan sebagai jantung dari misinya. Untuk waktu
yang lama, karirnya cukup tenang. Selama 30 tahun dia jarang disebut-sebut: dia
adalah seorang imam, dan dia mengajar. Tentu saja, secara diam-diam dia membentuk
jejaring; hingga pada akhirnya dia diangkat, pada usia 56, sebagai Uskup Agung
Vercelli di Piedmont, tempat kelahirannya.
Salah satu orang yang mengenalnya dengan
baik saat ini adalah Kardinal Raffaele Farina, yang juga seorang Salesian, dan
yang menyambut Daniele (pembantu peneliti saya) dan saya di apartemennya di
Vatikan. Dari jendelanya, kami dapat melihat apartemen paus beberapa meter
jauhnya, dan sedikit lebih jauh, ada teras-teras Kardinal Giovanni Battista Re
dan Bertone yang spektakuler. Dan lebih jauh lagi, nampak teras penthouse
Angelo Sodano. Semua orang-orang tua ini saling mengamati satu sama lain
seperti anjing cina, dengan rasa iri hati dan permusuhan, dari jendela
masing-masing. Itu bisa disebut sebagai ‘perang teras.’
"Saya bertanggung jawab atas
Universitas Salesian ketika Bertone bergabung bersama kami," Kardinal
Raffaele Farina menjelaskan. “Dia adalah deputi saya. Saya mengenalnya dengan
baik, dan saya tidak akan pernah mengangkatnya sebagai menteri luar negeri
Vatikan. Dia suka bepergian dan mengurus bisnisnya sendiri. Dia banyak bicara,
terutama dalam bahasa Italia dan kadang-kadang dalam bahasa Perancis; dia
memiliki banyak kontak internasional tetapi dia telah gagal di Universitas
Salesian sebelum dia gagal dalam segala hal di Vatikan.”
Dan Kardinal Raffaele Farina
menambahkan, seolah-olah dengan cara yang menyimpang: “Bertone selalu
menggerakkan tangannya. Dia orang Italia utara yang berbicara dengan tangannya
seperti orang Selatan!
Kardinal Farina tahu semua rahasia
Vatikan. Dia diangkat sebagai kardinal oleh Benediktus XVI, kepada siapa dia sangat
dekat, kemudian dia diangkat oleh Francis ke kursi pemipin dari sebuah komisi
penting untuk melakukan reformasi Bank Vatikan. Antara keuangan, korupsi, dan
homoseksualitas, dia tahu segalanya, dan kami berbicara panjang lebar tentang
subyek-subyek ini dengan rasa kebebasan yang mencengangkan saya selama beberapa
percakapan kami.
Di akhir salah satu pertemuan kami,
kami menemani kardinal Farina ke tujuan berikutnya. Kami masuk ke mobil
kecilnya, sebuah Volkswagen Up !, dan kami mengakhiri percakapan kami di dalam kendaraan
diplomatik Vatikan ini, yang dia kemudikan sendiri pada usianya yang mencapai 85
tahun. Kami lewat di depan gedung apartemen tempat Tarcisio Bertone tinggal,
lalu di depan Angelo Sodano. Kami berkendara di sepanjang jalan-jalan terjal
Vatikan, di antara pohon-pohon ceri yang mekar, di bawah pengawasan ketat
polisi yang mengetahui, dari pengalaman, bahwa Kardinal Farina tidak lagi awas
matanya seperti sebelumnya. Di sini dia mengabaikan sebuah rambu untuk berhenti;
kemudian dia salah jalan dengan menyusuri jalan satu arah; setiap kali, polisi hanya
melambai padanya dan dengan sopan mengarahkannya ke arah yang benar. Aman dan dalam
keadaan tetap sehat, meskipun setelah beberapa saat yang menegakkan bulu roma
saya, kami mencapai Porta Santa Anna, lengkap dengan ingatan luar biasa dari
sebuah diskusi dengan seorang kardinal yang telah banyak memberi tahu kami. Ya
ampun, betapa banyak ingatannya!
Apakah kardinal Bertone seorang idiot?
Itulah yang dikatakan semua orang di Vatikan saat ini. Sulit untuk menemukan seorang
wali gereja atau nuncio (dubes) yang bersedia membelanya, bahkan jika kritikan yang
penuh kemarahan itu, yang sekarang datang dari orang-orang yang sama yang
membawa kardinal Bertone ke puncak jabatannya baru kemarin, namun lupakan saja kualitas
langka dari kardinal Bertone ini. Di antaranya adalah: kapasitasnya yang besar
untuk bekerja; kesetiaannya kepada rekan-rekannya; semangatnya membentuk jejaring
di keuskupan Italia; dan dogmatisme Ratzingerian. Tetapi karena kekurangan
otoritas alamiahnya, seperti banyak orang yang tidak kompeten sebelumnya, dia
kemudian menjadi otoriter. Orang-orang yang mengenalnya di Genoa
menggambarkannya sebagai seorang formalis; sebagai seseorang yang sangat arogan
dan yang mengelilingi dirinya dengan orang-orang muda yang selibat dan para bujangan
tua di istana di mana dia menerima para tamunya.
"Dia membuat kami menunggu
seolah-olah kami mau audiensi dengan paus," mantan duta besar Perancis
untuk Vatikan, Pierre Morel, mengatakan kepada saya, menggambarkan satu sifat
dan peristiwa seperti itu.
Salah satu mantan siswa Bertone,
ketika dia mengajar hukum dan bahasa Perancis, seorang imam yang saya temui di
London, memberi tahu saya di sisi lain, bahwa 'kardinal Bertone adalah guru
yang sangat baik dan sangat lucu. “Bertone suka mengutip,” sumber yang sama
memberi tahu saya, “ide-ide dan ucapan Claudel, Bernanos dan Jacques Maritain.”
Dalam wawancara tertulis, Bertone mengonfirmasi bahwa dia telah membaca karya para
penulis ini, meminta maaf atas bahasa Perancisnya yang sedikit kuno, dan
berterima kasih kepada saya karena 'menyegarkan' dengan memberinya sebuah buku
-- buku putih kecil saya yang terkenal.
Bagi banyak orang, Tarcisio Bertone
mencapai tingkat ketidakmampuannya ketika berada di Sekretariat Negara.
Kardinal Giovanni Battista Re, mantan 'menteri' dalam negeri untuk Yohanes
Paulus II dan musuh Bertone, menyampaikan komentarnya dengan hati-hati tentang
Bertone: “Bertone sangat pandai di Kongregasi untuk Ajaran Iman, tetapi dia
tidak siap untuk pos menteri luar negeri.”
Don Julius, seorang bapa pengakuan di
St. Peter, yang banyak berhubungan dengan Bertone dan mungkin telah melayaninya
mengaku dosa, menambahkan: “Dia sombong; dia adalah guru hukum kanon yang
buruk.”
Para bapa pengakuan di St. Peter, dimana
sebagian besar mereka adalah homofil, adalah sumber informasi yang menarik di
Vatikan. Bertempat di sebuah bangunan kuno di Piazza Santa Marta, mereka hidup
di sel-sel individual dengan ruang makan kolektif yang indah. Saya sering
mengadakan pertemuan di sana, di parlatorio
yang, meskipun terletak di pusat syaraf Tahta Suci, tetapi itu adalah tempat
yang diam-diam seperti yang diharapkan: tidak ada yang mengganggu seorang bapa pengakuan
yang melayani pengakuan dosa - atau dia sendiri yang mengaku dosa.
Dari pos pengamatan antara Istana Pengadilan
dan kantor polisi Vatikan, sepelemparan batu dari kediaman Paus Francis dan
menghadap apartemen kardinal Bertone, para bapa pengakuan bisa melihat dan
mengetahui segalanya. Di sinilah Paolo Gabriele ditempatkan dalam tahanan
setelah peristiwa VatiLeaks: untuk pertama kalinya, hingga sel-sel itu menjadi
penjara yang sebenarnya.
Dengan jaminan anonimitas, para bapa pengakuan
di St. Petrus menceritakan semuanya kepada saya. Mereka tahu kardinal mana saja
yang terlibat dalam skandal korupsi; siapa yang tidur dengan siapa; dimana asistennya
yang ganteng bergabung dengan bosnya di apartemen mewahnya di malam hari; siapa
saja yang menyukai para Pengawal Swiss, atau siapa saja yang lebih suka dengan polisi
yang lebih jantan.
Salah satu imam-imam itu, yang seharusnya
menjaga rahasia pengakuan dosa, memberi tahu saya: “Tidak ada kardinal yang
korup yang pernah memberi tahu kami dalam pengakuan dosa bahwa dia korup! Tidak
ada kardinal homofilik yang mengakui kecenderungan homofiliknya! Mereka
berbicara kepada kita tentang hal-hal yang nampak bodoh, tentang perincian dosanya
yang tidak penting. Namun kita tahu mereka sangat busuk perbuatannya sehingga
mereka tidak lagi tahu apa itu korupsi dan kebusukan. Mereka bahkan berbohong
dalam pengakuan dosa."
Karier kardinal Bertone benar-benar
meningkat ketika Joseph Ratzinger menunjuknya sebagai orang nomor dua di
Kongregasi (yang penting) untuk Ajaran Iman. Ini terjadi pada 1995; dia berusia
60 tahun.
Bagi seorang pria yang kaku, diangkat
ke jabatan paling doktriner di seluruh Gereja adalah sebuah berkat.
"Kekakuan kuadrat," kata seorang pastor Kuria. Di sinilah kardinal Bertone
memperoleh reputasi buruk sebagai anggota ‘polisi pemikir.’
Mgr. Krzysztof Charamsa, yang telah
bekerja di Istana Tahta Suci selama bertahun-tahun, membandingkannya dengan sebuah
'cabang KGB,' sistem totaliter nyata yang menindas yang 'mengendalikan jiwa dan
kamar tidur.' Apakah Bertone memberikan tekanan psikologis pada para uskup
homoseksual tertentu? Apakah dia memberi tahu kardinal tertentu bahwa ada file
tentang dirinya dan bahwa dia harus menjaga hidungnya tetap bersih? Mgr.
Krzysztof Charamsa tetap mengelak ketika saya bertanya kepadanya.
Faktanya adalah tetap, bahwa cara
bekerja di Kongregasi untuk Doktrin Iman ini membuat kardinal Bertone mendapat
julukan Hoover.
"Namun, dia adalah Hoover yang
kurang cerdas," kata seorang uskup agung yang mengungkapkan julukan ini
kepada saya menambahkan seolah mau mengoreksi.
J. Edgar Hoover, yang mengelola Biro
Investigasi AS dan badan penggantinya, FBI, selama hampir lima puluh tahun,
menggabungkan pemahaman yang cerdas tentang orang-orang dan situasi dengan
organisasi ketat dari keberadaannya yang tertutup. Bertempur tanpa henti dan seperti
iblis melawan dirinya sendiri, dia membuat file rahasia dari kehidupan pribadi
para tokoh publik dan politisi Amerika yang tak terhitung jumlahnya. Kita tahu
sekarang bahwa kemampuan luar biasa untuk bekerja seperti ini, selera yang
keliru untuk berkuasa, obsesi anti-komunis ini, hidup berdampingan dengan
sebuah rahasia: dia juga seorang homoseksual. Pria yang suka berdandan sebagai
seorang wanita secara pribadi ini, menjalani sebagian besar hidupnya yang penuh
kontradiksi dengan wakil kepala Clyde Tolson, yang dia tunjuk sebagai wakil
direktur FBI sebelum menjadikannya sebagai pewarisnya.
Perbandingannya dengan kardinal Bertone
terpecah pada titik-titik tertentu, salinannya mungkin berbeda dari contoh modelnya,
tetapi sisi psikologisnya ada. Bertone adalah seorang ‘Hoover’ yang gagal.
Pada tahun 2002, Tarcisio Bertone
diangkat menjadi Uskup Agung Genoa oleh John Paul II kemudian menjadi kardinal
atas dukungan Ratzinger. Beberapa bulan setelah pemilihannya, Benediktus XVI
memanggilnya untuk menggantikan Angelo Sodano sebagai sekretaris negara: maka Bertone
menjadi 'perdana menteri' paus.
Karir yang sukses ini sekarang
memiliki segala kekuatan dan kekuasaan. Sama seperti Sodano yang benar-benar
menjadi wakil paus selama sepuluh tahun terakhir kepausan John Paul II karena
sakitnya Bapa Suci yang cukup lama, maka Bertone juga menjadi wakil paus berkat
kurangnya minat Benediktus XVI dalam pengelolaan urusan negara.
Menurut beberapa sumber, kardinal Bertone
menerapkan sistem kontrol internal yang terdiri dari sinyal, peringatan, dan
pemantauan, atas seluruh rantai komando yang sampai kepadanya, untuk melindungi
rahasia-rahasia Vatikan. Sistem ini seharusnya memungkinkan dia untuk tetap
berkuasa untuk waktu yang lama, jika dia tidak mengalami dua komplikasi yang
tidak terduga dalam karirnya yang tanpa cacat itu: kasus VatiLeaks, yang lebih
dulu, dan kemudian, yang lebih tak terduga: 'turun tahtanya' Benediktus.
Kurang terorganisir daripada Hoover, kardinal
Bertone tahu, seperti Hoover, bagaimana memperbaiki kekurangannya dalam memilih
orang. Maka dia menjadi dekat dengan seorang ‘Domenico Giani’ tertentu, yang
dia tunjuk sebagai kepala Corpo della gendarmeria Vatikan, terlepas dari penentangan
sengit dari Kardinal Angelo Sodano, yang berharap bahwa dia sendiri akan dapat
terus memainkan peran. Di dalam kepala dari seratus polisi, inspektur dan
petugas polisi, mantan perwira Garda Italia di Finanza ini menjadi
bayang-bayang Bertone dalam semua urusan dan misi rahasia.
Kepala polisi Italia ini sangat
kritis terhadap polisi Vatikan, yang menolak untuk bekerja sama dengan kami, dimana
para polisi Vatikan banyak menggunakan zona ekstrateritorialitas dan kekebalan
diplomatik untuk menutupi skandal tertentu. “Hubungan menjadi semakin tegang,"
kata seorang polisi senior Italia kepada saya.
Dalam sebuah buku yang kontroversial
tetapi berisi informasi yang disediakan oleh Georg Gänswein dan seorang asisten
Bertone, penulis esai Nicolas Diat mengatakan bahwa Domenico Giani tunduk pada
pengaruh-pengaruh dari luar, tanpa
menyatakan apakah ini mungkin berasal dari freemasonry, lobi gay atau dinas
rahasia Italia. Seorang kardinal yang dia kutip, menganggap bahwa dia 'bersalah
atas pengkhianatan tingkat tinggi,' dan bahwa ini adalah salah satu 'contoh
infiltrasi paling serius di Tahta Suci.’ (Tuduhan serius ini tidak pernah
terbukti; hal itu dengan tegas ditolak oleh juru bicara Benediktus XVI; dan
Paus Francis memperbarui kepercayaannya kepada Domenico Giani.)
Dengan bantuan Domenico Giani dan
layanan teknis Vatikan, kardinal Bertone menjaga Kuria di bawah pengawasannya.
Ratusan kamera dipasang di mana-mana; komunikasi disaring. Bahkan ada rencana
untuk mengesahkan hanya satu model telepon seluler yang aman. Keributan terjadi
di antara para uskup! Mereka menolak untuk dimonitor! Upaya untuk menyelaraskan
smartphone ini gagal, tetapi pemeriksaan tetap dilakukan. (Kardinal Jean-Louis
Tauran mengkonfirmasi hal ini.)
“Sarana komunikasi, telepon dan
komputer, disaring dan diperiksa dengan cermat oleh Vatikan. Dengan begitu
mereka tahu semua yang terjadi di Tahta Suci dan, jika perlu, mereka memiliki
bukti terhadap siapa pun yang mungkin menyebabkan masalah. Tetapi secara umum
mereka menyimpan semuanya untuk diri mereka sendiri," demikian saya
diberitahu oleh mantan pastor, Francesco Lepore, yang dirinya sendiri harus
diawasi secara ketat sebelum pemecatannya.
Mantan 'menteri' John Paul II dari ‘orang
dalam,’ Giovanni Battista Re, yang saya ajak bicara mengenai hal ini, di
hadapan Daniele, masih ragu bahwa Vatikan akan mampu melakukan pengawasan pada
tingkat ini. “Menurut definisi, di Vatikan, sekretaris negara mengetahui
segalanya dan, tentu saja, memiliki file dari setiap orang. Tapi saya pikir
Bertone tidak ‘secanggih’ itu, meski dia punya file dari semua orang."
Seperti kebanyakan sistem
pengintaian, sistem Bertone dan Giani mendorong strategi penghindaran dari para
uskup kuria. Sebagian besar dari mereka mulai menggunakan aplikasi yang aman
seperti Signal atau Telegram. Mereka juga membeli sendiri
ponsel pribadi kedua, yang dengan alat itu mereka dapat dengan aman berbicara
buruk tentang menteri sekretaris negara, mendiskusikan desas-desus tentang
rekan religius mereka atau berhubungan dengan orang luar melalui aplikasi Grindr.
Di dalam Vatikan, tempat penggunaan internet dipantau dan disaring secara
khusus, telepon kedua itu memungkinkan mereka untuk melewati firewall ke alamat
terlarang, seperti situs-situs erotis.
Pada suatu hari, ketika saya berada
di apartemen pribadi seorang pastor, dimana saya tinggal bersama orang dalam di
Vatikan, kami melakukan sebuah percobaan. Kami menguji beberapa situs erotis yang
diblokir oleh pesan: ‘Jika Anda ingin membuka blokir situs ini, silakan hubungi
nomor internal 181, sebelumnya 83511, atau 90500.' Kalimat ini bicara tentang adanya
‘keharusan kontrol dari orangtua’!
Saya melakukan percobaan yang sama
lagi beberapa bulan kemudian dari apartemen seorang uskup, masih di dalam
Vatikan, dan kali ini saya membaca di layar bahwa 'akses ke halaman web yang
diminta' diblokir atas inisiatif 'polisi keamanan' dari Vatikan. Satu alasan
diberikan: 'Konten dewasa.' Saya hanya perlu memencet ‘kirim’ untuk memintanya agar
dibuka blokirnya.
“Tokoh senior Vatikan berpikir mereka
dapat lolos dari pengawasan ini. Mereka diizinkan untuk melanjutkannya; tetapi jika
suatu hari mereka menjadi ‘penghalang,’ maka apa yang diketahui atas diri
mereka dapat digunakan untuk mengendalikan mereka," jelas Francesco
Lepore.
Pornografi, yang pada dasarnya adalah
pornografi gay, adalah fenomena yang sering terjadi di Vatikan sehingga
sumber-sumber saya berbicara tentang 'masalah kecanduan serius di antara para
uskup Kuria.' Beberapa imam bahkan telah menggunakan layanan khusus untuk
memerangi kecanduan ini, seperti NoFap, sebuah situs spesialis yang berbasis di
sebuah gereja Katolik di Pennsylvania.
Pengawasan internal ini ditingkatkan
selama kepausan Benediktus XVI, karena skandal, desas-desus dan, tentu saja, kasus
VatiLeaks pertama berkembang biak. Tarcisio Bertone sendiri terjebak dalam
kebocoran ini, dan paranoia-nya berlipat ganda. Dia mulai mencari mikrofon di
apartemen-apartemen pribadi, mencurigai para kolega, dan bahkan memberhentikan
sopirnya, yang dia curigai memberi tahu Kardinal Sodano.
Sementara itu, ‘mesin’ Vatikan ini
(Bertone) dibungkam. Bertanggung jawab atas hubungan internasional, tetapi
miskin dalam berbicara bahasa asing, Bertone menjadi terisolasi dari keuskupan
lokal dan mulai membuat kesalahan demi kesalahan. Seorang diplomat yang buruk, dia
berkonsentrasi pada apa yang dia tahu paling baik, yaitu politik Italia dan
hubungan dengan para penguasa negara itu, yang dia harapkan bisa dia kendalikan
secara langsung (hal ini dikonfirmasi oleh dua presiden CEI, Kardinal Ruini dan
Bagnasco, kepada saya ).
Sekretaris negara masa Benediktus XVI
juga mengelilingi dirinya dengan rekan-rekannya yang tidak istimewa, hingga memicu
sejumlah desas-desus. Ini termasuk Lech Piechota yang terkenal, asisten favorit
Bertone, yang sepertinya tidak dapat dipisahkan, seperti Ratzinger dengan Georg
Gänswein atau John Paul II dengan Stanisław Dziwisz.
Saya mencoba mewawancarai Piechota,
tetapi tidak berhasil. Sejak akhir kepausan Benediktus XVI, saya diberitahu bahwa
imam Polandia ini telah dipindahkan ke Dewan Kepausan bidang Kebudayaan. Dalam
salah satu dari banyak kunjungan saya ke kementerian itu, saya bertanya kepada
Piechota dan mencoba mencari tahu dengan mukjizat apa – padahal dia tidak
pernah memiliki minat sedikit pun pada seni – hingga dia bisa bertugas di bagian
itu. Apakah dia memiliki bakat artistik yang tersembunyi? Apakah dia sedang disingkirkan?
Saya mencoba memahami hal ini dengan polos.
Maka saya mewawancarai direktur
Departemen Kebudayaan hingga dua kali tentang Piechota. Apakah dia ada di sana?
Balasannya sangat membingungkan: “Saya tidak tahu siapa yang Anda bicarakan.
Dia tidak ada di sini."
Suatu penyangkalan yang aneh. Lech
Piechota muncul dalam the Annuario
Pontificio sebagai pejabat kebijakan untuk Dewan Kepausan bidang Kebudayaan,
di samping nama-nama Pastor Laurent Mazas, pastor Pasquale Iacobone dan Uskup
Agung Carlos Azevedo, ketiganya telah saya wawancarai. Dan ketika saya memencet
papan tombol dari kementerian itu, saya terhubung ke Piechota. Kami berbicara
secara singkat, tetapi, anehnya, mantan asisten 'perdana menteri' itu, seorang
pria yang biasa berbicara setiap hari dengan puluhan kardinal dan kepala
pemerintahan dari seluruh dunia, tidak bisa berbahasa Perancis, Inggris, maupun
Spanyol.
Jadi Piechota adalah petugas
kebijakan di Kementerian Kebudayaan, tetapi mereka tampaknya lupa bahwa dia ada
di sana. Apakah dia mendapat masalah sejak namanya bocor dalam skandal
VatiLeaks? Apakah sekretaris pribadi Kardinal Bertone ini perlu dilindungi? Mengapa
pastor Polandia ini, Piechota, menjaga dirinya sedemikian rupa? Mengapa dia
kadang-kadang meninggalkan kantornya di Dewan Kepausan urusan Kebudayaan ketika
Bertone menyuruhnya melakukan hal itu (menurut dua saksi)? Mengapa kita
melihatnya mengemudi mobil besar resmi: sebuah mobil mewah Audi A6, dengan
jendela gelap dan kaca depan belakang juga gelap,dan memakai plat diplomatik
Vatikan? Mengapa Piechota masih tinggal di Istana Tahta Suci, di mana saya
telah menabraknya beberapa kali, dan di mana mobil besar ini diparkir di tempat
parkir istimewa di mana tidak ada orang lain yang diizinkan untuk parkir? Dan
ketika saya menyampaikan pertanyaan ini kepada anggota Kuria, mengapa mereka hanya
tersenyum? Mengapa? Mengapa?
Harus dikatakan bahwa Tarcisio
Bertone memiliki banyak musuh. Di antara mereka, ada Angelo Sodano, yang tinggal
di dalam tembok-tembok Vatikan pada awal kepausan Benediktus XVI. Dari Kolese
Ethiopia-nya, yang telah dipulihkannya dengan biaya besar, mantan menteri sekretaris
negara itu terperangkap dalam penyergapan. Dia tentu saja telah dilucuti dari
tanggung jawabnya, tetapi dia tetap menjadi kepala di Kolese para Kardinal: gelar
ini memberinya otoritas yang lebih besar atas para pemilih dalam konklaf, yang
masih melihatnya sebagai seorang ‘pembuat paus.’ Karena Sodano telah
menjalankan kekuasaan untuk waktu yang lama, dia juga memiliki kebiasaan
buruknya: dari lemarinya yang berlapis emas, dia mengacak-acak jabatan banyak
orang dan arsip tentang orang-orang itu, seolah-olah dia masih memegang
kendali. Bertone terlambat untuk menyadari bahwa Sodano adalah salah satu dari
pemimpin dinasti kepausan Benediktus XVI.
Semuanya dimulai, seperti yang sering
terjadi, dengan sebuah penghinaan. Mantan kardinal sekretaris negara zaman John
Paul II itu, melakukan segala yang dia bisa untuk tetap menjabat. Dalam tahun
pertama masa pemerintahannya, paus mempertahankan Sodano pada jabatannya demi kepentingan
formasi personil, dan untuk alasan lain yang lebih penting: tidak ada orang
lain yang layak! Memang, Joseph Ratzinger tidak pernah menjadi kardinal
politik: dia tidak punya geng, tidak ada tim, tidak ada yang menempatkan atau
mempromosikan dirinya kecuali Georg Gänswein, asisten pribadinya. Tetapi
Ratzinger selalu sangat curiga kepada Sodano, seperti juga terhadap orang lain,
dari siapa Sodano telah menerima informasi yang mengejutkan. Ratzinger
terperangah dengan apa yang dikatakan Sodano tentang masa lalu dirinya di
Chili, sehingga Ratzinger tidak ingin mempercayai rumor itu.
Mengambil keuntungan dari usianya
yang menginjak 79 tahun, Benediktus XVI akhirnya berpisah dengan Sodano.
Menurut memoarnya, itu terjadi sebagai berikut: “Dia seusia dengan saya. Jika
paus sudah tua, karena dia dipilih ketika sudah menjadi tua, maka sekretaris
negara, setidaknya, haruslah dalam kondisi prima."
Membuat seorang kardinal yang hampir pensiun
pada usia delapan puluh: Sodano tidak tahan dengan hal itu. Tanpa menunggu, dia
bangkit, memberontak, mulai melemparkan berbagai umpatan. Dia menolak. Ketika
dia mengerti bahwa permainan sudah habis, dia menuntut untuk dapat memilih
penggantinya (anak didiknya dan wakilnya, Giovanni Lajolo, mantan anggota APSA
yang merupakan nuncio di Jerman), tetapi tidak berhasil. Dan ketika akhirnya
dia mengetahui nama penggantinya, Uskup Agung Genoa Tarcisio Bertone, dia merasa
ngeri: “Seharusnya dia bisa menjadi deputi saya! Dia bahkan bukan seorang nuncio!
Dia bahkan tidak bisa berbahasa Inggris! Dia bukan bagian dari aristokrasi berjubah!”
(Dalam pembelaannya, Bertone berbicara bahasa Perancis dan Spanyol yang cukup
baik, serta Italia, seperti yang sudah saya cek sendiri.)
Sekarang mulailah sebuah episode
fitnah, gosip, dan balas dendam dari jenis yang tidak dikenal di Italia sejak
zaman Julius Caesar, ketika sang kaisar menghukum prajuritnya karena menghinanya
dengan memanggilnya 'Ratu'!
Tentu saja, gosip selalu memainkan
peran besar dalam sejarah Tahta Suci. Ini adalah 'racun gay' yang dibicarakan
penyair, dan 'penyakit rumor, fitnah, dan gosip' yang dikecam oleh Paus
Francis. Gosip semacam ini adalah tipikal kehidupan homoseksual sebelum zaman 'pembebasan
gay.' Ini terdiri dari kiasan yang sama, lelucon yang sama, fitnah yang sama,
yang digunakan para kardinal saat ini untuk melukai dan menyakiti - dengan
harapan untuk bisa menyembunyikan kehidupan ganda diri mereka sendiri.
“Vatikan adalah sebuah pengadilan
dengan seorang raja. Dan seperti halnya para klerus, tidak ada pemisahan antara
kehidupan pribadi dan publik, tidak ada keluarga, semua orang hidup dalam suatu
komunitas, semuanya diketahui, semuanya dicampuradukkan. Begitulah desas-desus,
gosip, dan fitnah menjadi sebuah sistem,” kata seorang ahli tentang Vatikan,
Romilda Ferrauto, yang sejak lama menjadi salah satu direktur Radio Vatikan,
kepada saya.
Rabelais, seorang mantan rahib, telah
menyadari kecenderungan ini di antara para uskup di dewan kepausan, yaitu suka 'mengutuk
semua orang' sambil dirinya sendiri berzina seperti orang gila. Mengenai 'tamasya
nafsu,' senjata homofob yang mengerikan, hal itu selalu dihargai tinggi oleh
kaum homoseksual sendiri, di klub-klub gay tahun 1950-an, seperti di kerajaan Vatikan
saat ini.
Paus Francis, seorang pengamat
tentang Kuria, tidak salah ketika dia menyebutkan dalam pidatonya, di antara
'15 penyakit Kurial’: adalah skizofrenia eksistensial; anggota istana yang
'membunuh dengan darah dingin' yang merupakan reputasi dari rekan-rekan
kardinal mereka; 'terorisme gosip' dan para uskup yang 'menciptakan dunia
paralel untuk diri mereka sendiri, di mana mereka mengesampingkan semua ajaran yang
mereka berikan dengan keras kepada orang lain, dan mulai menjalani kehidupan
yang tersembunyi dan seringkali menjalani kehidupan yang cabul dan keji.’
Mungkinkah hal ini bisa lebih jelas? Hubungan antara fitnah dan kehidupan ganda
sekarang dibangun oleh saksi yang paling tak terbantahkan, yaitu: paus.
Meskipun demikian, mantan menteri sekretaris
negara, Angelo Sodano, mengatur balas dendamnya pada Bertone dengan sangat
terperinci: setelah berlatih di Pinochet Chili, dia tahu skornya, rumor soal pembunuhan
dan metode-metode yang kejam. Pertama-tama, dia menolak untuk meninggalkan
apartemen mewahnya, yang harus diperbaiki Bertone. Lagipula, sekretaris negara
yang baru harus puas dengan pied-à-terre sementara penthouse baru Sodano sedang
dipugar dan direnovasi.
Di sisi perlawanan, Sodano yang
pemarah membuat jaringannya di dalam Kolese para Kardinal dan ‘mesin’ rumor.
Bertone bertindak lambat dalam mengambil tindakan yang tepat dari pertempuran ‘ego
langit.’ Pada saat dia melakukannya, setelah merebaknya kasus VatiLeaks, sudah
terlambat baginya. Pada saat itu, semua orang sudah diberikan pensiun dini,
bersama dengan paus!
Salah satu kaki tangan dekat Sodano
adalah seorang uskup agung Argentina yang menjadi nuncio di Venezuela dan
Meksiko: Leonardo Sandri, yang telah kami sebutkan di atas. Paus baru, yang
curiga kepadanya seperti halnya dia terhadap Sodano, memilih untuk berpisah
dengan orang Argentina yang bermasalah ini. Dia benar-benar menghormati adat:
dia menjadikan Sandri sebagai kardinal pada tahun 2007 dan menempatkannya
sebagai penanggung jawab Gereja-Gereja Timur. Tetapi itu tidak cukup bagi
lelaki macho yang egois ini, yang tidak tahan dengan kenyataan bahwa dirinya dicopot
dari jabatannya sebagai 'menteri dalam negeri' dari paus. Pada gilirannya, dia
bergabung dengan Sodano dalam melakukan perlawanan, seorang prajurit rendahan
dalam pasukan gerilya kecil di Sierra Maestra dari Vatikan.
Tahta Suci tidak pernah terhindar
dari adegan perselisihan rumah tangga dan keluarga. Di tengah lautan ambisi,
penyimpangan, dan fitnah yang mengalir terus di Vatikan, banyak paus berhasil
mengatasi angin kencang yang berbahaya. Sekretaris negara Vatikan yang lain
mungkin bisa mengarahkan kapal Vatikan ke pelabuhan yang aman - bahkan dengan
Benediktus XVI. Paus yang lainnya, jika dia merawat Kuria, akan mampu
mengapungkan kapal Vatikan lagi - bahkan dengan Bertone. Tetapi hubungan antara
seorang paus yang digerakkan secara ideologis dan seorang kardinal yang tidak
mampu mengelola Kuria, yang begitu penuh dengan kepentingan dirinya sendiri dan
begitu menginginkan pengakuan, hal itu tidak dapat bekerja. Pasangan kepausan
itu adalah tim yang sangat rentan dan goyah sejak awal, dan kegagalannya dengan
cepat terbukti. "Kami saling percaya, kami baik-baik saja, jadi saya tidak
akan melepaskannya," kata paus emeritus, yang nantinya akan mengkonfirmasi
dengan niat baik dan kemurahan hati, untuk berbicara tentang Bertone.
Kontroversi muncul satu demi satu,
dan dengan kecepatan dan kekerasan yang mengejutkan: selama pidatonya di
Regensburg, paus memprovokasi skandal internasional dengan menyatakan bahwa
Islam pada dasarnya adalah keras, sehingga dia membatalkan semua upaya dialog
antaragama oleh Vatikan (pidatonya tidak dibaca, dan pada akhirnya paus harus
meminta maaf); dengan cepat dan tanpa syarat merehabilitasi kaum
ultra-fundamentalis Lefebvrist, termasuk seorang anti-Semit dan revisionis yang
terkenal jahat, paus dituduh mendukung sayap kanan dan memasuki kontroversi
besar dengan orang-orang Yahudi. Kesalahan komunikasi yang mendasar dan penting
ini dengan cepat melemahkan Bapa Suci. Dan, tak terhindarkan, masa lalunya di organisasi
Hitler Youth, dimunculkan ke permukaan.
Kardinal Bertone segera menjadi pusat
skandal properti besar. Pers, mengambil informasi dari VatiLeaks, menuduhnya
telah merebut sebuah penthouse, seperti Sodano - 350 meter persegi di Palazzo
San Carlo, yang dibangun dengan meruntuhkan bersama dua apartemen sebelumnya -
dan menambahkan teras yang luas, yang berukuran 300 meter persegi. Pekerjaan
restorasi palazzo-nya, sebesar 200.000 euro, dikatakan telah dibiayai oleh
yayasan Rumah Sakit Anak Bambino Gesù. (Paus Francis meminta Bertone untuk
mengembalikan jumlah ini, dan persidangan oleh Vatikan diumumkan terhadap
kardinal mewah luar biasa itu.)
Hanya sedikit yang diketahui tentang
hal itu, tetapi di latar belakang, seorang camarilla gay sedang membangkitkan persekongkolan
dan intrik seperti orang gila. Di antara mereka, para kardinal dan uskup,
semuanya ‘berlatih homosexual,’ sedang melakukan manuver. Perang saraf yang
sesungguhnya dimulai, ditujukan kepada Bertone dan tentu saja, melalui dia, juga
tertuju kepada paus. Latar belakang komplotan ini terdiri dari begitu banyak
kebencian yang dikobarkan kembali, dibumbui fitnah, desas-desus, relasi,
perpisahan yang telah lama terjadi dan kadang-kadang juga kisah cinta, sehingga
sulit untuk mengurai masalah interpersonal dari berbagai pertanyaan mendasar
yang sebenarnya. (Dalam ‘Testimonianza’-nya, Uskup Agung Viganò, menduga
Kardinal Bertone ‘terkenal karena mempromosikan kaum homoseksual kepada posisi yang
memegang tanggung jawab besar di Vatikan.’)
Dalam konteks yang buruk ini,
pengungkapan baru dan serius atas skandal pelecehan seksual mencapai Tahta Suci
dari beberapa negara lain. Sudah di ambang ledakan, Vatikan akan terhanyut oleh
gelombang besar ini, yang dari kasus itu, lebih dari sepuluh tahun kemudian, luka
itu masih belum pulih.
Juga seorang homofobia seperti
Sodano, Bertone memiliki teorinya sendiri dalam masalah pedofil, yang akhirnya
dia sampaikan kepada publik dan pers selama perjalanannya ke Chili, di mana dia
tiba dengan penuh semangat dan diapit oleh asisten favoritnya. Sekretaris
negara itu menyatakan dirinya secara resmi di sini, pada bulan April 2010,
tentang psikologi para pastor pedofil. Kontroversi global baru akan segera meletus.
Inilah yang dikatakan Kardinal
Bertone: “Banyak psikolog, banyak psikiater, telah menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara selibat (imam) dengan pedofilia; tetapi banyak orang lain telah
menunjukkan, saya telah diberitahu baru-baru ini, bahwa ada hubungan antara
homoseksualitas dan pedofilia. Itu benar. Itulah masalahnya.”
Intervensi resmi ini, yang dilakukan
oleh orang nomor dua di Vatikan, tidak luput dari perhatian. Kalimat ini, yang
diucapkan secara samar-samar, memicu kemarahan internasional: dari ratusan tokoh,
termasuk kaum militan LGBT, dan juga para utusan dari Eropa dan para teolog
Katolik, mengecam perkataan wali gereja yang tidak bertanggung jawab itu. Untuk
pertama kalinya, deklarasi itu membawa penolakan yang bijaksana dari dinas
pelayanan pers Vatikan, yang disahkan oleh paus. Bahwa Benediktus XVI muncul
dari bayang-bayang untuk mengungkapkan sedikit ketidaksepakatan dengan 'perdana
menteri' yang homofobia ini, bukanlah tanpa ironi tertentu. Ini adalah momen
yang serius.
Bagaimana Bertone bisa muncul dengan
bahasa yang absurd seperti itu? Saya telah mewawancarai beberapa kardinal dan
wali gereja tentang hal ini: mereka menyatakan kesalahan komunikasi atau
kecanggungan. Hanya satu yang memberi saya penjelasan yang menarik. Menurut pastor
kuria ini, yang bekerja di Vatikan di bawah Benediktus XVI, sikap Bertone
tentang homoseksualitas itu strategis, tetapi juga mencerminkan esensi
pemikirannya. Strategis, terutama, karena itu adalah teknik yang dicoba dan
diuji untuk melemparkan kesalahan pada domba yang hilang yang tidak punya urusan
di Gereja, bukannya mempertanyakan tentang selibat imamat. Pernyataan sekretaris
negara itu juga mencerminkan pemikiran yang mendasarinya, karena, menurut
sumber yang sama, hal itu mencerminkan pemikiran para teoretikus yang dekat
dengan Bertone, seperti Kardinal Alfonso López Trujillo atau pastor psikoanalis
Tony Anatrella. Keduanya berpraktik sangat aktiv sebagai homoseksual.
Untuk ini kami juga harus menambahkan
beberapa konteks yang saya temukan selama perjalanan saya ke Chili. Yang
pertama adalah bahwa kongregasi yang paling terpengaruh oleh pelecehan seksual
di Chili adalah yang dari tempat itu Bertone sendiri muncul: kongregasi
Salesian dari Don Bosco.
Kemudian, dan ini menimbulkan banyak
kegembiraan: ketika Bertone berbicara di depan umum untuk mengecam
homoseksualitas sebagai templat bagi pedofilia, dia dikelilingi oleh ratusan
foto oleh setidaknya dua imam homoseksual yang terkenal kejam. Maka pernyataannya
'kehilangan kredibilitas' sebagai hasil dari fakta sederhana itu, demikian beberapa
sumber mengindikasikan.
Akhirnya, Juan Pablo Hermosilla,
salah satu pengacara utama Chili dalam skandal pelecehan seksual Gereja,
khususnya tentang pastor Fernando Karadima, seorang pedofil aktiv, memberi saya
penjelasan berikut tentang kaitan antara homoseksualitas dan pedofilia, yang
menurut saya cukup relevan.
“Teori saya adalah bahwa para imam
pedofil menggunakan informasi yang dimiliki hierarki Katolik untuk melindungi
dirinya sendiri. Ini adalah bentuk tekanan atau pemerasan. Para uskup yang
memiliki hubungan homoseksual sendiri wajib untuk tidak berkata apapun. Hal ini
menjelaskan mengapa Karadima dilindungi oleh para uskup dan uskup agung: bukan
karena mereka sendiri adalah pedofil, dan kebanyakan dari mereka bukan, tetapi
untuk menghindari penemuan homoseksualitas mereka sendiri. Bagi saya, itu
adalah sumber sebenarnya dari kebusukan yang ditutup-tutupi oleh Gereja.”
Kita bisa melangkah lebih jauh dari
itu. Banyak ekses Gereja, banyak sikap diam, banyak misteri, dijelaskan oleh
aturan sederhana dari Lemari: 'semua
orang saling memperhatikan.' Mengapa para kardinal tidak mengatakan apa-apa? Mengapa
mereka semua menutup mata? Mengapa Paus Benediktus XVI, yang tahu tentang
banyak skandal seksual, tidak pernah dibawa ke pengadilan? Mengapa Kardinal
Bertone, yang hancur oleh serangan Angelo Sodano, tidak mengeluarkan file yang
dia miliki tentang musuhnya? Berbicara tentang orang lain berarti bahwa mereka
berbicara tentang Anda. Itu adalah kunci dari omertà (sikap diam, yang banyak
dilakukan oleh anggota mafia) dan kebohongan umum dari Gereja. Vatikan dan
lemari Vatikan adalah seperti Fight Club - dan aturan pertama dari Fight Club
adalah: Anda tidak boleh berbicara tentang Fight Club.
Sikap homofobia Bertone tidak
menghentikannya membeli sebuah tempat sauna gay di pusat kota Roma. Dalam konteks
seperti itulah, setidaknya, pers menyajikan berita yang luar biasa ini.
Untuk memahami skandal baru ini, saya
pergi ke tempat yang dimaksud, Via Aureliana nmr. 40, sauna Europa Multiclub.
Salah satu tempat gay paling populer di Roma. Ini adalah tempat ‘olahraga-dan-jelajah
nafsu’ dengan sauna dan hammam. Bermain-main adalah dimungkinkan dan legal di
sana, karena klub dianggap sebagai wilayah 'pribadi.' Anda memerlukan kartu
keanggotaan untuk masuk, seperti di sebagian besar tempat gay di Italia – sebuah
kekhasan nasional. Untuk waktu yang lama, kartu keanggotaan itu didistribusikan
oleh asosiasi Arcigay; sekarang dijual seharga 15 euro oleh Anddos, semacam
kelompok lobi untuk pelanggan organisasi gay.
“Kartu keanggotaan adalah wajib untuk
bisa masuk ke sauna, karena undang-undang melarang hubungan seksual di tempat
umum. Kami adalah tempat pribadi," kata Mario Marco Canale, manajer Europa
Multiclub, mengatakan dengan sikap pembenaran diri.
Dia adalah manajer Europa Multiclub
dan presiden asosiasi Anddos. Dia menerima saya ‘mengenakan kedua topi’ di
lokasi penuh kontroversi itu.
Dia melanjutkan, kali ini mengenakan
topi asosiasinya: "Kami memiliki hampir 200.000 anggota di Italia karena
sejumlah besar bar, klub, dan sauna membutuhkan kartu Anddos untuk masuk."
Sistem kartu keanggotaan untuk
tempat-tempat gay ini adalah unik di Eropa. Awalnya, dalam anti-gay, macho
Italy tahun 1980-an, aturan itu dirancang untuk membuat tempat-tempat
homoseksual aman, menjaga pelanggan mereka tetap setia dan melegalkan
seksualitas di tempat itu. Saat ini, ia bertahan karena alasan yang kurang
penting, di bawah tekanan manajer dari 70 klub yang membentuk asosiasi Anddo,
dan mungkin juga karena memungkinkan asosiasi untuk berjuang melawan AIDS dan
menerima subsidi publik dari pemerintah.
Untuk beberapa militan gay yang saya
ajak bicara, "kartu ini adalah sisa-sisa zaman kuno dan sudah saatnya
dibuang." Terlepas dari kemungkinan pengawasan terhadap homoseksual di
Italia (yang dengan tegas ditolak oleh Anddo), menurut seorang aktivis, kartu
ini adalah simbol 'homoseksualitas yang tertutup dan memalukan, dan yang
berupaya untuk menjadikan hal itu sebagai urusan pribadi.'
Saya mewawancarai Marco Canale
tentang kontroversi ini dan banyak artikel pers yang menyajikan Europa
Multiclub sebagai tempat yang dikelola oleh Vatikan, dan tentu saja: oleh
Kardinal Bertone sendiri.
“Di Roma, Anda harus ingat bahwa ada ratusan
bangunan milik Tahta Suci,” Canale memberi tahu saya, tanpa dengan jelas
menyangkal informasi tersebut.
Bahkan, bangunan di sudut Via
Aureliana dan Via Carducci, tempat sauna itu berada, dibeli oleh Vatikan
seharga 20 juta euro pada Mei 2008. Kardinal Bertone, pada waktu itu menjadi 'perdana
menteri' dari Paus Benediktus XVI, yang mengawasi dan mencap stempel operasi
keuangan. Menurut informasi saya, sauna itu hanya mewakili bagian dari kompleks
properti yang luas, juga termasuk apartemen dari sekitar dua puluh imam dan
bahkan satu apartemen kardinal. Beginilah cara pers berhasil menyatukan ‘dua dengan
dua’ dan mendapatkan tajuk utama yang menarik: "Kardinal Tarcisio Bertone
telah membeli sauna gay terbesar di Italia!"
Tetapi skandal itu tetap bersifat amatir,
karena sekretaris negara dan kantornya mampu memberikan lampu hijau untuk pembelian
properti besar ini tanpa ada yang menyadari bahwa tempat itu merupakan sauna
gay terbesar di Italia, yang terlihat dan diketahui oleh semua orang dan terbuka
ke semua jalan. Adapun harga yang dibayarkan oleh Vatikan, tampaknya tidak
biasa: menurut sebuah survei oleh surat kabar Italia La Repubblica, bangunan itu sebelumnya telah dijual dengan harga 9
juta euro, dan oleh karena itu Vatikan telah dikalahkan 11 juta untuk operasi
keuangan ini!
Ketika kami bertemu, Marco Canale merasa
terhibur oleh kontroversi itu, dimana dia juga mengungkapkan adanya motivasi
rahasia lain di baliknya: “Di Europa Multiclub kami menerima banyak pastor dan
bahkan kardinal. Dan setiap kali ada acara yubileum, sinode, atau konklaf, kami
segera sadari: sauna lebih penuh dari biasanya. Terima kasih untuk semua pastor
yang berkunjung!”
Menurut sumber lain, jumlah imam yang
tergabung dalam asosiasi gay Anddo sangat besar. Dimungkinkan untuk
mengetahuinya, karena untuk menjadi anggota Anda harus menyediakan dokumen
identifikasi yang valid; dan profesi orang tersebut muncul pada setiap ID
Italia bahkan meski namanya segera dianonimkan (disamarkan) oleh sistem
komputer.
“Tapi kami bukan polisi. Kami tidak
mengawasi siapa pun. Kami memiliki banyak anggota yang adalah pastor, itu saja!”
kata Conc Canale menyimpulkan.
Kasus lain yang dipermainkan di bawah
Benediktus XVI dan Bertone, tetapi itu hanya akan terungkap di bawah Francis,
menyangkut 'pesta-pesta seks-kimiawi.' Saya telah mendengar sejak lama bahwa
pesta-pesta seperti ini biasa terjadi di dalam Vatikan itu sendiri, pesta pora
kolektif yang nyata, di mana seks dan narkoba digabungkan dalam koktail yang
kadang-kadang sangat berbahaya ('chem' di sini berarti 'bahan kimia' untuk
obat-obatan sintetis, seringkali MDMA, GHB, DOM, DOB dan DiPT).
Untuk sementara waktu, saya pikir ini
hanyalah rumor saja, yang memang ada begitu banyak di Vatikan. Dan kemudian,
tiba-tiba, pada musim panas 2017, pers Italia mengungkapkan bahwa monsignore, pastor
Luigi Capozzi, yang telah menjadi salah satu asisten kepala Kardinal Francesco
Coccopalmerio, telah ditangkap oleh polisi Vatikan karena mengorganisir pesta-pesta
seks di apartemen pribadinya di Vatikan. (Mengenai hal ini saya menanyai
seorang pastor Kuria yang mengenal Capozzi dengan baik, dan saya juga bertemu
dengan Kardinal Coccopalmerio.)
Dekat dengan Tarcisio Bertone, dan
sangat dihargai oleh Kardinal Ratzinger, Capozzi tinggal di sebuah apartemen di
Istana Tahta Suci, dikelilingi oleh empat kardinal, beberapa uskup agung dan
sejumlah wali gereja, termasuk Lech Piechota, asisten Cardinal Bertone, dan
Josef Clemens, yang mantan sekretaris pribadi Kardinal Ratzinger.
Saya tahu gedung ini dengan baik,
karena saya memiliki kesempatan untuk makan di sana puluhan kali: salah satu
pintu masuknya ada di wilayah Italia, yang lain di wilayah Vatikan. Capozzi
memiliki sebuah apartemen yang berlokasi ideal untuk mengatur pesta pora yang
mengejutkan dan sekaligus memalukan itu, karena dia dapat memperoleh keduanya:
polisi Italia tidak dapat menggeledah apartemennya atau kendaraan
diplomatiknya, karena dia tinggal di dalam Vatikan; tetapi dia dapat
meninggalkan rumahnya dengan kebebasan diplomatik, tanpa melewati pemeriksaan
yang dilakukan oleh Tahta Suci atau digeledah oleh Garda Swiss, karena pintu
yang terbuka langsung ke Italia. Seluruh ritual yang dilakukan di dalam: 'pesta
sex dan narkoba kimia' berlangsung dalam cahaya merah yang redup, dengan mengkonsumsi
sejumlah besar obat-obatan keras, gelas-gelas cannabis vodka dan tamu-tamu yang
sangat penuh dengan nafsu bejat. 'Malam-malam neraka' yang sesungguhnya!
Menurut para saksi yang saya
wawancarai, homoseksualitas Capozzi telah menjadi pengetahuan umum - dan oleh
karena itu juga diketahui oleh atasannya, oleh Kardinal Coccopalmerio dan
Tarcisio Bertone – terlebih lagi mengingat pastor Capozzi tidak sungkan-sungkan
lagi untuk pergi ke klub-klub gay Roma atau, di klub musim panas, menghadiri
pesta-pesta besar LGBT yang diadakan di Fantasia Gay Village di selatan
ibukota.
"Selama pesta-pesta chem-sex
itu, ada juga imam-imam dan karyawan Vatikan," kata satu saksi
menambahkan, seorang monsignore, yang ikut serta dalam pesta-pesta ini.
Sejak fakta ini, Luigi Capozzi telah
dirawat di rumah sakit di Klinik Pius XI, dan belum boleh berkomunikasi dengan
dunia luar. (Dia masih dianggap tidak bersalah, karena persidangannya atas
tuduhan penggunaan dan kepemilikan obat-obat terlarang belum terjadi.)
Jadi, kepausan Benediktus XVI mulai
berjalan dan berkembang dengan proliferasi skandal yang sangat cepat dan tak
terkendali. Atas masalah gay, perang melawan kaum homoseksual berlanjut tanpa
henti, seperti pada zaman Yohanes Paulus II, dan kemunafikan menjadi lebih dari
saat sebelumnya di jantung dari sistem. Kebencian terhadap homoseksual di luar;
homofilia dan kehidupan ganda di dalam. Sirkus ini terus berlanjut.
'Kepausan paling gay dalam sejarah,'
ungkapan ini berasal dari mantan wali gereja Krzysztof Charamsa. Ketika saya
mewawancarainya di Barcelona, dan kemudian di Paris, imam ini yang telah
bekerja di samping Joseph Ratzinger untuk waktu yang lama, mengulangi ungkapan
tentang Benediktus XVI ini beberapa kali: ‘kepausan paling gay dalam sejarah.’
Imam Kuria, Don Julius, yang mencatat bahwa 'sulit untuk menjadi heteroseksual
di bawah pemerintahan Benediktus XVI,' bahkan jika ada beberapa pengecualian
langka, dia menggunakan ekspresi kuat untuk menggambarkan rombongan paus: 'lima
puluh (persen) bernuansa gay.'
Francis sendiri, yang jelas lebih
langsung daripada pendahulunya, menekankan paradoks rombongan yang tidak wajar ini,
dengan menggunakan frasa yang tajam untuk menyerang Ratzingerians: 'narsisme
teologis.' Kode lain yang dia gunakan untuk menyiratkan homoseksualitas adalah
'referensi diri.' Sikap kaku seseorang, seperti yang kita tahu, seringkali
menyembunyikan kehidupan ganda.
"Saya merasakan kesedihan yang
mendalam ketika memikirkan tentang kepausan Benediktus, salah satu momen paling
gelap bagi Gereja, di mana sikap homofobia merupakan upaya terus-menerus dan
putus asa untuk menyembunyikan keberadaan homoseksualitas," kata Charamsa
kepada saya.
Selama masa kepausan Benediktus XVI,
semakin tinggi hierarki Vatikan yang Anda tuju, semakin banyak homoseksual yang
Anda temukan. Mayoritas kardinal yang diangkat paus, dikatakan paling tidak: adalah
seorang homofil, dan beberapa bahkan sangat 'berlatih’ atau aktiv.
“Di bawah Benediktus XVI, seorang
uskup homoseksual yang tampak seperti orang suci, memiliki peluang lebih besar
untuk menjadi seorang kardinal daripada seorang uskup heteroseksual,” demikian saya
diberitahu oleh seorang biarawan Dominikan yang terkenal, seorang pengagum
pikiran Ratzingerian yang tajam, yang mempertahankan tahta Benediktus XVI di
Regensburg.
Setiap kali dia bepergian, paus
ditemani oleh beberapa kolaborator terdekatnya. Di antara mereka ada seorang wali
gereja terkenal yang dijuluki Mgr. Jessica oleh pers, yang mengklaim dia
memanfaatkan kunjungan rutin Bapa Suci ke gereja Saint Sabina di Roma, yang
menjadi markas besar kaum Dominikan, dan kemudian memberikan kartu kunjungannya
kepada para biarawan muda. 'Jalur penjemputan'-nya dibahas oleh seluruh dunia
ketika terungkap dalam sebuah laporan oleh majalah Vanity Fair, bahwa dia berusaha untuk mengusulkan para seminaris
dengan menyarankan agar mereka pergi dan melihat ranjang John XXIII!
“Dia sangat ‘sensitif’ dan sangat
akrab dengan para seminaris," kata pastor Urien, yang menyaksikan Mgr.
Jessica beraksi.
Dua uskup yang sangat gay lainnya
ditugaskan membantu paus, dan menyelimuti Ratzinger dengan kasih sayang mereka
dan dekat dengan menteri luar negeri Bertone, yang juga senang dalam mengejar
anak laki-laki. Setelah mengasah teknik mereka di bawah Yohanes Paulus II,
mereka terus menyempurnakan ‘keahlian’ mereka di bawah Ratzinger. (Saya bertemu
keduanya, bersama dengan Daniele, pembantu saya dalam menulis buku ini, dan
salah satu dari mereka mendatangi kami dengan tekun.)
Di Vatikan, semua ini menjadi topik
perbincangan yang begitu dominan sehingga beberapa pastor menjadi jengkel.
Jadi, misalnya, uskup agung dan nuncio Angelo Mottola, yang memegang jabatan di
Iran dan Montenegro, berbicara kepada Kardinal Tauran dalam salah satu
kunjungannya ke Roma dan berkata (menurut seorang saksi mata): "Saya tidak
mengerti mengapa paus ini [Benediktus XVI] mengutuk kaum homoseksual ketika dia
sendiri mengelilingi dirinya dengan semua ‘ricchioni’ ini (kata Italia, sulit
diterjemahkan, tetapi kata 'homo' akan menjadi makna yang terdekat).
Paus tidak mengindahkan desas-desus,
dan hanya mengejar tujuannya sendiri. Ketika lukisan Santo Yohanes Pembaptis karya Leonardo da Vinci ditampilkan di
Palazzo Venezia di Roma, selama tur panjang yang diselenggarakan oleh Louvre
setelah restorasi, dia memutuskan untuk pergi ke sana dengan segala
kebesarannya. Benediktus XVI, dikelilingi oleh rombongannya, melakukan perjalanan
khusus. Apakah androgyne dengan rambut pirang-keriting Venesia yang menariknya,
atau jari telunjuk tangan kiri 'putra guntur' ini menunjuk ke surga? Direstorasi
dan nampak megah, lukisan Santo Yohanes
Pembaptis itu baru saja keluar, dan paus tidak mau ketinggalan acara. (Model
untuk lukisan Santo Yohanes Pembaptis
diyakini adalah Salai, seorang bocah miskin dan nakal dengan kecantikan
malaikat dan androgini yang intens, yang kebetulan ditemui Leonardo da Vinci di
jalan-jalan Milan pada 1490: 'setan kecil' ini dengan rambut ikal panjang tetap
menjadi kekasihnya untuk waktu yang lama.)
Di lain waktu, pada 2010, saat
audiensi umum, paus menyaksikan pertunjukan tarian singkat di Aula Paul VI:
empat pemain akrobat seksi naik ke atas panggung dan, di depan mata kagum Bapa
Suci itu, tiba-tiba mereka membuka pakaian dan melepaskan kaus mereka. Bertelanjang
dada, penuh dengan semangat kaum muda dan kecantikan, mereka kemudian
menampilkan nomor ceria yang dapat ditemukan di YouTube. Duduk di atas takhta
kepausan putihnya yang besar, Bapa Suci bangkit secara spontan, kewalahan,
untuk memberi hormat kepada mereka. Di belakangnya, ada Kardinal Bertone dan
Georg Gänswein bertepuk tangan dengan antusias. Belakangan diketahui bahwa
rombongan kecil itu memiliki kesuksesan yang sama di Gay Pride (acara pawai
kaum gay) di Barcelona. Mungkinkah seorang anggota rombongan paus telah
melihatnya di sana?
Tak satu pun dari semua ini
menghentikan paus, sekali lagi, dalam melipatgandakan serangannya terhadap kaum
gay. Ketika baru terpilih, dan dengan mempertimbangkan fakta bahwa 'budaya
homoseksual terus berkembang,’ Benediktus XVI, pada akhir 2005, sudah meminta
Kongregasi Doktrin Iman untuk menulis teks baru yang mengutuk homoseksualitas
bahkan lebih keras lagi. Ada perdebatan sengit di antara rombongannya untuk
memutuskan apakah itu harus berupa ensiklik atau 'dokumen' biasa. Teks itu
akhirnya diselesaikan dalam versi yang sangat halus, yang diedarkan untuk mengundang
komentar, karena sudah menjadi aturan, di antara anggota Dewan Kongregasi untuk
Ajaran Iman (salah satu imam yang membantu Kardinal Jean-Louis Tauran memiliki
akses kepada dokumen ini dan menjelaskannya kepada saya secara rinci). Kejahatan
dari teks itu sangat mengejutkan, menurut imam ini, yang juga membaca pendapat
para konsultan dan anggota Kongregasi, di antara mereka adalah Kardinal
Jean-Louis Tauran sendiri, mengenai file tersebut (termasuk yang dari para
uskup dan kardinal masa depan Albert Vanhoye dan Giovanni Lajolo, dan Uskup
Enrico Dal Covolo, ketiganya sangat homofobik dalam komentar mereka.) Pastor itu
ingat akan istilah abad pertengahan tentang 'dosa yang tidak wajar,'
'keburukan' kaum homoseksual dan, tentunya juga, 'kekuatan dari lobi gay
internasional.'
“Beberapa orang yang dimintai konsultasi
berpendapat untuk melakukan intervensi yang kuat dalam bentuk ensiklik; yang
lain merekomendasikan pembuatan dokumen yang kurang penting; yang lain lagi
menyarankan, mengingat risiko konsekuensi kontraproduktif, untuk tidak kembali
kepada pertanyaan ini,” kata imam itu.
Pilihan menerbitkan ensiklik akhirnya
ditinggalkan, rombongan paus sekali lagi membujuknya untuk kembali kepada topik
semula – sudah terlalu sering? Tetapi semangat dari teks itu akan terus hidup.
Dalam sebuah konteks yang menandai
sebuah akhir dari suatu era, setelah kurang dari lima tahun masa kepausan,
mesin Vatikan terhenti hampir sepenuhnya. Benediktus XVI mundur, menjadi malu
dan bahkan mulai sering menangis. Wakil paus, Bertone, yang secara alami merasa
curiga, menjadi benar-benar paranoid. Dia melihat adanya plot atau
persekongkolan di mana-mana, intrik, serba tersembunyi! Menanggapi hal ini dia
dikatakan telah mengintensifkan pengawasannya, rumor bekerja lembur, file-file
terisi penuh dan ada peningkatan jumlah penyadapan oleh polisi Vatikan.
Di kementerian dan pada berbagai
kongregasi di Vatikan, ada banyak yang mengundurkan diri, baik sukarela atau
dipaksa. Di Sekretariat Negara, pusat kekuatan saraf Vatikan, Bertone
bertanggung jawab secara pribadi atas proses ‘pembersihan personil’ di musim
semi, sehingga menyulut kecurigaan bahwa dia adalah pengkhianat terhadap lebih
banyak karakter pintar yang mungkin telah mampu mengalahkannya. Jadi, ada
banyak Yudas, Petrus dan Johanes, yang semuanya tinggal di bawah satu atap, yang
diminta untuk meninggalkan ‘Perjamuan Malam Terakhir.’
Tarcisio Bertone menyingkirkan dua
nuncio paling berpengalaman di Sekretariat Negara: Mgr. Gabriele Caccia,
diasingkan ke Lebanon (tempat saya bertemu dengannya); dan Pietro Parolin
dikirim ke Venezuela.
“Ketika Caccia dan Parolin pergi,
Bertone ditinggalkan sendirian. Sistem, yang secara serius sudah tak berfungsi,
runtuh dengan kejam," demikian kata seorang pengamat Vatikan Amerika,
Robert Carl Mickens.
Banyak orang mulai meminta audiensi
dengan paus tanpa harus melalui sekretaris negara yang sedang bermasalah.
Sodano melaporkan semua yang dia miliki di hatinya kepada paus; dan Georg
Gänswein, yang didekati langsung untuk membuat hubungan pintas dengan Bertone,
menerima semua ketidakpuasan ini, yang membentuk antrian panjang di luar
kantornya. Dan sementara kepausan berada dalam pergolakan kematian, empat
kardinal penting - Schönborn, Scola, Bagnasco dan Ruini - tiba-tiba muncul
untuk meminta audiensi dengan Benediktus XVI. Para ahli intrik Vatikan ini,
penikmat rakus dari kebiasaan buruk kuria, mengusulkan agar Bertone segera
diganti. Dan seolah-olah secara kebetulan, aksi mereka bocor kepada pers. Paus
tidak mau mendengar sepatah katapun, dan memotongnya. Bertone berdiri kaku, cukup!’
Tidak diragukan bahwa homoseksualitas
telah menjadi jantung dari banyak intrik dan skandal dalam kepausan. Tetapi
akan menjadi kesalahan di sini jika kita menentang kedua kubu, seperti yang
dilakukan beberapa pihak: yang satu 'ramah' (homofil) dan yang lain homofobik,
atau yang satu 'tertutup' versus heteroseksual ‘murni dan terbuka.’ Kepausan
Benediktus XVI, dimana skandal-skandalnya, di satu sisi, adalah produk 'lingkaran
nafsu' yang mulai bersinar sejak Yohanes Paulus II, sebenarnya menentang
beberapa klan homoseksual yang semuanya memiliki sikap homofobia yang sama. Di
bawah kepausan ini, semua, atau hampir semua, adalah lempengan dari blok yang
sama.
Perang dilancarkan melawan kaum gay,
kondom, dan perkawinan sipil. Tetapi sementara pada 2005, dengan terpilihnya
Joseph Ratzinger, pernikahan gay masih merupakan fenomena yang sangat terbatas.
Delapan tahun kemudian, pada saat pengunduran diri Benediktus XVI, pernikahan
gay itu menjadi hampir universal di seluruh Eropa dan Amerika Latin. Kepausan yang
singkat ini dapat dikatakan sebagai bentuk serangkaian kekalahan yang luar
biasa dari pertempuran-pertempuran sebelumnya. Tidak ada paus dalam sejarah
modern yang begitu anti-gay; dan tidak ada paus yang secara tak berdaya
menyaksikan momentum semacam itu demi hak-hak kaum gay dan lesbian. Segera,
hampir tiga puluh negara mengakui pernikahan sesama jenis, termasuk Jerman,
tempat kelahiran Paus, yang pada tahun
2018, oleh mayoritas parlemen yang sangat besar, bersedia menerima
undang-undang yang telah ditolak Joseph Ratzinger sepanjang hidupnya.
Namun, Benediktus XVI tidak pernah
berhenti berjuang. Daftar ‘lembu jantan dan celana pendek,’ intervensinya,
surat-suratnya, pesan-pesannya, dalam menentang pernikahan gay, tidak ada
habisnya. Dalam penghinaan terbuka terhadap pemisahan antara Gereja dan Negara,
dia sering melakukan intervensi dalam debat publik, dan di latar belakang,
Vatikan tampak memanipulasi semua demonstrasi anti-pernikahan-gay. Itu adalah
kegagalan yang sama setiap saat. Tapi yang sangat terang di sini, lagi, adalah
bahwa banyak dari mereka yang terlibat dalam pertempuran itu, mereka sendiri adalah
homofilik, mereka menyukai homosex, orang-orang 'di dalam lemari' atau ‘sedang
berlatih.’ Mereka sering berasal 'dari
dalam paroki.'
Perang gerilya melawan pernikahan gay
dilakukan, di bawah otoritas paus, oleh sembilan orang: Tarcisio Bertone,
sekretaris negara, dibantu oleh wakilnya Leonardo Sandri, sebagai pengganti
atau 'menteri' dalam negeri, Fernando Filoni, dan Dominique Mamberti, sebagai
'menteri' urusan luar negeri, serta oleh William Levada dan kemudian Gerhard
Müller, yang menjabat sebagai kepala Kongregasi untuk Ajaran Iman. Giovanni
Battista Re dan Marc Ouellet memainkan peran yang sama dalam Kongregasi untuk
Para Uskup. Dan, tentu saja, Kardinal Alfonso López Trujillo, kepala Dewan
Kepausan untuk Keluarga, yang sangat marah terhadap pernikahan gay.
Mari kita ambil contoh lain dari Ratzingerian,
kardinal Swiss Kurt Koch, seorang uskup dari Basel, yang dipanggil paus bergabung
kedalam Kuria pada tahun 2010. Pada saat yang sama, jurnalis Michael Meier,
seorang spesialis pertanyaan keagamaan di Tages-Anzeiger, dimana surat kabar
utama Swiss berbahasa Jerman, menerbitkan laporan panjang tentang kardinal Koch
berdasarkan beberapa pernyataan saksi mata dan dokumen asli. Di dalamnya, Meier
mengungkapkan keberadaan sebuah buku yang diterbitkan oleh Koch, tetapi yang
anehnya telah hilang dari bibliografinya, Lebensspiel der Freundschaft,
Meditativer Brief an meine Freund (secara harfiah berarti : Permainan
Persahabatan: Sebuah Surat Permenungan untuk Teman Saya). Buku ini, saya punya
salinannya, dibaca sebagai surat cinta sejati untuk seorang teolog muda. Meier
juga menggambarkan secara rinci rombongan kardinal yang sensitif. Dia
mengungkapkan adanya sebuah apartemen rahasia yang seharusnya dibagi antara
kardinal Koch dengan pastor lain, dan menyiratkan bahwa kardinal Koch menjalani
kehidupan ganda. Dan Koch tidak pernah secara terbuka menentang hal ini.
"Semua orang mengerti bahwa kardinal
Koch tidak nyaman di kulitnya," kata Michael Meier pada beberapa wawancara
di apartemennya di Zurich. Sepengetahuan saya, artikel Meier tidak pernah
dikritik oleh Koch; dia tidak pernah menggunakan haknya untuk membalas.
Apakah Koch adalah korban pengaduan
fitnah oleh rombongannya? Faktanya tetap bahwa Ratzinger membawa kardinal Koch
kedalam Kuria-nya. Dengan menjadikannya sebagai kardinal dan kemudian menjadikannya
sebagai menteri ‘ekumenisme,’ maka dia bisa dengan lembut memerasnya untuk
keluar dari Basel. (Kardinal Koch menolak untuk menjawab pertanyaan saya,
tetapi di Roma saya menanyai salah satu wakilnya, Pastor Hyacinthe Destivelle,
yang dengan panjang lebar menggambarkan 'Schülerkreis,' lingkaran murid
Ratzinger yang menjadi tanggung jawab Koch.)
Namun, di Italia, sikap homofobia keras
dari Benediktus XVI mulai menjengkelkan lingkungannya yang ramah-gay. Itu
semakin tidak sesuai dengan opini publik (orang Italia mengerti logikanya!) dan
para aktivis LGBT melawan. Waktu terus berubah. Paus akan mengetahui ini karena
kerugian yang dialaminya.
Dengan secara tragis melawan
pertempuran yang salah – paus pada dasarnya menyerang homoseksualitas,
sementara itu dia hampir tidak menghadapi pedofilia sama sekali – Bapa Suci pertama
kali kehilangan kampanye moral. Dia akan diserang sampai pada tingkat pribadi
lebih dari paus lain yang berkuasa sebelum dia. Saat ini sulit untuk
membayangkan kritik yang diarahkan kepada Paus Benediktus XVI selama masa
kepausannya. Dijuluki, dalam istilah yang luar biasa, 'Passivo e Bianco' oleh
kalangan homoseksual Italia, dia secara teratur dikecam sebagai orang 'di dalam lemari,' dan kemudian berubah
menjadi simbol homofobia yang diinternalisasi. Dia secara efektif ‘disalibkan’
oleh aktivis LGBT dan media.
Dalam arsip asosiasi gay Italia, di
internet dan di web, saya telah menemukan banyak artikel, traktat, dan
foto-foto yang menggambarkan perang gerilya ini. Kemungkinan besar tidak ada
paus yang begitu dibenci dalam sejarah modern Vatikan.
“Saya belum pernah melihat yang
seperti ini. Itu benar-benar banjir artikel yang terus menerus bermunculan,
desas-desus, serangan dari semua pihak, artikel kekerasan oleh blogger, surat penghinaan,
dalam setiap bahasa, dari semua negara. Kemunafikan, kepalsuan, ketidaktulusan,
transaksi ganda, homofobia yang diinternalisasi, dia dituduh melakukan semua hal
yang memuakkan ini," saya diberitahu oleh seorang pastor yang bekerja di
kantor pers Vatikan pada waktu itu.
Pada demonstrasi
kaum gay yang
mendukung perkawinan sipil di Italia pada 2007, saya melihat plakat
bertuliskan:: Joseph e Georg, Lottiamo anche per voi ’(Joseph Ratzinger dan
Georg Gänswein, kami
juga berjuang untuk Anda). Atau tulisan ini: ‘Il Papa è Gay come Noi’ (Paus
adalah gay seperti kita).
Dalam sebuah buku kecil yang cukup sukses,
tetapi hal itu mengejutkan orang-orang karena keberaniannya, jurnalis anarkis
dan tokoh terkenal di panggung bawah tanah Italia, Angelo Quattrocchi,
benar-benar mengalahkan Benediktus XVI. Berjudul: ‘Paus BUKAN Gay.’ Buku itu, ironisnya, menyatukan banyak foto feminin
dan banci dari paus dan anak didiknya, Georg Gänswein. Teks buku itu sendiri biasa-biasa
saja dan penuh dengan kesalahan faktual, dan tidak termasuk bukti apa yang
disarankan atau informasi baru; tetapi foto-foto itu menggambarkan bromance (relasi
erat antara dua pria) mereka dan sangat lucu. Dengan julukan 'Paus Merah Muda,'
(merah muda adalah warna khas dari kelompok gay) Ratzinger ditampilkan dari
setiap sudut.
Pada saat yang sama, nama panggilan
Benediktus XVI berkembang biak, masing-masing lebih kejam daripada yang terakhir:
salah satu yang terburuk, selain nama julukan 'Passivo e bianco', adalah 'La
Maledetta' ('yang dikutuk,' dan sebuah permainan pada kata 'Benedetto') .
Mantan teman sekelas atau siswa yang
mengenal paus juga mulai berbicara, seperti penulis Jerman Uta Ranke-Heinemann,
yang belajar bersamanya di Universitas Munich. Pada usia 84 dia menyatakan
bahwa, dalam pandangannya, paus adalah gay. (Namun dia tidak memberikan bukti selain
kesaksian verbalnya sendiri.)
Semua orang di dunia, lusinan
asosiasi LGBT, berbagai outlet media gay, serta pers tabloid di Inggris dan di
tempat-tempat lain, ikut terjun ke dalam kampanye gila-gilaan guna melawan
Ratzinger. Dan betapa tajamnya para kolumnis selebriti dalam menggunakan kata sindiran
dan cemoohan, kata-kata yang terselubung serta permainan kata yang cerdas,
untuk mengatakan sesuatu yang buruk tanpa benar-benar mengatakannya!
Seorang blogger Amerika yang terkenal,
Andrew Sullivan - seorang polemik konservatif yang terkenal dan aktivis gay sejak
lama - menyerang paus dalam sebuah artikel yang kemudian mendapatkan kesuksesan
besar. Dampak serangannya semakin besar bagi Sullivan (dirinya sendiri beragama
Katolik.) Bagi Sullivan, tidak ada keraguan bahwa paus itu gay, meskipun dia tidak
bisa memberikan bukti apa pun di luar perlengkapan Benediktus XVI yang mewah
dan relasinya yang amat erat dengan Georg Gänswein.
Setiap kali, kampanye ini secara
khusus menargetkan Georg Gänswein, yang umumnya digambarkan sebagai 'favorit'
Ratzinger, 'rumor pacar’ dan 'mitra hidup Bapa Suci.' Di Jerman, Georg
dijuluki, dalam pengucapan nama depannya: ‘gay.org’.
Begitu kasarnya tuduhan-tuduhan itu hingga
ada salah satu pastor gay yang dituduh melakukan kebiasaan ‘berlayar’ di
taman-taman kota Roma dan memperkenalkan dirinya sebagai ‘Georg Gänswein,
sekretaris pribadi paus,' Ini adalah sebuah tuduhan ngawur, tentu saja, tetapi
mungkin membantu memperkuat rumor yang telah ada. Ceritanya mengingatkan kita
tentang teknik penulis hebat André Gide, yang setelah bercinta dengan
cowok-cowok cantik di Afrika Utara, berkata kepada mereka (menurut salah satu
penulis biografinya): “Ingatlah bahwa Anda pernah tidur dengan salah satu
penulis Perancis terhebat: François Mauriac!”
Bagaimana kita bisa menjelaskan
penganiayaan yang kasar seperti itu? Pertama-tama, ada wacana anti-homoseksual
dari Benediktus XVI, yang secara alami mengundang serangan seperti itu, karena,
sebagaimana ungkapan itu, dia seakan telah menciptakan tongkat untuk dipukulkan
pada punggungnya sendiri.
Itu adalah fakta: Paus telah melupakan
Injil Lukas: “Jangan menghakimi, agar kamu tidak dihakimi; jangan menghukum,
agar kamu tidak dihukum.”
Mantan pastor Kuria, Francesco
Lepore, dalam salah satu bukunya memuat kata pengantar yang ditulis oleh Joseph
Ratzinger, dan dia mengatakan kepada saya: “Sudah jelas bahwa seorang paus yang
begitu halus, begitu banci dan sangat dekat dengan sekretaris pribadinya yang
luar biasa, menjadi sasaran empuk bagi aktivis gay. Tetapi terutama karena sikapnya
yang sangat homofobik, hingga serangan-serangan ini diarahkan kepadanya. Banyak
orang mengatakan bahwa dia adalah seorang homoseksual yang tertutup, tetapi
tidak ada yang bisa memberikan bukti. Secara pribadi saya pikir dia homofilik,
karena ada begitu banyak petunjuk ke arah itu, tetapi pada saat yang sama saya
pikir dia tidak pernah melakukannya."
Seorang pastor Italia lainnya yang
bekerja di Vatikan menempatkan sudut pandang ini dalam perspektif. “Gambar-gambar
itu memang ada, dan memang benar bahwa setiap gay yang melihat foto-foto Benediktus
XVI, senyumnya, kiprahnya, sikapnya, mungkin berpikir bahwa dia adalah homoseksual.
Semua penolakan di dunia tidak akan menggoyahkan keyakinan mendalam yang
dimiliki orang-orang. Selain itu - dan inilah jebakannya - sebagai seorang pastor
dia tidak dapat menyangkal rumor ini, karena dia tidak dapat memiliki istri
atau wanita simpanan. Seorang pastor tidak akan pernah bisa membuktikan bahwa
dia heteroseksual!”
Federico Lombardi, juru bicara Benediktus
XVI dan direktur Yayasan Ratzinger saat ini, tidak tergerak oleh gelombang
kritik yang berlanjut hingga hari ini. “Anda tahu, saya hidup melewati krisis
Irlandia, krisis Jerman, krisis Meksiko ... Saya pikir sejarah akan memberikan
penghormatan kepada Benediktus XVI atas masalah pedofilia, di mana dia
mengklarifikasi posisi Gereja dan mengecam pelecehan seksual. Dia lebih berani
daripada siapa pun."
Semua ini memberi kita dengan fakta
mengenai 'lobi gay,' yang meracuni kepausan dan merupakan obsesi sejati
Ratzinger. Baik nyata atau pun yang hanya dibayangkan, Benediktus XVI masih
merasa bahwa dia ditaruh dalam posisi yang sulit oleh 'lobi' ini, yang, dalam
Perjanjian Terakhirnya, dia dengan cepat memberi selamat kepada dirinya sendiri
karena telah berhenti menjadi paus! Francis, juga mengecam 'lobi gay' dalam
jawabannya yang terkenal: 'Siapakah saya hingga berhak menghakimi?' (dan juga dalam
percakapan pertamanya dengan Jesuit Antonio Spadaro).
Atas dasar ratusan wawancara yang
dilakukan untuk buku ini, saya sampai pada kesimpulan bahwa lobi (gay) semacam
itu tidak ada dalam arti yang tepat dari istilah tersebut. Jika ya, freemasonry
rahasia semacam ini harus berhasil karena suatu alasan, dalam hal ini: untuk promosi
kaum homoseksual. Tidak ada hal seperti itu di Vatikan. Jika lobi gay memang
ada di sana, itu tidak akan sesuai dengan namanya, karena sebagian besar
kardinal dan uskup homoseksual di Tahta Suci umumnya bertindak melawan
kepentingan kaum gay.
"Saya pikir, berbicara tentang
lobi gay di Vatikan adalah sebuah kesalahan," kata mantan pastor Kuria,
Francesco Lepore, membenarkan. Lobi itu akan menyiratkan adanya struktur
kekuasaan yang secara diam-diam berusaha mencapai sebuah tujuan. Hal itu adalah
tidak mungkin dan tidak masuk akal. Kenyataannya adalah bahwa di Vatikan ada
mayoritas homoseksual yang berkuasa. Karena malu, karena kekuasaan, tetapi juga
karena karier, para kardinal ini, para uskup agung ini, para imam ini, ingin
melindungi kekuasaan mereka dan kehidupan rahasia mereka. Orang-orang ini tidak
punya niat melakukan apa pun terhadap kaum homoseksual. Mereka membohongi orang-orang
lain, dan terkadang mereka membohongi diri mereka sendiri. Tapi, memang tidak
ada lobi sama sekali."
Di sini saya akan mengedepankan
konsep lain yang menurut saya memberikan citra yang lebih baik, bukan sekadar
'lobi' tetapi tentang kehidupan gay di Vatikan: yaitu 'rimpang'. Dalam ilmu botani,
rimpang adalah tanaman yang tidak hanya memiliki akar bawah tanah tetapi juga
vegetasi yang kaya dengan konsekuensi horisontal dan vertikal, berkembang biak ke
mana-mana, ke titik yang orang tidak lagi tahu apakah tanaman itu di bawah atau
di atas tanah, atau mana akar dan mana batang atas. Pada tingkat sosial,
'rimpang' (gambaran yang saya pinjam dari buku A Thousand Plateaux oleh para filsuf Gilles Deleuze dan Félix
Guattari) adalah jaringan hubungan dan penghubung yang sepenuhnya
terdesentralisasi, tidak teratur, tanpa permulaan atau batasan; setiap cabang
rimpang dapat terhubung dengan yang lain, tanpa hierarki atau logika, tanpa
pusat.
Kehidupan homoseksual di Vatikan, dan
lebih luas di Gereja Katolik, berbentuk persekutuan bawah tanah, dan bagi saya hal
itu tampak terstruktur sebagai rimpang. Dengan dinamika internalnya sendiri,
yang energinya berasal dari hasrat sexual dan kerahasiaan, homoseksualitas
menghubungkan ratusan uskup dan kardinal dengan cara yang lolos dari pantauan hierarki
dan kode-kodenya sendiri.
Berdasarkan fakta ini - yang
melibatkan multiplisitas, akselerasi, derivasi - ia menciptakan hubungan multi
arah yang tak terhitung jumlahnya: hubungan cinta, para penghubung seksual,
perpisahan emosional, pertemanan, pengaturan timbal balik, situasi
ketergantungan dan promosi profesional, penyalahgunaan posisi yang dominan dan
pembongkaran ‘hak dari para tuan besar;’ namun demikian garis-garis sebab-akibat,
percabangan dan hubungan-hubungan tidak dapat secara jelas dibangun atau diurai
dari luar.
Setiap 'cabang' dari rimpang,
masing-masing 'fragmen' dari Karya Besar, sering mengabaikan seksualitas pada cabang-cabang
lain: itu adalah homoseksualitas pada tingkat yang berbeda, 'laci yang terisolasi’
dari lemari yang sama (ahli teologi Amerika, Mark Jordan, memilih sebuah gambaran
yang berbeda, membandingkan Vatikan dengan ‘sarang lebah lemari': ini dibangun
dari begitu banyak lemari-lemari kecil, setiap pastor homoseksual akan terisolir
sampai pada batas ruangannya sendiri). Jadi Anda tidak boleh meremehkan buramnya
individu tertentu, dan isolasi yang mereka rasakan, bahkan ketika mereka adalah
bagian dari rimpang. Sekumpulan makhluk lemah yang persatuannya tidak
menghasilkan kekuatan, itu adalah jaringan di mana setiap orang menjadi rentan
dan sering tidak bahagia. Dan dengan cara ini, kita dapat menjelaskan mengapa
beberapa uskup dan kardinal yang saya wawancarai, bahkan ketika mereka sendiri adalah
seorang gay, merasa sangat terkejut demi menyadari tingkat homoseksualitas yang
ada di dalam Vatikan.
Pada akhirnya, ribuan kontingen
homoseksual yang kuat di Vatikan, rimpang yang sangat padat dan rahasia ini,
lebih dari sekadar 'lobi.' Itu adalah sebuah sistem. Ini adalah template dari lemari Vatikan.
Apakah Cardinal Ratzinger memahami
sistem itu? Tidak mungkin bisa dikatakan. Di sisi lain, jelas bahwa Paus
Francis menemukan adanya sumber daya dan merebaknya ‘rimpang,’ ketika dia naik
ke Tahta Santo Petrus. Dan kita tidak dapat memahami VatiLeaks, perang terhadap
Francis, budaya diam tentang ribuan kasus pelecehan seksual, homofobia para
kardinal yang terus berulang, atau memang pengunduran diri Benediktus XVI, jika
kita tak bisa mengukur tingkat dan kedalaman dari rimpang.
Jadi tidak ada 'lobi gay'; tetapi ada
sesuatu yang lain di Vatikan: jaringan hubungan polimorfik yang homofilik atau
homoseksual, tanpa memiliki sebuah pusat, tetapi didominasi oleh kerahasiaan,
kehidupan ganda dan kebohongan, dibangun sebagai sebuah 'rimpang'. Yang bisa kita
sebut juga sebagai: Lemari.
*****
PESTA
GAY DAN COCAIN DI VATIKAN: SEORANG MGR (MONSIGNOR) TERLIBAT
No comments:
Post a Comment