DI DALAM LEMARI VATIKAN
Frếdếric Martel
KEKUASAAN
HOMOSEXUALITAS
KEMUNAFIKAN
DAFTAR ISI
CATATAN DARI
PENULIS DAN PENERBIT
|
|
Bab 1. Domus Sanctae Marthae
|
|
Bab 2. Teori Gender
|
|
Bab 3. Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?
|
|
Bab 4. Buenos Aires
|
|
Bab 5. Sinode
|
|
Bab 6. Roma Termini
|
|
BAGIAN II - PAULUS
|
Bab 7. Kode Maritain
|
Bab 8. Persahabatan
Yang Penuh Cinta
|
|
BAGIAN III – YOHANES PAULUS
|
Bab 9. Kolese Suci
|
Bab 10. Legiun
Kristus
|
|
Bab 11. Lingkaran
Nafsu
|
|
Bab 12. Garda Swiss
|
|
Bab 13. Perang Salib
Melawan Gay
|
|
Bab 14. Diplomasi
Paus
|
|
Bab 15. Rumah Tangga
Aneh
|
|
Bab 16. Rouco
|
|
Bab 17. CEI
(Konferensi Episkopal Italia)
|
|
Bab 18. Seminaris
|
|
BAGIAN IV - BENEDICTUS
|
Bab 19. Pasif Dan
Putih
|
Bab 20. Wakil Paus
|
|
Bab 21. Para
Pembangkang
|
|
Bab 22. VatiLeaks
|
BAGIAN IV
Benediktus
Bab 22
VatiLeaks
(Bocoran data rahasia Vatikan)
Pelayan yang terlalu ingin tahu:
kurang lebih seperti inilah penjelasan resmi yang diberikan bagi kasus yang
dikenal hari ini dengan nama 'VatiLeaks.' Tesis ini, dibenarkan oleh Tahta Suci,
dan telah diulangi berkali-kali oleh para pengamat Vatikan yang lebih naif. Ungkapan
'VatiLeaks' juga dimimpikan oleh rombongan langsung paus (Federico Lombardi
mengklaim hal itu sebagai bentuk ‘kebapaan,’ ketika saya mewawancarainya).
Jelas, kenyataannya adalah sedikit lebih kompleks.
Pihak yang bersalah dalam kasus
kebocoran ini, yang tentu saja bertindak 'atas kemauannya sendiri,' bernama
Paolo Gabriele: dia adalah 'pelayan kepala' dari paus. Bajingan ini dikatakan
telah memfotokopi ratusan dokumen rahasia, beberapa ribu halaman, di
sekretariat pribadi Paus Benediktus XVI, dan data itu sampai kepada pers pada
tahun 2012. Skandal itu jelas besar. Surat-surat internal yang ditulis dengan tangan
itu dimaksudkan untuk paus saja, catatan-catatan rahasia yang telah diserahkan
kepada Georg Gänswein secara langsung, dan bahkan salinan kabel diplomatik
berkode, antara para dubes dan Vatikan, tiba-tiba menemukan diri mereka terpapar
di mata publik. Pelakunya adalah seorang awam, berusia 48 tahun, menikah, dan
ayah dari tiga anak: seorang perayu Italia, seorang lelaki tampan dengan
kesukaan akan jaringan rahasia. Seorang bendahara! Kepala pelayan! Seekor tikus
tanah!
Bahkan, tidak ada orang yang bisa
percaya bahwa kepala pelayan itu bertindak sendiri: kasus itu adalah sebuah
bentuk kampanye, jika bukan persekongkolan, yang diselenggarakan di tingkat
tertinggi Vatikan. Hal itu dirancang untuk mengacaukan sekretaris negara
Tarcisio Bertone dan, melalui dia, Paus Benediktus XVI. Seorang pakar komputer
bahkan dituduh terlibat dalam kasus VatiLeaks, yang menegaskan bahwa kepala
pelayan itu setidaknya memiliki satu kaki tangan. Korban utama VatiLeaks,
Kardinal Bertone, berbicara tentang 'sarang ular beludak dan penulis surat
rahasia': frasa ini dalam bentuk jamak. Artinya: ada lebih dari satu kepala
pelayan yang terlibat.
Setelah versi yang resmi dihilangkan,
kasus yang mengguncang kepausan Benediktus XVI dan menyebabkan kejatuhannya,
tetap sangat buram hingga kini. Banyak pertanyaan yang masih belum terjawab
hingga hari ini: siapa orang-orang yang pertama kali merekrut Paolo Gabriele kepada
jabatan strategis ini bersama paus? Kepada siapa para kardinal menjadikannya
sebagai ‘tempat merebahkan diri,’ sebagai julukan baginya, yang bersifat
tertutup dan diam-diam? Mengapa Gänswein memberi Paolo Gabriele banyak ruang
untuk bermanuver di kantornya sendiri, di mana dokumen-dokumen itu dicuri? Apa
peran mantan sekretaris pribadi Joseph Ratzinger, Josef Clemens, yang terkenal
memiliki sikap permusuhan yang gigih terhadap Gänswein dan selalu berhubungan
dengan Paolo Gabriele? Akhirnya, mengapa Vatikan menutupi sebagian besar
protagonis tingkat tinggi dari komplotan ini, hanya untuk menyerang kepala
pelayan, yang membuatnya tampak seperti kambing-hitam klasik?
Satu hal yang pasti: VatiLeaks akan
mengarah pada kejatuhan Benediktus XVI dan membawa tingkat keburukan yang tidak
terbayangkan di dalam Vatikan. Yang terpenting, kasus kedua, yang mungkin
paling baik disebut VatiLeaks II, akan segera menyusul.
Beberapa pejabat senior di Gereja
telah dikaitkan dalam episode pertama VatiLeaks: kardinal Amerika James Harvey,
yang termasuk di antara mereka yang telah merekrut kepala pelayan, dan
tampaknya dekat dengannya; kardinal Italia Mauro Piacenza, yang juga memainkan
Pygmalion dengan Paolo Gabriele; Uskup Agung Carlo Maria Viganò, yang adalah
sekretaris jenderal untuk gubernur Kota Vatikan; Uskup Agung Paolo Romeo, calon
nuncio Ettore Balestrero, atau bahkan mantan sekretaris pribadi Kardinal
Ratzinger, Josef Clemens. Semua wali gereja ini diduga (dalam pers dan beberapa
buku) punya keterlibatan dalam kasus VatiLeaks dengan satu atau lain cara, dan
meskipun peran mereka belum ditetapkan, fakta bahwa mereka dibungkam,
dipinggirkan atau diberhentikan oleh Benediktus XVI atau Francis, telah
menunjukkan kaitan mereka dengan kasus ini.
Adapun si kepala pelayan, jika dia
tidak menyebutkan kemungkinan fakta yang meringankannya dalam persidangannya
yang cepat, dia mengulangi bahwa dia bertindak seperti itu berdasarkan tugasnya:
“Apa yang saya rasakan paling kuat adalah keyakinan bahwa saya bertindak secara
eksklusif, saya bahkan akan mengatakan dari dalam lubuk hati memiliki kasih kepada
Gereja Kristus dan kepada [paus] ... Saya tidak menganggap diri saya seorang
pencuri,” kata Paolo Gabriele bersikeras. Dia percaya bahwa Vatikan adalah
'kerajaan kemunafikan,' bahwa ada sebuah 'sikap diam' terhadap realitas yang
terjadi di sana. Jadi dia bertindak seperti yang dia lakukan untuk mengungkap
kebenaran, dan untuk melindungi Bapa Suci yang ‘belum diberi informasi dengan
benar.' Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh saluran televisi La Sette, Paolo Gabriele menambahkan: “Melihat
kejahatan dan korupsi di mana-mana di dalam Gereja, saya telah mencapai titik yang
tidak bisa kembali, rem saya gagal. Saya yakin bahwa kejutan ini, terutama yang
terjadi melalui media, akan membantu mengembalikan Gereja kepada relnya yang
benar.”
Paolo Gabriele, dikelilingi oleh
kemunafikan dan kebusukan budaya gay, tidak pernah menerima tanggung jawab
penuh atas kejahatan tersebut, dan dia masih menolak untuk menyatakan
penyesalan.
Jadi, kemungkinan Paolo Gabriele
bertindak berdasarkan perintah, meskipun dia adalah satu-satunya yang dihukum
18 bulan penjara karena pencurian data penting yang berkelanjutan. Akhirnya,
Paus Benediktus XVI, yang menganggap kepala pelayan itu sebagai 'putranya
sendiri,' memaafkan Gabriele. Paus, yang bertemu dengannya sebelum memberikan
pengampunan, bahkan menyarankan bahwa dia mungkin telah dimanipulasi oleh
seseorang: "Saya tidak ingin menganalisis kepribadiannya. Ini adalah
campuran hal-hal yang aneh, di mana ada seseorang meyakinkan dia atau dia
meyakinkan dirinya sendiri. Dia mengerti bahwa dia seharusnya tidak
melakukannya," kata Benediktus XVI dalam Kesaksian Terakhirnya.
"Sebagian besar dari mereka yang
terlibat dalam VatiLeaks I dan II adalah homoseksual," seorang uskup agung
di Kuria Romawi menegaskan kepada saya. “Poin ini menjelaskan kedua kasus
kebocoran itu, tetapi secara sistematis disembunyikan oleh Vatikan dan dianggap
masalah kecil oleh pers. Itu bukanlah sebuah lobi, seperti yang diduga
sementara orang. Ini hanyalah masalah hubungan gay dan tindakan balas dendam
antarpribadi yang terjadi setelahnya. Francis, yang mengetahui file itu dengan jelas,
menghukum para pelakunya."
Kasus VatiLeaks kedua dimulai di
Madrid. Sementara hal itu meletus di bawah Francis, namun kasus itu sudah dimulai
di bawah Ratzinger. Kali ini tokoh penjahatnya bernama Lucio Ángel Vallejo
Balda, sebuah ‘ketel ikan’ yang sangat berbeda dari Paolo Gabriele.
Selama penyelidikan mendalam yang
saya lakukan di Spanyol, karier Vallejo Balda tampak sebening kristal sementara
segala tindakannya semakin buram. Wartawan José Manuel Vidal, yang juga seorang
mantan imam, menggambarkan karakter ini kepada saya selama beberapa wawancara saya
di Madrid: “Vallejo Balda adalah kisah tentang seorang pastor desa kecil yang
terlalu besar untuk sepatu bootnya. Dia tampan dan menarik, dia telah naik pangkat
dengan cepat melalui jajaran keuskupan Spanyol. Dia dekat dengan Opus Dei, jadi
dia dihargai oleh kalangan ultra-konservatif. Di sini, di Madrid, dia menjadi
dekat dengan Cardinal Rouco Varela, seorang homofob yang suka dikelilingi oleh
anak-anak lelaki seperti ini, baik yang gelisah maupun yang jorok, yang
bergerak dalam lingkaran Katolik Spanyol yang ramah gay."
Ketika Paus Benediktus XVI dan
Kardinal Bertone meminta Rouco untuk merekomendasikan seorang imam yang dapat
diandalkan untuk mengurus masalah keuangan, maka kardinal Spanyol mengirimi
mereka seorang Vallejo Balda. Kompetensi finansial dan moral pastor muda ini
termasuk yang terbaik, tetapi bagi Rouco itu adalah kesempatan yang tak terduga
untuk menempatkan salah satu bidaknya sendiri dalam rombongan paus. Kecuali
bahwa Vallejo Balda ternyata menjadi karakter yang cukup mengganggu, menyerupai
pahlawan film Teorema Pasolini atau karakter seperti Kristus dalam
Dostoyevsky's Idiot: dia akan serong,
dan meledak seperti bom di dalam Vatikan.
Ditahbiskan sebagai imam pada usia 26
tahun, Lucio Ángel Vallejo Balda, seorang 'anak kota kecil' yang telah menjadi
Madrileño, 'tidak dapat ditolak,' saya diberitahu oleh orang-orang yang
mengenalnya pada saat itu. Sekarang dia berusia 55 tahun, dan kembali bertugas melayani
di pedesaan sekali lagi, dan dia masih sebagai pria yang tampan.
“Dia adalah seorang provinsial yang
baru saja menerima tongkat jabatan. Dia bagaikan seorang malaikat, seperti yang
ditunjukkan oleh nama depannya. Dia memiliki pesona yang bersifat pedesaan dan
ambisius. Dia dengan cepat membuat kesan yang besar pada Kardinal Rouco Varela,
terlebih lagi karena dia dekat dengan Opus Dei," kata imam lain yang saya
temui di Madrid.
Promosi dirinya, yang diinginkan oleh
penemunya, Rouco, dan pendakiannya yang spektakuler di jajaran hirarki Roma,
terutama dengan dukungan kardinal Spanyol Antonio Cañizarès, dipelototi dengan
agak hati-hati di Spanyol, di dalam Konferensi Uskup setempat. Sekarang setelah
kebebasan berbicara semakin longgar, saya mengetahui bahwa beberapa uskup dan
kardinal Spanyol secara terbuka mengkritik penunjukan Vallejo Balda ke Roma, dimana
mereka melihatnya sebagai 'guapo kecil' yang menjalani kehidupan yang kacau
dari 'jenis yang buruk.'
“Para pejabat pada Konferensi Uskup
Spanyol [CEE] menganggap bahwa pilihan ini tidak sah dan berbahaya bagi paus.
Bahkan ada pemberontakan kecil terhadap Rouco tentang masalah ini, di sini di
Madrid,” kata pastor lain yang dekat dengan CEE kepada saya.
Meski begitu, Vallejo Balda, yang
berasal dari keluarga miskin di pedesaan, mendapati dirinya berada di rawa-rawa
Roma, tempat malaikat buangan ini mulai menjalani kehidupan mewah: hotel-hotel
mewah, restoran-restoran pintar, malam-malam bersama anak laki-laki, dan gaya
hidup VIP. Dia menciptakan nama harum untuk dirinya sendiri di sisi lain Tiber.
"Di Roma, pemuda itu sering mengamuk,"
seorang imam di Roma yang mengenalnya dengan baik, memberi tahu saya.
Tanpa kecerdasan khusus, tetapi
dengan jenis keberanian yang dapat mencapai apa pun, Vallejo Balda menjadi orang
nomor dua di APSA, Administrasi Warisan Takhta Apostolik, yang mengurus
properti dan uang Vatikan. Juga ditempatkan sebagai penanggung jawab bank Tahta
Suci, pemuda Spanyol itu sekarang tahu segalanya. Dia memiliki akses pada
segala keberuntungan, dengan orang-orang penting dan dengan uang. Bertone
mempercayainya begitu membabi buta sehingga secara tidak sengaja dia
menciptakan bagi Vallejo Balda: sesuatu yang gratis untuk semua hal.
Ketika kasus VatiLeaks II meledak, maka
malaikat Hispanik itu (Vallejo Balda) dengan ambisi tanpa batas dan gaya hidup
liar menjadi tersangka pertama. Dokumen-dokumen yang sangat sensitif tentang
Bank Vatikan diterbitkan dalam buku-buku oleh dua jurnalis Italia, Gianluigi
Nuzzi dan Emiliano Fittipaldi. Dunia tercengang menemukan rekening bank ilegal
yang tak terhitung jumlahnya, transfer uang yang melanggar hukum dan kerahasiaan
Bank Vatikan, tanpa kekurangan bukti untuk mendukungnya. Kardinal Tarcisio
Bertone sendiri berada di bawah pengawasan karena apartemen mewahnya di Vatikan
direnovasi dengan uang dari Rumah Sakit Anak Bambino Gesù.
Juga di jantung kasus itu ada seorang
wanita - sangat jarang ada di Vatikan - Francesca Immacolata Chaouqui, seorang
Italia-Mesir berusia 31 tahun. Seorang wanita awam, menawan dan komunikatif,
dia disukai oleh kaum konservatif Kuria karena dia dekat dengan Opus Dei. Dia
melemparkan bisnis sehari-hari Vatikan ke dalam kebingungan dan kekacauan besar
dengan metode manajerial yang telah dia adopsi dari Ernst & Young; yang
paling penting, dia mengendalikan beberapa orang heteroseksual di Kuria yang tergila-gila
pada dadanya yang montok dan rambut yang lebat. Anehnya, bagi seorang wanita,
dia telah menerima referensi yang sangat baik untuk jabatannya di Vatikan, dan dia
diangkat sebagai ahli Komisi Reformasi Keuangan dan Ekonomi Tahta Suci. Apakah femme fatale ini (seorang wanita yang
menarik dan menggoda, terutama yang pada akhirnya akan membawa malapetaka bagi
seorang pria yang terlibat dengannya) memiliki hubungan rahasia dengan Vallejo
Balda yang sebelumnya sudah sangat fatal? Itulah teori dan dugaan yang secara
implisit dipertahankan oleh Vatikan.
“Vatikan menciptakan kisah hubungan
antara Vallejo Balda dan Francesca Immacolata Chaouqui. Cerita ini bertujuan
untuk membuka perselingkuhan yang tidak masuk akal, kecuali jika Vallejo Balda
memiliki hubungan lain yang harus ditutup-tutupi," kata seorang pastor
Kuria menjelaskan kepada saya.
Seorang bapa pengakuan di Gereja St.
Peter membenarkan: “Ketika dia ditangkap, Vallejo Balda ditempatkan di rumah
kami, di sini, antara Istana Keadilan dan gendarmeria, di Piazza Santa Marta.
Dia masih bisa mendapatkan akses telepon dan komputer, dan dia makan siang
bersama kami setiap hari. Saya tahu pasti bahwa dia tidak pernah menjadi
kekasih Francesca Immacolata Chaouqui."
Kemungkinan besar, ambisi dibalik
kasus VatiLeaks II adalah untuk melemahkan Francis, seperti halnya VatiLeaks I
sebelumnya yang dimaksudkan untuk melengserkan Benediktus XVI. Operasi itu
mungkin diorganisir oleh para kardinal dari Kuria Ratzinger yang menentang
garis politik Paus yang baru, dan dilaksanakan oleh Vallejo Balda.
Salah satu dari mereka, bersikap kaku
dan menjalani kehidupan ganda, adalah pusat dari kasus ini: dia bertanggung
jawab atas salah satu 'kementerian' Vatikan. Pastor Don Julius, yang berhubungan
dengan dia di dalam Vatikan, berbicara tentang dia sebagai 'wanita gay dari sekolah
kuno' yang hidup hanya untuk merendahkan orang lain. Ahli Vatikan Robert Carl
Mickens mengatakan tentang dia: "Dia seorang ratu yang jahat."
Benediktus XVI secara alami menyadari
seksualitas kardinal Vallejo Balda yang tidak wajar dan kemewahannya yang tidak
biasa. Tetapi menurut beberapa saksi, paus menyukainya, karena dia berpikir
untuk waktu yang lama bahwa homoseksualitasnya tidak dipraktikkan, tetapi masih
‘murni’ atau masih 'dipertanyakan.' Di sisi lain, Francis, yang kurang pandai
melihat nuansa 'gay,' tetapi mendapat informasi tentang kasus itu,
mengeluarkannya dari Kuria. Sebagai seorang penjahat, homofobia, dan ultra-gay,
kardinal ini bagaimanapun juga, merupakan penghubung antara kedua kasus VatiLeaks.
Tanpa kunci homoseksual, urusan ini akan tetap buram; dengan kunci itu, hal itu
mulai menjadi jelas.
Selama persidangan, lima orang
dituduh, oleh Vatikan, dari asosiasi kriminal: Vallejo Balda, sekretaris
pribadinya, konsultan Francesca Immacolata Chaouqui dan dua jurnalis yang
membocorkan dokumen rahasia Vatikan. Balda akan dihukum 18 bulan penjara;
setelah menjalani hanya setengah dari hukumannya, dia dibebaskan secara
bersyarat dan dikirim kembali ke keuskupannya yang asli di Spanyol barat laut,
di mana dia tinggal hari ini. Sedangkan para kardinal yang mungkin berada di
balik kasus itu atau kaki tangan Balda, tidak tersentuh oleh pengadilan
Vatikan.
Dua kasus VatiLeaks ini adalah seperti
episode satu dan dua dari satu serial televisi dimana umat Katolik di Italia
menjadi tahu. Kedua kasus kebocoran rahasia itu bergulir di seputar masalah
homoseksualitas, sedemikian rupa sehingga seorang pengamat Vatikan yang
berpengetahuan luas menggambarkan kasus itu secara ironis sebagai
'perselingkuhan kepala pelayan dan penipu,' sangat kusut dan motivasi di balik
kedua kasus ini begitu rumit sehingga sulit untuk dikatakan siapa yang dimaksud
dengan istilah-istilah yang kurang menyenangkan ini.
Satu misteri masih harus dipecahkan.
Di antara motif yang mungkin menjelaskan mengapa seorang pria berbalik melawan pihaknya
sendiri, apakah yang membuat Paolo Gabriele (VatiLeaks I) dan Lucio Ángel
Vallejo Balda (VatiLeaks II) berbicara? Jika kita percaya akan kode MICE,
ungkapan terkenal yang digunakan oleh dinas rahasia di seluruh dunia, pada
dasarnya ada empat alasan yang dapat membuat seseorang berbalik melawan pihaknya
atau kelompoknya sendiri: Uang; Ideologi; Kebusukan (terutama pemerasan
seksual); dan Ego. Mengingat tingkat pengkhianatan dan tingkat kejahatan, kita
mungkin berpikir bahwa pelaku yang berbeda dari dua psikodrama ini terinspirasi
oleh empat kode MICE secara bersamaan.
Di meja Kardinal Jozef Tomko: ada buku
karya Francesca Immacolata Chaouqui. Kardinal Slovakia itu mengambil buku itu,
yang dengan jelas nampak dia baca, dan menunjukkannya kepada saya.
Pria tua itu, ceria dan simpatik,
menerima Daniele dan saya di apartemen pribadinya. Kami berbicara tentang
karirnya sebagai 'paus merah,' nama yang diberikan kepada kardinal ini yang
bertanggung jawab atas evangelisasi bangsa-bangsa. Kami berbicara tentang
bacaannya, selain dari karya Chaouqui, ada juga karya-karya Jean Daniélou,
Jacques Maritain dan Verlaine, tentang siapa saja kardinal berbahasa Perancis yang
sempurna itu berbicara kepada saya dengan penuh semangat. Di antara rak-rak
ruang tamu tempat dia menerima kami, saya melihat foto Paus Benediktus XVI yang
indah, terbungkus jubah merahnya, dengan penuh kasih sayang memegang tangan
Jozef Tomko di tangannya.
Kedekatannya dengan Joseph Ratzinger
menjadikan Tomko salah satu dari tiga kardinal dengan tugas menyelidiki Kuria
Roma setelah kasus VatiLeaks. Bersama rekan-rekannya, Julián Herranz dari Spanyol
dan Salvatore De Giorgi dari Italia, dia ditugaskan untuk melakukan
penyelidikan internal yang sangat rahasia. Hasilnya - sebuah laporan yang
dijaga sangat ketat, dua volume 300 halaman - adalah dokumen eksplosif tentang
kesalahan di dalam Kuria dan skandal keuangan serta homoseksual Vatikan.
Beberapa komentator dan jurnalis bahkan berpikir bahwa laporan itu mungkin pada
akhirnya menyebabkan pengunduran diri paus.
“Julián Herranz, Salvatore De Giorgi
dan saya, mendengarkan semua orang. Kami berusaha mengerti mereka. Itu sama
sekali bukan pengadilan, karena beberapa orang mencoba mengatakan hal itu
seakan sebuah pengadilan, setelah itu," kata Jozef Tomko kepada saya.
Dan kardinal tua itu menambahkan,
tentang laporan itu, dalam pengamatan yang penuh semangat persaudaraan:
"Kami tidak bisa mengerti tentang Kuria. Tidak ada yang mengerti tentang Kuria."
Tiga kardinal, yang masing-masing
berusia 87, 88 dan 94, adalah orang-orang konservatif. Mereka menghabiskan
sebagian besar karier mereka di Roma dan mengenal Vatikan dari dalam. Salvatore
De Giorgi adalah satu-satunya orang Italia yang pernah menjadi uskup dan uskup
agung di beberapa kota di negara itu - dia adalah yang paling konservatif dari
semuanya. Tomko adalah seorang misionaris yang lebih 'ramah,' yang telah
melakukan perjalanan ke seluruh dunia. Yang ketiga, Julián Herranz, adalah
anggota Opus Dei. Dia bertanggung jawab atas koordinasi dan menjalankan misi.
Ketika saya mengunjungi Julián
Herranz di apartemennya, dekat Lapangan Santo Petrus, dia menunjukkan kepada
saya foto lama dirinya sebagai seorang imam muda Spanyol yang berdiri di
samping pendiri Ordo, Josemaría Escriva de Balaguer, bergandengan tangan.
Dalam foto itu, pada usia 27, Herranz
muda sangat memikat; lelaki tua itu memandangi gambar ini, yang berbicara
tentang sebuah masa lalu yang sangat jauh, tidak dapat diperbaiki, seolah-olah
prajurit muda untuk Opus Dei yang telah menjadi orang asing baginya. Dia
berhenti. Sedih sekali! Foto itu tetap awet muda, dan usianya saat ini sudah
sangat tua. Julián Herranz terdiam selama beberapa detik, dan mungkin dia mulai
memimpikan dunia lain, terbalik - seolah-olah, meskipun foto ini sudah berumur,
dia tetap awet muda?
Menurut kesaksian para imam atau
asisten yang bekerja dengan Tomko, Herranz dan de Giorgi, ketiga kardinal itu
benar-benar 'terobsesi' oleh masalah homoseksual. De Giorgi dikenal karena
mengamati adanya hubungan kekuasaan di dalam Kuria melalui prisma jaringan gay,
dan dia dituduh, seperti Herranz, sering membingungkan antara perbuatan pedofilia
dan homoseksualitas.
“Salvatore De Giorgi adalah ortodoks.
Dia juga orang yang genit yang suka dibicarakan orang. Tujuan hidupnya
tampaknya bagi media Osservatore Romano
agar menulis secara positif tentang dia! Dia terus memohon kami untuk melakukannya,"
kata seorang jurnalis di media resmi Vatikan itu. (Terlepas dari beberapa
permintaan, Salvatore De Giorgi adalah satu-satunya dari tiga kardinal yang
menolak untuk bertemu saya, penolakan yang dia ungkapkan dalam istilah yang
rumit, penuh permusuhan dan celaan.)
Herranz, Tomko dan De Giorgi butuh
delapan bulan untuk melakukan penyelidikan. Seratus imam yang bekerja di
Vatikan diwawancarai. Namun hanya lima orang yang memiliki akses yang absah ke
laporan itu, yang begitu rumit hingga salinannya saja bahkan selayaknya dikunci
di brankas Paus Francis.
Apa yang ditemukan ketiga kardinal itu
adalah besarnya tingkat kebusukan di Vatikan. Dua orang yang telah membaca
laporan ini - di antara para kardinal, asisten mereka, rombongan Benediktus XVI
dan para kardinal lainnya atau wali gereja dari Kuria - menggambarkannya dalam
garis besar, serta bagian-bagian tertentu secara lebih terperinci. Paus
Benediktus XVI sendiri, dalam Kesaksian Terakhirnya, mengungkapkan unsur-unsur
dari laporan tersebut yang saling berkaitan, dan dia menyarankan adanya sebuah 'kotbah
homoseksual' dan 'lobi gay.'
"Kami tahu bahwa skandal
homoseksual adalah salah satu elemen utama dalam laporan tiga kardinal itu,"
seorang pastor Kuria yang bekerja untuk salah satu kardinal memberi tahu saya
di bawah anonimitas.
Kesimpulan paling mencolok dalam
laporan itu, sebuah kode yang membantu kita memahami Vatikan, adalah hubungan
antara urusan keuangan dan homoseksualitas - kehidupan gay tersembunyi yang
berjalan seiring dengan ketidakwajaran keuangan. Artikulasi antara seks dan
uang adalah salah satu kunci yang membantu kita memahami lemari Vatikan.
Laporan itu juga mengungkapkan bahwa
sekelompok kardinal gay, di tingkat tertinggi Kuria, ingin menjatuhkan Kardinal
Bertone. Ini juga membahas adanya 'lingkaran nafsu’ di Vatikan, dan mencoba
menggambarkan jaringan yang membuat kebocoran dan skandal VatiLeaks jilid 1
bisa terjadi. Para wali gereja senior itu juga menjadi sasaran dari pemerasan.
Meskipun saya tidak tahu semuanya secara terperinci, saya diberitahu bahwa
nama-nama Georg Gänswein dan saudara lelaki paus, Georg Ratzinger, serta
nama-nama James Harvey, Mauro Piacenza dan Angelo Sodano muncul dalam laporan
itu, walaupun saya tidak tahu dalam konteks apa.
Seserius apa pun usahanya, laporan
ini adalah, menurut seorang yang memiliki akses ke sana, merupakan 'topeng' dan
bahkan 'tartufferie.' Ketiga kardinal
homofobik itu mengklaim mau mengurai realitas lemari, tetapi mereka melewatkan sistemnya secara keseluruhan,
karena mereka tidak memahami jangkauan dan kode-kodenya. Terkadang, mereka
mengidentifikasi para komplotan dan kemudian menyelesaikan skor mereka sendiri.
Mereka mengarahkan jari pada domba yang hilang, seperti biasa, dan menyusun
beberapa 'sejarah seksual' mereka berdasarkan rumor, gosip, dan desas-desus,
tanpa memasukkan mereka pada proses analisis yang mendasar untuk segala jenis
penilaian. Para wali gereja (kardinal) ini masih sangat senang bertindak
sebagai hakim dan juri.
Oleh karena itu, kesimpulan utama
dari laporan ini adalah pengungkapan 'lobi gay' utama di Vatikan (ungkapan tersebut
muncul beberapa kali dalam laporan, menurut dua sumber). Tetapi tiga kardinal
itu, yang pada akhirnya terbukti tidak cukup kompeten, berjuang untuk mengurai
realitas yang hanya mereka sentuh di permukaan. Mereka melebih-lebihkan di
sini, mereka menaruh di bawah perkiraan di sana: satu-satunya masalah
sebenarnya di Vatikan adalah template homoseksual yang hakiki. Pada akhirnya, kekaburan
dari laporan mereka adalah lebih besar karena mereka gagal memahami, atau bahkan
mencoba dan menggambarkan apa sebenarnya lemari
Vatikan itu.
Dalam kasus apa pun, Benediktus XVI
dan Francis secara terbuka mengulangi ungkapan paling kuat dalam laporan itu,
yang disebut 'lobi gay,' yang menegaskan bahwa ia menempati posisi sentral
dalam dokumen tersebut. Pada saat penyerahan kekuasaan dari Benediktus XVI kepada
Francis, foto-foto Castel Gandolfo menunjukkan sebuah kotak dan file-file yang
tersegel dengan baik di sebuah meja yang rendah. Menurut beberapa sumber, itulah
laporan yang terkenal itu.
Kita dapat memahami tanggapan
mengerikan Benediktus XVI ketika membaca dokumen rahasia ini. Dalam menghadapi
nafsu seperti itu, begitu banyak kehidupan ganda, begitu banyak kemunafikan,
begitu banyak homoseksual yang tertutup di mana-mana, di jantung Vatikan,
apakah semua kepercayaan paus yang peka tentang 'Gerejanya' ini runtuh? Beberapa
orang mengatakan memang begitu. Saya juga diberitahu bahwa dia menangis ketika
dia membaca laporan itu. Bagi Benediktus XVI, laporan itu terlalu berlebihan.
Apakah siksaan ini tidak akan pernah berakhir? Dia tidak ingin bertarung lagi.
Membaca laporan dari tiga orang kardinal, keputusannya diambil: dia akan
meninggalkan bahtera St. Peter.
Tetapi jalan salib Benediktus XVI,
sosok yang tragis itu, belum berakhir. Dia memiliki beberapa hal lagi sebelum pengunduran
dirinya.
Sebelum penulisan laporan rahasia,
skandal pedofilia menodai kepausan Benediktus XVI yang baru lahir. Sejak 2010, kasus
itu menjadi endemik. Ini bukan kasus-kasus yang terisolasi atau langkah-langkah
keliru, seperti yang telah dia klaim sejak lama, sementara dia adalah seorang
kardinal, untuk melindungi Gereja: itu adalah sebuah sistem. Dan itu sekarang
menjadi sorotan.
“Minuman keras, anak laki-laki atau
perempuan?” - pertanyaan muncul di kantor-kantor surat kabar berbahasa Inggris
dengan munculnya setiap kasus baru, banjir segala jenis penyalahgunaan di bawah
kepausan Ratzinger. (Meskipun jarang menyangkut perempuan!) Ada puluhan ribu pastor
terlibat (5.948 di Amerika Serikat, 1.880 di Australia, 1.670 di Jerman, 800 di
Belanda, 500 di Belgia, dll.) dan dikecam selama tahun-tahun itu, yang
merupakan serial terbesar dari skandal dalam seluruh sejarah Kekristenan
modern. Puluhan, mungkin ratusan ribu korban terdaftar (4.444 di Australia
saja, 3.677 anak di bawah umur di Jerman ...). Lusinan kardinal dan ratusan
uskup terlibat. Episkopat telah hancur berkeping-keping, keuskupan hancur.
Dengan pengunduran diri Benediktus XVI, Gereja Katolik akan menjadi padang gurun.
Sementara itu, sistem Ratzinger
benar-benar akan runtuh.
Bukan maksud dari buku ini untuk
membahas ribuan skandal pedofilia ini secara terperinci. Sebaliknya, ini adalah
untuk memahami mengapa Benediktus XVI, begitu getol dan obsesif dalam perangnya
melawan tindakan homoseksual yang legal, tampak tidak berdaya dalam menghadapi
pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Tentu saja, dia dengan sangat
cepat mencela 'kebusukan di dalam Gereja' dan, berbicara kepada Tuhan, untuk
mengatakan: 'pakaian kotor dan wajah Gereja-Mu amat menakutkan kami!' Dia juga
menerbitkan beberapa tulisan yang bernada keras.
Tetapi antara penolakan dan
keterkejutan, amatirisme dan kepanikan, dan masih dengan sedikit atau tanpa
empati bagi para korban, respons pihak kepausan terhadap subjek tetap menjadi
bencana.
“Pelecehan seksual dalam Gereja
bukanlah halaman gelap di kepausan Benediktus XVI: itu adalah tragedi terbesar,
bencana terbesar dalam sejarah Katolik sejak Reformasi,” kata seorang imam Perancis
kepada saya.
Ada dua teori yang bertentangan
tentang masalah ini. Yang pertama (misalnya, dari Federico Lombardi, mantan
juru bicara paus, dan Tahta Suci pada umumnya): “Benediktus XVI bertindak
dengan tangkas, dan dia adalah paus pertama yang memperhatikan masalah pelecehan
seksual di kalangan para imam dengan serius.” Selama lima kali wawancara,
Lombardi mengingatkan saya bahwa paus menurunkan menjadi status umat awam atas
lebih dari 800 imam yang diketahui bersalah atas pelecehan seksual. Angka itu
tidak mungkin untuk diperiksa dan, menurut saksi lain, itu terlalu
dibesar-besarkan dan faktanya tidak lebih dari beberapa lusin (dalam kata
pengantar untuk Kesaksian Terakhir, sebuah buku resmi oleh Benedict XVI yang
diterbitkan pada tahun 2016, menyebutkan angka 400, atau setengahnya). Sebuah
sistem kebohongan universal di Vatikan telah diterapkan, adalah sangat mungkin
untuk meragukan realitas dari angka-angka ini.
Teori kedua (yang secara umum
mendukung di pengadilan hukum di negara-negara yang bersangkutan, dan di
media): Gereja Benediktus XVI bertanggung jawab atas semua kasus ini. Kita
tahu, pada kenyataannya, bahwa sejak 1980-an dan seterusnya, semua skandal
pelecehan seksual, atas permintaan Joseph Ratzinger, dibawa ke hadapan
Kongregasi untuk Ajaran Iman di Roma, tempat kasus itu ditangani. Karena Joseph
Ratzinger adalah kepala dari 'pelayanan' ini, dan kemudian menjadi paus, maka dia
bertanggung jawab atas arsip itu antara tahun 1981 dan 2013, selama periode
lebih dari tiga puluh tahun. Para sejarawan mungkin terbukti sangat keras dalam
penilaian mereka tentang ambiguitas paus ini dan tindakannya, hingga beberapa
orang berpikir bahwa akibatnya dia tidak akan pernah dikanonisasi.
Untuk ini kita harus menambahkan kebobrokan
sistem peradilan di Vatikan. Di Tahta Suci - sebuah negara dan sistem teokrasi
sejati dan bukan negara yang diatur oleh hukum - pada kenyataannya, tidak ada
pemisahan antar kekuasaan. Menurut semua saksi yang saya wawancarai, termasuk
para kardinal tingkat tinggi, sistem peradilan di Vatikan masih banyak membutuhkan
pembenahan. Hukum kanon terus-menerus dipalsukan, konstitusi apostolik tidak
lengkap, hakim tidak berpengalaman dan sering tidak kompeten, pengadilan tidak
memiliki prosedur dan tidak diperlakukan dengan serius. Saya telah berbicara
dengan Kardinal Dominique Mamberti, kepala Mahkamah Agung Apostolik, dan dengan
Kardinal Francesco Coccopalmerio, presiden Dewan Kepausan untuk Teks-teks
Legislatif, dan bagi saya tampaknya para wali gereja itu tidak dapat secara
independen menilai kasus-kasus semacam ini.
“Tidak ada keadilan sejati di
Vatikan. Prosedurnya tidak dapat diandalkan, investigasi tidak dapat dipercaya,
ada kekurangan dana yang serius, orang-orangnya tidak kompeten. Bahkan tidak
ada penjara disana! Itu adalah sebuah parodi keadilan,” kata uskup agung yang
dekat dengan Kongregasi untuk Ajaran Iman menegaskan kepada saya.
Giovanni Maria Vian, direktur Osservatore Romano, yang dekat dengan
sekretaris negara Tarcisio Bertone, dan seorang pemain sentral dalam sistem
ini, mengaku kepada saya dalam salah satu percakapan kami (semuanya direkam atas
persetujuannya) bahwa dia menolak untuk mempublikasikan catatan dengar pendapat
dan persidangan di dalam jurnal resmi Vatikan, Osservatore Romano, karena berisiko mendiskreditkan lembaga
tersebut ...
Parodi keadilan di Vatikan ini
dikecam oleh banyak spesialis hukum, termasuk mantan duta besar untuk Tahta
Suci, yang seorang pengacara, menegaskan: “Kasus-kasus pelecehan seksual ini
memiliki kompleksitas hukum dan teknis yang sangat besar: hal itu membutuhkan
penyelidikan selama beberapa bulan, dan sejumlah besar audiensi, seperti yang
terlihat saat ini dari persidangan Kardinal George Pell di Australia, yang
memobilisasi puluhan hakim dan pengacara dan ribuan jam proses hukum.
Membayangkan bahwa Vatikan dapat menangani salah satu saja dari kasus ini
adalah omong kosong. Vatikan tidak siap untuk itu: tidak memiliki teks hukum,
atau prosedur, atau pengacara, atau hakim, atau sarana investigasi, atau hak
untuk menanganinya. Tidak ada solusi lain untuk Vatikan selain mengakui
ketidakmampuan dasarnya, dan membiarkan sistem hukum nasional (Italia) yang
menangani masalah tersebut."
Pengadilan yang parah ini mungkin diwarnai
dengan pekerjaan serius yang dilakukan oleh para kardinal atau uskup tertentu,
misalnya pekerjaan yang dilakukan oleh Charles Scicluna, Uskup Agung Malta,
pada kasus-kasus Marcial Maciel di Meksiko dan Fernando Karadima di Chili. Namun,
bahkan komisi anti-pedofil Vatikan, yang dibentuk oleh Paus Francis, telah
menimbulkan kritik: terlepas dari niat baik Kardinal Sean O'Malley, Uskup Agung
Boston, yang memimpinnya, tiga anggotanya mengundurkan diri untuk memprotes
terhadap lambatnya prosedur dan permainan ganda dari dicasteri yang terlibat. (Pada
usia 74, O'Malley berasal dari era lain, dan tampaknya hampir tidak mampu
menangani kasus-kasus semacam ini: dalam 'Testimonianza'-nya, Mgr. Viganò berusaha
menantang ketidakberpihakannya; dan selama tinggal di Amerika Serikat pada
musim panas tahun 2018, ketika saya meminta kardinal untuk wawancara,
sekretarisnya, dengan sikap malu, mengakui bahwa Kardinal Sean O'Malley tidak pernah
membaca email-email yang ditujukan kepadanya, dia tidak tahu bagaimana
menggunakan internet dan dia tidak punya ponsel. Sekretaris itu menyarankan
agar mengirim fax saja kepada kardinal.)
Akhirnya, sulit untuk tidak
menyebutkan di sini kasus tentang saudara Benediktus XVI sendiri. Di Jerman,
Georg Ratzinger mendapati dirinya berada di tengah sebuah skandal besar
pelecehan fisik dan seksual terhadap anak di bawah umur ketika mengelola sebuah
paduan suara terkenal yang terdiri dari anak laki-laki di Katedral Regensburg
antara tahun 1964 dan 1994. Sejak 2010, pengadilan Jerman dan laporan internal
oleh Keuskupan itu mengungkapkan bahwa lebih dari 547 anak-anak dalam paduan
suara bergengsi itu adalah korban kekerasan, dan 67 dari mereka mengalami pelecehan
seksual dan pemerkosaan. Empat puluh sembilan imam dan umat awam sekarang
dicurigai melakukan kekerasan ini, termasuk sembilan orang untuk kekerasan
seksual. Terlepas dari penyangkalannya, sulit untuk percaya bahwa Georg
Ratzinger tidak menyadari situasi itu. Selain itu, seperti yang kita ketahui
sejak saat itu, skandal itu ditanggapi dengan sangat serius oleh Tahta Suci yang
diikuti oleh tingkat tertinggi oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman, dan rombongan
langsung dari paus dikatakan telah membela Georg Ratzinger. (Kesaksian tiga
kardinal dikutip dalam berbagai prosedur pengadilan yang sedang berlangsung di
Jerman.)
Suara-suara disampaikan keras hari
ini, bahkan di antara para imam dan teolog, untuk mempertimbangkan bahwa
kegagalan Gereja Katolik dalam pengelolaan arsip kasus pelecehan seksual
mempengaruhi tingkat paling tinggi dari pemerintahan Vatikan dan ide-ide dari Joseph
Ratzinger. Di antara mereka itu, beberapa berkata kepada saya:
“Ini (Joseph Ratzinger) adalah pria
yang telah mengabdikan hidupnya untuk mencela homoseksualitas. Dia
menjadikannya sebagai salah satu kejahatan terbesar umat manusia. Pada saat
yang sama, dia tidak banyak berbicara tentang pedofilia, dan sangat terlambat
menyadari besar skala masalahnya. Dia tidak pernah benar-benar bisa membedakan,
pada tingkat teologis, antara hubungan yang saling menyetujui secara bebas
antara orang dewasa, dengan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur di
bawah 15 tahun.”
Teolog lain yang saya temui di Amerika
Latin memberi tahu saya: “Masalah Ratzinger adalah skala nilai. Itu telah
benar-benar sesat sejak awal. Dia telah sangat mendukung para teolog pembebasan
dan menghukum para pastor yang mendistribusikan kondom di Afrika, dan dia juga telah
menemukan alasan pembenar untuk para pastor pedofil. Dia memutuskan bahwa
penjahat multi residivis dan pedofil Meksiko, Marcial Maciel, terlalu tua untuk
diturunkan statusnya menjadi umat awam."
Namun, bagi Paus Benediktus XVI,
urutan fakta yang tidak pernah putus tentang pelecehan seksual di dalam Gereja
adalah lebih dari sebuah ‘musim di neraka.’ Masalah ini menyerang jantung
sistem Ratzinger dan teologinya. Apa pun penolakan publik dan berbagai sikap
dari prinsip yang dimungkinkan, Benedict sangat sadar bahwa dirinya berada jauh
di dalam, bahkan saya berani mengatakan dari pengalaman, bahwa selibat, pantang
dan kegagalan untuk mengakui homoseksualitas para imam adalah jantung dari
seluruh skandal. Pikirannya, yang disusun dengan cermat di Vatikan selama empat
dekade, meledak berkeping-keping. Kegagalan intelektual ini pasti berkontribusi
pada pengunduran dirinya.
Seorang uskup berbahasa Jerman
merangkum situasinya: “Apa yang akan tersisa dari pemikiran Joseph Ratzinger
ketika keseimbangan benar-benar disusun? Saya akan mengatakan: sikap moral
seksualnya dan posisinya pada selibat para imam, pantang, homoseksualitas dan
pernikahan gay. Itulah satu-satunya pembaharuan dan orisinalitasnya yang
sejati. Namun kasus pelecehan seksual menghancurkan semua itu, sekali dan untuk
semua. Larangannya, aturannya, fantasinya, tidak ada yang berarti lagi. Tidak
ada yang tersisa hari ini dari moralitas seksualnya. Dan bahkan meski tidak ada
yang berani mengakuinya secara terbuka di Gereja, semua orang tahu bahwa tidak
akan mungkin untuk mengakhiri kasus pelecehan seksual oleh para imam bahkan
meski selibat telah dihapuskan, meski homoseksualitas diakui oleh Gereja, yang memungkinkan
para imam untuk dapat mengecam pelecehan, dan bahkan sampai wanita ditahbiskan
sebagai imam. Kasus pelecehan sexual tetap akan terjadi. Semua tindakan lain
tentang pelecehan seksual akan sia-sia. Secara keseluruhan, perspektif
Ratzingerian perlu sepenuhnya digugurkan. Semua orang tahu. Dan setiap orang
yang mengatakan sebaliknya sekarang, adalah kaki tangannya."
Penilaian ini keras, tetapi banyak orang
di dalam Gereja berkata bahwa jika bukan kata-kata ini, setidaknya, ide-ide ini
yang akan terjadi.
Pada Maret 2012, Benediktus XVI
terbang ke Meksiko dan Kuba. 'Musim-musimnya di neraka' terbang bersamanya:
setelah musim dingin yang ditandai oleh terbukanya fakta pedofilia yang baru-baru,
inilah skandal musim semi. Joseph Ratzinger menemukan di Havana sebuah dunia
jahat yang keberadaannya tidak dia duga, bahkan dalam mimpi terburuknya sekalipun
– ‘jalan salb baru’ baginya. Sekembalinya dari perjalanannya ke Kuba dia
mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Dan inilah alasannya.
*****
No comments:
Post a Comment