SEORANG IMAM BERKATA: ADA INKONSISTENSI DI DALAM AMORIS
LAETITIA (SEPERTI YANG DITAFSIRKAN OLEH USKUP-USKUP MALTA)
by Pastor Alexander Lucie-Smith
posted Friday, 19 May 2017
Berbagai pertanyaan yang mencerminkan mengapa panduan dari uskup-uskup
Malta mengenai Amoris Laetitia adalah cacad.
Ketika doktrin
runtuh, maka akibat dalam praktek beragama akan menyimpang dalam beberapa dekade
ke depan.
Kita semua telah
tahu istilah dubium (bentuk jamak dari dubia). Hal itu berarti keraguan,
dimana saat ini hal itu dinyatakan dalam sebuah pertanyaan untuk mencari
klarifikasi atau kejelasan atas sebuah doktrin atau praktek keagamaan, dan biasanya
hal itu ditujukan kepada penguasa eklesiastik yang berwenang di Roma.
Saya sendiri
memiliki sebuah dubia atau keraguan, yang akan saya kirimkan ke Roma dengan harapan
agar mendapatkan jawaban. Keraguan itu adalah berikut ini.
Jika ada suatu pasangan,
yang hidup dalam perkawinan kedua - katakanlah, salah satu pihak telah menikah
secara sakramental sebelumnya, kemudian bercerai, dan kemudian menikah lagi
secara sipil dengan orang lain, tanpa pembatalan 'perkawinan' pertama - jika
pasangan ini, setelah mendekati seorang pastor untuk memperoleh pendampingan yang
diperlukannya (seperti yang tercantum dalam Amoris Laetitia pasal 8, dan
seperti yang ditafsirkan, misalnya oleh konferensi Waligereja Malta), dan dengan
hati nuraninya mereka telah memutuskan untuk menerima Komuni Kudus, dan jika
pasangan ini kemudian meminta agar perkawinan sipil mereka itu disahkan oleh
pastor paroki mereka, apa yang harus dilakukan oleh pastor?
Dengan
banyaknya dubia, saya pikir kita tahu jawabannya. Pastor tidak mungkin mengesahkan
pernikahan itu, karena pernikahan 'yang pertama' masih ada dan masih berlaku. Dan
memang pernikahan 'yang pertama' adalah satu-satunya pernikahan. Namun, jawaban
ini tentu saja akan membingungkan dan membuat sedih pasangan tersebut, yang
telah diberi tahu bahwa mereka dapat menerima
Komuni Kudus dan karenanya tidak dalam keadaan dosa yang subjektif.
Mereka mungkin juga merasa bahwa pernikahan sipil mereka adalah apa yang akan
mereka sebut sebagai pernikahan sejati.
Tapi pertanyaan
semacam ini pasti layak untuk disampaikan, karena pastinya, hanya soal waktu saja
sebelum pertanyaan semacam itu dilakukan.
Kembali pada
tahun 1930, Konferensi Lambeth menghasilkan beberapa resolusi, yang salah
satunya, Resolusi 11, yang mengizinkan pihak yang bercerai yang telah menikah
kembali untuk menerima Komuni Kudus. Sementara pada saat yang sama, Konferensi
itu berusaha menegakkan prinsip tidak-terceraikannya perkawinan. Resolusi yang
sama juga melarang umat yang bercerai untuk menikah kembali di Gereja (jika tanpa
proses anulasi). Memang, dengan membaca resolusi-resolusi lama itu, kebanyakan hal
itu amat mengejutkan saya, dan hal itu menjadi pengingat yang menyedihkan
tentang bagaimana segala sesuatu telah berubah sejak saat itu di dalam Gereja
Katolik, dan juga di dunia yang lebih luas.
Desakan untuk meresmikan
perkawinan orang-orang yang bercerai (dimana pasangan yang lama masih hidup) di
dalam Gereja (bagi umat Katolik yang taat, hal itu tidaklah mungkin), telah ditolak
sejak di Lambeth pada 1930. Tetapi desakan itu hingga kini masih ada. Dan ketika
doktrin runtuh, maka akibat dalam praktek beragama akan menyimpang dalam beberapa
dekade ke depan. Lambeth 1930 adalah sebuah dokumen yang sangat konservativ,
namun di dalamnya mengandung benih-benih kehancurannya sendiri.
Karena itu
dimanakah jawaban atas keraguan (dubia) saya disini? Dubia saya ini bertujuan untuk
mengungkapkan adanya inkonsistensi di dalam Amoris Laetitia, seperti yang ditafsirkan
oleh uskup-uskup Malta.
Saya sama
sekali tidak menyukai permainan kata, tapi terkadang hal itu membuat kita
merenungkan konsekuensi dari kepercayaan dan praktik beragama kita!
Read the full article at Catholic Herald UK
Silakan melihat artikel lainnya
disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment