MENGAPA PARA
USKUP TIDAK MENEGUR ‘JEMBATAN’ PASTOR MARTIN YANG SANGAT BERBAHAYA ITU?
Krisis di dalam Gereja saat ini terus meningkat
dengan kecepatan yang mengejutkan terutama jika dilihat standard pasca-konsili.
Tidak ada perubahan yang lebih jelas dari pada saat ini tentang bagaimana Gereja
Katolik bersikap terhadap homoseksualitas. Pemilihan Paus Fransiskus empat
tahun yang lalu, dilanjutkan dengan sinode mengenai keluarga, dan beberapa
promosi strategis dalam hirarki Gereja, telah menghasilkan momen yang sangat penting
dalam 2.000 sejarah Gereja.
Pada bulan belakangan ini penerbit Harper Collins akan menerbitkan buku
terbaru dari seorang pastor Yesuit, pastor James Martin, yang juga menjadi editor
dari majalah America. Pastor Martin
juga dikenal karena banyak pengikutnya di media sosial (lebih dari 100.000
pengikut di Twitter dan lebih dari setengah juta di Facebook), serta penampilan
masa lalunya di Colbert Report pada acara Comedy
Central, dan karya
konsultatifnya tentang film terbaru Martin Scorsese Silence. Baru-baru ini dia
juga ditunjuk oleh Paus Francis untuk bergabung dalam Sekretariat Komunikasi di
Roma sebagai konsultan tentang cara mewartakan kepada dunia di era digital
sekarang.
Dan di sinilah letak masalahnya, dan
ini diketahui oleh banyak orang di dalam lingkup Gereja, namun sayangnya
terlalu banyak yang dimaafkan atau diabaikan: bahwa pastor James Martin adalah menjadi
aktivis yang vokal mendukung "LGBT", bahkan dia telah menerima penghargaan
dari kelompok pembangkang Gereja Katolik seperti New Ways Ministry (yang secara terbuka mendukung pernikahan sesama
jenis dan meminta Gereja untuk mendukung masalah ini).
Pastor Martin juga sering menulis artikel
dan kutipan di media sosial yang isinya mendukung aktivitas LGBT, dengan tujuan
untuk mendapatkan pujian dari para pengikutnya. Ketika doktrin disalah-tafsirkan
oleh para pengikut yang sama, atau mereka secara terbuka mendukung tindakan
homoseksual sebagai hal yang suci dan normal, maka pastor Martin telah gagal
untuk memperbaiki mereka. Bahwa dia telah menabur kebingungan adalah benar, jika
kita mau beberapa menit saja membaca akun media sosialnya.
Bagaimanapun juga, dalam banyak hal, pastor
James Martin adalah representasi sempurna dari Gereja modern dan kontemporer.
Dia adalah anak dari budaya pop pasca-konsilier. Dia adalah perwujudan Gereja
Francis yang baru, di mana proses pendampingan, perjumpaan, serta dialog (dengan
jalan "membangun jembatan") memiliki tempat yang dibangga-banggakan,
dibandingkan dengan nasihat-nasihat spirituil mengenai dosa, pertobatan, penyesalan,
rahmat, penghakiman, Surga, atau neraka, karena kumpulan kata-kata yang
terakhir ini sudah kuno, sudah usang bagi Gereja modern.
Kita hanya perlu melihat dukungan yang
diberikan kepada bukunya yang akan segera terbit Building a Bridge untuk
mengetahui dimana posisi kita sekarang. Kita
mengalami salah satu krisis terbesar dalam sejarah Gereja.
Bukan hanya satu, tapi ada dua orang kardinal
yang telah mendukung buku Martin itu. Kardinal Kevin Farrell, yang ditunjuk
oleh Paus Francis sebagai Prefect of the Dicastery for Laity, Family and Life, yang
menulis:
"Ini adalah sebuah buku yang
merupakan ucapan ‘selamat datang’ (bagi kelompok LGBT) dan buku ini akan sangat
membantu para uskup, para imam, serta para pekerja pastoral dan semua pemimpin
Gereja agar bisa bersikap lebih penuh kasih dan melayani komunitas LGBT. Buku ini
juga akan membantu kelompok LGBT yang Katolik agar merasa lebih betah tinggal
di dalam Gereja mereka."
Yang satunya lagi adalah Cardinal Joseph Tobin dari
Newark, New Jersey,
yang berkata:
"Pada berbagai bidang dalam Gereja
kita, para pelaku LGBT telah dibuat merasa tidak diterima, merasa dikecualikan,
dan bahkan dipermalukan. Buku baru dari pastor Martin yang cukup berani ini,
memiliki makna nubuatan dan sangat inspiratif untuk menandai sebuah langkah
penting dalam mengajak para pemimpin Gereja untuk melayani dengan lebih banyak
belas kasih, dan mengingatkan umat Katolik yang menjalani kehidupan LGBT bahwa
mereka adalah sama seperti halnya umat Katolik lainnya, yang menjadi bagian
dari Gereja kita. "
Uskup Robert McElroy, dari San Diego, yang
banyak bermasalah (negativ) dan bersikap progresif, yang justru ditunjuk oleh
Paus Fransiskus untuk memegang jabatan penting, menulis:
"Injil meminta agar umat Katolik pelaku
LGBT harus benar-benar dikasihi dan dihargai dalam kehidupan Gereja. Tapi dalam
kenyataannya tidak seperti itu. Dalam buku ini pastor Martin memberi kita
bahasa yang jelas, perspektif, dan rasa urgensi yang besar untuk menggantikan
budaya ‘mengasingkan’ dengan budaya ‘memeluk’ yang penuh kasih sayang."
Dan kemudian, di antara dukungan dari
para klerus ini, kita bisa membaca tulisan Suster Jeannine Gramick, anggota
dari kelompok New Ways Ministry yang telah disebutkan diatas:
"Pastor Martin menunjukkan
bagaimana Rosario dan bendera pelangi
(LGBT) dapat bertemu satu sama lain
dengan damai. Maka buku ini layak dan harus dibaca."
Lalu, mengapa New Ways Ministry mengundang Fr. Martin untuk menghadiri upacara pemberian
penghargaan Bridge Building mereka, dan mengapa Sr. Gramick diminta
untuk mendukung buku barunya? Bagaimanapun juga, kelompok itu bukan hanya
mencari ‘pendampingan’, tetapi mereka mencari penerimaan - bukan atas diri
mereka sendiri tetapi penerimaan atas gaya
hidup mereka.
Dan inilah mengapa kita, kaum awam,
membutuhkan para uskup dan imam kita – yaitu
uskup dan imam yang masih memegang teguh kebenaran Injil dan doktrin Katolik
- untuk mengutuk ‘jembatan’ versi
pastor Martin dan semakin banyak uskup dan kardinal perlu melakukan hal ini. Karena
‘jembatan’ yang dibangun oleh pastor Martin tidak dirancang untuk pertobatan,
penyesalan, dan kesucian. Ia bukanlah jembatan yang dibangun untuk mengarahkan
jiwa menuju ke Surga. Kenyataannya, seluruh usaha dari gerakan pastor Martin saat
ini benar-benar tidak memiliki tujuan supranatural. Ia hanyalah bahasa
terapeutik yang hanya berfokus pada tujuan akhir yang bersifat sementara: yaitu
penerimaan gaya hidup LGBT. Ini adalah promosi terhadap budaya-kiri, bukan
promosi atas kebenaran Injil.
Pendampingan dan perjumpaan yang
diusulkan ini, ‘jembatan’ yang sedang
dibangun ini, tidak dimaksudkan untuk membebaskan jiwa dari dosa dan menuju ke
dalam kehidupan yang penuh kasih, namun ia menghendaki perubahan atas Gereja. Ia menunggu agar Gereja berkembang dan
berjalan ke arah topik ini. Sedikit saja di dalam gerakan itu yang peduli
apakah doktrin itu bisa dirubah (TIDAK
DAPAT); begitulah perubahan di bidang pastoral sedang menyelesaikan tugasnya
demi kepentingan kelompok mereka. Setidaknya untuk saat ini. Sebagai contoh perbandingan,
lihatlah kepada kelompok kerasulan internasional Courage yang berusaha membantu orang-orang yang
berjuang untuk mengatasi ketertarikan kepada sesama jenis. Dari situs mereka bisa dibaca:
Orang-orang dengan keinginan homoseksual
selalu ada bersama kita; namun sampai saat ini, hanya sedikit, jika ada, pendekatan
formal dari pihak Gereja kepada mereka atau kelompok pendukung mereka atau
informasi yang tersedia bagi orang-orang semacam itu. Sebagian besar mereka dibiarkan
bertindak di jalan mereka sendiri. Akibatnya, mereka banyak mendengarkan dan
menerima pendapat dari masyarakat sekuler dan mereka memilih untuk bertindak
berdasarkan hasrat mereka untuk berhubungan dengan sesama jenisnya.
Dalam menyimpulkan tujuan organisasinya,
Courage
menulis:
Dalam membantu individu mendapatkan
pemahaman dan lebih menghargai ajaran Gereja, terutama di bidang kesucian, Courage memperluas ajakan Gereja kepada kehidupan
yang damai serta rahmat. Dalam kehidupan yang murni, seseorang akan menemukan
kedamaian dan rahmat untuk bertumbuh dalam kedewasaan Kristiani.
Tetapi karena inilah mengapa kerasulan
seperti Courage ini tidak menerima dukungan dari para kardinal
dan uskup, apalagi dukungan dari pastor James Martin, karena Courage memberikan pemahaman yang jelas
bahwa dorongan kepada tindakan homoseksual, seperti seks pra-nikah, atau
perzinahan, atau dosa daging lainnya, haruslah dikalahkan. Pendampingan mereka tidak berupa menabur kebingungan
atau dengan diam-diam melestarikan gaya hidup homoseksual yang terus berlanjut.
Apa yang dimiliki oleh Courage dan tidak dimiliki oleh gerakan baru
yang sesat itu adalah berupa komponen spiritual yang sangat dalam. Inilah
jembatan mereka, yang dirancang untuk membawa kaum homoseksual aktif kembali kepada
kehidupan yang penuh rahmat:
1.
Untuk
menjalani kehidupan kemurnian sesuai dengan ajaran Gereja Katolik Roma tentang
homoseksualitas.
2.
Untuk
mempersembahkan seluruh kehidupan kita kepada Kristus melalui pelayanan kepada sesama,
bacaan rohani, doa, meditasi, nasihat spiritual secara pribadi, sering mengikuti
Misa Kudus, dan jika dimungkinkan, sering menerima sakramen Rekonsiliasi dan Ekaristi
Kudus.
3.
Untuk
menumbuhkan semangat persekutuan dimana kita bisa saling berbagi pemikiran dan
pengalaman kita, dan dengan demikian memastikan bahwa kita tidak harus
menghadapi masalah homoseksualitas secara sendirian saja.
4.
Untuk
menyadari kebenaran bahwa persahabatan yang suci tidak hanya mungkin dilakukan,
tapi perlu, dalam kehidupan Kristiani yang murni; dan untuk saling mendorong
dalam membentuk dan mempertahankan persahabatan ini.
5.
Menjalani
hidup yang bisa menjadi contoh baik bagi orang lain.
Alasan lain mengapa ‘jembatan’ baru versi
pastor Martin yang dibangun ini berbahaya dan harus dikutuk adalah karena ini
adalah bagian dari gerakan yang sedang berlangsung untuk melemahkan aturan yang
ada di dalam Katekismus Gereja Katolik yang berkaitan dengan ketertarikan seks sesama
jenis. Namun sayangnya, upaya dari pastor Martin itu konsisten dan sejalan dengan
pesan-pesan yang diberikan oleh Vatikan akhir-akhir ini. Tapi bagaimanapun juga
Katekismus mengatakan:
Katekismus Gereja Katolik 2357. Homoseksualitas adalah hubungan antara para pria atau wanita,
yang merasa diri tertarik dalam hubungan seksual, semata-mata atau terutama,
kepada orang sejenis kelamin. Homoseksualitas muncul dalam berbagai waktu dan
kebudayaan dalam bentuk yang sangat bervariasi. Asal-usul psikisnya masih belum
jelas sama sekali. Berdasarkan Kitab Suci yang melukiskannya sebagai
penyelewengan besar, tradisi Gereja selalu menjelaskan, bahwa "perbuatan
homoseksual itu tidak baik" (CDF, Perny. "Persona humana" 8).
Perbuatan itu melawan hukum kodrat, karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin
terjadi waktu persetubuhan. Perbuatan itu tidak berasal dari satu kebutuhan benar
untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual. Bagaimanapun perbuatan itu
tidak dapat dibenarkan.
Asal usul dari buku James Martin adalah
esai dari majalah America yang berjudul ‘Simply Loving’, dan pidatonya
pada acara pemberian penghargaan kepadanya oleh New Ways Ministry pada bulan Oktober 2016. Keduanya
bersama-sama memberi kita suguhan yang digunakan untuk tidak usah terlalu menekankan
dan membingungkan ajaran Gereja tentang seksualitas manusia. Secara umum, kita
dapat membagi bangunan ‘jembatan sesat’
ini menjadi tiga komponen:
Tidak
adanya pertobatan:
Tidak seperti pada kerasulan Courage,
tidak ada satu pun dari strategi pastor Martin ini yang berbicara tentang
penyesalan dan pertobatan. Sebaliknya, fokusnya adalah pada kalimat-kalimat
yang bertujuan melemahkan dan sebagai terapi pura-pura bagi "rasa hormat,
belas kasih, dan kepekaan." Pastor Martin menulis bahwa anjurannya ini
berasal langsung dari paragraf 2358 Katekismus. Namun, bila dipisahkan dari
bahasa paragraf sebelumnya di atas (2357), konteks dan kesinambungannya benar-benar
hilang. Hal itu memang disengaja begitu. Pendampingan Katolik yang otentik
mengharuskan kita memasukkan unsur dosa dan rahmat, belas kasihan dan
penghakiman. Jika kurang dari ini maka hanya akan memberi kepada saudara-saudara
kita LGBT dengan rasa belas kasihan yang salah, atau yang lebih buruk lagi, pembenaran
atas kesalahan mereka.
Bahasa
Sekuler dari LGBT ditinggalkan: Pastor Martin menyatakan bahwa orang memiliki
hak untuk menyebut dirinya sendiri. Dia mengatakan kepada pendengarnya pada saat
upacara New Ways Ministry:
"Nama adalah penting. Dengan
demikian, para pemimpin Gereja diajak untuk memperhatikan bagaimana mereka
memberi nama kepada komunitas LGBT, dan meninggalkan istilah atau nama atau ungkapan-ungkapan
seperti "menderita ketertarikan terhadap sesama jenis," dimana saya
tidak pernah melihat ada orang LGBT yang memakai ungkapan itu bagi dirinya, atau
bahkan menyebut diri mereka sebagai "orang homosex", yang nampaknya istilah
ini terlalu ‘membuat gatal’ bagi banyak orang ... saya mengatakan bahwa orang
memiliki hak untuk menamai diri mereka sendiri. Menggunakan nama-nama itu
adalah bagian dari rasa hormat. "
Di dalam suasana saat ini dimana
definisi masing-masing orang telah berkembang untuk menentukan jenis kelamin dan
transgenderisme, maka perkataan Martin sangat mirip dengan hasrat seksual kaum
LGBT itu. Selanjutnya, sebutan "LGBT" yang sebenarnya untuk
sekelompok tertentu adalah konstruksi tahun 1990 dari kelompok ‘kiri sekuler’.
Ini adalah identifikasi dengan seperangkat keyakinan dan agenda, yang
didasarkan pada persetujuan dan promosi
homoseksualitas sebagai perilaku yang normal. Dan hal ini membawa kita ke pada
tujuan strategis ketiga dan terakhir ...
Depersonalisasi
Katolik: Apa yang
dilakukan oleh kerasulan Courage
dengan baik, dan
apa yang selalu diajarkan oleh agama Katolik, adalah untuk menyadari dan menghargai martabat individu. Tetapi pastor Martin
dan para uskup pendukungnya juga mengklaim hal ini. Masalahnya, adalah label
dan gerakan LGBT yang mereka putuskan untuk mereka terima justru sebaliknya. Tiap-tiap
Individu mengambil enaknya sendiri dari kelompok itu (LGBT) dan tingkah laku
itu (homosex). Daya tarik terhadap sesama jenis pada umat Katolik didefinisikan
oleh seksualitas mereka dan melalui
politik identitas mereka.
Menarik untuk dicatat bahwa pastor Martin
mengakui hal ini dalam pidatonya di acara New Ways Ministry, meskipun hal yang memalukan nampaknya
telah hilang pada dirinya:
"Dalam hal ini, seperti dalam
semua hal lainnya, Yesus adalah contoh kita. Ketika Yesus bertemu dengan
orang-orang pinggiran, Dia tidak melihat sebuah kelompok orang yang terpinggirkan,
tetapi Dia melihat manusia."
Dan ini, contoh Yesus yang seperti ini,
bukanlah model yang dia ikuti.
Apa yang harus dilakukan saat ini, bagi
para uskup, imam, dan umat awam yang setia, adalah secara terbuka menentang usulan
kemurahan hati yang palsu itu yang diajukan pastor Martin melalui ‘jembatannya’
yang salah.
Uskup-uskup adalah penguasa di wilayah keuskupan
mereka. Mereka dapat menolak imam atau uskup lain untuk berbicara di dalam wilayah
paroki mereka. Inilah yang telah dilakukan oleh banyak orang terhadap pensiunan
Uskup Thomas Gumbleton di Detroit, yang telah sering mengunjungi dan ikut serta
dalam beberapa acara dari New Ways Ministry pada masa lalu.
Tidak diragukan lagi bahwa pastor James
Martin akan mempromosikan buku barunya ini dalam beberapa minggu mendatang. Kemungkinan
besar dia akan diminta untuk berbicara di beberapa paroki atau di radio Katolik
setempat. Para uskup dan imam kami, dan umat awam yang bertugas untuk
mengkomunikasikan ajaran Gereja yang benar, harus membantu mencegah kebingungan
ini lebih lanjut.
Tidak ada yang lebih terancam oleh ‘jembatan’
Martin yang berbahaya ini daripada saudara-saudara kita yang memiliki
ketertarikan kepada sesama jenisnya. Semoga kita bisa melihat ada lebih banyak
lagi imam dan uskup kita yang mengarahkan mereka menuju kerasulan seperti organisasi
Courage, dan menjauhkan saudara-saudara kita
itu dari mereka yang ingin "mendampingi" mereka langsung ke tepi jurang.
Originally published at LiturgyGuy.com.
The post has been updated.
[Images: Screengrab/Harper Collins]
Silakan melihat artikel
lainnya disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/
No comments:
Post a Comment