Si Pembohong Besar
by Deacon James Toner May 18, 2021
Ams 15:23 “Seseorang bersukacita karena jawaban yang diberikannya, dan alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya!” Begitu pula dengan kata ‘tidak masuk akal,’ yang idealnya mencakup esensi dari kebohongan yang menjadi ciri khas apa yang saat ini menyamar sebagai etika sosial.
Jika si penipu adalah seseorang yang berpura-pura menjadi
orang lain untuk menipu atau membohongi orang yang lainnya, maka kata ‘tidak
masuk akal’ ini mengacu pada niat, janji, dan tindakan penipu itu. Si Penipu
Agung adalah Setan (Wahyu 13:14), bapa segala dusta (Yohanes 8:44). Kebohongan
adalah pernyataan palsu yang dibuat dengan sengaja untuk menipu. Pembohong
adalah penipu, dan Setan adalah penipu ulung.
Tidak seorang pun secara masuk akal memilih untuk melakukan
tindakan yang akan menipu, merusak, atau menghancurkan dirinya sendiri.
Sebaliknya, karena tergoda oleh nyanyian sirene dari etika yang tidak masuk
akal, orang yang naif menaruh kepercayaan pada janji-janji yang menyesatkan. Di
sinilah inti dari dosa itu sendiri, karena dosa
pada intinya adalah: tidak masuk akal.
Kita berdosa karena kita mencari apa yang merupakan barang
palsu atau penafsiran yang salah dan berbahaya. Coba pikirkan Hawa di Taman
Firdaus, yang tergoda untuk tidak taat kepada Tuhan oleh keinginan yang tidak
teratur akan kekuasaan, kemajuan, dan kesempurnaan (lht.Kej.3: 5-6). "Kebaikan"
yang diinginkannya adalah sebuah tipuan, kebohongan.
Rasisme, contoh populer saat ini, adalah sebuah kejahatan
besar. Mencela kejahatan rasisme hanyalah mengatasi gejala dosa sistemik, yang
merupakan penyebab dari rasisme dan praktik serta ideologi menjijikkan lainnya.
“Akar dari dosa ada di dalam hati manusia, dalam kehendak bebasnya, sesuai
dengan ajaran Tuhan” (CCC # 1853, mengacu pada Mat. 15: 19-20). Seperti yang
dikatakan Katekismus:
Hanya terang Wahyu ilahi yang bisa menjelaskan realitas dosa
dan khususnya dosa yang dilakukan pada asal-usul manusia. Tanpa pengetahuan
yang diberikan oleh wahyu Tuhan, kita tidak dapat mengenali dosa dengan jelas,
dan tergoda untuk menjelaskannya hanya sebagai cacat perkembangan, kelemahan
psikologis, kesalahan, atau konsekuensi yang diperlukan dari struktur sosial
yang tidak memadai, dll. Hanya dalam pengetahuan tentang rencana Tuhan bagi manusia,
kita dapat memahami bahwa dosa adalah penyalahgunaan kebebasan yang diberikan
Tuhan kepada makhluk ciptaan dengan tujuan (Tuhan) agar manusia mampu untuk
mencintai Dia dan mencintai sesama.” (# 387; lih.407-409).
Bahkan dalam kasus-kasus di mana orang-orang berdosa memahami
kejahatan sebagai kejahatan, namun tetap saja dia memilihnya, mereka sering
digerakkan oleh gagasan yang sangat keliru bahwa mereka dapat mengubah apa yang
secara obyektif jahat menjadi kebaikan subjektif mereka sendiri. “Hai kejahatan,
jadilah kebaikanku!” seperti kata Setan dalam buku Paradise Lost.
Upaya putus asa untuk menggantikan kebaikan dengan kejahatan
-- yang merupakan sifat pokok dari etika palsu -- adalah benang merah yang
menghubungkan segala jenis kebusukan. Pencarian kekuasaan, pembaruan, dan
kesempurnaan duniawi, menemukan ekspresinya dalam halusinasi penipu biologis,
seperti penyediaan fasilitas bedah perubahan jenis kelamin sesuai dengan yang
disukai seseorang; penipu psikologis seperti misalnya, adanya jaminan bahwa
hati nurani yang bersalah bisa diredakan di sofa ruang praktek psikiater dan
bukan melalui pengakuan dosa di hadapan imam; penipu di bidang ekonomi, seperti
misalnya desas-desus agar masyarakat menjadikan pemerintah sebagai pemimpin tinggal
atau satu-satunya sumber yang berhak memproduksi dan mendistribusikan segala
kebutuhan; dan penipu politik, seperti misalnya, khayalan bahwa penggabungan
kekuasaan kepada negara akan mengarah ke surga melalui desain ulang (great
reset) kemanusiaan oleh pemerintah.
Dalam hal ini, C.S. Lewis memberikan peringatan yang tajam
tentang mereka yang akan menggunakan kekuatan mereka untuk "membentuk
kembali" sifat manusia: "kekuatan Manusia untuk membuat dirinya
menjadi apa yang dia inginkan, berarti meletakkan kekuasaan pada beberapa orang
untuk menjadikan orang lain sesuka mereka.” (The Abolition of Man; dan lihat novelnya di That Hideous Strength).
Janji Setan di Taman Eden — Kamu bisa menjadi dewa! — adalah contoh utama dari etika palsu,
karena ketika kita telah menjadi dewa, kita berkata pada diri kita sendiri, bahwa
kita dapat memaksakan Moralitas Baru dari kelas atau kelompok kita. Etika dan
politik yang tidak benar memberi tahu kita bahwa kita dapat menggantikan Tuhan;
bahwa kita dapat mendewakan diri kita sendiri dan mereka yang cukup cerdas
untuk menjadi sekutu kita; bahwa kita bisa membuat semua hal menjadi baru.
Akan tetapi, "menjadikan segala sesuatu baru"
adalah janji dari "orang yang duduk di atas takhta" (Why 21: 5).
Menyerahkan kekuasaan seperti itu kepada orang lain – kepada para ahli biologi,
psikolog, ekonom, politikus -- adalah bencana. Di sini, di bawah judul "pembohong," ada tokoh-tokoh
Fuehrer, Duce, Vozhd, Juru Mudi Agung, Pemimpin Yang Terhormat, dan Antikristus (lihat CCC # 675), serta para
ahli medis atau psikiater yang menawarkan untuk menyelesaikan semua masalah,
menyembuhkan semua penyakit, memperbaiki semua kesalahan.
"Percayalah," kata mereka, "karena akulah jalan, kebenaran, dan
hidup." Ini menurut mereka.
Di sinilah terletak inti dan kunci dari etika palsu itu.
Inilah ungkapan terakhir dari "tujuan
membenarkan cara" yang dianut oleh Komunis. Inilah tepatnya yang
dimaksud oleh Walker Percy dan Flannery O’Connor ketika mereka memperingatkan
kita bahwa kelembutan dan sikap penurut akan mengarah kepada kamar gas. Jika si
Penipu Agung memiliki pengetahuan eksklusif tentang apa yang dibutuhkan untuk
mencapai "kemajuan," maka berdayakan dia, dengan sekian juta kematian
ketika hasilnya adalah berupa surga di bumi!
Tiga puluh tahun yang lalu, di Centesimus Annus, St. Yohanes Paulus dengan ringkas menjelaskan
jenis bahaya moral dan politik seperti ini:
Ketika orang
mengira dirinya memiliki rahasia dari organisasi sosial yang sempurna, yang bisa
membuat kejahatan menjadi tidak mungkin dilakukan, maka dia juga sekaligus berpikir
bahwa dirinya dapat menggunakan cara apa pun, termasuk kekerasan dan tipu daya,
untuk mewujudkan organisasi itu. Politik kemudian menjadi “agama sekuler” yang
beroperasi di bawah ilusi menciptakan surga di dunia ini. Tetapi tidak ada
masyarakat politik -- yang memiliki otonomi dan hukumnya sendiri - dapat
disamakan dengan Kerajaan Allah [# 25].
Pertimbangkan eulogi hangat - dan sangat gila - yang
ditawarkan untuk menggantikan Fidel Castro, setelah kematiannya pada 25
November 2016. Dalam pergolakan skotoma etis, beberapa orang, dengan sangat menyedihkan,
telah salah dalam mengira bahwa diktator brutal itu sebagai ayah yang baik
hati.
Etika yang menipu adalah Pelagianisme tentang steroid.
Sepanjang sejarah, ide itu mengambil bentuk yang berbeda, tetapi selalu ada
kegilaan yang sama: keinginan untuk membatalkan
Perintah Pertama Tuhan.
Buanglah Perintah Pertama Tuhan, maka Anda akan segera
membatalkan Amandemen Pertama dari UUD Amerika Serikat. Dosa adalah usaha mengganti
apa yang kita dambakan yang sesuai dengan perintah Tuhan. Karena itu pemerintah
totaliter adalah: sepenuhnya menggantikan teologi dengan ideologi, dan itu
menuntut kesetiaan mutlak atas sesuatu yang seharusnya kita arahkan kepada kepada
Tuhan saja (lih. Kis 5:29, Kel 1:17).
Almarhum filsuf politik Eric Voegelin, ironisnya mencapai
ukuran kemasyhuran, bahkan di dunia populer, ketika ucapannya yang bijaksana -
“Jangan mempertahankan sesuatu yang tidak bisa bertahan!” - menjadi dikenal
luas. Murid-muridnya tahu ajarannya jauh lebih kaya daripada yang bisa
terkandung dalam rumusan singkat, tetapi frase yang dimaksud adalah,
bagaimanapun, versi ringkas dari apa yang Voegelin peringatkan kepada kita:
mereka yang berusaha membangun Surga di bumi akan memberikan yang sebaliknya,
Neraka! (lih. Yes 14:14, 2 Tes 2: 4).
Nafsu akan kekuasaan yang diperlihatkan dalam pembangunan Menara Babel (Gen 11) dapat dipahami sebagai suatu penyembahan, atau tipe, dari jenis ambisi Herodian megalomaniak yang mengarah kepada "kamar-kamar gas" (Mat 2: 16-18), yaitu pembantaian orang tak berdosa, sama seperti keadaan setelah Tuhan kita lahir. Para pembangun Menara Babel modern berusaha untuk "memberi nama untuk diri mereka sendiri" — yaitu, untuk mencapai keunggulan sedemikian rupa sehingga mereka dapat menolak ketergantungan kepada Tuhan.
Etika yang tidak benar atau etika yang menipu, berarti secara sederhana: bahwa apa yang baik dan benar dan indah digantikan oleh apa yang jahat, salah dan buruk. Namun, karena kita sering rabun secara rohani, kita mungkin tak bisa mengenali si penipu ulung. Pendidikan sejati selalu berlandaskan pada membantu kita membedakan antara apa yang benar-benar kebajikan dan apa yang jahat yang tidak masuk akal — dan, kita berharap, secara moral, mendorong kita melawan dewa-dewa palsu yang ada di mana-mana di zaman kita sekarang.
------------------------------------
Deacon James H. Toner (M.A., William & Mary; Ph.D., Notre Dame)
is Professor Emeritus of Leadership and Ethics at the U.S. Air War College, a
former U.S. Army officer, and author of Morals Under the
Gun and other books. He has also taught at Notre
Dame, Norwich, Auburn, the U.S. Air Force Academy, and Holy Apostles College
& Seminary. He has contributed numerous columns to The Catholic Thing, Crisis Magazine, One Peter Five, and
the Wanderer. He and
his wife Rebecca have three sons and eleven grandchildren.
------------------------------------
Dia dikirim untuk melucuti Gereja-Ku dan mengoyakkannya
hingga berkeping-keping.
Kitab Kebenaran, Jumat, 8 Maret, 2013 @ 14:05
--------------------------------------
Silakan membaca artikel lainnya disini:
Mendapati Kerasukan Secara Total
Kasus
Mengerikan Dari Eksorsisme Pada Anna Ecklund
Berkat
Yang Tidak Berasal Dari Agama Manapun