Tuesday, May 25, 2021

Si Pembohong Besar

 

 

Si Pembohong Besar 

https://onepeterfive.com/the-grand-impostor/?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+Onepeterfive+%28OnePeterFive%29

 

by Deacon James Toner May 18, 2021 

 

Ams 15:23 Seseorang bersukacita karena jawaban yang diberikannya, dan alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya!Begitu pula dengan kata ‘tidak masuk akal,’ yang idealnya mencakup esensi dari kebohongan yang menjadi ciri khas apa yang saat ini menyamar sebagai etika sosial.

 

Jika si penipu adalah seseorang yang berpura-pura menjadi orang lain untuk menipu atau membohongi orang yang lainnya, maka kata ‘tidak masuk akal’ ini mengacu pada niat, janji, dan tindakan penipu itu. Si Penipu Agung adalah Setan (Wahyu 13:14), bapa segala dusta (Yohanes 8:44). Kebohongan adalah pernyataan palsu yang dibuat dengan sengaja untuk menipu. Pembohong adalah penipu, dan Setan adalah penipu ulung.

 

Tidak seorang pun secara masuk akal memilih untuk melakukan tindakan yang akan menipu, merusak, atau menghancurkan dirinya sendiri. Sebaliknya, karena tergoda oleh nyanyian sirene dari etika yang tidak masuk akal, orang yang naif menaruh kepercayaan pada janji-janji yang menyesatkan. Di sinilah inti dari dosa itu sendiri, karena dosa pada intinya adalah: tidak masuk akal.

 

Kita berdosa karena kita mencari apa yang merupakan barang palsu atau penafsiran yang salah dan berbahaya. Coba pikirkan Hawa di Taman Firdaus, yang tergoda untuk tidak taat kepada Tuhan oleh keinginan yang tidak teratur akan kekuasaan, kemajuan, dan kesempurnaan (lht.Kej.3: 5-6). "Kebaikan" yang diinginkannya adalah sebuah tipuan, kebohongan.

 

Rasisme, contoh populer saat ini, adalah sebuah kejahatan besar. Mencela kejahatan rasisme hanyalah mengatasi gejala dosa sistemik, yang merupakan penyebab dari rasisme dan praktik serta ideologi menjijikkan lainnya. “Akar dari dosa ada di dalam hati manusia, dalam kehendak bebasnya, sesuai dengan ajaran Tuhan” (CCC # 1853, mengacu pada Mat. 15: 19-20). Seperti yang dikatakan Katekismus:

 

Hanya terang Wahyu ilahi yang bisa menjelaskan realitas dosa dan khususnya dosa yang dilakukan pada asal-usul manusia. Tanpa pengetahuan yang diberikan oleh wahyu Tuhan, kita tidak dapat mengenali dosa dengan jelas, dan tergoda untuk menjelaskannya hanya sebagai cacat perkembangan, kelemahan psikologis, kesalahan, atau konsekuensi yang diperlukan dari struktur sosial yang tidak memadai, dll. Hanya dalam pengetahuan tentang rencana Tuhan bagi manusia, kita dapat memahami bahwa dosa adalah penyalahgunaan kebebasan yang diberikan Tuhan kepada makhluk ciptaan dengan tujuan (Tuhan) agar manusia mampu untuk mencintai Dia dan mencintai sesama.” (# 387; lih.407-409).

 

Bahkan dalam kasus-kasus di mana orang-orang berdosa memahami kejahatan sebagai kejahatan, namun tetap saja dia memilihnya, mereka sering digerakkan oleh gagasan yang sangat keliru bahwa mereka dapat mengubah apa yang secara obyektif jahat menjadi kebaikan subjektif mereka sendiri. “Hai kejahatan, jadilah kebaikanku!” seperti kata Setan dalam buku Paradise Lost.

 

Upaya putus asa untuk menggantikan kebaikan dengan kejahatan -- yang merupakan sifat pokok dari etika palsu -- adalah benang merah yang menghubungkan segala jenis kebusukan. Pencarian kekuasaan, pembaruan, dan kesempurnaan duniawi, menemukan ekspresinya dalam halusinasi penipu biologis, seperti penyediaan fasilitas bedah perubahan jenis kelamin sesuai dengan yang disukai seseorang; penipu psikologis seperti misalnya, adanya jaminan bahwa hati nurani yang bersalah bisa diredakan di sofa ruang praktek psikiater dan bukan melalui pengakuan dosa di hadapan imam; penipu di bidang ekonomi, seperti misalnya desas-desus agar masyarakat menjadikan pemerintah sebagai pemimpin tinggal atau satu-satunya sumber yang berhak memproduksi dan mendistribusikan segala kebutuhan; dan penipu politik, seperti misalnya, khayalan bahwa penggabungan kekuasaan kepada negara akan mengarah ke surga melalui desain ulang (great reset) kemanusiaan oleh pemerintah.

 

Dalam hal ini, C.S. Lewis memberikan peringatan yang tajam tentang mereka yang akan menggunakan kekuatan mereka untuk "membentuk kembali" sifat manusia: "kekuatan Manusia untuk membuat dirinya menjadi apa yang dia inginkan, berarti meletakkan kekuasaan pada beberapa orang untuk menjadikan orang lain sesuka mereka.” (The Abolition of Man; dan lihat novelnya di That Hideous Strength).

 

Janji Setan di Taman Eden — Kamu bisa menjadi dewa! — adalah contoh utama dari etika palsu, karena ketika kita telah menjadi dewa, kita berkata pada diri kita sendiri, bahwa kita dapat memaksakan Moralitas Baru dari kelas atau kelompok kita. Etika dan politik yang tidak benar memberi tahu kita bahwa kita dapat menggantikan Tuhan; bahwa kita dapat mendewakan diri kita sendiri dan mereka yang cukup cerdas untuk menjadi sekutu kita; bahwa kita bisa membuat semua hal menjadi baru.

 

Akan tetapi, "menjadikan segala sesuatu baru" adalah janji dari "orang yang duduk di atas takhta" (Why 21: 5). Menyerahkan kekuasaan seperti itu kepada orang lain – kepada para ahli biologi, psikolog, ekonom, politikus -- adalah bencana. Di sini, di bawah judul "pembohong," ada tokoh-tokoh Fuehrer, Duce, Vozhd, Juru Mudi Agung, Pemimpin Yang Terhormat, dan Antikristus (lihat CCC # 675), serta para ahli medis atau psikiater yang menawarkan untuk menyelesaikan semua masalah, menyembuhkan semua penyakit, memperbaiki semua kesalahan. "Percayalah," kata mereka, "karena akulah jalan, kebenaran, dan hidup." Ini menurut mereka.

 

Di sinilah terletak inti dan kunci dari etika palsu itu. Inilah ungkapan terakhir dari "tujuan membenarkan cara" yang dianut oleh Komunis. Inilah tepatnya yang dimaksud oleh Walker Percy dan Flannery O’Connor ketika mereka memperingatkan kita bahwa kelembutan dan sikap penurut akan mengarah kepada kamar gas. Jika si Penipu Agung memiliki pengetahuan eksklusif tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai "kemajuan," maka berdayakan dia, dengan sekian juta kematian ketika hasilnya adalah berupa surga di bumi!

 

Tiga puluh tahun yang lalu, di Centesimus Annus, St. Yohanes Paulus dengan ringkas menjelaskan jenis bahaya moral dan politik seperti ini:

Ketika orang mengira dirinya memiliki rahasia dari organisasi sosial yang sempurna, yang bisa membuat kejahatan menjadi tidak mungkin dilakukan, maka dia juga sekaligus berpikir bahwa dirinya dapat menggunakan cara apa pun, termasuk kekerasan dan tipu daya, untuk mewujudkan organisasi itu. Politik kemudian menjadi “agama sekuler” yang beroperasi di bawah ilusi menciptakan surga di dunia ini. Tetapi tidak ada masyarakat politik -- yang memiliki otonomi dan hukumnya sendiri - dapat disamakan dengan Kerajaan Allah [# 25].

 

Pertimbangkan eulogi hangat - dan sangat gila - yang ditawarkan untuk menggantikan Fidel Castro, setelah kematiannya pada 25 November 2016. Dalam pergolakan skotoma etis, beberapa orang, dengan sangat menyedihkan, telah salah dalam mengira bahwa diktator brutal itu sebagai ayah yang baik hati.

 

Etika yang menipu adalah Pelagianisme tentang steroid. Sepanjang sejarah, ide itu mengambil bentuk yang berbeda, tetapi selalu ada kegilaan yang sama: keinginan untuk membatalkan Perintah Pertama Tuhan.

 

Buanglah Perintah Pertama Tuhan, maka Anda akan segera membatalkan Amandemen Pertama dari UUD Amerika Serikat. Dosa adalah usaha mengganti apa yang kita dambakan yang sesuai dengan perintah Tuhan. Karena itu pemerintah totaliter adalah: sepenuhnya menggantikan teologi dengan ideologi, dan itu menuntut kesetiaan mutlak atas sesuatu yang seharusnya kita arahkan kepada kepada Tuhan saja (lih. Kis 5:29, Kel 1:17).

 

Almarhum filsuf politik Eric Voegelin, ironisnya mencapai ukuran kemasyhuran, bahkan di dunia populer, ketika ucapannya yang bijaksana - “Jangan mempertahankan sesuatu yang tidak bisa bertahan!” - menjadi dikenal luas. Murid-muridnya tahu ajarannya jauh lebih kaya daripada yang bisa terkandung dalam rumusan singkat, tetapi frase yang dimaksud adalah, bagaimanapun, versi ringkas dari apa yang Voegelin peringatkan kepada kita: mereka yang berusaha membangun Surga di bumi akan memberikan yang sebaliknya, Neraka! (lih. Yes 14:14, 2 Tes 2: 4).

 

Nafsu akan kekuasaan yang diperlihatkan dalam pembangunan Menara Babel (Gen 11) dapat dipahami sebagai suatu penyembahan, atau tipe, dari jenis ambisi Herodian megalomaniak yang mengarah kepada "kamar-kamar gas" (Mat 2: 16-18), yaitu pembantaian orang tak berdosa, sama seperti keadaan setelah Tuhan kita lahir. Para pembangun Menara Babel modern berusaha untuk "memberi nama untuk diri mereka sendiri" — yaitu, untuk mencapai keunggulan sedemikian rupa sehingga mereka dapat menolak ketergantungan kepada Tuhan. 

Etika yang tidak benar atau etika yang menipu, berarti secara sederhana: bahwa apa yang baik dan benar dan indah digantikan oleh apa yang jahat, salah dan buruk. Namun, karena kita sering rabun secara rohani, kita mungkin tak bisa mengenali si penipu ulung. Pendidikan sejati selalu berlandaskan pada membantu kita membedakan antara apa yang benar-benar kebajikan dan apa yang jahat yang tidak masuk akal — dan, kita berharap, secara moral, mendorong kita melawan dewa-dewa palsu yang ada di mana-mana di zaman kita sekarang.

 

------------------------------------

 

Deacon James Toner

 

Deacon James H. Toner (M.A., William & Mary; Ph.D., Notre Dame) is Professor Emeritus of Leadership and Ethics at the U.S. Air War College, a former U.S. Army officer, and author of Morals Under the Gun and other books. He has also taught at Notre Dame, Norwich, Auburn, the U.S. Air Force Academy, and Holy Apostles College & Seminary. He has contributed numerous columns to The Catholic ThingCrisis MagazineOne Peter Five, and the Wanderer. He and his wife Rebecca have three sons and eleven grandchildren.

 

------------------------------------

 

 

Dia dikirim untuk melucuti Gereja-Ku dan mengoyakkannya hingga berkeping-keping.

Kitab Kebenaran, Jumat, 8 Maret, 2013 @ 14:05 

 

-------------------------------------- 


Silakan membaca artikel lainnya disini: 

Mendapati Kerasukan Secara Total

Kasus Mengerikan Dari Eksorsisme Pada Anna Ecklund

Enoch, 16 Mei 2021

Enoch, 19 Mei 2021

Berkat Yang Tidak Berasal Dari Agama Manapun

LDM, 22 Mei 2021

Membedah Tujuh Dosa Pokok