KITA SEDANG DIUJI :
Seorang akademisi Katolik mengatakan
bahwa anjuran PF (AL) menghadirkan
bahaya bagi Gereja
oleh : Claire Chretien
Dr. Anna M. Silvas, seorang profesor di University of New England dan
salah satu ahli mengenai para Bapa Gereja, menyampaikan kritik kerasnya pada
anjuran Amoris
Laetitia.
14 Juni 2016 (LifeSiteNews) – seorang filsuf Katolik terkenal dan
ahli mengenai para Bapa Gereja, telah bergabung dengan ‘paduan suara’ yang saat
ini semakin berkembang dengan menyatakan keprihatinannya yang sangat mendalam
atas implikasi dari nasihat dan anjuran yang kontroversial dari Paus Francis : Amoris Laetitia.
"Apa
yang tadinya sudah pasti, namun kini menjadi bermasalah," karena
ambiguitas yang ditanda-tangani Paus, demikian tulis Dr. Jude P. Dougherty, dekan
emeritus dari School of Philosophy di The Catholic University of America, dalam
kolom di media ‘The Wanderer’.
‘Pembicaraan
internal’ kini terjadi di dalam Gereja atas masalah Komuni Kudus bagi orang
yang bercerai dan menikah lagi, yang meruntuhkan otoritas moral Gereja, demikian
tulis Dougherty, pada saat "peradaban Barat itu sendiri, yang terlepas
dari sumber utamanya, nampaknya kini dipertaruhkan. "
Setelah
dirilisnya Amoris Laetitia, para
kardinal dan uskup yang mendukung perubahan didalam praktek sakramental
mengklaim memperoleh kemenangan, dengan alasan bahwa catatan kaki 351 dari
Amoris Laetitia membuka pintu bagi perubahan yang signifikan terhadap sakramen-sakramen
bagi mereka yang hidupnya bermasalah dan yang selama ini diajarkan oleh Gereja bahwa
cara hidup seperti itu adalah berdosa.
Banyak
penulis Katolik ortodoks sepakat bahwa Amoris
Laetitia bertentangan dengan ajaran Gereja tentang masalah ini dan
menyatakan keprihatinan mereka bahwa hal itu akan menyebabkan penistaan dan kehancuran
di dalam gereja.
Dengan
‘satu goresan pena,’ saja Paus Francis telah merubah ‘kekacauan menjadi prinsip’
dan dia sedang menuntun Gereja ‘menuju perpecahan,’ demikian kata Profesor
Robert Spaemann, seorang filsuf Katolik terkemuka dan teman dekat Paus Emeritus
Benediktus XVI. Perpecahan seperti itu bukan saja akan terjadi di bagian ‘tepi’
saja, tetapi justru di pusat Gereja, dia memperingatkan, dan menyatakan bahwa
Amoris Laetitia adalah jelas ‘pelanggaran’ terhadap ajaran Gereja.
Paus
Francis kemudian mengatakan bahwa dia tidak
ingat dengan catatan kaki yang paling terkenal itu.
“Selain
posisi akademiknya, apa yang memberikan kewenangan kepada Robert Spaemann untuk
bersuara adalah tradisi hukum alam yang diwakilinya dimana dalam masalah inilah
Gereja sendiri harus bertanggung jawab," demikian tulis Dougherty.
Dia
melanjutkan :
Gereja tidaklah menciptakan moralitas,
tetapi selama berabad-abad Gereja telah mengundangkan prinsip-prinsip moral
yang tertinggi yang dikenal oleh manusia. Jelaslah bahwa disiplin yang terkait dengan sakramen yang disahkan
secara ilahiah adalah merupakan wilayah Gereja. Melalui sakramen-sakramen
gereja telah mengajarkan dan menganjurkan perilaku moral pribadi. Dan upaya ini
telah memberikan kontribusi yang luar biasa bagi pembentukan budaya Barat.
Kita
telah kehilangan semua tempat berpijak, seperti kisah ‘Alice in Wonderland’
Dr.
Anna M. Silvas, seorang profesor di Universitas New England dan di Universitas
Katolik Australia dan salah satu ahli terkenal mengenai para Bapa Gereja,
menyampaikan kritik yang keras terhadap Amoris
Laetitia ‘di hadapan kerumunan uskup-uskup dan imam-imam’ di Melbourne
Australia. Seorang wartawan Katolik Italia, Sandro Magister, kembali menerbitkan
seluruh komentar di blog-nya Chiesa
dan menyebutnya sebagai berita yang "Harus dibaca. brilian, mengena, cerdik,
langsung. Sebuah contoh yang jelas dari ‘parresìa’ yang merupakan tugas dari
setiap orang yang telah dibaptis. "
Dr.Silvas
menulis bahwa Amoris Laetitia telah merusak
ajaran Gereja dengan menerima usulan Kardinal Walter Kasper bahwa mereka yang
telah berada didalam persekutuan dengan Gereja dan yang melakukan tindakan
perzinahan, dalam beberapa keadaan tertentu, mereka diijinkan untuk menerima
Komuni Kudus.
Dr.Silvas
mengkritik ambiguitas dan subjektivisme ddokumen AL, yang merupakan ‘bahasa emosi’ dari Paus Francis, yang lebih
mencerminkan ‘mentalitas media populer’, bukannya mencerminkan pemikiran dari
para Bapa Gereja, dan ‘perjalanan panjang lahirnya AL itu bisa saja diberikan oleh wartawan sekuler yang tak beriman
sekalipun’ yang seringkali tidak menyebut kata ‘Kristus’ sama sekali.
“Bahkan
bagian ‘yang paling spirituil’ sekalipun dari AL tidak bisa mengatakan bahwa dokumen itu telah menghindari terjadinya
ambiguitas," demikian tulis Dr.Silvas.
Dr.Silvas
juga menganalisa bagian pengantar dari Amoris
Laetitia yang berbicara mengenai gagasan bahwa seseorang yang berada dalam
situasi dosa berat, dia masih bisa hidup dan bertumbuh dalam rahmat Allah.
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa dosa berat menyebabkan ‘hilangnya kebajikan
ilahi serta rahmat pengudusan, artinya status dalam keadaan rahmat. Jika hal
itu tidak ditebus melalui penyesalan dan pengampunan Tuhan, maka hal itu
menyebabkan pengucilan dari Kerajaan Kristus dan kematian kekal didalam neraka
"(CCC 1861). (CCC 1861. Dosa berat, sama seperti kasih, adalah satu
kemungkinan radikal yang dapat dipilih manusia dalam kebebasan penuh. Ia
mengakibatkan kehilangan kebajikan ilahi, kasih, dan rahmat pengudusan, artinya
status rahmat. Kalau ia tidak diperbaiki lagi melalui penyesalan dan
pengampunan ilahi, ia mengakibatkan pengucilan dari Kerajaan Kristus dan
menyebabkan kematian abadi di dalam neraka karena kebebasan kita mempunyai
kekuasaan untuk menjatuhkan keputusan yang definitif dan tidak dapat ditarik
kembali.)
Dr.Silvas
menulis:
Doktrin
baru yang telah dikibarkan oleh Paus Francis beberapa saat sebelumnya sekarang diulangi
dan ditegaskan kembali: seseorang bisa berada dalam situasi dosa berat – karena
memang itulah yang sedang dia bicarakan – dimana si pendosa masih bisa hidup
dan bertumbuh dalam rahmat Allah, ‘sambil menerima pertolongan dari Gereja’, dimana
catatan kaki nomor 351 yang terkenal itu menyatakan, bahwa dalam kasus-kasus
tertentu, si pendosa itu bisa menerima Sakramen Pengakuan dan Komuni Kudus.
Saya yakin bahwa sekarang ini ada banyak yang sibuk mencoba 'menafsirkan' semuanya
ini sesuai dengan 'kontinuitas hermeneutik', untuk menunjukkan keharmonisannya,
saya kira, dengan Tradisi. Saya bisa menambahkan bahwa dalam catatan kaki nomor
305, Paus Francis mengutip perkataannya sendiri sampai empat kali. Bahkan, nampak
bahwa Paus Francis 'paling sering mengutip referensi dari perkataannya sendiri didalam
‘Amoris Laetitia', dan hal itu cukup menimbulkan tanda tanya.
"Saya
merasa bahwa kita telah kehilangan semua tempat berpijak, dan kita terjatuh,
seperti Alice, ke dalam alam semesta yang paralel, di mana tidak ada yang pasti,"
tulis Silva.
Dengan
mengutip Sabda Yesus Kristus, "Siapa
yang menceraikan isterinya dan menikah dengan orang lain, berbuat zina terhadap
istrinya" (Mrk 10:11) dan rasul Paulus, "Dia akan berzinah jika dia tinggal dengan pria lain sementara
suaminya masih hidup"(Rom 7: 3), Dr.Silva menulis:
Seperti
ledakan yang memekakkan telinga, istilah ‘perzinahan’ sepenuhnya tidak ada
dalam kosa kata ‘Amoris Laetitia’. Sebaliknya kita menemukan sesuatu yang
disebut 'hubungan yang tidak wajar’, atau ‘situasi yang tidak wajar’, dengan kata
‘tidak wajar’ ini dalam tanda kutip, seakan mau menjauhkan penulisnya dari
penggunaan kata ini.
"Jikalau
kamu mengasihi Aku", demikian Sabda Tuhan kita, “patuhilah segala
perintahKu” (Yoh 14:15), dan Injil serta surat-surat Yohanes mengulangi nasihat
dari Tuhan ini dengan berbagai cara. Artinya bahwa tingkah laku kita bukanlah dibenarkan
oleh perasaan subjektif kita, melainkan, kecenderungan subjektif kita dibuktikan
didalam perilaku kita, yaitu, dalam tindakan kepatuhan kita. Namun sayangnya, jika
kita melihat didalam AL, kita mendapati
bahwa perintah-perintah Allahpun tidak ada didalam kosa kata AL, seperti misalnya ketaatan. Sebaliknya
kita menemukan sesuatu yang disebut ‘cita-cita’, yang muncul berulang-ulang di
seluruh dokumen ini.
Kata
lain yang tidak saya temukan dalam dokumen ini: takut akan Tuhan. Anda tahu,
bahwa kekaguman atas realitas dari kedaulatan Tuhan adalah awal dari kebijaksanaan,
yang merupakan salah satu karunia Roh Kudus dalam Sakramen Krisma. Namun,
sungguh, rasa takut yang suci ini (takut kepada Tuhan) telah lama hilang dari diskusi-diskusi
Katolik modern. Ini adalah ungkapan bahasa Semit untuk "eulabeia" dan
"eusebia" dalam bahasa Yunani, atau dalam bahasa Latin,
"Pietas" dan "religio", inti dari kecenderungan yang
mengarah kepada Allah, dan inilah semangat yang pokok dalam agama.
Kata
lain yang juga tidak ada dalam ‘AL’
adalah ‘keselamatan kekal’. Ya, tidak ada disebutkan didalam dokumen AL bahwa
jiwa yang tak dapat mati ini membutuhkan keselamatan kekal! Benar, kita
memiliki ‘kehidupan kekal’ dan ‘keabadian’ yang disampaikan dalam nomor 166 dan
168, namun nampaknya sebagai ‘pemenuhan yang tak terelakkan’ dari tujuan hidup
yang diajarkan kepada anak-anak, tanpa ada penekanan bahwa keharusan untuk
memiliki kehidupan rahmat dan perjuangan merupakan syarat untuk memperoleh
keselamatan kekal.
Orang Parisi sejati: Cardinal Kasper dan
kelompoknya
"Seluruh
masalah yang disampaikan pada bab delapan adalah bermasalah, bukan hanya nomor
304 dan catatan kaki 351, "tulis Dr.Silva mengenai bagian yang paling
kontroversial dari anjuran AL ini.
"Begitu saya selesai membacanya, saya berpikir: Ini sangat jelas, seperti dentang
lonceng. Paus Francis memang sengaja menginginkan beberapa usulan Kasper dari sejak
awal"
"Disinilah
Kasper telah menang," lanjutnya. "Ini semua menjelaskan komentar
singkat PF pada akhir Sinode 2015 , ketika dia mengecam ‘kaum Parisi yang berpikiran
sempit’- jelas disini yang dimaksud adalah mereka yang kecewa karena hasil
sinode yang hanya menuruti agenda PF sendiri. Parisi? Sebuah bentuk kecerobohan
dari bahasanya! Mereka adalah kaum modernis, penganut paham Yudaisme, tuan dari
sepuluh ribu nuansa - dan yang paling ngotot, mereka yang gigih menjunjung
tinggi praktek perceraian dan pernikahan kembali. Analogi yang nyata dari sifat
kaum Parisi dalam seluruh masalah ini adalah Kasper dan sekutu-sekutunya."
Sepanjang
masa kepausannya, Paus Francis telah mengkritik orang-orang yang ‘berpikiran
sempit,’ umat Katolik yang ‘kaku’. Dalam pidato penutupan pada Sinode 2015 tentang
keluarga, Paus Francis mengutuk umat
Katolik yang ‘bersembunyi di balik ajaran Gereja’ dan ‘duduk di kursi Musa dan menghakimi,
kadang-kadang dengan pikiran merasa unggul namun dangkal, pada kasus-kasus
sulit dan keluarga yang terluka."
Catatan
kaki 351 menyiratkan bahwa dalam situasi dosa, “...adalah mungkin bagi seorang bajingan
untuk merasa tidak bersalah," tulis Dougherty. Namun catatan kaki ini
menyajikan harapan bahwa jika bapa pengakuan ‘mungkin menyadari bahwa si
peniten tidak mengakukan suatu dosa karena dia tidak tahu bahwa itu adalah dosa’.
Jika ini terjadi, maka si peniten dapat menerima absolusi secara sah.
Dengan
kata lain, jika seorang Katolik tidak tahu bahwa tindakannya adalah dosa, maka
dia tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakannya itu.
"Tapi bapa pengakuan wajib
untuk meluruskan hal ini dengan memperbaiki hati nurani yang cacat dan dengan
membimbing peniten melewati proses
pembentukan hati nurani yang benar," demikian kata Dougherty. Pertanyaan kunci kemudian
menjadi: "Dapatkah praktek yang sudah
benar secara doktrinal ini diperluas bagi pasangan yang bercerai dan menikah lagi?"
Jawabannya adalah "Tidak." Si peniten, sekali menyadari bahwa tindakannya adalah bertentangan dengan ajaran Gereja, maka dia harus menahan diri untuk tidak
usah menerima Komuni Kudus.
Pertempuran berikutnya : pengakuan Gereja atas hubungan (perkawinan)
sejenis?
Amoris
Laetitia nampaknya merangkul etika-situasional – yaitu gagasan bahwa moralitas itu bervariasi
menurut keadaan yang ada
– padahal
hal ini sebenarnya justru merusak dan memutar-balikkan ajaran Paus Yohanes Paulus II dan
Konsili Vatikan II, demikian Dr.Silva menulis. Sejarawan
ini memperkirakan bahwa Gereja akan segera menghadapi pertempuran yang sama dalam masalah perkawinan sesama jenis.
"Jika
ada kemungkinan untuk membuat sebuah pembenaran atas suatu keadaan perzinahan, dengan alasan mempertimbangkan 'unsur-unsur konstruktif dari situasi
yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja tentang pernikahan' (n. 292),
'ketika perkawinan semacam ini mencapai sebuah stabilitas tertentu, yang diakui
secara hukum, yang ditandai dengan kasih sayang yang mendalam dan tanggung
jawab terhadap ‘anak-anak’ mereka (n. 293) dll, berapa lama anda bisa menunda menerapkan penalaran yang sama atau garis pendapat yang sama untuk
membenarkan perkawinan sesama jenis? "tanya dia.
Para pemimpin gereja ‘akan
harus membuat disposisi praktis sehubungan dengan masalah pelik yang dbawa oleh 'Amoris Laetitia,' dan mereka
memiliki kewajiban untuk berbicara tentang kebenaran, demikian Dr.Silva menyimpulkan. Dia memperingatkan
para uskup bahwa mereka harus siap untuk menghadapi penganiayaan yang dapat datang dari
dalam Gereja karena mereka mempertahankan iman:
“... dalam pikiran kita, kita seharusnya tidak
memiliki keraguan dalam mewartakan ajaran Injil, dan tidak akan pernah ragu. Jelaslah bahwa
dengan strategi apapun untuk mendorong dikeluarkannya klarifikasi resmi dari Gereja dalam hal praktik pastoral yang dapat dibuat, haruslah dicoba. Secara khusus saya mendesak hal ini kepada para uskup. Beberapa dari anda
mungkin berada dalam situasi yang sangat sulit dalam kaitannya dengan
rekan-rekan anda, yang selalu menuntut sikap bijaksana dari bapa pengakuan. Apakah anda
siap untuk menerima cambukan, (arti kiasan), yang mungkin anda hadapi? Anda tentu saja bisa memilih
keselamatan ilusi karena kedangkalan berpikir yang konvensional ditengah sorakan kegembiraan yang dangkal
dari para sahabat anda, atau cobaan yang besar dari kaum rohaniwan sesama anda. Saya tidak memberi saran atas hal ini. Saat-saat sekarang
ini sangatlah serius dan gawat, mungkin jauh lebih serius dan lebih gawat daripada yang kita duga. Kita sedang diuji. Tetapi "Tuhan ada di sini. Dia memanggil
Anda ".
No comments:
Post a Comment