SEORANG AHLI FILSAFAT KATOLIK
TERKENAL, BERKATA :
BAGAIMANA KRISTUS DAN BUNDA MARIA
TIDAK MENANGIS JIKA MEMBACA AMORIS LAETITIA
9 Juni 2016 (LifeSiteNews) - Dalam sebuah artikel terbaru yang dimuat pada "Corrispondenza Romana", seorang
filsuf Katolik terkenal Josef Seifert
dengan keras mengkritik Paus Francis dalam pernyataannya (anjuran apostoliknya)
didalam Amoris Laetitia.
Seifert, adalah anggota biasa (yang sudah lama bertugas
disitu) dari Akademi Kepausan bagi Kehidupan (the Pontifical Academy for Life) dan teman dekat dari St. John Paul II, menjelaskan bahwa dia
mengkritik dokumen itu, karena dokumen itu bukannya menyerukan sukacita -
seperti yang dinyatakan dalam judulnya ‘Amoris
Laetitia’ – tetapi dokumen kepausan itu sungguh dan benar-benar membuat
Yesus dan IbuNya menangis sedih.
Banyak dari kalimat-kalimatnya yang nampaknya penuh belas
kasih tetapi sebenarnya justru merubah ajaran-ajaran Gereja secara bertolak
belakang, dimana Seifert berkata: "Menurut saya, dokumen itu membawa resiko
yang mengakibatkan ‘longsornya gunung es’ yang akan sangat berbahaya bagi
Gereja dan jiwa."
Josef Seifert melanjutkan dengan membandingkan ayat-ayat dari
Kitab Injil dengan alinea-alinea dari Amoris Laetitia (AL):
Seifert memulai dengan momen pertemuan Yesus dengan seorang
wanita pezina. Putera Allah itu tidak menyalahkan wanita itu yang layak untuk
menerima hukuman yang setimpal dengan hukuman mati dalam hukum Musa, tetapi Dia
menunjukkan DiriNya yang penuh belas kasih. Namun, pengampunan-Nya diberikan dengan syarat : "Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi."
Seifert berpendapat: "Dengan mengutip hasil sinode ( dan AL), Francis, sebagai penerus
Kristus, seolah mengatakan kepada perempuan yang berzinah bahwa meskipun dia
terus berbuat dosa berat, tetapi dia tidak perlu merasa dirinya dikucilkan, dan
tidak menganggap perlu bagi dirinya (wanita pezinah itu) untuk menyesali segala
dosanya, dan agar wanita pezina itu tetap merasa sebagai 'anggota yang hidup
dari Gereja" (silakan baca AL, 299).
Apa yang dikatakan oleh PF disini, demikian filsuf itu menjelaskan,
adalah sungguh telah diucapkannya, dan hal ini dapat memberikan penghiburan
bagi pasangan yang ‘menikah’, karena rahmat dan kerahiman Allah hadir bersama
mereka. "Namun demikian," kata Seifert, "kalimat 'pergilah dan jangan berbuat dosa lagi' sama sekali tidak ada didalam makna dari
ucapan dan tindakan PF."
Karena itu, Seifert berpendapat bahwa dokumen AL itu telah
menyimpang dari intinya: yaitu panggilan
untuk bertobat. Ucapan dari rekan kerja terdekat PF, Pastor Antonio
Spadaro, semakin memperjelas fakta penyimpangan ini. Spadaro mengatakan,
"Francis telah menghapus semua 'batas' dari masa lalu, terutama didalam 'disiplin
sakramental' termasuk bagi pasangan yang disebut sebagai hubungan 'tidak wajar’.
Dan pasangan seperti ini sekarang bisa 'menjadi
penerima Ekaristi.'
Selanjutnya, Seifert menekankan bahwa Yesus secara eksplisit
memperingatkan umatnya hingga 15 kali tentang bahaya dari hukuman kekal sebagai akibat dari dosa berat; sedangkan penerus
Tahta Petrus (PF) mengatakan: "Tidak
ada yang bisa dihukum selamanya (kekal), karena itu bukanlah logika
Injil!" (AL, 297).
Sementara itu surat St. Paulus kepada jemaat di Korintus (6:
9) menyatakan bahwa tidak ada pezinah
(yang belum bertobat) yang bisa memasuki Kerajaan Allah dan karena itu mereka
akan dikutuk selamanya, tetapi PF seakan
berkata "katakanlah kepada pezinah itu bahwa adalah mungkin untuk hidup didalam
rahmat dan kasih karunia Allah; karena melalui Ekaristi Kudus mereka dapat
bertumbuh dalam kasih karunia itu bahkan meski tanpa menjauhi kehidupan zina mereka,
dengan melalui pertobatan," demikian jelas Seifert.
Filsuf itu juga mengingatkan sekali lagi tentang surat Paulus
kepada jemaat di Korintus
(1 Kor.11: 27-29). Di sini, tindakan menerima Komuni tanpa
mempedulikan ketidak-layakan seseorang, adalah jelas sekali akan mendatangkan
kutukan: “Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti
atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu
hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan
roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa
makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas
dirinya.”
"Dengan kata lain, ini adalah tindakan penistaan (pencemaran)
yang menempatkan jiwa seseorang dalam bahaya," kata Seifert.
"Paus Francis, yang bahkan tidak pernah menyebut
kemungkinan adanya penistaan atau bahaya bagi jiwa dari orang yang menerima
Komuni secara tidak layak, mengatakan kepada para pezinah bahwa dalam keadaan
tertentu, yang harus dipertimbangkan secara individual, adalah mungkin bagi
mereka yang berada didalam situasi perzinahan atau terlibat dalam hubungan yang
'tidak wajar’ untuk menerima Komuni Kudus tanpa
harus merubah hidup mereka, dan begitu mereka akan terus hidup sebagai
pezina, " Seifert menulis.
Seifert mengatakan bahwa Paus Francis, dalam teks itu,
menafsirkan perintah-perintah yang diberikan oleh Kristus - yang sudah sangat jelas
- hanya sebagai ekspresi dari sebuah ide atau keinginan yang hanya bisa dicapai oleh sedikit orang
saja, seolah-olah itu hanyalah saran evangelis
belaka, yang hanya berlaku bagi mereka yang mau mencari kesempurnaan tertinggi,
dan bukan sebagai perintah-perintah yang berlaku bagi semua.
"Paus mengatakan bahwa jika perempuan yang berzinah
tidak dapat memisahkan diri dari pasangan zina-nya, tetapi hidup bersama-sama
dengan dia sebagai kakak dan adik, maka mereka akan melakukan sebuah gaya hidup
yang dapat menyebabkan 'perselingkuhan' oleh dia atau pasangannya. Menurut
Paus, di mana ada ancaman perselingkuhan antara dua pezina yang hidup sebagai
kakak dan adik, maka akan lebih baik bagi wanita itu untuk melakukan hubungan
intim sekalian dengan pria itu. Dengan demikian, akan lebih baik bagi mereka untuk
terus hidup dalam perzinahan daripada hidup sebagai kakak-beradik,"
demikian Seifert menyimpulkan dengan mengutip AL 329 dan catatan kaki yang ada.
Bagaimana
Kristus dan Bunda Maria serta GerejaNya tidak menangis jika membaca perkataan
dari PF ini? Karena itu marilah kita menangis
bersama Kristus, dengan rasa hormat dan perhatian yang mendalam kepada PF disertai
dengan rasa sakit dan kesedihan yang mendalam yang lahir dari kewajiban kita untuk
mengkritisi dia karena kesalahannya itu," demikian Seifert berkata.
Filsuf ini menambahkan bahwa kritiknya ini bukannya tidak
beralasan, karena PF sendiri menyerukan diskusi dan menyediakan arena terbuka
untuk mengungkapkan pendapat.
"Namun seseorang bisa saja bertanya kepada saya
bagaimana saya, sebagai seorang umat awam yang biasa-biasa saja, bisa
mengkritik Paus. Saya menjawab: Paus bukanlah tidak bisa salah jika dia tidak
berbicara ex cathedra. Beberapa orang
Paus sebelumnya (misalnya Formosus dan Honorius I) telah dikutuk karena ajarannya
yang sesat. Demi kasih dan kerahiman kepada banyak jiwa, maka adalah tugas suci
kita untuk mengkritik para uskup, bahkan Paus kita yang terkasih, jika mereka
menyimpang dari kebenaran dan jika mereka merusak Gereja dan jiwa-jiwa. Tugas semacam
ini telah diakui oleh Gereja sejak awal."
Dia menambahkan: "PF sendiri mendorong kita untuk
melakukan hal itu: untuk mengkritik dia, bukannya berbohong atau menyanjung
dunia Katolik. Maka marilah kita memegang kata-katanya ini didalam hati kita. Dan
marilah kita melakukannya dengan kerendahan hati dan dengan kasih Yesus dan
Gereja Kudus-Nya, agar kita bisa mengusap air mata Yesus dan memuliakan Allah in veritate."
++++++++++++++++
Josef Seifert dibesarkan di Salzburg,
Austria. Dia adalah rektor dari International Academy of Philosophy di Irving,
Texas dan direktur Akademi Internasional untuk Filsafat di Liechtenstein. Dari
tahun 2004 hingga 2011, dia adalah direktur Universitas Katolik
Chile. Dia menikah dan memiliki enam orang anak.
No comments:
Post a Comment