SEORANG (LAGI) ILMUWAN KATOLIK MENGAJUKAN KEBERATAN ATAS
AMORIS LAETITIA
By Maike Hickson on June 13, 2016
Jumat
lalu, Steve Skojec
melaporkan tanggapan
yang mengesankan sekaligus cukup menusuk yang
ditulis
oleh seorang profesor
berbahasa Jerman, Josef Seifert, yang dipublikasikan oleh situs pribadi Profesor
de Mattei Corrispondenza Romana.
Tampaknya bahwa umat Katolik konservatif semakin
tersentuh hati mereka dan
mereka merasa perlu
untuk menyampaikan suara
mereka yang bertentangan
dengan arah yang sedang ditempuh
oleh Paus
Francis sekarang, dimana dia berusaha untuk mengarahkan
Gereja
Katolik.
Sekarang kita melihat seorang lagi ilmuwan Katolik
terkenal
dari AS, filsuf
dan mantan dekan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Amerika, Jude P.
Dougherty, yang menerbitkan
sebuah kritik yang sama pada 1
Juni di surat kabar Katolik The Wanderer.
Didalam
konteks masa kepausan Paus Francis
ini,
Dougherty memilih sebagai judul artikelnya - "Ambiguitas
yang disengaja" - yang meringkaskan sebuah metode
strategis yang menyeluruh - yaitu
berupa kebohongan
- tapi dengan secara sengaja menggunakan
kalimat-kalimat yang jauh
lebih sulit untuk dikritik. Selanjutnya Dougherty
mengatakan:
“Para penulis
dan telecaster
sering menggunakan cara ini ketika
mereka tidak yakin akan fakta-fakta yang mereka miliki. Para politisi
sering menggunakannya dalam menciptakan undang-undang yang kemudian
memungkinkan kebebasan interpretasi yang
bertentangan
dengan pengadilan, regulator, dan jaksa. Paus Francis, yang selama ini tidak
pernah berbicara secara jelas,
menggunakannya sedemikian rupa hingga dalam masalah doktrinal, apa
yang sebelumnya sudah
pasti, kini menjadi
bermasalah.”
Dengan mengacu kepada kejadian-kejadian
baru yang benar-benar menusuk oleh
Uskup Agung Bruno Forte, Dougherty mengatakan: "Uskup Agung Bruno Forte menyampaikan opini bahwa
dengan diundangkannya Amoris Laetitia,
akibatnya, para
reformis (para heterodox, yang
menghendaki pembaharuan didalam Gereja) di kubu Walter
Kardinal Kasper mendapatkan apa yang mereka inginkan."
Didorong oleh pernyataan yang berani
dan jelas dari
filsuf Jerman, Robert Spaemann, filsuf AS ini
semakin memperjelas
pandangan kritisnya sendiri
atas Paus
Francis. Kutipan pertama Spaemann:
Setiap kardinal, dan juga
setiap uskup dan imam dipanggil untuk mempertahankan
disiplin
Katolik dari sakramen-sakramen dalam
bidang dan tanggung
jawabnya sendiri dan agar mengakuinya secara
terbuka jika Paus
tidak bersedia untuk
melakukan koreksi ... .Dalam tahun-tahun mendatang mungkin diperlukan Paus sesudah ini, agar secara
resmi meluruskan kesalahan
ini.
Dougherty kemudian
menambahkan kritiknya sendiri atas Amoris
Laetitia, sebagai berikut:
“Dengan
meneliti teks
Amoris Laetitia kami menemukan bahwa
catatan kaki 315 mengundang perhatian
terhadap kenyataan bahwa
dalam situasi dosa yang jelas, adalah
mungkin bagi seorang bajingan
untuk secara subyektif
merasa
tidak
bersalah.
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:
"Dalam hal melakukan
suatu dosa berat, maka beratnya dosa itu saja
tidaklah cukup; karena pengetahuan
penuh dan kesengajaan juga
diperlukan. "
Disinilah
letak masalahnya.
Seorang bapa pengakuan mungkin
mengetahui bahwa seorang peniten tidak
mengakukan dosa tertentu karena dia tidak tahu bahwa itu adalah dosa.
Jika ini yang terjadi,
si peniten itu bisa secara sah menerima
absolusi. Tetapi bapa pengakuan
wajib untuk meluruskan dan memperbaiki
cara berpikir dan hati
nurani yang cacat dari si peniten itu melalui proses pembentukan hati nurani yang benar.
Pertanyaan berikutnya yang sangat
penting adalah : "Dapatkah
praktek yang sudah benar secara doktrinal ini diperluas bagi pasangan yang bercerai dan menikah lagi?" Jawabannya adalah
"Tidak." Si peniten, sekali menyadari bahwa tindakannya adalah bertentangan dengan ajaran Gereja, maka dia harus menahan diri untuk tidak usah menerima Komuni Kudus.
Profesor Dougherty disini memperlihatkan dengan jelas di
mana ambiguitas
Paus Francis dimulai.
Dia menyebutnya sebagai "pengajaran yang ambigu dari Paus Francis mengenai perkawinan dan keluarga serta masalah yang lainnya"; dan dia
menekankan bahwa tindakan tersebut "memiliki
efek merusak kepercayaan kepada otoritas moral Gereja." Dalam membela kritik
dari Robert
Spaemann, Dougherty menunjukkan bahwa Spaemann berbicara dalam tradisi hukum
alam "yang diwakilinya sendiri dimana Gereja
sendiri ikut bertanggung
jawab ." Dia
melanjutkan dengan menjelaskan tingginya nilai ajaran moral Gereja tradisional:
Gereja tidaklah
menciptakan moralitas, tetapi selama berabad-abad Gereja telah mengundangkan
prinsip-prinsip moral yang tertinggi yang dikenal oleh manusia.
Jelaslah bahwa disiplin yang
terkait
dengan sakramen yang disahkan secara
ilahiah adalah merupakan wilayah Gereja.
Melalui sakramen-sakramen gereja telah mengajarkan
dan menganjurkan perilaku
moral pribadi. Dan upaya ini telah
memberikan kontribusi yang luar
biasa bagi pembentukan budaya
Barat.
Dengan nada yang sedih,
Dougherty juga menunjukkan bahwa saat
ini,
di saat yang penuh kekacauan ini, kita, bahkan
lebih dari saat sebelumnya,
membutuhkan pengajaran moral yang jelas: "Pada
saat ketika Eropa
dikepung oleh militan Islam, maka dunia Barat memerlukan suara moral dari Gereja, lebih dari pada saat-saat sebelumnya. Namun sayangnya, di tingkat tertinggi, nampaknya gereja
tidak
terlibat sama sekali dalam masalah yang sangat penting ini, serba tidak pasti didalam pelaksanaan otoritas tradisionalnya.
Filsuf Amerika ini kemudian
menyimpulkan, sebagai seorang saksi Katolik, dia merasa keberatan dengan tindakan seorang paus
yang nampak sedang merusak
inti ajaran Gereja tentang pernikahan dan keluarga, dan filsuf ini melakukannya
dengan panggilan yang keras kepada umat
awam
agar melakukan penolakan:
Taruhannya tidak pernah
begitu tingginya. Dengan
arus keras dari Protestan
yang melahirkan paham liberal
Zeitgeist,
Gereja Katolik sendiri sebenarnya dapat
mengajar secara otoritatif.
Diagnosa
yang tepat adalah langkah pertama dalam penyembuhan penyakit apapun. Mungkin hal ini berlangsung secara halus misalnya dalam bentuk
suara-suara dari umat awam yang disampaikan untuk menolak sikap kepemimpinan yang
serba tidak pasti ini.
Kita mungkin diingatkan di
sini oleh Uskup Athanasius
Schneider yang berulang kali mengatakan beberapa
waktu yang lalu
bahwa "ini adalah saat bagi umat awam."
Wartawan Katolik Edward Pentin baru-baru ini
juga menerbitkan di akun
Twitter-nya kritikan lain terhadap Amoris Laetitia, termasuk kata-kata berikut ini: ‘Hirarki Gereja nampaknya mengalami sebuah kelumpuhan yang aneh'; dimanakah 'nabi-nabi yang benar'? "
Di hadapan begitu
banyaknya sikap
diam atau ‘kelumpuhan di antara hierarki Gereja’
ini memang semakin diperlukan sikap yang
lebih
berani dan berpengetahuan luas dari umat
awam, seperti misalnya Profesor
Jude Dougherty ini.
No comments:
Post a Comment