Seorang imam Jesuit dari
Jerman mengatakan bahwa Gereja Katolik hendaknya berjuang mendukung homosex
sebagai hak asasi manusia.
By Maike Hickson on June 1, 2016
Ini adalah argumen yang dapat ditemukan berulang kali, kadang tidak secara terus terang, selama diskusi baru-baru ini seputar sinode tentang pernikahan dan keluarga, yaitu: untuk memisahkan tindakan perkawinan dari aspek prokreasinya (pembentukan keturunan). Jika tindakan perkawinan tidak terikat secara moral pada tindakan prokreasi atau penciptaan kehidupan baru, maka homoseksualitas, demikian beberapa orang berpikir, bisa dengan lebih untuk dipertimbangkan sebagai perbuatan yang tidak berdosa.
Misalnya seorang teolog Jerman terkenal (Stephan Goertz proposed in 2015) pernah mengusulkan pada 2015 :
Pada zaman dulu, kata teolog (Goertz), "menghasilkan
keturunan adalah tujuan pertama yang diberikan Tuhan pada tindakan seksualitas."
Pada waktu itu, seksualitas dan menghasilkan keturunan memiliki tujuan pertama
untuk mengamankan kelangsungan hidup masyarakat; Namun, "keadaan itu bukan
lagi menjadi keadaan kita saat ini, dan bahwa, sejak KV II, hal itu juga tidak lagi
menjadi atau tidak lagi ditekankan pada ajaran moral kita tentang
seksualitas."
Kembali kepada Pastor Mertes, penting untuk dicatat bahwa dia
juga secara eksplisit mengusulkan gagasan bahwa Gereja Katolik sekarang harus "benar-benar
menganggap serius soal homoseksualitas dalam kaitannya dengan masalah hak asasi
manusia.” Dia melanjutkan : "Gereja harus memanfaatkan pengaruhnya di
seluruh dunia sehingga hak-hak paling dasar dari kaum homoseksual akan dipertahankan
di mana saja...." Mertes merasa geram
karena Gereja begitu pasiv dalam hal ini (homoseksualitas), sementara itu Gereja
lebih menyuarakan masalah-masalah yang lain daripada membela hak-hak asasi
manusia yang fundamental ini." Imam Jesuit dari German itu juga
menunjukkan rasa simpati bagi kaum homoseksual yang meninggalkan Gereja karena Gereja
tidak merubah sikapnya terhadap mereka dengan cepat: "Saya menghormati hal
itu, ketika orang-orang homoseksual banyak yang meninggalkan Gereja" demikian
Mertes menambahkan. Mertes juga sangat senang ketika di Irlandia, akhirnya,
"setelah pertarungan selama satu dekade" sekarang (dengan pengesahan secara
hukum atas "pernikahan" sesama jenis) telah bersikap terbuka terhadap
hak-hak kaum homoseksual. Beginilah yang seharusnya. Proses itu harus terjadi dari
dalam (Gereja), maka semuanya akan menjadi efektif dan berkelanjutan. "
Kalimat terakhir dari Pastor Mertes juga mengingatkan kita akan
metode Gramscian untuk merubah budaya dari dalam. Sebagai wartawan Katolik,
Edward Pentin, baru-baru ini mengutip seorang pejabat Gereja yang mengatakan :’Saya
merujuk hal ini sebagai
perbandingan dengan bulan April, ketika mengutip sebuah laporan dari Pentin
tentang penerapan Amoris Laetitia:
“It’s very Gramscian,” said one Church
philosophy scholar, referring to the 20th-century Italian Marxist who advocated
spreading Communist ideology [and “cultural hegemony”] through cultural
infiltration. “The defiance of traditional orthopraxy is also an attack on
orthodoxy, for every principled change of practice necessarily entails a change
in principles.”
"Sungguh sangat Gramscian sekali," kata salah seorang
ahli filosofi Gereja, dengan mengacu pada perkataan seorang Marxist Italia abad
20 ini yang menganjurkan penyebaran ideologi komunis (serta "hegemoni
budaya") melalui infiltrasi budaya. "Penyimpangan ortopraksi
tradisional juga merupakan serangan terhadap ortodoksi, karena setiap perubahan
praktek yang mendasar tentu memerlukan perubahan dalam fondasi dasarnya juga."
Sungguh, ucapan-ucapan seperti yang dilakukan oleh Pastor
Mertes ini (serta Stephan Goerzt) akan semakin banyak kita dengar dan kita
jumpai, tanpa ada teguran ataupun pelurusan dari pihak hirarki Gereja. Sungguh menyedihkan!
No comments:
Post a Comment