Image: Statue of St. Louis IX, another
exemplary Catholic king.
Originally published on July 1, 2019.
100 Tahun Yang Lalu G.K. Chesterton Meramalkan Tentang Saat-Saat Kegelapan Kita Sekarang Ini
by Anna Kalinowski July
12, 2021
Lebih dari satu abad yang lalu, G.K. Chesterton
menulis puisi mahakarya berjudul The
Ballad of the White Horse. Hari ini, lebih dari saat-saat sebelumnya, puisi
itu menyentuh hati semua orang yang mencintai Gereja Katolik beserta tradisinya.
Dalam sajak yang menggetarkan jiwa itu, Chesterton menceritakan kisah raja
Alfred yang compang-camping, yang dengan sedih mengembara melewati kerajaannya
yang dulunya Katolik, yang sekarang diserbu oleh orang-orang Denmark yang
kafir. Puisi itu menjalin permadani legenda abad pertengahan. Tetapi esensinya
berdering sama benarnya dengan fakta sejarah. Ini adalah kisah perjuangan untuk
meraih kebenaran, kebaikan, dan keindahan di dunia yang terjatuh saat ini.
Kesedihan mendalam yang dialami raja Alfred saat melihat kerajaannya yang
menderita, memiliki kemiripan yang mencolok dengan kesedihan umat Katolik saat
ini, yang menyadari apa yang telah hilang dari Gereja, merindukan pemulihan
keindahan, tradisi, dan budaya Katolik yang sejati.
Dalam buku pertama balada itu, dikisahkan raja Alfred
memohon kepada Bunda Maria untuk memberi tahu dia apakah dia akan berhasil
mengusir orang-orang Denmark dari tanahnya. Menurut dia, Bunda Maria memberikan
jawaban tersamar yang mencakup dua bait balada yang paling gemilang:
Aku
berkata kepadamu bukan demi kenyamananmu.
Ya,
bukan untuk memenuhi keinginanmu.
Ingatlah
bahwa langit semakin gelap,
dan
laut naik semakin tinggi.
Malam
akan menjadi tiga kali malam atas dirimu,
dan
surga bagaikan pagar besi.
Apakah
kamu bisa memiliki sukacita tanpa alasan.
Ya,
iman tanpa harapan? [1]
Untaian kata yang tidak menyenangkan ini banyak
bergema bersama kita di hari-hari gelap kita sekarang, yang dibanjiri dengan
gelombang skandal, kemurtadan, dan serangan internal yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Bunda Allah tidak mengecilkan makna Salib. Bunda Maria yang
berbicara tentang kegelapan kepada raja Alfred, berbicara sebagai orang yang
menyaksikan sendiri ketika Tuhan mati di kayu salib, ketika kegelapan
menyelimuti seluruh negeri (lht.Matius 27:45). Ketika kita mengakui kegelapan
dari segala sesuatu di sekitar kita sekarang, dan kita mau membuka mata
terhadap realitas hitam dari kejahatan kini, kita menemukan sesuatu yang lebih
dalam dan lebih tangguh daripada penghiburan — itu adalah semacam harapan tulus
seperti para martir, yang, meskipun mereka bisa melihat, mendengar, dan tidak
merasakan apa pun kecuali kekejaman di saat-saat terakhir mereka, namun mereka tetap
bersukacita dalam kebaikan Tuhan yang tak terhingga.
Beberapa
umat Katolik saat ini menyembunyikan mata mereka dari penderitaan Gereja, dan mereka
adalah seperti anak-anak yang ketakutan
saat melihat luka. Mereka tidak tahan melihat kenyataan buruk ini karena
besarnya kejahatan yang menelan semua angan-angan dan gagasan mereka, yang
semakin mengecil, tentang Tuhan dan Gereja, mempelai-Nya. Dalam
upaya, seperti orang Farisi, untuk menyelamatkan bangsanya (Yohanes 11:50-51),
mereka melakukan tawar-menawar dan membuat kompromi dengan kaum sekularis,
seolah-olah Gereja adalah kerajaan duniawi yang harus tunduk pada kekuatan
dunia untuk bisa bertahan hidup. Penyangkalan terhadap realitas ini menutupi mata
mereka dari harapan tulus yang misterius dan membebaskan, yang baru muncul
ketika seseorang sepenuhnya merangkul realitas, yaitu Salib itu sendiri. Bunda
Allah melihat kengerian Salib jauh lebih jelas dan menyakitkan daripada semua murid
lainnya, tetapi begitulah imannya kepada Tuhan, bahwa dahsyatnya kejahatan hanya memperdalam pemujaannya terhadap Tuhan. Bagi
mereka yang memeluk Salib, setiap kejahatan besar akan selalu menunjuk kepada
Tuhan yang jauh lebih besar.
Perjuangan demi Gereja, tradisi, dan budaya,
terus berlanjut di bawah kondisi keputusasaan. Paham Relativisme moral yang
tidak terkendali dalam sistem pendidikan sekuler, ditambah katekese yang buruk
di dalam Gereja, telah bergabung untuk menghasilkan individu-individu yang
tampaknya tidak memiliki kemampuan untuk mengajukan pertanyaan filosofis yang
paling mendasar sekalipun.
Sebagian besar populasi, terutama di dalam
Gereja, tidak berpikir untuk bertanya, “Dari mana saya berasal?” dan "Ke
mana saya akan pergi?" Hebatnya, di tengah-tengah keadaan ‘ketenggengen’ ini, beberapa percikan
kewarasan pikiran telah menyulut gerakan tradisional.
(Keadaan
ketenggengen : suatu kejadian yang tak disangka-sangka dan mengakibatkan kita
tak dapat berkata-kata, hanya bisa memandang suatu obyek atau keadaan dengan
pandangan kosong, seolah-olah kehilangan daya pikir selama beberapa saat,
kemudian terheran-heran, tertegun, terdiam dengan perasaan sedih, prihatin,
bingung dan sejenisnya. Keadaan seperti itu, dalam bahasa Jawa disebut dengan ketenggengen atau kamitenggengen.)
Sangat sedikit umat Katolik yang mencintai
tradisi, yang tidak dirugikan oleh kesesatan katekese yang membawa banyak bencana
selama beberapa dekade terakhir. Umat Katolik tradisional juga tidak dengan
mudah menghindari asap beracun paham relativisme yang menembus dinding-dinding
Gereja. Namun terlepas dari kemalangan masa lalu dan bahaya masa kini, mereka
terus berjuang. Mereka tahu tanpa keraguan, bahwa Gereja mereka bukanlah sebuah
birokrasi, tetapi ‘seorang pengantin wanita,’ dan bahwa seorang pengantin
wanita layak untuk diperjuangkan.
Chesterton menangkap semangat orang-orang ini, sebagai
orang "sejenis Kristus," di bagian lain dari pesan Bunda Maria kepada
raja Alfred:
Tetapi
kamu dan semua orang sejenis Kristus
adalah
penurut dan berani.
Dan
kamu menghadapi perang yang hampir tak bisa kau menangkan,
dan
jiwa-jiwa yang sulit untuk kau selamatkan.
Bait ini adalah deskripsi yang tepat tentang
umat beriman yang tertekan di dalam Gereja saat ini. Bahkan kita yang mengaku
mengetahui sesuatu tentang Iman, tidak dapat benar-benar memahami alasan Tuhan yang
seakan membiarkan penderitaan Gereja saat ini. Kita hanya bisa berjuang dalam
ketidaktahuan, berjuang untuk menyelamatkan jiwa kita sendiri dan jiwa orang
lain sebaik mungkin. Tetapi Chesterton, tidak pernah pesimis. Dengan cekatan dia
menarik setiap barisnya dari kelemahan manusia ke puncak puitis yang menerangi
kuasa Tuhan yang menang: Kristus, berani, menang, menyelamatkan. Dan di seluruh
disonansi dalam akord tonik yang bergema ini, kita menemukan diri kita didorong
sekali lagi oleh harapan tulus yang misterius.
Bunda Maria sekali lagi menyentuh ketidaktahuan
yang tak terhindarkan dari orang-orang Kristen dalam menghadapi penderitaan
mereka ketika dia berkata kepada raja Alfred:
Orang-orang
bijak dari Timur mungkin mengeja bintang-bintang,
dan berbagai
saat dan kemenangan yang menandainya.
Tetapi
orang-orang itu menandatangani salib Kristus,
dan berjalan
dengan riang dalam kegelapan.
Referensi tentang ketidaktahuan, Salib, dan
kegelapan ini, mengandung perkembangan baru: keriangan. Ini adalah keriangan
dalam pengertian kuno dan benar, kata yang begitu kaya menggambarkan
kegembiraan yang menyenangkan dan cemerlang. Raja Alfred mengalami kegembiraan
ini ketika ada seorang wanita pelayan memukul wajahnya, karena wanita itu percaya
bahwa dia adalah seorang pengemis, bukan raja. Demikian pula, kita dapat mengalaminya hanya ketika kita berhenti
menganggap diri kita sebagai orang yang berkuasa, dan hanya melihat
ketergantungan total kita kepada Tuhan.
Setelah mendengar nasihat indah dari Bunda
Maria, raja Alfred menemukan dirinya penuh keberanian. Dia memasuki kamp orang-orang
Denmark dan menyanyikan sebuah lagu yang dengan lihai menangkap kemegahan
semangat Kristen yang teraniaya. Saya mengutip dua bait di sini:
Bahwa
meskipun Anda memburu orang Kristen,
seperti
kelinci di lereng bukit.
Tapi
kelinci masih memiliki lebih banyak hati untuk berlari,
daripada
Anda memiliki hati untuk diperbudak.
Bahwa
meski semua tombak membelahmu,
semua
pedang diangkat dengan sia-sia,
kami lebih
banyak nafsu untuk kalah lagi
daripada
nafsu Anda untuk menang lagi.
Memang, dalam pertempuran untuk merebut jiwa-jiwa
dan demi Gereja yang kita cintai, kita sering menjadi “kelinci di lereng bukit”
(yang rentan terhadap serangan burung elang), dengan sedikit keberhasilan,
banyak penghinaan, dan banyak kerugian. Tombak, senjata perjuangan kita, terbelah
di hadapan barikade ‘paham modernisme’ yang luas ditemukan di mana-mana di lingkup
Gereja, tetapi seperti raja Alfred, kita tidak pernah putus asa untuk berlari.
Kita bernafsu untuk kalah karena kekalahan dalam perjuangan demi Gereja
Katolik, dalam semua kemegahan tradisionalnya, masih jauh melebihi imbalan
kompromi duniawi yang penuh noda.
Musuh kita, baik di dalam maupun diluar Gereja,
terus mengejek kita, dan kita tidak lebih dari pengemis compang-camping di
hadapan mereka. Mereka dengan gembira mempersenjatai diri dengan laporan berbagai
skandal, mengubah doktrin (seolah-olah itu adalah mungkin), dan segala macam
tuduhan tak berdasar untuk meyakinkan kita dan seluruh dunia betapa bodohnya
kita. Sebagai jawaban atas ejekan mereka, kita musti mengatakan bersama raja Alfred:
Namun
meski aku terbaring di lantai dunia,
dengan
tujuh dosa untuk menerima tongkat pemukul,
tapi
aku lebih suka jatuh bersama Adam
daripada
bangkit bersama semua allah-allahmu yang palsu.
Kita bukan orang yang ahli, kita bukan orang elit,
dan kita memiliki banyak dosa. Kita berdiri berdampingan dengan kegelapan yang
menimpa kita seperti tembok besi, tetapi kita berpegang teguh pada Yang Esa seperti
yang dikatakan pemazmur, “Sicut tenebrae eius, ita et lumen eius. — Kegelapan adalah
terang bagi-Mu” (Mazmur 138) [2]. Mungkin banyak harapan dan impian bahagia
kita sendiri telah mati dengan kematian yang menyakitkan, dan mungkin dalam
hidup kita di Bumi ini, kita tidak akan pernah melihat akhir dari perselisihan
internal yang mengejutkan yang diderita oleh Bunda Gereja yang kudus.
Namun demikian, iman kita bukannya tanpa
harapan. Harapan tulus tidaklah memiliki hasil jika ia bergantung pada
kemenangan duniawi untuk menjaga nyala apinya tetap hidup. Memang, harapan tulus
menyala dalam kemegahan yang sembrono ketika semua pandangan tentang kesuksesan
benar-benar dikaburkan dan satu-satunya yang tersisa adalah Salib itu sendiri. Maka
marilah kita berdiri bersama Bunda Allah di kaki Salib, di tengah kegelapan
saat ini dan mengingat dengan sukacita bahwa, oleh pemeliharaan dan penyelenggaraan
Allah yang aneh dan indah, fajar Kebangkitan pasti akan menyusul malam yang gelap
dari Salib.
-----------
Anna Kalinowski is a Catholic writer from St. Louis, Missouri. Recently, Anna’s main writing work has involved keeping up a feverish (mostly one-sided) correspondence with her siblings in religious life. When she is not writing in English, Anna writes in C++, C#, and Python.
------------------------------------
Silakan membaca artikel lainnya di sini:
Viganò:
Dukungan Francis Terhadap Homosex Adalah ‘Isyarat Bunuh Diri’
Giselle
Cardia, 22, 26, 29 Juni, & 3, 6 Juli 2021
COVID
Menguji Iman Kita, Dan Kita Gagal Dalam Ujian Ini