Tuesday, July 13, 2021

100 Tahun Yang Lalu Chesterton Meramalkan Tentang Saat Kegelapan Kita Sekarang

 

Image: Statue of St. Louis IX, another exemplary Catholic king.

Originally published on July 1, 2019. 

 

100 Tahun Yang Lalu G.K. Chesterton Meramalkan Tentang Saat-Saat Kegelapan Kita Sekarang Ini 

https://onepeterfive.com/chesterton-dark-times/?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+Onepeterfive+%28OnePeterFive%29 

 

 

by Anna Kalinowski July 12, 2021 

 

Lebih dari satu abad yang lalu, G.K. Chesterton menulis puisi mahakarya berjudul The Ballad of the White Horse. Hari ini, lebih dari saat-saat sebelumnya, puisi itu menyentuh hati semua orang yang mencintai Gereja Katolik beserta tradisinya. Dalam sajak yang menggetarkan jiwa itu, Chesterton menceritakan kisah raja Alfred yang compang-camping, yang dengan sedih mengembara melewati kerajaannya yang dulunya Katolik, yang sekarang diserbu oleh orang-orang Denmark yang kafir. Puisi itu menjalin permadani legenda abad pertengahan. Tetapi esensinya berdering sama benarnya dengan fakta sejarah. Ini adalah kisah perjuangan untuk meraih kebenaran, kebaikan, dan keindahan di dunia yang terjatuh saat ini. Kesedihan mendalam yang dialami raja Alfred saat melihat kerajaannya yang menderita, memiliki kemiripan yang mencolok dengan kesedihan umat Katolik saat ini, yang menyadari apa yang telah hilang dari Gereja, merindukan pemulihan keindahan, tradisi, dan budaya Katolik yang sejati.

 

Dalam buku pertama balada itu, dikisahkan raja Alfred memohon kepada Bunda Maria untuk memberi tahu dia apakah dia akan berhasil mengusir orang-orang Denmark dari tanahnya. Menurut dia, Bunda Maria memberikan jawaban tersamar yang mencakup dua bait balada yang paling gemilang:

 

Aku berkata kepadamu bukan demi kenyamananmu.

Ya, bukan untuk memenuhi keinginanmu.

Ingatlah bahwa langit semakin gelap,

dan laut naik semakin tinggi.

 

Malam akan menjadi tiga kali malam atas dirimu,

dan surga bagaikan pagar besi.

Apakah kamu bisa memiliki sukacita tanpa alasan.

Ya, iman tanpa harapan? [1]

 

 

Untaian kata yang tidak menyenangkan ini banyak bergema bersama kita di hari-hari gelap kita sekarang, yang dibanjiri dengan gelombang skandal, kemurtadan, dan serangan internal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bunda Allah tidak mengecilkan makna Salib. Bunda Maria yang berbicara tentang kegelapan kepada raja Alfred, berbicara sebagai orang yang menyaksikan sendiri ketika Tuhan mati di kayu salib, ketika kegelapan menyelimuti seluruh negeri (lht.Matius 27:45). Ketika kita mengakui kegelapan dari segala sesuatu di sekitar kita sekarang, dan kita mau membuka mata terhadap realitas hitam dari kejahatan kini, kita menemukan sesuatu yang lebih dalam dan lebih tangguh daripada penghiburan — itu adalah semacam harapan tulus seperti para martir, yang, meskipun mereka bisa melihat, mendengar, dan tidak merasakan apa pun kecuali kekejaman di saat-saat terakhir mereka, namun mereka tetap bersukacita dalam kebaikan Tuhan yang tak terhingga.

 

Beberapa umat Katolik saat ini menyembunyikan mata mereka dari penderitaan Gereja, dan mereka  adalah seperti anak-anak yang ketakutan saat melihat luka. Mereka tidak tahan melihat kenyataan buruk ini karena besarnya kejahatan yang menelan semua angan-angan dan gagasan mereka, yang semakin mengecil, tentang Tuhan dan Gereja, mempelai-Nya. Dalam upaya, seperti orang Farisi, untuk menyelamatkan bangsanya (Yohanes 11:50-51), mereka melakukan tawar-menawar dan membuat kompromi dengan kaum sekularis, seolah-olah Gereja adalah kerajaan duniawi yang harus tunduk pada kekuatan dunia untuk bisa bertahan hidup. Penyangkalan terhadap realitas ini menutupi mata mereka dari harapan tulus yang misterius dan membebaskan, yang baru muncul ketika seseorang sepenuhnya merangkul realitas, yaitu Salib itu sendiri. Bunda Allah melihat kengerian Salib jauh lebih jelas dan menyakitkan daripada semua murid lainnya, tetapi begitulah imannya kepada Tuhan, bahwa dahsyatnya kejahatan hanya memperdalam pemujaannya terhadap Tuhan. Bagi mereka yang memeluk Salib, setiap kejahatan besar akan selalu menunjuk kepada Tuhan yang jauh lebih besar.

 

Perjuangan demi Gereja, tradisi, dan budaya, terus berlanjut di bawah kondisi keputusasaan. Paham Relativisme moral yang tidak terkendali dalam sistem pendidikan sekuler, ditambah katekese yang buruk di dalam Gereja, telah bergabung untuk menghasilkan individu-individu yang tampaknya tidak memiliki kemampuan untuk mengajukan pertanyaan filosofis yang paling mendasar sekalipun.

Sebagian besar populasi, terutama di dalam Gereja, tidak berpikir untuk bertanya, “Dari mana saya berasal?” dan "Ke mana saya akan pergi?" Hebatnya, di tengah-tengah keadaan ‘ketenggengen’ ini, beberapa percikan kewarasan pikiran telah menyulut gerakan tradisional.

 

(Keadaan ketenggengen : suatu kejadian yang tak disangka-sangka dan mengakibatkan kita tak dapat berkata-kata, hanya bisa memandang suatu obyek atau keadaan dengan pandangan kosong, seolah-olah kehilangan daya pikir selama beberapa saat, kemudian terheran-heran, tertegun, terdiam dengan perasaan sedih, prihatin, bingung dan sejenisnya. Keadaan seperti itu, dalam bahasa Jawa disebut dengan ketenggengen atau kamitenggengen.)

 

Sangat sedikit umat Katolik yang mencintai tradisi, yang tidak dirugikan oleh kesesatan katekese yang membawa banyak bencana selama beberapa dekade terakhir. Umat Katolik tradisional juga tidak dengan mudah menghindari asap beracun paham relativisme yang menembus dinding-dinding Gereja. Namun terlepas dari kemalangan masa lalu dan bahaya masa kini, mereka terus berjuang. Mereka tahu tanpa keraguan, bahwa Gereja mereka bukanlah sebuah birokrasi, tetapi ‘seorang pengantin wanita,’ dan bahwa seorang pengantin wanita layak untuk diperjuangkan.

 

Chesterton menangkap semangat orang-orang ini, sebagai orang "sejenis Kristus," di bagian lain dari pesan Bunda Maria kepada raja Alfred:

 

Tetapi kamu dan semua orang sejenis Kristus

adalah penurut dan berani.

Dan kamu menghadapi perang yang hampir tak bisa kau menangkan,

dan jiwa-jiwa yang sulit untuk kau selamatkan.

 

Bait ini adalah deskripsi yang tepat tentang umat beriman yang tertekan di dalam Gereja saat ini. Bahkan kita yang mengaku mengetahui sesuatu tentang Iman, tidak dapat benar-benar memahami alasan Tuhan yang seakan membiarkan penderitaan Gereja saat ini. Kita hanya bisa berjuang dalam ketidaktahuan, berjuang untuk menyelamatkan jiwa kita sendiri dan jiwa orang lain sebaik mungkin. Tetapi Chesterton, tidak pernah pesimis. Dengan cekatan dia menarik setiap barisnya dari kelemahan manusia ke puncak puitis yang menerangi kuasa Tuhan yang menang: Kristus, berani, menang, menyelamatkan. Dan di seluruh disonansi dalam akord tonik yang bergema ini, kita menemukan diri kita didorong sekali lagi oleh harapan tulus yang misterius.

 

Bunda Maria sekali lagi menyentuh ketidaktahuan yang tak terhindarkan dari orang-orang Kristen dalam menghadapi penderitaan mereka ketika dia berkata kepada raja Alfred:

 

Orang-orang bijak dari Timur mungkin mengeja bintang-bintang,

dan berbagai saat dan kemenangan yang menandainya.

Tetapi orang-orang itu menandatangani salib Kristus,

dan berjalan dengan riang dalam kegelapan.

 

Referensi tentang ketidaktahuan, Salib, dan kegelapan ini, mengandung perkembangan baru: keriangan. Ini adalah keriangan dalam pengertian kuno dan benar, kata yang begitu kaya menggambarkan kegembiraan yang menyenangkan dan cemerlang. Raja Alfred mengalami kegembiraan ini ketika ada seorang wanita pelayan memukul wajahnya, karena wanita itu percaya bahwa dia adalah seorang pengemis, bukan raja. Demikian pula, kita dapat mengalaminya hanya ketika kita berhenti menganggap diri kita sebagai orang yang berkuasa, dan hanya melihat ketergantungan total kita kepada Tuhan.

 

Setelah mendengar nasihat indah dari Bunda Maria, raja Alfred menemukan dirinya penuh keberanian. Dia memasuki kamp orang-orang Denmark dan menyanyikan sebuah lagu yang dengan lihai menangkap kemegahan semangat Kristen yang teraniaya. Saya mengutip dua bait di sini:

 

Bahwa meskipun Anda memburu orang Kristen,

seperti kelinci di lereng bukit.

Tapi kelinci masih memiliki lebih banyak hati untuk berlari,

daripada Anda memiliki hati untuk diperbudak.

 

Bahwa meski semua tombak membelahmu,

semua pedang diangkat dengan sia-sia,

kami lebih banyak nafsu untuk kalah lagi

daripada nafsu Anda untuk menang lagi.

 

 

Memang, dalam pertempuran untuk merebut jiwa-jiwa dan demi Gereja yang kita cintai, kita sering menjadi “kelinci di lereng bukit” (yang rentan terhadap serangan burung elang), dengan sedikit keberhasilan, banyak penghinaan, dan banyak kerugian. Tombak, senjata perjuangan kita, terbelah di hadapan barikade ‘paham modernisme’ yang luas ditemukan di mana-mana di lingkup Gereja, tetapi seperti raja Alfred, kita tidak pernah putus asa untuk berlari. Kita bernafsu untuk kalah karena kekalahan dalam perjuangan demi Gereja Katolik, dalam semua kemegahan tradisionalnya, masih jauh melebihi imbalan kompromi duniawi yang penuh noda.

 

Musuh kita, baik di dalam maupun diluar Gereja, terus mengejek kita, dan kita tidak lebih dari pengemis compang-camping di hadapan mereka. Mereka dengan gembira mempersenjatai diri dengan laporan berbagai skandal, mengubah doktrin (seolah-olah itu adalah mungkin), dan segala macam tuduhan tak berdasar untuk meyakinkan kita dan seluruh dunia betapa bodohnya kita. Sebagai jawaban atas ejekan mereka, kita musti mengatakan bersama raja Alfred:

 

Namun meski aku terbaring di lantai dunia,

dengan tujuh dosa untuk menerima tongkat pemukul,

tapi aku lebih suka jatuh bersama Adam

daripada bangkit bersama semua allah-allahmu yang palsu.

 

 

Kita bukan orang yang ahli, kita bukan orang elit, dan kita memiliki banyak dosa. Kita berdiri berdampingan dengan kegelapan yang menimpa kita seperti tembok besi, tetapi kita berpegang teguh pada Yang Esa seperti yang dikatakan pemazmur, “Sicut tenebrae eius, ita et lumen eius. — Kegelapan adalah terang bagi-Mu” (Mazmur 138) [2]. Mungkin banyak harapan dan impian bahagia kita sendiri telah mati dengan kematian yang menyakitkan, dan mungkin dalam hidup kita di Bumi ini, kita tidak akan pernah melihat akhir dari perselisihan internal yang mengejutkan yang diderita oleh Bunda Gereja yang kudus.

 

Namun demikian, iman kita bukannya tanpa harapan. Harapan tulus tidaklah memiliki hasil jika ia bergantung pada kemenangan duniawi untuk menjaga nyala apinya tetap hidup. Memang, harapan tulus menyala dalam kemegahan yang sembrono ketika semua pandangan tentang kesuksesan benar-benar dikaburkan dan satu-satunya yang tersisa adalah Salib itu sendiri. Maka marilah kita berdiri bersama Bunda Allah di kaki Salib, di tengah kegelapan saat ini dan mengingat dengan sukacita bahwa, oleh pemeliharaan dan penyelenggaraan Allah yang aneh dan indah, fajar Kebangkitan pasti akan menyusul malam yang gelap dari Salib.

 

----------- 

Anna Kalinowski

 

Anna Kalinowski is a Catholic writer from St. Louis, Missouri. Recently, Anna’s main writing work has involved keeping up a feverish (mostly one-sided) correspondence with her siblings in religious life. When she is not writing in English, Anna writes in C++, C#, and Python. 

------------------------------------ 

Silakan membaca artikel lainnya di sini: 

Viganò: Dukungan Francis Terhadap Homosex Adalah ‘Isyarat Bunuh Diri’

Enoch, 7 Juli 2021

Giselle Cardia, 22, 26, 29 Juni, & 3, 6 Juli 2021

COVID Menguji Iman Kita, Dan Kita Gagal Dalam Ujian Ini

Menghapus Yesus

Segitiga Iblis

Lupa Dengan Tuhan