Francis “gets an A-plus on public
relations, but an F on all the rest”
Pope
Francis’s First Crisis
Bulan madu bagi Paus
Francis telah usai - setidaknya di Roma. Dua minggu pertama dari pelaksanaan Sinode
mengenai Keluarga telah ditandai dengan pemberontakan terbuka, intrik-intrik didalam
koridor, dokumen yang bocor, tuduhan kurangnya transparansi, dan perpecahan tajam
di antara para uskup dan kardinal. Dalam krisis nyata pertama dari kepausannya,
Francis mendapati dirinya dalam posisi menikmati popularitas yang langka di
kalangan masyarakat tetapi menghadapi gelar yang tidak biasa dari perbedaan
pendapat yang muncul dalam sebuah institusi yang pada umumnya sangat menghormati
hirarki.
Ada beberapa firasat dari
hal ini selama kunjungan kemenangan Paus ke AS "Jika konklaf harus diadakan
hari ini, maka Francis akan beruntung mendapatkan dukungan sepuluh orang,"
kata seorang sumber Vatikan saya pada saat itu. "Dia mendapatkan nilai
A-plus dalam hal ‘hubungan masyarakat’, tetapi nilai F dalam semua hal lainnya."
Pernyataan ini tentu berlebihan, tetapi itu merupakan cerminan dari kegelisahan
yang ada didalam Kuria Romawi. Sebuah tanda yang jelas dari adanya masalah,
datang ketika duta besar kepausan di Washington mengatur pertemuan Paus dengan Kim
Davis, petugas negara Kentucky yang menolak untuk memberikan (atau
mendelegasikan orang lain untuk memberikan) surat nikah untuk pasangan gay.
Langkah dari seorang Monsignor yang tidak asing dengan adanya intrik dan
kekuasaan politik di Vatikan – membuat malu Paus dan mencetak beberapa poin kemenangan
bagi kaum konservatif Gereja pada hari-hari menjelang sinode.
Kelompok Tradisionalis
dalam Gereja khawatir dengan beberapa perkembangan pada sesi pertama dari Sinode,
yang diadakan musim gugur yang lalu (2014). Para kardinal dan uskup yang progresif
- menggambarkan karya teolog Jerman Walter Kasper -- mendorong sebuah agenda
yang termasuk kemungkinan mengijinkan umat Katolik yang bercerai dan telah
menikah lagi untuk menerima komuni, dan sikap yang lebih terbuka terhadap pasangan
homoseksual dan pasangan yang tinggal bersama tanpa menikah. Mereka memperkenalkan
kembali konsep "graduality/kebertahapan," sehingga pasangan yang tidak
menikah (kumpul kebo), pasangan yang bercerai sebelumnya, dan pasangan gay, jika
mereka menunjukkan kasih dan kesetiaan terhadap satu sama lain, hal itu bisa
dilihat sebagai sedang bergerak menuju ajaran Injil, bukan hanya sebagai "hidup
dalam dosa." Seperti yang dikatakan oleh kardinal Jerman Reinhard Marx,
"Ambillah kasus dua orang homoseksual yang telah hidup bersama selama tiga
puluh lima tahun dan mereka telah saling merawat satu sama lain, bahkan dalam
fase terakhir dari hidup mereka ... Bagaimana saya bisa mengatakan bahwa relasi
ini tidak memiliki nilai?"
Lengkapnya silakan
klik disini :
No comments:
Post a Comment