Monday, May 18, 2020

PACHAMAMA, FRANCIS, DAN PANDEMI...




These Last Days News - May 15, 2020


PACHAMAMA, FRANCIS, DAN PANDEMI...




TFP.org reported on May 14, 2020:
by Luiz Sérgio Solimeo

Dalam beberapa pernyataannya baru-baru ini, Paus Francis mengisyaratkan bahwa pandemi coronavirus saat ini adalah merupakan pembalasan dari alam.

 

 

Sebuah Pembalasan Dari Alam?


Dalam wawancara 22 Maret 2020, dengan jurnalis Spanyol, Jordi Évole, Paus Francis ditanya apakah pandemi saat ini bukanlah "balas dendam dari alam"? Paus menjawab dengan kalimat populernya, yang dia ulang-ulang seperti aksioma teologis: “Tuhan selalu memaafkan; kita, manusia, terkadang memaafkan; namun alam tidak pernah memaafkan." Dia menambahkan bahwa “alam menendang kita agar kita memeliharanya.

Berbicara kepada wartawan Inggris, Austen Ivereigh, dari mingguan Katolik London, beraliran liberal, The Tablet, pada tanggal 8 April 2020, Paus Francis mengulangi kalimat yang yang sama dan, setelah mengomentari berbagai musibah saat ini, dia berkata, “Saya tidak tahu apakah ini balas dendam dari  alam, tetapi musibah itu tentu merupakan respon dari alam."


“Kita Telah Berdosa Terhadap Bumi: Kita Membutuhkan Pertobatan Ekologis”

 

Gagasan yang sama muncul dalam katekese khusus pada Hari Bumi ke-50 PBB, 22 April 2020.

“Karena keegoisan kita,” kata paus Francis, “kita telah gagal dalam tanggung jawab kita untuk menjadi penjaga dan pengaal bumi. ... Kita telah berdosa terhadap bumi ... Dan bagaimana reaksi bumi?" Kemudian dia mengulangi mantranya: “Tuhan selalu memaafkan; kita, manusia, terkadang memaafkan; namun alam tidak pernah memaafkan." Bumi tidak pernah memaafkan. Bumi tidak pernah memaafkan: Jika kita menghancurkan bumi, tanggapan bumi akan sangat buruk."
Kemudian, paus menyatakan, "Kita adalah orang-orang yang telah merusak karya Tuhan!" Oleh karena itu, "...dalam perayaan Hari Bumi, hari ini, kita dipanggil untuk memperbarui rasa hormat yang suci terhadap bumi, karena bumi bukan hanya rumah kita, tetapi juga rumah Allah."

Tetapi rasa hormat saja tidak cukup; sepertinya. “Kita membutuhkan pertobatan ekologis.”


Bumi ini: "Rumah Tuhan"?

Pernyataan Paus Francis bahwa bumi "bukan hanya rumah kita tetapi juga rumah Allah" tidaklah tepat dan dapat menyebabkan kebingungan panteisme. Doktrin Katolik tradisional mengatakan bahwa Allah, “dengan kuasa dan kebajikan-Nya, memenuhi langit dan bumi, dan semua hal yang terkandung di dalamnya. ... Sementara Dia sendiri tidak dibatasi oleh tempat. ... bagaimanapun, Dia sering berkata dalam Kitab Suci, bahwa Dia memiliki tempat tinggal di surga. ”*

Misalnya pada Mazmur 123:1: Kepada-Mu aku melayangkan mataku, ya Engkau yang bersemayam di sorga.”

Kitab pertama Raja-Raja menunjukkan kemahahadiran Tuhan, karena Dia tidak dapat termuat di surga atau di bumi: Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi? Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langitpun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini! ” (1 Raja 8:27).

Doa yang diajarkan Tuhan kepada kita dimulai dengan seruan ini: “Bapa kami yang di sorga, dikuduskanlah nama-Mu,” (Matt. 6:9).

(* The Catechism of the Council of Trent, trans. Rev. J. Donovan [Hawthorne, Calif.: The Christian Book Club of America, 1975], 494–5.)


"Alam Tidak Pernah Memaafkan: Jika Anda Menamparnya, Ia Akan Selalu Menampar Balik Anda."


Pada bulan Januari 2015, dalam salah satu wawancara khusus, di pesawat yang terbang dari Sri Lanka ke Filipina, ketika ditanya oleh wartawan tentang apakah perubahan iklim adalah kesalahan manusia, paus Francis menjawab: "Saya tidak tahu apakah seperti itu, tetapi sebagian besar, ya sebagian besar, manusia telah 'menampar' alam, terus-menerus, kita telah menguasai alam, menguasai ibu pertiwi. Saya ingat — Anda pernah mendengar ini — apa yang pernah dikatakan seorang petani tua kepada saya: ‘Tuhan selalu memaafkan; kita, manusia, terkadang memaafkan; namun alam tidak pernah memaafkan.’ Maka jika kamu menamparnya, ia akan selalu menamparmu balik.'

 

Ensiklik Laudato Si’ : Kunci untuk Memahami Kepausan Paus Francis


Pernyataan-pernyataan ini dan pernyataan antropomorfis (yang bersumber kepada manusia) lainnya — tentu saja aneh, kadang-kadang tidak dapat dipahami, dan bahkan nampak ganjil — untuk diambil maknanya ketika dibaca dalam terang ensiklik Paus Francis, Laudato Si’.

Bahkan, ensiklik ini (Laudato Si’) memberi kita kunci untuk memahami segala pernyataan, tindakan, gerak tubuh, dan sikap kepausan lainnya dan, terutama, nasihat apostolik pasca-sinode: Querida Amazonia.


Bumi, Diperlakukan sebagai Makhluk Hidup


Dalam dokumen-dokumen ini, Paus Francis berurusan dengan bumi, alam, dan lingkungan seolah-olah mereka adalah makhluk rasional, dikaruniai dengan kecerdasan, kemauan, dan kepekaan, sama seperti manusia.


Laudato Si menegaskan, misalnya: "Saudari Bumi sekarang berteriak kepada kita karena gangguan yang telah kita timbulkan kepadanya, karena pemakaian dan penyalahgunaan segala sesuatu milik bumi dengan cara yang tidak bertanggung jawab yang telah diberikan Allah kepadanya" (no. 2) . “Inilah sebabnya mengapa bumi kita yang tertindas dan dihancurkan oleh manusia, adalah di antara yang paling diabaikan dan dianiaya dari antara orang miskin kita; ia (bumi) 'mengeluh dalam kesusahan' ”(Rm. 8:22) (no. 2).

Harap diperhatikan karakterisasi ala Marxis tentang istilah ‘miskin’ sebagai kaum ‘tertindas.’ Ensiklik Laudato Si merekomendasikan pendekatan ekologis bagi seseorang “untuk mendengar seruan dari bumi dan jeritan orang miskin” (no. 49).

“Situasi ini telah menyebabkan saudari bumi, bersama dengan semua yang ditinggalkan atau diabaikan di dunia kita, berteriak, memohon agar kita menempuh jalan lain” (no. 53).

Dengan demikian, berkat kemampuan kognitif dan kehendak serta kepekaan ini, Bunda Bumi konon mampu memahami perilaku manusia terhadapnya dan bumi juga membuat penilaian moral tentang tindakan manusia, menilai dan mengetahui manusia, apakah baik atau buruk. Demikian pula, bumi akan merasa tersinggung oleh tindakan manusia yang menganggapnya jahat dan bumi membalas dendam dengan menyebabkan kebakaran, banjir, kehancuran, dan pandemi seperti coronavirus.

Hari Bumi, atau Hari Ibu Pertiwi – yang dirayakan oleh Paus Francis - adalah inisiatif dari gerakan ekologis naturalis-pantheis yang dimulai pada tahun tujuh puluhan. Pada 2009, PBB yang sangat agnostik itu menyetujuinya sebagai semacam "hari suci" sipil, seperti yang terlihat di situs web lembaga tersebut:

(Resolution Adopted by the General Assembly on April 22, 2009 [without reference to a Main Committee (A/63/L.69 and Add.1)] 63/278. International. …)

Mengakui bahwa Bumi Pertiwi adalah ungkapan umum untuk planet bumi di sejumlah negara dan wilayah, yang mencerminkan saling ketergantungan yang ada di antara manusia, spesies hidup lainnya, dan planet yang kita semua mnghuninya ... Memperhatikan bahwa Hari Bumi dirayakan setiap tahun di banyak negara, maka kita (Majelis Umum PBB) memutuskan untuk menetapkan tanggal 22 April sebagai Hari Bumi (Hari Ibu Pertiwi) Internasional…

(United Nations General Assembly, “Resolution adopted by the General Assembly on 22 April 2009” [without reference to a Main Committee (A/63/L.69 and Add.1)] 63/278, “International Mother Earth Day,” Sixty-third session, Agenda item 49 (d), 08-48747, May 1, 2009, https://undocs.org/A/RES/63/278.)

Selain itu, PBB memposting pesan ke situs webnya pada 22 April, Hari Ibu Bumi Internasional terbaru, yang sejalan dengan pemikiran Paus Francis:


Ketika Ibu Pertiwi Mengirim Pesan Kepada Kita

Ibu Pertiwi jelas mendesakkan sebuah ajakan untuk bertindak. Alam menderita. Kebakaran Australia, catatan panas yang mencapai rekor, dan invasi belalang terburuk di Kenya. Sekarang kita menghadapi COVID-19, pandemi di seluruh dunia dikaitkan dengan kesehatan ekosistem kita. ... Mari kita ingatkan lebih dari sebelumnya, pada Hari Ibu Pertiwi Internasional ini, bahwa kita membutuhkan perubahan menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan yang bekerja untuk manusia dan planet ini. Mari kita mempromosikan harmoni dengan alam dan Bumi.
(United Nations, accessed May 6, 2020, https://www.un.org/en/observances/earth-day) 

 

Meng-ilahi-kan bumi

 

Memberi sifat-sifat dan julukan kepada bumi sebagai makhluk rasional, serta menempatkan bumi sebagai hakim sekaligus sebagai jaksa yang menjatuhkan hukuman kepada perbuatan manusia, bukankah itu sama dengan ‘meng-ilahi-kan’ bumi?

Peng-ilahi-an atas bumi ini tampaknya telah menjadi "teologis" yang mendasari upacara yang menyembah berhala dewi Pachamama di Taman-taman Vatikan dan Basilika Santo Petrus, pusat kekristenan. Beberapa orang uskup memanggul dewi berhala itu di pundak mereka dalam prosesi dari Basilika ke Aula Sinode. Paus Francis secara efektif berpartisipasi dalam semua tindakan ini.8

 

Meninggikan Pachamama Dan Merendahkan Martabat Manusia


Dengan meng-ilahi-kan bumi, Paus Francis telah mengubah doktrin Gereja tradisional, yang selalu menganggap manusia sebagai raja dari Ciptaan.

Kitab Kejadian dengan jelas berbicara dalam hal ini: “Dan Allah memberkati mereka [Adam dan Hawa], dengan bersabda: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kej. 1:28).

Pastor José F. Sagües, SJ, dalam risalahnya tentang ciptaan Tuhan, mengatakan dengan tepat: "Pernyataan kita ... bahwa dunia ada karena manusia dan tentu saja, untuk melayani dia (manusia) dalam rangka memuliakan Allah, ini adalah iman ilahi dan Katolik, dan jika dilihat dalam kaitannya dengan masing-masing dari hal-hal yang ada di dunia, maka ini adalah kebenaran yang pasti dalam teologi.”

Kualifikasi "iman ilahi dan Katolik" berarti bahwa ini adalah kebenaran yang diungkapkan oleh Allah dan diusulkan oleh Gereja untuk dipercaya. Menyangkal hal ini berarti bidaah.

Pastor H. Pinard mengatakan: “Semua Bapa Gereja dan teolog memang menganggap manusia sebagai mahkota takdir dari dunia yang masuk akal: segala sesuatu dititahkan kepadanya (manusia) karena tanpa dia (manusia) segala sesuatu (alam) tidak akan memenuhi tujuan mereka; alam tidak akan memiliki suara untuk memuji Tuhan. … Manusia diciptakan terakhir, kata para Bapa Gereja, justru karena sudah sepantasnya bahwa segala sesuatu harus siap sebelum memperkenalkan dan menghadirkan raja alam semesta, yaitu manusia.”

Dalam ensiklik Laudato Si ', yang bertentangan dengan Kitab Kejadian dan seluruh tradisi Gereja, Paus Francis menyatakan: “Memang benar bahwa kita orang Kristen kadang-kadang salah menafsirkan Kitab Suci, saat ini kita harus dengan tegas menolak gagasan bahwa kita diciptakan menurut gambar Allah dan diberi kuasa atas bumi, dimana hal itu kemudian membenarkan dominasi mutlak manusia atas makhluk-makhluk lain.”(no. 67).

Dalam dokumen-dokumen dan pernyataan-pernyataannya, paus Francis secara konsisten menghadirkan manusia, bukan sebagai penguasa alam, dari dunia yang masuk akal, suatu kondisi yang digunakan manusia untuk memuliakan Tuhan, tetapi paus Francis justru membalikkan tatanan itu. Manusia tidak lagi dianggap sebagai tuan, tetapi sebagai pelayan alam. Manusia harus tunduk dan mematuhi alam.


Ini adalah lebih buruk daripada pandemi Coronavirus


Dengan kepausan saat ini, krisis dalam Gereja yang sedang berlangsung dan berakar pada bidaah kam Modernis dan "Nouvelle Théologie," telah mencapai tingkat yang tak terbayangkan. Kesalahan dan kejahatan yang menyerang jiwa adalah lebih parah daripada virus korona yang menyerang tubuh. Maka bahaya terhadap keselamatan kekal bagi jiwa-jiwa ini telah menunjukkan bahwa krisis iman saat ini jauh lebih buruk daripada pandemi saat ini.

Langkah-langkah sanitasi yang drastis telah diambil untuk mengurangi epidemi coronavirus. Namun, dari sudut pandang spiritual, umat beriman dibiarkan sepenuhnya tanpa perlindungan spirituil apa pun pada saat mereka paling membutuhkan bantuan. Sementara dengan meng-ilahiah-kan alam dan meninggikan pemujaan berhala Pachamama, Paus Francis dengan cepat menutup gereja-gereja Roma dan mengizinkan para uskup dari seluruh dunia untuk melakukan hal yang sama, menangguhkan Misa Kudus secara publik dan dengan demikian tidak lagi membagikan Sakramen-sakramen.

Mengapa kita harus mengharapkan sesuatu yang berbeda, mengingat bahwa, dalam ensikliknya Laudato Si’, Paus Francis mengatakan bahwa Ekaristi Kudus (Tubuh, Darah, Jiwa, dan Keilahian Tuhan kita) sebagai ‘sebuah fragmen materi’ belaka?

 

Dia yang Memiliki Iman Akan Memiliki Kehidupan


Santo Paulus menyatakan, “Tetapi kita bukanlah orang-orang yang mengundurkan diri dan binasa, tetapi orang-orang yang percaya dan yang beroleh hidup.” (Ibrani 10:39).


*****












No comments:

Post a Comment