These Last Days News - May 15, 2020
PACHAMAMA, FRANCIS, DAN PANDEMI...
TFP.org reported on May 14, 2020:
by Luiz Sérgio Solimeo
Dalam
beberapa pernyataannya baru-baru ini, Paus Francis mengisyaratkan bahwa pandemi
coronavirus saat ini adalah merupakan pembalasan dari alam.
Sebuah Pembalasan Dari Alam?
Dalam
wawancara 22 Maret 2020, dengan jurnalis Spanyol, Jordi Évole, Paus Francis
ditanya apakah pandemi saat ini bukanlah "balas
dendam dari alam"? Paus menjawab dengan kalimat populernya, yang dia
ulang-ulang seperti aksioma teologis: “Tuhan selalu memaafkan; kita, manusia, terkadang
memaafkan; namun alam tidak pernah memaafkan." Dia menambahkan bahwa “alam
menendang kita agar kita memeliharanya.”
Berbicara
kepada wartawan Inggris, Austen Ivereigh, dari mingguan Katolik London,
beraliran liberal, The Tablet, pada
tanggal 8 April 2020, Paus Francis mengulangi kalimat yang yang sama dan,
setelah mengomentari berbagai musibah saat ini, dia berkata, “Saya tidak tahu
apakah ini balas dendam dari alam,
tetapi musibah itu tentu merupakan respon
dari alam."
“Kita Telah Berdosa Terhadap Bumi: Kita
Membutuhkan Pertobatan Ekologis”
Gagasan
yang sama muncul dalam katekese khusus pada Hari Bumi ke-50 PBB, 22 April 2020.
“Karena
keegoisan kita,” kata paus Francis, “kita telah gagal dalam tanggung jawab kita
untuk menjadi penjaga dan pengaal bumi. ... Kita telah berdosa terhadap bumi
... Dan bagaimana reaksi bumi?" Kemudian dia mengulangi mantranya: “Tuhan
selalu memaafkan; kita, manusia, terkadang memaafkan; namun alam tidak pernah
memaafkan." Bumi tidak pernah memaafkan. Bumi tidak pernah memaafkan: Jika kita menghancurkan bumi, tanggapan bumi
akan sangat buruk."
Kemudian,
paus menyatakan, "Kita adalah orang-orang yang telah merusak karya
Tuhan!" Oleh karena itu, "...dalam perayaan Hari Bumi, hari ini, kita
dipanggil untuk memperbarui rasa hormat yang
suci terhadap bumi, karena bumi bukan hanya rumah kita, tetapi juga rumah Allah."
Tetapi
rasa hormat saja tidak cukup; sepertinya. “Kita membutuhkan pertobatan
ekologis.”
Bumi ini:
"Rumah Tuhan"?
Pernyataan
Paus Francis bahwa bumi "bukan hanya rumah kita tetapi juga rumah
Allah" tidaklah tepat dan dapat menyebabkan kebingungan panteisme. Doktrin
Katolik tradisional mengatakan bahwa Allah, “dengan kuasa dan kebajikan-Nya,
memenuhi langit dan bumi, dan semua hal yang terkandung di dalamnya. ...
Sementara Dia sendiri tidak dibatasi oleh tempat. ... bagaimanapun, Dia sering
berkata dalam Kitab Suci, bahwa Dia memiliki tempat tinggal di surga. ”*
Misalnya pada Mazmur 123:1: “Kepada-Mu aku melayangkan mataku, ya
Engkau yang bersemayam di sorga.”
Kitab pertama
Raja-Raja menunjukkan kemahahadiran Tuhan, karena Dia tidak dapat termuat di
surga atau di bumi: “Tetapi benarkah Allah hendak
diam di atas bumi? Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala
langitpun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini! ” (1 Raja 8:27).
Doa
yang diajarkan Tuhan kepada kita dimulai dengan seruan ini: “Bapa
kami yang di sorga, dikuduskanlah nama-Mu,” (Matt. 6:9).
(* The Catechism of the Council of
Trent, trans. Rev. J. Donovan [Hawthorne, Calif.: The
Christian Book Club of America, 1975], 494–5.)
"Alam Tidak Pernah Memaafkan:
Jika Anda Menamparnya, Ia Akan Selalu Menampar Balik Anda."
Pada
bulan Januari 2015, dalam salah satu wawancara khusus, di pesawat yang terbang
dari Sri Lanka ke Filipina, ketika ditanya oleh wartawan tentang apakah
perubahan iklim adalah kesalahan manusia, paus Francis menjawab: "Saya
tidak tahu apakah seperti itu, tetapi sebagian besar, ya sebagian besar, manusia
telah 'menampar' alam, terus-menerus, kita telah menguasai alam, menguasai ibu
pertiwi. Saya ingat — Anda pernah mendengar ini — apa yang pernah dikatakan
seorang petani tua kepada saya: ‘Tuhan selalu memaafkan; kita, manusia, terkadang
memaafkan; namun alam tidak pernah memaafkan.’ Maka jika kamu menamparnya, ia akan
selalu menamparmu
balik.'
Ensiklik Laudato Si’ : Kunci untuk Memahami Kepausan Paus Francis
Pernyataan-pernyataan
ini dan pernyataan antropomorfis (yang bersumber kepada manusia) lainnya —
tentu saja aneh, kadang-kadang tidak dapat dipahami, dan bahkan nampak ganjil —
untuk diambil maknanya ketika dibaca dalam terang ensiklik Paus Francis, Laudato
Si’.
Bahkan,
ensiklik ini (Laudato Si’) memberi
kita kunci untuk memahami segala pernyataan,
tindakan, gerak tubuh, dan sikap kepausan lainnya dan, terutama,
nasihat apostolik pasca-sinode: Querida
Amazonia.
Bumi, Diperlakukan sebagai Makhluk
Hidup
Dalam dokumen-dokumen ini, Paus Francis berurusan dengan bumi, alam, dan
lingkungan seolah-olah mereka
adalah makhluk rasional, dikaruniai dengan kecerdasan, kemauan, dan kepekaan,
sama seperti manusia.
Laudato
Si menegaskan, misalnya: "Saudari Bumi
sekarang berteriak kepada kita karena gangguan yang telah kita timbulkan kepadanya,
karena pemakaian dan penyalahgunaan segala sesuatu milik bumi dengan cara yang
tidak bertanggung jawab yang telah diberikan Allah kepadanya" (no. 2) .
“Inilah sebabnya mengapa bumi kita yang tertindas dan dihancurkan oleh manusia,
adalah di antara yang paling diabaikan dan dianiaya dari antara orang miskin
kita; ia (bumi) 'mengeluh dalam kesusahan' ”(Rm. 8:22) (no. 2).
Harap diperhatikan
karakterisasi ala Marxis tentang istilah
‘miskin’ sebagai kaum ‘tertindas.’ Ensiklik Laudato Si merekomendasikan pendekatan
ekologis bagi seseorang “untuk mendengar seruan dari bumi dan jeritan orang
miskin” (no. 49).
“Situasi
ini telah menyebabkan saudari bumi, bersama dengan semua yang ditinggalkan atau
diabaikan di dunia kita, berteriak, memohon agar kita menempuh jalan lain” (no.
53).
Dengan
demikian, berkat kemampuan kognitif dan kehendak serta kepekaan ini, Bunda Bumi
konon mampu memahami perilaku
manusia terhadapnya dan bumi juga membuat
penilaian moral tentang tindakan manusia, menilai dan mengetahui manusia, apakah baik atau buruk. Demikian
pula, bumi akan merasa tersinggung
oleh tindakan manusia yang menganggapnya jahat dan bumi membalas dendam dengan menyebabkan kebakaran, banjir,
kehancuran, dan pandemi seperti coronavirus.
Hari
Bumi, atau Hari Ibu Pertiwi – yang dirayakan oleh Paus Francis - adalah
inisiatif dari gerakan ekologis naturalis-pantheis yang dimulai pada tahun
tujuh puluhan. Pada 2009, PBB yang sangat agnostik itu menyetujuinya sebagai
semacam "hari suci" sipil, seperti yang terlihat di situs web lembaga
tersebut:
(Resolution Adopted by the General Assembly on
April 22, 2009 [without reference to
a Main Committee (A/63/L.69 and Add.1)] 63/278. International. …)
(United Nations General Assembly, “Resolution adopted by
the General Assembly on 22 April 2009” [without reference to a Main
Committee (A/63/L.69 and Add.1)] 63/278, “International Mother Earth Day,”
Sixty-third session, Agenda item 49 (d), 08-48747, May 1, 2009, https://undocs.org/A/RES/63/278.)
Selain
itu, PBB memposting pesan ke situs webnya pada 22 April, Hari Ibu Bumi
Internasional terbaru, yang sejalan dengan pemikiran Paus Francis:
Ketika Ibu Pertiwi
Mengirim Pesan Kepada Kita
Ibu
Pertiwi jelas mendesakkan sebuah ajakan untuk bertindak. Alam menderita.
Kebakaran Australia, catatan panas yang mencapai rekor, dan invasi belalang
terburuk di Kenya. Sekarang kita menghadapi COVID-19, pandemi di seluruh dunia dikaitkan
dengan kesehatan ekosistem kita. ... Mari kita ingatkan lebih dari sebelumnya, pada
Hari Ibu Pertiwi Internasional ini, bahwa kita membutuhkan perubahan menuju
ekonomi yang lebih berkelanjutan yang bekerja untuk manusia dan planet ini.
Mari kita mempromosikan harmoni dengan alam dan Bumi.
(United Nations, accessed May 6, 2020, https://www.un.org/en/observances/earth-day)
Meng-ilahi-kan bumi
Memberi
sifat-sifat dan julukan kepada bumi sebagai makhluk rasional, serta menempatkan
bumi sebagai hakim sekaligus sebagai jaksa yang menjatuhkan hukuman kepada
perbuatan manusia, bukankah itu sama dengan ‘meng-ilahi-kan’ bumi?
Peng-ilahi-an
atas bumi ini tampaknya telah menjadi "teologis" yang mendasari
upacara yang menyembah berhala dewi Pachamama
di Taman-taman
Vatikan dan Basilika Santo Petrus, pusat kekristenan. Beberapa orang uskup
memanggul dewi berhala itu di pundak mereka dalam prosesi dari Basilika ke Aula
Sinode. Paus Francis secara efektif berpartisipasi
dalam semua tindakan ini.8
Meninggikan Pachamama Dan Merendahkan
Martabat Manusia
Dengan
meng-ilahi-kan bumi, Paus Francis telah mengubah doktrin Gereja tradisional,
yang selalu menganggap manusia sebagai raja dari Ciptaan.
Kitab Kejadian
dengan jelas berbicara dalam hal ini: “Dan Allah memberkati mereka [Adam dan
Hawa], dengan bersabda: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah
bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung
di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kej. 1:28).
Pastor José
F. Sagües, SJ, dalam risalahnya tentang ciptaan Tuhan, mengatakan dengan tepat:
"Pernyataan kita ... bahwa dunia
ada karena manusia dan tentu saja,
untuk melayani dia (manusia) dalam rangka memuliakan Allah, ini adalah iman ilahi dan Katolik, dan jika
dilihat dalam kaitannya dengan masing-masing dari hal-hal yang ada di dunia, maka
ini adalah kebenaran
yang pasti dalam teologi.”
Kualifikasi
"iman ilahi dan Katolik" berarti bahwa ini adalah kebenaran yang
diungkapkan oleh Allah dan diusulkan oleh Gereja untuk dipercaya. Menyangkal hal ini berarti bidaah.
Pastor H.
Pinard mengatakan: “Semua Bapa Gereja dan teolog memang menganggap manusia
sebagai mahkota takdir dari dunia yang masuk akal: segala sesuatu dititahkan
kepadanya (manusia) karena tanpa dia (manusia)
segala sesuatu (alam) tidak akan memenuhi tujuan mereka; alam tidak akan
memiliki suara untuk memuji Tuhan. … Manusia diciptakan terakhir, kata para
Bapa Gereja, justru karena sudah sepantasnya bahwa segala sesuatu harus siap
sebelum memperkenalkan dan menghadirkan raja
alam semesta, yaitu manusia.”
Dalam
ensiklik Laudato Si ', yang bertentangan
dengan Kitab Kejadian dan seluruh tradisi Gereja, Paus Francis menyatakan:
“Memang benar bahwa kita orang Kristen kadang-kadang salah menafsirkan Kitab
Suci, saat ini kita harus dengan tegas menolak gagasan bahwa kita diciptakan
menurut gambar Allah dan diberi kuasa atas bumi, dimana hal itu kemudian membenarkan
dominasi mutlak manusia atas makhluk-makhluk lain.”(no. 67).
Dalam dokumen-dokumen dan
pernyataan-pernyataannya, paus Francis secara konsisten menghadirkan manusia,
bukan sebagai penguasa alam, dari dunia yang masuk akal, suatu kondisi yang
digunakan manusia untuk memuliakan Tuhan, tetapi paus Francis justru membalikkan
tatanan itu. Manusia tidak lagi dianggap sebagai tuan, tetapi sebagai pelayan
alam. Manusia harus tunduk dan mematuhi alam.
Ini adalah lebih buruk daripada pandemi
Coronavirus
Dengan
kepausan saat ini, krisis dalam Gereja yang sedang berlangsung dan berakar pada
bidaah kam Modernis dan "Nouvelle Théologie," telah mencapai tingkat
yang tak terbayangkan. Kesalahan dan kejahatan yang menyerang jiwa adalah lebih
parah daripada virus korona yang menyerang tubuh. Maka bahaya terhadap keselamatan
kekal bagi jiwa-jiwa ini telah menunjukkan bahwa krisis iman saat ini jauh
lebih buruk daripada pandemi saat ini.
Mengapa
kita harus mengharapkan sesuatu yang berbeda, mengingat bahwa, dalam
ensikliknya Laudato Si’, Paus
Francis mengatakan bahwa Ekaristi Kudus (Tubuh, Darah, Jiwa, dan Keilahian
Tuhan kita) sebagai ‘sebuah
fragmen materi’ belaka?
Dia yang Memiliki Iman Akan Memiliki
Kehidupan
Santo
Paulus menyatakan, “Tetapi kita bukanlah orang-orang yang mengundurkan diri
dan binasa, tetapi orang-orang yang percaya dan yang beroleh hidup.” (Ibrani 10:39).
*****
No comments:
Post a Comment