Saturday, May 2, 2020

MISTERI CORONAVIRUS DI TENGAH BERBAGAI HIPOTESIS DAN KEPASTIAN



MISTERI CORONAVIRUS DI TENGAH BERBAGAI HIPOTESIS DAN KEPASTIAN





by Prof. Roberto de Mattei


Sebuah aura misteri terus mengelilingi Coronavirus, atau Covid-19, penyakit menular yang telah menyebar ke seluruh dunia dalam beberapa bulan yang singkat ini, dengan memperlihatkan sifat pandemi yang tepat dan otentik. Ada banyak hipotesis dan sedikit kepastian tentang sifat virus ini.

Beberapa hipotesis mengenai asal usul penyakit. Apakah virus ini memiliki asal-usulnya di alam, seperti yang dipercaya oleh sebagian besar ahli virologi, atau virus ini diproduksi di dalam laboratorium, seperti yang diduga orang-orang yang lainnya? Dan dalam kasus yang terakhir, virus yang dibuat di dalam laboratorium, apakah itu dibuat untuk tujuan terapeutik atau untuk perang bakteri? Dan apakah itu dibuat di laboratorium Cina atau Barat? Dan apakah rembesan dari laboratorium ini tidak disengaja atau disengaja? Jelaslah bahwa hipotesis rembesan yang disengaja akan menumbuhkan gagasan tentang kemungkinan kekuatan konspirasi rahasia, mengingat bahwa ada banyak kejadian semacam itu di sepanjang sejarah.

Jika, di sisi lain, virus itu berasal dari alam, atau merembes keluar dari laboratorium secara tidak sengaja, kita harus berpikir bahwa kekuatan-kekuatan yang sama ini telah lengah dalam peristiwa itu. Salah satu hipotesis yang paling mungkin adalah yang diajukan oleh Steve Mosher, di mana virus itu, buatan Cina, telah lolos secara tidak sengaja dari sebuah laboratorium di Wuhan (LifeSiteNews, 22 April 2020). Kita berbicara hanya tentang sebuah hipotesis, tetapi tanggung jawab Cina Komunis yang dikemukakan oleh Mosher jelas sekali.

Partai Komunis Cina sebenarnya terus bersikap diam tentang penyebaran virus ini dan bahkan mereka telah memanipulasi jumlah kasus infeksi dan kematian. Dengan alasan yang kuat, Chen Guangcheng (aktivis Cina yang buta, kini menjadi seorang pengungsi di AS, setelah dipenjara di Cina karena menolak aborsi paksa dan sterilisasi di Shandong) menyatakan bahwa “Partai Komunis Cina adalah virus terbesar dan paling berbahaya di dunia.” (AsiaNews, 27 April 2020).

Bahkan pengamat yang sangat berhati-hati, seperti Paolo Mieli, dari Corriere della Sera, pada tanggal 27 April 2020 lalu, mengungkapkan bagaimana otoritas Cina seiring berjalannya waktu, dengan acuh tak acuh "mengadaptasi" (merendahkan angka) jumlah orang yang terinfeksi di negara mereka. Mieli menulis: “Bagaimana mungkin di suatu negara, yang dianggap serius oleh Organisasi Kesehatan Dunia, di mana Direktur Jenderalnya memuji-muji sikap kekakuan pemerintah Cina,” dapat bermain-main dengan angka-angka melalui cara ini? Seiring berjalannya waktu, apalagi, jumlahnya yang terus meningkat, dan, mengenai asal-usul virus, membenarkan gagasan bahwa sesuatu yang mencurigakan telah terjadi di laboratorium Wuhan.”
   
Dan mengenai sifat sebenarnya dari Covid-19, kami memiliki hipotesis belaka, tidak ada yang pasti. Tidak hanya cara mengobati virus itu yang masih tidak jelas, tetapi juga apakah semua orang yang sembuh dari infeksi mendapatkan kekebalan, dan berapa lama kekebalan ini akan bertahan. Para ahli imunologi mengatakan bahwa kita dihadapkan dengan virus "anomali" yang berperilaku berbeda dari mereka yang berasal dari keluarga yang sama (Corriere della Sera, 25 April). Banyak sekali orang mengatakan bahwa akan ada gelombang kedua pandemi di musim gugur, tetapi tidak ada yang bisa memprediksi sifatnya. Meski tidak yakin, namun kecenderungan pemerintah adalah untuk memperpanjang tindakan penguncian wilayah. Ada orang-orang yang menyatakan bahwa ada ketidakseimbangan antara jumlah korban Coronavirus dengan langkah-langkah “menjaga jarak sosial” yang diambil oleh seluruh dunia.

Tetapi atas keberatan ini, seseorang dapat menjawab bahwa jika jumlah korban rendah, itu justru berkat tindakan penguncian wilayah yang dilakukan oleh berbagai pemerintah. Menurut sebuah studi oleh Deutsche Bank, yang dikutip oleh AGI pada 26 April 2020, pandemi Covid-19 berada di urutan paling bawah dalam sejarah untuk tingkat kematiannya. Namun, penelitian mengklaim bahwa tanpa langkah-langkah isolasi atau pun penguncian wilayah, yang membuat tingkat kematian rendah pada 0,002%, maka tingkat kematian akan menjadi 0,23%, yang mencatat 17,6 juta korban di seluruh planet ini. Hal yang sama dapat dikatakan untuk tingkat penularan. Hipotesis ini muncul dengan dikonfirmasi oleh fakta bahwa di Jerman, setelah kuncian wilayah dilonggarkan, tingkat penularan dengan cepat naik lagi dari 0,7 menjadi 1%, demikian diungkapkan oleh Institut Robert Koch untuk penyakit menular (La Repubblica 28 April).

Ada orang yang yakin bahwa kuncian wilayah adalah sebuah proyek oleh 'kekuatan-kekuatan besar' agar mereka dapat melakukan kontrol sosial atas seluruh umat manusia. Di antara mereka ini adalah filsuf post-modern Giorgio Agamben, yang sangat dikagumi oleh kaum ekstrim kiri. Sejak 26 Februari 2020 dia telah mempertanyakan di blognya apakah "menjaga jarak sosial" akan menjadi prinsip baru dari organisasi sosial. “Apa yang paling mendesak, karena itu bukan hanya hipotesis teoretis semata, jika itu benar, seperti di banyak sektor, mereka mulai mengatakan, bahwa darurat kesehatan saat ini dapat dianggap sebagai laboratorium di mana mereka sedang mempersiapkan kerangka kerja politik baru yang menunggu untuk diterapkan kepada seluruh umat manusia. " (Quodlibet, 6 April 2020).

Tapi apa yang bisa menjadi alternatif untuk "karantina" guna menahan epidemi? Di antara mereka yang menentang model Eropa dalam penanganan darurat kesehatan adalah Israel dan terutama Taiwan, di mana, meskipun dekat dengan Cina, jumlah korban dan penularan sangat rendah. Meskipun demikian, jika bahaya yang kita hadapi adalah “kediktatoran digital”, metode Taiwan, yang didasarkan pada sistem pelacakan kontak, nampak lebih berbahaya daripada kuncian wilayah cara Eropa. Taiwan melakukan pengawasan ketat terhadap warga negaranya melalui penggunaan teknologi baru, tanpa mempertimbangkan privasi individu. Hal yang sama terjadi di Israel, di mana sistem pelacakan telah diterapkan secara ketat, yang mengarah ke intervensi oleh Mahkamah Agung.

Bagi yang lain, masalah sebenarnya bukanlah kontrol sosial, tetapi bencana ekonomi. Apa yang akan menjadi konsekuensi ekonomi dan sosial dari pandemi? Pemiskinan secara umum di Barat, guna mendukung kontrol sosial oleh "kekuatan-kekuatan besar", atau runtuhnya sistem ekonomi-keuangan tempat dunia Barat berdiri? Namun, dalam kasus terakhir, manipulasi sosial akan luput dari "kekuatan-kekuatan" yang sama yang merencanakannya. Jika tetap pada level hipotesis. Inilah yang dipertahankan oleh sosiolog Slavoj Žižek dalam bukunya e-book Virus: Catastrophe and Solidarity : bahwa kita sedang terperangkap dalam tiga macam krisis sekaligus: kesehatan (pandemi), ekonomi (pukulan yang sangat parah terlepas dari hasil pandemi), dan psikologis (relatif terhadap kesehatan mental individu).

Aspek perang psikologis, dalam dimensi pra-alamiahnya, diperjelas oleh Plinio Corrêa de Oliveira Institute, dalam sebuah dokumen 27 April 2020, yang berjudul A maior operação de engenharia social e de baldeação ideológica da História. Keberadaan sebuah manuver di tingkat planet yang hebat, membuat kita, mempertanyakan hipotesis dasarnya. Apakah kita menemukan diri kita dihadapkan dengan rencana yang dirancang oleh kekuatan-kekuatan rahasia? Fakta bahwa mereka telah menentukan strategi dalam menghadapi bencana kesehatan, sudah dapat diprediksi selama bertahun-tahun, seperti bencana ekonomi saat ini, bukan berarti bahwa kekuatan-kekuatan inilah yang memicu proses saat ini, atau bahwa mereka tidak mampu mengendalikan akibatnya, sepenuhnya.  

Mengingat hipotesis ini, yang cukup berguna untuk dibahas, beberapa kepastian tetaplah ada. Yang pertama adalah bahwa skenario dunia telah berubah secara objektif setelah Coronavirus. Menjadi lebih baik atau lebih buruk? Di sini kita sekali lagi berada dalam bidang hipotesis prediksi. Žižek menegaskan bahwa untuk Revolusi Komunis, di mana dia adalah penganutnya yang setia, "segala sesuatu mungkin terjadi, ke arah mana pun, baik atau pun buruk." Ini berlaku untuk Revolusi dan juga untuk Kontra-Revolusi yang menentangnya. Tentu saja ada manuver revolusioner yang luas dan kompleks untuk mengeksploitasi situasi, dan ini adalah kepastian yang lain. Tapi untuk menegaskan bahwa manuver ini berhasil, adalah sebuah hipotesis. Di sisi lain ada kepastian lain: fakta yang berhadapan dengan pandemi, orang-orang dalam Gereja telah absen secara mencolok, atau bahkan justru menjadi kaki tangan dalam strategi anti-Kristen ini.

Apa yang harus dilakukan Gereja, dan apa yang harus dilakukan umat Katolik, dalam hal pandemi seperti yang saat ini menyerang kita? Kita harus berpikir secara rohani, secara moral dan spirituil. Kita perlu mengingat bahwa semua kejahatan umat manusia berasal dari dosa dan bahwa dosa publik lebih berat daripada dosa individu; dan bahwa Allah menghukum dosa-dosa sosial dengan wabah penyakit, perang, kelaparan dan bencana alam. Jika dunia tidak bertobat, dan terutama jika orang-orang dalam Gereja terus bersikap diam, maka hukuman yang pada awalnya dilakukan dengan cara yang ringan, akan ditakdirkan untuk menjadi semakin buruk, sampai Anda mendapatkan kehancuran pada seluruh negara. Ini adalah inti dari pesan Fatima, yang berakhir dengan diberikannya sebuah kepastian penghiburan: Kemenangan Hati Maria Yang Tak Bernoda.



*****











1 comment:

  1. ayo daftarkan diri anda di 4g3n365*c0m :D
    WA : +85587781483

    ReplyDelete