RUU Baru Di Cina Akan Melarang Misionaris Asing Untuk Mewartakan Injil
Para pengunjung ke Cina akan dikenakan
beberapa batasan signifikan terkait aktivitas keagamaan mereka.
Sat Nov 28,
2020 - 9:06 am EST
SHUTTERSTOCK.COM
BEIJING, Tiongkok, 28 November 2020 (LifeSiteNews) - Orang
asing tidak akan dapat berbicara dengan bebas tentang Tuhan di Cina, jika
undang-undang komunis yang baru nanti disahkan.
Menurut AsiaNews.it,
para pengunjung ke Cina akan dikenakan beberapa batasan signifikan terkait
aktivitas keagamaan mereka. Rancangan undang-undang baru itu, yang berjudul
"Kegiatan Keagamaan Asing di Republik Rakyat Cina," baru-baru ini
dirilis oleh Administrasi Negara untuk Urusan Agama (SARA). Aturan ini melarang
pekerjaan para misionaris dan bahkan ibadah keagamaan yang dilakukan oleh orang
asing untuk warga negara Cina.
“Untuk meningkatkan rasa 'kemerdekaan' dan 'otonomi' agama-agama
di Cina, kegiatan keagamaan oleh orang asing hanya boleh melibatkan orang asing
saja, bahkan jika mereka dapat, kadang dan sementara, menggunakan 'kuil atau
gereja' lokal, dan meminta personel Cina untuk melakukan ibadah dan pelayanan
keagamaan atau pemberian sakramen-sakramen (Pasal 17 dan 20),” AsiaNews melaporkan.
"Orang asing juga tidak diperbolehkan mendirikan
kelompok-kelompok agama, terlibat dalam kegiatan, atau membuka sekolah,
melakukan pewartaan di antara warga negara Cina, merekrut pengikut, atau
menerima sumbangan dari warga negara Cina (Pasal 21)."
Majalah berita online ini juga melaporkan bahwa SARA (Administrasi
Negara untuk Urusan Agama) menentang segala jenis kepemimpinan asing pada agama-agama
yang ada di Cina, termasuk Paus Roma kelahiran Argentina saat ini. “Berdasarkan
Pasal 21 (1) draf tersebut, orang asing (seperti Paus) tidak boleh 'mencampuri
dan mendominasi urusan kelompok-kelompok agama di Cina,'” kata AsiaNews.
Undang-undang yang diusulkan berisi 40 pasal yang merinci
sejauh mana orang asing dan Cina dapat bertemu untuk membahas masalah agama,
dan berbagi materi keagamaan. AsiaNews
mengatankan bahwa draf tersebut memperlakukan para pejabat religius asing di Cina
seolah-olah mereka adalah mata-mata.
"Bab 4 (Pasal 30-36) sangat mengesankan karena memuat
'hukuman' di bawah aturan hukum yang sah dan memberlakukan undang-undang dan
peraturan yang mengatur kegiatan keagamaan dan keamanan publik serta
undang-undang anti-spionase," tulis majalah berita itu.
"Proposal tersebut tampaknya disemangati oleh pandangan curiga
bahwa kegiatan keagamaan oleh orang asing adalah bagian dari operasi
'spionase'."
Sementara SARA menunjukkan penghormatan terhadap keyakinan
agama orang asing, namun SARA juga mengatur layanan keagamaan mereka sendiri,
bahkan ketika mereka tetap terpisah dari warga negara Cina.
“Meskipun Pasal 4 menyatakan: 'Cina menghormati kebebasan
beragama orang asing di wilayahnya dan melindungi aktivitas keagamaan orang
asing di wilayah Cina sesuai dengan hukum,' tetapi setiap individu dan
kelompok, dan setiap aktivitas, harus tunduk pada persyaratan yang sangat
ketat, dan harus diverifikasi oleh Kantor Urusan Agama di tingkat kota,
kabupaten, provinsi, dan nasional,” lapor AsiaNews.
Komunitas agama asing atau para petugas religius untuk orang
asing akan dipaksa untuk mendaftar dan menunggu 20 hari untuk otorisasi dari
SARA agar bisa melakukan kegiatan keagamaan. Anehnya, mereka harus mendaftar
dalam bahasa Cina.
Sementara itu, juga akan ada batasan jumlah materi keagamaan
yang boleh dibawa oleh orang asing ke Cina, misalnya, hanya 10 eksemplar buku,
video, atau brosur. Ini juga harus menerima otorisasi dari pemerintah Cina. AsiaNews menulis bahwa Pasal 25
menetapkan bahwa untuk membawa materi tersebut ke dalam negeri, “pelamar harus
memberikan dokumentasi yang menjelaskan isinya, yang tidak boleh 'membahayakan
keamanan nasional Cina dan tidak boleh bertentangan dengan 'prinsip kemerdekaan
dan pengelolaan diri dalam beragama dari masyarakat Cina.' ”
Undang-undang baru yang diusulkan ini mengantisipasi adanya ‘pertukaran
budaya dan agama’ antara Cina dan dunia luar, dimana orang-orang asing banyak diundang
kepada berbagai konferensi, kursus atau memberi khotbah. Namun, mereka harus
menjaga lidah mereka dan menahan diri dari kegiatan yang dianggap oleh Partai
Komunis Cina (PKC) sebagai ‘bermusuhan dengan Cina,’ dan juga menunggu izin
dari SARA lebih dulu untuk bisa bekerja.
“Mengingat besarnya pembatasan dan birokrasi seperti itu, maka
kelompok-kelompok agama asing harus berjuang untuk menginjakkan kakinya di Cina,”
AsiaNews menyimpulkan.
“Berinteraksi dengan orang Kristen bawah tanah akan menjadi
tidak mungkin dan ilegal. Berinteraksi dengan anggota Gereja Kristen resmi
tanpa pengawasan SARA akan menjadi lebih sulit."
David Mulroney, Duta Besar Kanada untuk Cina antara 2009 dan
pertengahan 2012, mengatakan kepada LifeSiteNews
bahwa sikap xenofobia Cina terhadap agama sangat berbahaya bagi Katolik.
“Cina berusaha untuk merongrong universalitas kepercayaan
agama dan komunitas agama, sesuatu yang menyerang jantung Katolik,” kata
Mulroney melalui media sosial.
“Partai Komunis terus mewaspadai keyakinan agama yang
melampaui batas negara, terutama di wilayahnya sendiri,” lanjutnya. “Itu
berarti… Katolik, Islam, dan Buddha Tibet, sangat dicurigai.”
Mulroney juga menunjukkan bahwa sikap Cina terhadap gerakan
keagamaan global adalah "ironis" mengingat partisipasinya yang sangat
besar dalam komunisme internasional.
"Departemen
Pekerjaan Front Bersatu yang kuat dari Partai Komunis Cina, menggunakan
cara-cara gerakan bawah tanah untuk menyebarkan ‘Injil Marxisnya’ ke seluruh
dunia," kata mantan duta besar itu.
Salah satu solusi untuk keberatan Cina atas kepemimpinan Paus
"asing" mungkin adalah pemilihan kardinal Cina untuk menjadi paus.
Mengingat pengaruh seorang paus Polandia (Yohanes Paulus II) dalam perjuangan
abad ke-20 untuk kebebasan di Eropa Tengah dan Timur, maka pemilihan seorang paus
dari Cina mungkin dianggap ideal. Tetapi Edward Pentin, penulis buku The Next Pope, berpendapat bahwa hal ini
tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat.
"Seorang paus Cina adalah mungkin, tetapi itu akan
membutuhkan Paus yang menunjuk seorang uskup dari Cina dengan status dan kekuatan
yang cukup besar," kata Edward Pentin dari LifeSiteNews melalui media sosial.
“Saat ini hanya ada dua kardinal Cina, John Hong Ton dan
[Joseph] Zen Ze-kiun, keduanya emeritus Hong Kong, tetapi karena mereka berusia
lebih dari 80 tahun, keduanya tidak mungkin terpilih menjadi paus."
Oleh karena itu, untuk menjadi paus Cina, maka paus Francis
harus mengangkat seorang uskup Cina yang lebih muda kedalam College of Cardinals.
“Jika dia melakukannya, dia tidak diragukan lagi akan memilih
seseorang yang setuju dengan Perjanjian Sementara dan bersahabat dengan PKC,”
kata Pentin. “Saya tidak melihat seorang kardinal dari Cina yang bisa terpilih
menjadi paus dalam sebuah konklaf, setidaknya tidak untuk saat ini.”
Rancangan undang-undang tersebut dipresentasikan tak lama
setelah pembaruan perjanjian dua tahun antara pemerintah komunis dan atheis Cina
dengan Tahta Suci pada bulan Oktober
2020. Ketentuan perjanjian, yang diduga memungkinkan pihak PKC untuk
memilih calon uskup di Cina, sebagian besar tidak diketahui, karena dokumen
tersebut tidak pernah dipublikasikan. Namun, keadaan agama minoritas di Cina,
termasuk umat Katolik, hanya semakin memburuk saja sejak perjanjian itu ditandatangani.
Kardinal Joseph Zen, Uskup Emeritus Hong Kong dan pendukung demokrasi Hong Kong yang vokal, dengan keras menentang kesepakatan Vatikan-Cina tersebut.
*****
AS
Berada Dalam Keadaan Terjun Bebas Secara Moral
Tanda
Dari Binatang? Ribuan Orang Swedia Menerima Microchip
Francis
Mencela Hukumnya Namun Mendukung Orang Yang Membuatnya
John
Kerry: Kepresidenan Biden akan memajukan agenda Great Reset
Percayalah
Bahwa Para Elit Global Akan Menggunakan Krisis COVID
Seorang
Jurnalis Mengungkap Penyiksaan PKC Terhadap Seorang Pastor