SEBUAH PANGGILAN BAGI
KERJASAMA ANTARA KATOLIK DAN FREEMASON?
"Anak-anakku, aku meminta kepada para pastorku untuk
mendengarkan aku sebagai Ibumu, ketika aku memberitahu kamu agar kamu melepaskan
dirimu dari semua perkumpulan-perkumpulan rahasia itu. Mereka tidak secara
terbuka berencana menentang Gereja Puteraku, tetapi mereka melakukan hal ini
secara rahasia! Para Mason, anak-anakku - Hirarki Gereja harus melepaskan diri
dari organisasi yang keji ini. Kamu tidak dapat menyangkal bahwa banyak di
kalangan para Mason sedang mempraktekkan ilmu sihir dan guna-guna." - Our Lady of the Roses, 1 Juni 1978
Oleh Pastor Paolo M. Siano
Pada tanggal 12 November 2017 di Syracuse,
Sisilia, Grand Orient Italia, Palazzo Giustiniani (GOI), mensponsori konferensi
dengan judul "Gereja dan Freemason:
Begitu Dekat Namun Begitu Jauh?" Para presenter dalam konferensi itu
termasuk teolog Mgr. Maurizio Aliotta; Uskup Antonio Staglianò dari Noto,
Sisilia; dan Sergio Rosso serta Santi Fedele, guru besar Pondok Grand Masonic
Italy.
Mengapa konferensi itu diadakan? Menurut sebuah
wawancara yang diberikan kepada Avvenire pada 1 November 2017, pastor Ennio
Stamile (pastor paroki Cetraro, Italia) menjelaskan bahwa “… secara otonom dalam menghadapi perbedaan-perbedaan kita, adalah baik
untuk melakukan jalan pelayanan yang otentik demi kebaikan bersama dan untuk melakukan
komitmen yang bertanggung jawab dan transparan terhadap keadilan sosial.”
Apakah kita berbicara tentang hubungan
Katolik-Masonik pada tingkat keadilan sosial dan solidaritas? Mari kita lihat
apa yang dikatakan para pembicara utama tentang hal itu.
1) Dalam pembicaraan selama sebelas menit, Mgr.
Aliotta menunjukkan bahwa dirinya memiliki pengetahuan tentang Freemason dengan
baik, dan dia menunjukkan beberapa elemen yang membuatnya tidak sesuai dengan
Gereja: anthropocentrism, elemen agama dan ritual inisiasi “super-denominasi”,
dan semangat toleransi relativistik. Aliotta, sementara menyadari bahaya dialog
ini telah dieksploitasi, tampaknya dia mendukung "kolaborasi di sekitar
proyek yang membantu kita berjalan bersama menuju humanisasi yang lebih
besar."
2) Sergio Rosso, yang berbicara selama
hampir sembilan belas menit, mengilustrasikan karya filantropis (kemurahan
hati) Pondok Grand Masonic Italy dan memberikan pujian besar untuk aksi amal
Gereja Katolik di dunia. Rosso berusaha membedakan dan memisahkan
"sekularisme" Masonik dari sikap "anti-Katolik." Dia juga
merekomendasikan kerja sama Katolik-Masonik pada tingkat solidaritas untuk
"menghidupkan kembali zaman Roh yang sudah dekat dengan kita." Roh yang
mana?
3) Pidato Uskup Staglianò, yang paling lama,
berlangsung sekitar lima puluh menit. Pidatonya hanya semakin menunjukkan bahwa
dirinya memiliki pengetahuan tentang Freemason yang tidak lengkap. Dia mengakui
dalam sebuah wawancara bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang Freemasonry.
Pada awalnya, Uskup Staglianò mengutip beberapa
kata dari The Magic Flute, sebuah opera
terkenal karya komposer Katolik-Masonik, Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791).
Dia mengutip dan memuji teolog Hans Urs von Balthasar, yang menyatakan The Magic Flute sebagai “sebuah opera
dari sifat ilahi” (demikian kata Stagliò). Yang Mulia juga melaporkan penilaian
Hans Küng tentang keanggotaan Mozart dalam Freemason: Mozart menjadi Mason
karena hanya di sanalah dia bisa menemukan dan mewujudkan cita-cita Pencerahan
tentang kesetaraan, persaudaraan, dan kebebasan, yang tidak dia temukan dalam
hierarki Gereja Katolik Salzburg.
Mungkin pembicara ini akan bisa melakukan
ceramahnya dengan baik jika saja dia mau menekankan fakta bahwa, sudah sejak abad ke-18,
keanggotaan dalam Freemasonry (termasuk saat Mozart dulu) sudah tidak sesuai
dengan iman Katolik, karena ketidakpedulian religius, relativisme,
rasionalisme, esoterisme, dan sumpah Masonik Freemasonry (dengan hukuman yang kejam
/ ancaman bagi mereka yang mengkhianati rahasia Masonik). Meskipun benar bahwa
Uskup Staglianò kemudian mengatakan bahwa seseorang tidak bisa menjadi Katolik dan Mason, tetapi dia tidak menjelaskan
atau memberikan alasan untuk ketidakcocokan ini. Memang, Mgr. Aliotta
benar-benar membutuhkan lebih banyak waktu untuk berbicara, karena apa yang
disampaikannya saat itu benar-benar tidak akurat.
Namun, Uskup Staglianò tidak bersikap "lunak"
terhadap Mason. Dia mengatakan beberapa kali bahwa mereka dikucilkan, dengan mengutip
penegasan dari tahun 1983 oleh Kardinal Ratzinger (Paus Benediktus XVI) sebagai
kepala Kongregasi untuk Ajaran Iman. Oleh karena itu, kata Staglianò, antara
umat Katolik dan Freemason ada "jarak seperti jurang"; ada semacam "ekskomunikasi
yang dijalankan." "Anda benar-benar dilempar keluar, benar-benar
keluar," kata uskup itu, yang secara langsung berbicara kepada para anggota
Mason yang hadir.
Uskup Staglianò bahkan menyebutkan adanya "desas-desus"
yang menurutnya bahwa ada imam dan uskup yang menjadi anggota Mason. Jika itu
benar, dia menekankan, para imam dan uskup itu juga harus dikucilkan dan mengalami
“masalah dengan identitas mereka.”
Sayangnya, Uskup Staglianò tidak mengatakan, atau
tidak mengatakan dengan jelas, mengapa kaum Mason dikucilkan, atau mengapa
Freemasonry tidak sesuai dengan Gereja. Dalam hal ini, saya ingin membuat
klarifikasi. Hukum Canon 2235 dari Undang-Undang Hukum Kanon 1917, yang
menjatuhkan hukuman ekskomunikasi latae
sententiae terhadap umat Katolik yang bergabung dengan Freemasonry, yang tidak
diperbarui dalam UU Hukum Kanonik yang baru pada tahun 1983 (yang berlaku sejak
27 November 1983).
Berdasarkan Canon 2235 dari Kode 1917, setiap umat
Katolik adalah ipso facto di-exkomunikasi
oleh tindakan kepatuhannya, atau inisiasi ke dalam, kelompok Freemasonry. Dalam
deklarasinya 26 November 1983, CDF mengulangi ketidakcocokan antara Freemasonry
dan Gereja, dan menetapkan bahwa umat Katolik yang menjadi anggota Freemason
berada dalam keadaan dosa besar dan tidak dapat menerima Komuni Kudus. Titik. Ia
tidak berbicara tentang ekskomunikasi. Sebagai referensi, saya punya beberapa
artikel tentang hal
ini.
Namun dalam kenyataan, para Mason yang Katolik
tidaklah dikucilkan secara ipso facto
oleh tindakan mengikuti, atau diinisiasi ke dalam Freemasonry (dalam tingkat
pertama dari Apprentice). Namun, jika dalam proses pembentukan Masonik berikutnya
mereka merangkul dan memanifestasikan doktrin heterodoks (dari ajaran Masonik),
atau jatuh ke dalam kemurtadan karena hal itu, maka mereka menerima ekskomunikasi
dengan alasan sebagai delik bidaah atau kemurtadan.
Juga patut dicatat bahwa saat itu Uskup Staglianò
mengecam orang-orang Katolik yang bingung dengan partisipasinya dalam
konferensi itu. Dia menuduh mereka sebagai umat Katolik yang menganggap diri
mereka “benar” dan “murni”, padahal kenyataannya mereka secara tidak sadar telah
berada “jauh.” (Dari siapa? Dari Gereja? Dari Kristus?) Uskup Staglianò
memarahi mereka karena memiliki masalah dengan identitas Katolik mereka. Dia
kemudian berkata kepada para Mason yang hadir saat itu bahwa jika ada “masalah
mendesak, atau bisa kita katakan sebagai masalah antropologis” (masalah bagi
para Mason yang mau menyatukan diri mereka dengan umat Katolik) dan jika mereka
juga ingin meningkatkan suara mereka untuk membela martabat manusia dan
kebebasan beragama, maka mereka harus "menunjukkan" wajah mereka yang
sebenarnya (sebagai orang yang peduli terhadap kebaikan sejati kemanusiaan)
sehingga orang-orang yang telah mengucilkan mereka (Tahta Suci) mungkin akan
menyadari bahwa mereka telah mengucilkan "sesuatu yang tidak ada." Lalu
dia menyemangati para Mason itu: "Marilah kita berjalan bersama ke arah
itu."
Tapi sekarang, mari kita bertanya pada diri kita sendiri:
Apa artinya bagi para Mason untuk menunjukkan wajah mereka yang sebenarnya?
Juga, apakah tindakan ekskomunikasi atau "menjauhkan" para Mason itu tidak
perlu dilakukan asalkan mereka "mau menunjukkan wajah mereka"? Jika,
di satu sisi, Uskup Staglianò dengan penuh semangat ingin menyalahkan “tindakan
menjauhkan” antara kita di pihak Katolik yang murni dengan Mason, dan di sisi
lain, dia tampak terlalu samar dalam hipotesisnya bahwa memang ada
"kedekatan" di antara Katolik dengan Mason.
Kenyataannya, Uskup Staglianò bersikeras pada pentingnya
hati nurani, dan mengatakan kepada kaum Mason bahwa dia tidak ingin mengukur jauh
atau dekatnya mereka, tetapi bahwa mereka harus benar dalam hati nurani mereka,
dalam antropologi mereka, untuk mengatakan bahwa mereka bukan pencuri, tidak
bersikap buruk, atau berencana melawan Gereja, dll. Tetapi dengan berbicara seperti
ini, bagaimana kaum Mason tidak merasa dibiarkan dan dipersilakan tinggal dalam
subjektivisme pikiran mereka? Akibatnya, orang-orang Katolik yang mengikuti Freemason
sudah mengikuti hati nurani mereka sesuai dengan anjuran Uskup Staglianò itu.
Oleh karena itu, hanya dengan mengikuti
kata hati nurani saja tidaklah cukup; sebaliknya, seseorang harus juga
memberikan arah yang jelas dan pasti. Sebagai contoh: Katakan kepada para Mason
di Grand Lodge di Italia bahwa mereka harus meninggalkan paham esoterisme,
Gnostisisme, sekularisme, dan keengganan mereka terhadap dogma-dogma iman dan
moral, jika mereka ingin mendekatkan diri kepada kita umat Katolik.
Mungkin terganggu oleh kata-kata kasar dari
Bishop Staglianò, maka grand master Santi Fedele, berbicara selama 18 menit untuk
membela Grand Lodge of Italy, membela "transparansi" publiknya, dan
haknya untuk memiliki privasi. Fedele mendefinisikan Yang Mulia Rosy Bindi
(seorang politikus Italia) sebagai "komunis Katolik." Dia menyangkal
bahwa Freemason melakukan "ritual sihir yang aneh di Bait Suci."
(Bahkan pada titik ini, saya harus merasa keberatan.) Dia mengagungkan "moralitas
sekuler" Freemasonry dan mengakui bahwa "Arsitek Agung Alam Semesta"
yang disebut dalam buku James Anderson yang berjudul Freemasonry (1723) adalah Deist. Akhirnya – dia membalas terhadap
Staglianò - dia menyatakan dengan bangga bahwa dia memiliki "kesadaran
yang baik " karena dia menjadi orang yang berada "di luar komunitas umat
beriman."
Izinkanlah saya untuk merujuk beberapa artikel
saya, di
sini dan di
sini, di mana, atas dasar teks Masonik yang saya baca, saya menggarisbawahi
identitas esensial Freemasonry of the Grand Lodge sebagai bersifat esoterik dan
berbasis pada ritual inisiasi. Inisiasi dan esoterisme (Gnostisisme) - di sini
adalah "jantung " yang sesungguhnya dari Freemasonry, yang jauh
melampaui rasionalisme, sekularisme, dan kegiatan kemanusiaan.
Oleh karena
itu, mari kita bertanya
kepada diri sendiri: Sejauh mana, dan sampai titik mana, apakah mungkin kita, umat
Katolik, untuk bekerja sama secara
terbuka dalam karya-karya keadilan
sosial dan solidaritas dengan mereka yang mempraktekkan ritual esoterik dan
Gnostik, yang sangat mungkin mereka terbuka
untuk menerima pengaruh
manusia-super atau preternatural?
No comments:
Post a Comment