DI DALAM LEMARI VATIKAN
Frếdếric Martel
KEKUASAAN
HOMOSEXUALITAS
KEMUNAFIKAN
DAFTAR ISI
CATATAN DARI
PENULIS DAN PENERBIT
|
|
|
|
|
Bab 1. Domus Sanctae Marthae
|
Bab 2. Teori Gender
|
Bab 3. Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?
|
Bab 4. Buenos Aires
|
Bab 5. Sinode
|
Bab 6. Roma Termini
|
BAGIAN II - PAULUS
|
Bab 7. Kode Maritain
|
Bab 8. Persahabatan
Yang Penuh Cinta
|
BAGIAN III – YOHANES PAULUS
|
Bab 9. Kolese Suci
|
Bab 10. Legiun
Kristus
|
Bab 11. Lingkaran
Nafsu
|
Bab 12. Garda Swiss
|
Bab 13. Perang Salib Melawan Gay
|
BAGIAN III
Yohanes Paulus
Bab 13
Perang Salib Melawan Gay
Pada saat yang sama dengan Paus John
Paul II yang melindungi Marcial Maciel dan sebagian rombongannya dengan mengabaikan
kasus ‘petualangan sex’ dari Garda Swiss atau nafsu busuk secara umum, maka Vatikan
juga melancarkan pertempuran besar melawan kaum homoseksual.
Tidak ada yang baru tentang perang
ini. Fanatisme anti-sodomi telah ada sejak Abad Pertengahan, meskipun ini tidak
bisa mencegah lusinan paus dicurigai memiliki kecenderungan homosex, termasuk
Pius XII dan John XXIII - toleransi internal yang kuat bersama dengan kritik
eksternal yang kuat tetap menjadi aturan. Namun Gereja selalu lebih homofobik di
dalam perkataan daripada di dalam praktik para klerusnya.
Namun, wacana publik dalam agama
Katolik ini menjadi lebih keras di akhir tahun 1970-an. Gereja Katolik telah salah
langkah oleh revolusi moral yang terjadi pada 1960-an, yang tidak diantisipasi
atau dipahami. Paus Paulus VI, yang jauh dari kejelasan tentang masalah ini,
bereaksi pada tahun 1975 dengan 'deklarasi' yang terkenal, Persona humana, yang merupakan bagian dari dinamika ensiklik Humanae vitae: selibat imamat ditegaskan,
nilai tinggi diterapkan pada kesucian, hubungan seksual dilarang dan
homoseksualitas ditolak dengan keras.
Sebagian besar, dan pada tingkat
doktrinal, kepausan John Paul II (1978–2005) juga merupakan bagian dari
kesinambungan ini. Tetapi situasi ini diperparah oleh wacana yang semakin
homofobia (menolak homosex), sementara rombongan paus melemparkan dirinya ke
dalam perang salib baru melawan kaum gay (Angelo Sodano, Stanisław Dziwisz,
Joseph Ratzinger, Leonardo Sandri, Alfonso López Trujillo terlibat dalam
manuver ini, antara lain).
Dari tahun pemilihannya, paus
memastikan bahwa perdebatan dibekukan. Dalam pidatonya pada tanggal 5 Oktober
1979, disampaikan di Chicago dalam audiensi dengan semua uskup Amerika, dia mengundang
mereka untuk mengutuk tindakan yang dia sebut 'tidak wajar.' “Sebagai pastor yang
berbelas kasih, Anda benar untuk mengatakan: ‘Perbuatan homoseksual, harus dibedakan
dari kecenderungan homoseksual, dan itu (perbuatan homosex) adalah jahat secara
moral. Melalui kejelasan atas kebenaran ini, Anda telah membuktikan perbuatan
amal kasih sejati dari Kristus. Anda tidak mengkhianati mereka yang, karena
homoseksualitas, mendapati diri mereka dihadapkan dengan masalah moral yang
menyakitkan, seperti yang akan terjadi jika, atas nama pengertian dan belas
kasihan, dan karena berbagai alasan lain, Anda telah menawarkan harapan-harapan
palsu kepada saudara-saudari kita.’ (Perhatikan frasa: 'karena berbagai alasan
lain,' yang mungkin merupakan sindiran terhadap moral para klerus Amerika saat
itu, yang sudah banyak dikenal.)
Mengapa John Paul II memilih untuk
tampil, begitu awal dalam masa kepausannya, sebagai salah satu paus paling
homofobia dalam sejarah Gereja? Menurut ahli Vatikan Amerika, Robert Carl
Mickens, yang tinggal di Roma, ada dua faktor penting.
“Dia adalah seorang paus yang tidak
pernah mengenal demokrasi, jadi dia membuat semua keputusannya sendiri, dengan
intuisi yang brilian dan prasangka Katolik-Polandia-nya yang kuno, termasuk
prasangka tentang homoseksualitas. Kemudian ada modus operandi-nya, garis kebijakannya,
di sepanjang kepausannya, adalah persatuan; dia percaya bahwa Gereja yang terpecah
adalah Gereja yang lemah. Dia memberlakukan sikap kaku ketat untuk melindungi
persatuan itu dan teori tentang infalibilitas pribadi paus adalah bagi yang
selebihnya."
Tingkat pemahaman budaya demokratis yang
rendah dari John Paul II kadang-kadang dibicarakan di Kraków dan Roma oleh
orang-orang yang mengenalnya, bersama dengan sikap misoginya dan homofobia-nya.
Tetapi Paus tampaknya mentoleransi dengan baik kemahahadiran homoseksual dalam
rombongannya. Ada begitu banyak dari mereka, dan begitu banyak yang mempraktekkan
perbuatan homosex di antara para menterinya dan asistennya, sehingga dia tidak
mungkin tidak menyadari cara hidup mereka, dan bukan hanya 'kecenderungan'
mereka saja. Jadi mengapa dia mempertahankan posisi yang kontradiktif seperti
itu? Mengapa membiarkan sistem kemunafikan seperti itu terus berakar? Mengapa ada
sikap keras kepala publik dan toleransi pribadi seperti itu? Mengapa? Mengapa?
Perang salib yang akan diluncurkan
oleh John Paul II melawan kaum gay, terhadap kondom dan, segera, melawan perkawinan
sipil, muncul dalam konteks baru, dan untuk menggambarkannya kita perlu masuk
ke dalam jantung dari mesin Vatikan, yang merupakan satu-satunya cara untuk
memahami kekerasan dan dorongan psikologis yang mendalam di baliknya - kebencian
diri yang bertindak sebagai motor rahasia yang kuat - dan akhirnya:
kegagalannya. Karena itu adalah perang yang membuat John Paul II kalah.
Saya akan menceritakan kisah ini
pertama-tama melalui pengalaman mantan monsignore, Krzysztof Charamsa, roda penggerak
sederhana dari mesin propaganda, yang membuat sisi gelap dari kisah ini muncul
keluar. Kemudian saya akan mengalihkan perhatian saya kepada seorang kardinal
di Kuria, Alfonso López Trujillo, yang merupakan salah satu aktor utamanya -
dan yang kariernya di Kolombia, di Amerika Latin pada umumnya, dan kemudian di
Italia, telah saya ikuti dengan sangat rinci.
Pertama kali saya mendengar nama
Krzysztof Charamsa ada di email, yang berasal darinya. Kardinal itu menghubungi
saya ketika dia masih bekerja pada Kongregasi untuk Ajaran Iman. Pastor Polandia
itu menikmati, katanya kepada saya, buku saya Global Gay, dan dia meminta bantuan saya untuk berkomunikasi
melalui media bahwa dia akan segera keluar, meskipun dia bersumpah untuk
merahasiakan masalah ini. Tidak tahu pada waktu itu apakah dia seorang wali
gereja yang berpengaruh seperti yang dia klaim, atau hanya seorang penipu, saya
meminta teman Italia saya, Pasquale Quaranta, jurnalis dari La Repubblica, untuk memeriksa
biografinya.
Setelah keaslian kesaksiannya
dikonfirmasi, saya bertukar sejumlah email dengan Mgr. Krzysztof Charamsa,
merekomendasikan nama-nama beberapa jurnalis kepadanya, dan, pada Oktober 2015,
tepat sebelum Sinode tentang Keluarga, profilnya yang terkenal muncul membuat
surat-surat kabar memberitakannya bersamaan dengan berbagai kunjungannya ke
seluruh dunia.
Saya bertemu kardinal Krzysztof
Charamsa beberapa bulan kemudian di Barcelona, kota tempat dia diasingkan
setelah dilucuti jabatannya oleh Vatikan. Setelah menjadi aktivis yang aneh dan
militan untuk kemerdekaan Catalan, dia membuat kesan yang cukup baik pada saya.
Kami makan bersama dengan Eduard, laki-laki, pacar kardinal Charamsa, dan saya
bisa merasakan dari sikap kardinal Charamsa kepada Eduard, adanya suatu rasa kebanggaan
tertentu, seperti seseorang yang baru saja melakukan sebuah revolusi kecil seorang
diri, ‘One-Man Stonewall’-nya.
“Anda tahu apa yang dia lakukan!
Keberanian yang besar! Dia mampu melakukan semua itu berdasarkan cinta. Karena
cinta kepada pria yang dia cintai," kata Pasquale Quaranta, jurnalis dari La Repubblica, memberitahu saya.
Kami bertemu lagi di Paris pada tahun
berikutnya dan, dalam berbagai wawancara, kardinal Charamsa menceritakan
kisahnya, yang selanjutnya akan ditulisnya sebagai buku, The First Stone. Dalam berbagai wawancara dan tulisannya, mantan
pastor itu selalu mempertahankan semacam hambatan, pengekangan, mungkin rasa
takut jika tidak berbicara mendua, dimana hal ini mencegah dirinya mengatakan
kebenaran sepenuhnya. Namun, jika dia benar-benar berbicara suatu hari nanti,
kesaksiannya akan sangat penting, karena kardinal Charamsa berada di jantung
mesin perang homofobik Vatikan.
Untuk waktu yang lama, Kongregasi
untuk Ajaran Iman disebut sebagai Kantor Suci, yang bertanggung jawab dan
mengurusi masalah 'Inkuisisi' yang terkenal dan 'Indeks' yang terkenal, daftar
buku yang disensor atau dilarang. 'Pelayanan' Vatikan ini terus berlanjut,
seperti namanya, untuk memperbaiki doktrin dan mendefinisikan kebaikan dan
kejahatan. Di bawah John Paul II, dicastery strategis ini, yang kedua dalam hal
protokol setelah Sekretariat Negara, dijalankan oleh Kardinal Joseph Ratzinger.
Dia adalah orang yang membuat dan memutuskan sebagian besar teks yang menentang
homoseksualitas, dan memeriksa sebagian besar file pelecehan seksual di dalam Gereja.
Kardinal Krzysztof Charamsa bekerja
di sana, sebagai penasihat dan wakil sekretaris komisi teologi internasional.
Saya telah melengkapi cerita tentang dirinya dengan empat saksi internal
lainnya: tentang penasihat lain, seorang anggota komisi, seorang ahli dan
seorang kardinal yang merupakan anggota dewan dari Kongregasi itu. Saya sendiri
juga memiliki kesempatan untuk menghabiskan banyak malam bersamanya, berkat
keramahtamahan para imam yang memahami, di tempat kudus: sebuah apartemen
Vatikan dekat Piazza Santa Marta, beberapa meter dari Istana Tahta Suci di mana
saya telah bertemu dengan para pejabat kecil dari Inkuisisi modern.
Kongregasi untuk Ajaran Iman terdiri
dari sekitar empat puluh karyawan tetap yang digaji, yang dikenal sebagai
ufficiali, scrittori atau ordinanze, umumnya imam yang sangat ortodoks, setia
dan andal (Kardinal Krzysztof Charamsa menyebut mereka 'pegawai negeri dari
Inkuisisi'). Sebagian besar memiliki banyak gelar, sering kali termasuk
teologi, serta hukum atau filsafat kanon. Mereka dibantu oleh sekitar tiga
puluh konsultan eksternal.
Secara umum, setiap 'proses
inkuisisi' (hari ini kita akan mengatakan setiap 'poin doktrin') dipelajari
oleh para pejabat, kemudian dibahas oleh para ahli dan konsultan sebelum
diserahkan ke dewan kardinal untuk diratifikasi. Proses yang nampaknya bersifat
horisontal ini, yang menjanjikan adanya sumber perdebatan, pada kenyataannya
menyembunyikan suatu vertikalitas: ternyata hanya satu orang yang berwenang
untuk menafsirkan teks-teks dan mendiktekan 'kebenaran.' Karena prefek
Kongregasi (Joseph Ratzinger di bawah John Paul II, William Levada dan kemudian
Gerhard Müller di bawah Benedict XVI -- keduanya tunduk pada Ratzinger) yang secara
praktis memiliki kendali penuh atas semua dokumen: dia mengusulkan,
memperbaiki, dan mengesahkannya sebelum menyerahkannya kepada paus pada audiensi
pribadi yang penting. Bapa Suci memiliki kata penentu terakhir. Di sini kita
dapat melihat - seperti yang kita ketahui sejak Nietzsche - bahwa moralitas
tetap menjadi alat untuk dominasi.
Ini juga merupakan area yang sangat
menguntungkan bagi kemunafikan. Di antara 20 kardinal yang saat ini berada
dalam bagan alur Kongregasi untuk Ajaran Iman, kami berpikir bahwa ada sekitar
selusin homofil (mendukung homosex) atau mempraktikkan homoseksual. Setidaknya
lima orang dari mereka yang hidup bersama pacar mereka. Tiga orang yang secara
teratur menggunakan pelacur pria. (Mgr. Viganò mengkritik tujuh kardinal ini
dalam 'Testimonianza' -nya.)
Karena itu Kongregasi itu adalah
kasus klinis yang menarik dan menjadi jantung kemunafikan Vatikan. Kardinal Krzysztof
Charamsa mengatakan: "Karena banyak dari mereka adalah homoseksual, maka
para klerus ini berlagak memaksakan sikap kebencian terhadap homoseksual, yang
bisa dibilang kebencian diri, dalam sebuah tindakan masokis yang sia-sia."
Menurut kardinal Charamsa serta
saksi-saksi internal lainnya, di bawah kepemimpinan Ratzinger, pertanyaan
homoseksual telah menjadi obsesi tidak sehat yang sebenarnya. Beberapa baris
Perjanjian Lama yang berbicara soal Sodom dibaca dan dibaca ulang; hubungan
antara David dan Jonathan terus-menerus ditafsirkan ulang, bersama dengan frasa
dalam Perjanjian Baru di mana Paulus mengakui penderitaannya karena memiliki
'duri dalam daging' (menurut kardinal Charamsa, Paulus seakan menyampaikan
homoseksualitasnya sendiri). Dan tiba-tiba, ketika kita menjadi tergila-gila
oleh kelalaian ini, ketika kita memahami bahwa agama Katolik nampak meninggalkan
dan menghancurkan kehidupan, sebuah kehidupan tanpa jalan keluar, mungkin orang
secara diam-diam mulai menangis?
Para pembenci gay di lingkungan Kongregasi
untuk Ajaran Iman ini memiliki kode SWAG mereka sendiri (Diam-diam Kita Adalah
Gay). Ketika para imam ini berbicara di antara mereka sendiri dalam jargon
mistis tentang Rasul Yohanes sebagai 'murid yang dikasihi Yesus', 'Yohanes ini,
lebih dikasihi daripada yang lain,' dimana 'Yesus, setelah melihatnya, mengasihi,’
mereka tahu betul apa yang mereka maksud; dan ketika mereka berusaha memahami
kisah penyembuhan oleh Yesus atas hamba perwira muda 'yang sangat disayangi-Nya,'
menurut sindiran yang sangat ditekankan dalam Injil Santo Lukas, tidak ada
keraguan tentang pentingnya hal ini di mata mereka. Mereka tahu bahwa mereka adalah
milik orang yang dikutuk - dan orang yang dipilih.
Selama pertemuan kami di Barcelona
dan Paris, kardinal Charamsa menggambarkan dengan sangat terperinci alam
semesta rahasia ini, hukum ini begitu sepenuhnya tertanam dalam hati
orang-orang, kemunafikan diangkat menjadi aturan, pembicaraan-ganda, mencuci
otak, dan dia mengatakan semua ini kepada saya dengan nada pengakuan,
seolah-olah menyerahkan akhir dari ‘Nama Mawar,’ di mana para rahib saling
merayu dan bertukar kenikmatan dan juga penuh dengan penyesalan, seorang rahib
muda menjatuhkan dirinya sendiri dari sebuah menara.
“Saya membaca dan bekerja sepanjang
waktu. Hanya itu yang saya lakukan. Saya adalah seorang teolog yang baik.
Itulah sebabnya para petinggi Kongregasi sangat terkejut dengan kedatangan
saya. Mereka mengharapkan semua orang, kecuali saya," demikian kata imam
Polandia itu kepada saya.
Untuk waktu yang lama, kardinal Charamsa
yang ortodox ini mematuhi semua perintah tanpa keberatan. Dia bahkan membantu
menulis teks dengan semangat yang tidak biasa terhadap homoseksualitas dengan
menganggap homosex sebagai sebuah bentuk 'ketidak-wajaran obyektif.' Di bawah
John Paul II dan Kardinal Ratzinger, hal itu benar-benar menjadi sebuah
festival yang dirayakan dan dinikmati ramai-ramai. Silabus secara keseluruhan
tidak memiliki kata-kata kutukan yang cukup untuk kaum gay. Kaum homofobia (pembenci
homo) menyebarkan iklan yang membuat mual melalui puluhan deklarasi, desakan,
surat, instruksi, pertimbangan, pengamatan, motu proprio dan ensiklik,
sedemikian rupa sehingga akan sulit untuk membuat daftar semua nama 'sapi
jantan kepausan' di sini.
Vatikan berusaha untuk melarang kaum
homoseksual bergabung dalam seminari (tidak menyadari bahwa ini juga berarti
penurunan jumlah panggilan); larangan itu melegitimasi penolakan terhadap mereka
untuk masuk tentara (ketika Amerika Serikat ingin menangguhkan aturan 'Jangan bertanya,
jangan memberi tahu'); hal itu, secara teologis, seakan menyarankan untuk melegitimasi
diskriminasi-diskriminasi yang dapat dilakukan terhadap kaum homoseksual di dalam
pekerjaan mereka; dan tentu saja, mengutuk hubungan dan pernikahan sesama
jenis.
Sehari setelah pawai Hari Gay se
dunia yang diadakan di Roma pada 8 Juli 2000, John Paul II berbicara dalam
acara doa angelus tradisional dan mengecam 'demonstrasi terkenal' itu dan
mengungkapkan 'kesedihannya atas penghinaan terhadap Tahun Jubileum Agung 2000.'
Tetapi umat beriman yang ikut hanya sedikit jumlahnya pada akhir pekan itu
dibandingkan dengan 200.000 orang gay yang berbaris di jalan-jalan kota Roma.
“Gereja akan selalu berkata apa yang
baik dan apa yang buruk. Tidak ada yang dapat menuntut agar Gereja berkata
‘benar’ tentang sesuatu yang ‘salah’ menurut hukum kodrat dan injil,” kata
Kardinal Angelo Sodano pada kesempatan pawai Hari Gay itu, dan dia melakukan
segala yang dia bisa untuk menghentikan prosesi LGBT itu. Kita harus mencatat,
pada saat yang sama, adanya serangan Kardinal Jean-Louis Tauran, yang tidak
setuju dengan pawai kaum gay ini 'selama pekan suci,' dan seorang uskup
pembantu di Roma, Mgr. Rino Fisichella, yang semboyan uskupnya adalah 'Saya
telah memilih jalan kebenaran,’ namun dia tak dapat menemukan kata-kata yang
cukup keras untuk mengkritik pawai hari Gay se dunia itu! Sebuah lelucon,
kebetulan, beredar di dalam Vatikan untuk menjelaskan tiga posisi yang sulit:
para kardinal sangat marah dengan parade Gay karena pawai itu tidak akan membuat
mereka bisa melayang mengarungi lautan nafsu bejatnya!
Karena untuk ‘muncul keluar' adalah terlalu
berisik atau terlambat, maka kardinal Krzysztof Charamsa sekarang berada di
bawah serangan berlipat dua dari pihak Kuria dan dari gerakan kaum gay Italia.
Setelah berpindah cepat dari sikap homofobia yang diinternalisasikan ke ratu
drama, wali gereja itu ternyata bersikap cukup meresahkan. Saya diberitahu,
misalnya, bahwa di dalam Kongregasi untuk Ajaran Iman, pemecatan dirinya
terkait dengan fakta bahwa dia tidak mendapatkan promosi yang dia harapkan.
Homoseksualitasnya telah diketahui, saya diberitahu oleh sumber resmi, karena
dia telah tinggal bersama pacarnya (laki-laki) selama beberapa tahun.
Seorang wali gereja dalam Kuria yang
sangat akrab dengan kasus ini, dan dia juga seorang homoseksual, menjelaskan:
“Kardinal Charamsa adalah jantung dari mesin homofobia Vatikan. Dia menjalani
kehidupan ganda: dia menyerang kaum gay di depan umum, dan pada saat yang sama
dia tinggal bersama kekasihnya (sesama pria) secara pribadi. Untuk waktu yang
lama dia memperoleh akomodasi dengan sistem ini yang kemudian dia kutuk - tepat
sebelum sinode, membuat sayap liberal Kuria berada dalam kesulitan. Yang
bermasalah adalah dia, seperti saya dan orang lain, bisa segaris dengan
Kardinal Walter Kasper yang progresif atau pun kardinal Schönborn yang sangat
ramah. Alih-alih dia mencela dan menyerang mereka selama bertahun-tahun. Bagi
saya, kardinal Charamsa tetap menjadi misteri. (Penilaian yang keras ini, adalah
ciri khas dari kampanye balasan yang dilakukan oleh Vatikan, tidak bertentangan
dengan kisah Charamsa; dia mengakui bahwa dia 'bermimpi menjadi kepala lembaga Inkuisisi,'
dan bahwa dia juga terlibat dalam 'departemen kepolisian yang mengurusi jiwa-jiwa'
yang nyata).
Di sisi lain, kardinal Charamsa
menemukan sedikit dukungan di kalangan komunitas gay Italia, yang mengkritik sikapnya
yang 'anti homo,’ seperti yang dikonfirmasi oleh aktivis lain: Dalam wawancara
dan bukunya, dia sama sekali tidak menjelaskan soal sistem. Dia hanya berbicara
tentang dirinya sendiri, tentang pribadinya yang kecil. Pengakuannya tidak
menarik: ketika dia muncul pada tahun 2015 itu sudah 50 tahun terlambat! Apa
yang benar-benar menarik adalah seandainya dia memberi tahu kami tentang sistem
dari sisi dalam, menggambarkan semuanya, seperti penulis terkenal,
Solzhenitsyn.
Suatu penilaian yang keras, mungkin,
meskipun jelas bahwa kardinal Charamsa bukanlah Solzhenitsyn yang gay dari
Vatikan, yang mungkin diharapkan oleh beberapa orang.
Perang salib melawan kaum gay dilakukan
di bawah John Paul II oleh wali gereja lain, yang lebih berpengaruh, dengan
cara yang berbeda, daripada mantan imam, Charamsa. Dia adalah seorang kardinal,
salah satu yang paling berpengaruh di bawah John Paul II. Namanya: Alfonso
López Trujillo. Gelarnya: Presiden Dewan Kepausan untuk Keluarga.
Di sini kita memasuki salah satu
halaman paling gelap dalam sejarah Vatikan baru-baru ini, dan saya tidak ingin
terbawa oleh cerita saya terlalu cepat: Saya akan membutuhkan waktu sebanyak
yang diperlukan untuk menceritakan kasus yang benar-benar luar biasa ini.
Siapakah Alfonso López Trujillo?
Spesimen ini lahir pada tahun 1946 di Villahermosa, di wilayah Tolima, di
Kolombia. Dia ditahbiskan menjadi imam di Bogotá pada usia 25, dan 10 tahun
kemudian dia menjadi imam pembantu di kota yang sama, sebelum kembali ke
Medellín di mana, pada usia 43, dia diangkat menjadi uskup agung. Sebuah
lintasan karir yang klasik, untuk seorang imam yang lahir dalam keluarga yang
baik dan tidak pernah kekurangan uang.
Karier Alfonso López Trujillo yang
luar biasa berhutang banyak kepada Paus Paulus VI, yang melihatnya sejak awal
saat kunjungan resminya ke Kolombia pada Agustus 1968, dan bahkan lebih besar
lagi dengan John Paul II, yang menjadikannya sebagai tangan kanannya di Amerika
Latin pada saat awal kepausannya. Alasan persahabatan besar ini sederhana, dan
identik dengan persahabatan yang dibentuk oleh paus Polandia (John Paul II) pada
saat yang sama dengan nuncio Angelo Sodano atau pun Pastor Marcial Maciel: mereka
anti-komunisme.
Alvaro Léon, yang sekarang sudah
pensiun, sudah lama menjadi seorang biarawan Benediktin dan, ketika dia masih
seorang seminaris muda, sebagai 'pengatur upacara' bagi Alfonso López Trujillo
di Medellín. Di sana saya bertemu lelaki tua ini dengan wajah tampan dan lelah,
bersama peneliti utama saya dari Kolombia, Emmanuel Neisa. Alvaro Léon ingin
muncul di buku saya dengan nama aslinya, "karena saya sudah menunggu
bertahun-tahun untuk berbicara," katanya, "jadi saya ingin
melakukannya sepenuhnya sekarang, dengan keberanian dan ketepatan."
Kami makan siang bersama di sebuah
restoran dekat katedral Medellín, dan Alvaro Léon meluangkan waktu untuk
menceritakan kehidupannya di samping uskup agung, mengendurkan ketegangan dalam
waktu yang lama. Kami akan tetap bersama sampai malam, menjelajahi kota dan
kafe-kafenya.
“López Trujillo tidak berasal dari
sini. Dia belajar di Medellín dan panggilan religiusnya agak terlambat.
Pertama-tama dia belajar psikologi, dan baru kemudian dia menjadi seorang
seminaris di kota itu."
Bercita-cita menjadi imam, Lopez
Trujillo muda dikirim ke Roma untuk menyelesaikan studinya di bidang filsafat
dan teologi di Angelicum. Berkat gelar doktor dan kenalan yang kuat dengan paham
Marxisme, dia mampu bertarung setara dengan para teolog besar sayap kiri, dan dia
menyerang mereka dari kanan - jika bukan paling kanan - seperti yang bisa disaksikan
dari beberapa bukunya.
Kembali di Bogotá, López Trujillo
ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1960. Selama sepuluh tahun dia menjalankan
pelayanannya di dalam bayang-bayang, dengan sikap ortodoksi yang hebat dan
bukannya tanpa beberapa insiden.
“Rumor tentang dia mulai beredar
dengan sangat cepat. Ketika dia diangkat menjadi uskup auksilier ke Bogotá pada
tahun 1971, sekelompok umat awam dan imam bahkan menerbitkan sebuah petisi
mengecam ekstremismenya dan berdemonstrasi menentang pengangkatannya di depan
katedral kota! Dari saat itulah López Trujillo menjadi benar-benar paranoid,"
kata Alvaro Léon kepada saya.
Menurut semua saksi yang saya tanya
di Kolombia, percepatan tak terduga dari karier López Trujillo dimulai dengan
Dewan Uskup Amerika Latin (CELAM), yang secara teratur mengumpulkan semua uskup
Amerika Latin untuk menentukan arah perjalanan Gereja Katolik di Amerika
Selatan.
Salah satu konferensi pendiriannya
sebenarnya diadakan di Medellín pada tahun 1968 (yang pertama dilakukan di Rio
de Janeiro pada tahun 1955). Tahun itu, ketika kampus-kampus berkembang pesat di
Eropa dan Amerika Serikat, Gereja Katolik sangat bersemangat setelah Vatikan
II. Paus Paulus VI singgah di Kolombia untuk membuka konferensi CELAM.
Pertemuan besar ini terbukti sangat
menentukan: ia melihat munculnya sebuah arus progresif, yang akan segera
dinamai ‘teologi pembebasan,’ oleh pastor Peru Gustavo Gutiérrez. Itu adalah
arah baru di Amerika Latin, di mana sebagian besar Gereja mulai menyuarakan
perlunya 'pilihan istimewa bagi orang miskin.' Banyak uskup membela 'pembebasan
dari rakyat yang tertindas' dan dekolonisasi, dan mengecam kediktatoran militer
sayap kanan. Tak lama kemudian, sebuah minoritas tergelincir ke arah kiri,
dengan imam-imam yang pro-Guevara atau pro-Castro, dan yang lebih jarang,
seperti Camilo Torres Restrepo dari Kolombia atau pembalap Spanyol Manuel Pérez,
‘meletakkan uang mereka di mana mulut mereka berada,’ dan mengangkat senjata
bersama para gerilyawan.
Menurut Rafael Luciani, dari Venezuela,
seorang spesialis dalam teologi pembebasan dan dirinya sendiri adalah anggota
CELAM dan profesor teologi di Boston College, "López Trujillo dengan tulus
muncul sebagai reaksi terhadap konferensi para uskup di Medellín." Selama
beberapa pertemuan dan makan malam, Luciani membawa kepada saya banyak
informasi tentang CELAM dan peran yang dimainkannya oleh kardinal masa depan
itu.
Konferensi Medellín, dimana debat dan
deklarasi López Trujillo banyak diikuti sebagai pastor yang sederhana, hal itu merupakan titik balik
baginya. Dia mengerti bahwa Perang Dingin baru saja mencapai Gereja Amerika
Latin. Bacaannya adalah berasal dari dua sisi, dan dia hanya harus mengikuti
hidungnya untuk memilih di sisi mana kubunya berada.
Menjadi bagian dari otoritas
administratif CELAM, uskup muda itu, yang baru terpilih, mulai - pada awalnya adalah
secara diam-diam - melobi secara internal untuk opsi politik sayap kanan militan
guna melawan teologi pembebasan dan opsi preferensi untuk orang miskin.
Proyeknya: memastikan bahwa CELAM memperbarui hubungannya dengan Katolik
konservatif. Dia tinggal di pos itu selama tujuh tahun.
Apakah dia memiliki koneksi dengan
Roma, untuk melakukan pekerjaan yang merusak ini? Yang pasti, karena dia diangkat
ke CELAM berkat dukungan dari Vatikan dan kardinal Italia berpengaruh,
Sebastiano Baggio, mantan nuncio untuk Brasil, yang menjadi direktur Kongregasi
Uskup. Kolombia hanya akan menjadi ujung tombak langkah-langkah anti-teologi-pembebasan
John Paul II setelah konferensi Puebla di Meksiko pada tahun 1979.
“Di Puebla, López Trujillo sangat
berpengaruh, sangat kuat. Saya ingat dengan sangat jelas," saya diberitahu
oleh kardinal Brasil, Odilo Scherer, selama wawancara di São Paulo. “Teologi
pembebasan adalah semacam konsekuensi dari Konsili Vatikan II tahun 1960-an ...
dan juga Mei 1968 di Perancis (dia tertawa). Kadang-kadang hal itu terlalu
dipolitisasi, dan telah meninggalkan tugas yang sebenarnya di dalam Gereja.”
Tahun itu, di Puebla, López Trujillo,
yang sekarang menjadi uskup agung, langsung bertindak. {“Persiapkan pembomnya,”
dia menulis kepada seorang rekannya sebelum konferensi. Dia mengaturnya dengan
sangat rinci, tampaknya dia telah melakukan 39 perjalanan antara Bogotá dan
Roma untuk mempersiapkan pertemuan itu. Dialah yang memastikan bahwa para
teolog, seperti Gustavo Gutiérrez, harus dikeluarkan dari ruang konferensi
dengan alasan bahwa mereka bukan uskup.
Ketika konferensi CELAM dibuka di
Meksiko dengan pidato pembukaan oleh John Paul II, yang telah melakukan
perjalanan ke sana terutama untuk kesempatan itu, López Trujillo memiliki
rencana pertempuran yang tepat: tujuannya adalah untuk mengambil alih kekuasaan
dari kubu progresif dan membuat organisasi beralih ke arah kanan. Terlatih
‘seperti petinju sebelum bertarung,’ menurut perkataannya sendiri, dia siap
untuk bertukar tembakan dengan para pastor 'sayap kiri.'
Hal ini dikonfirmasikan kepada saya
oleh Frei Betto, Dominikan dari Brazil yang terkenal, selama wawancara di Rio
de Janeiro: “Pada waktu itu, kebanyakan uskup adalah konservatif. Tapi Lopez
Trujillo bukan hanya konservatif: dia berada di sisi paling kanan. Dia secara
terbuka berpihak pada pemodal besar dan mengeksploitasi orang miskin: dia
membela kapitalisme lebih dari doktrin Gereja. Dia cenderung bersikap sinis. Dalam
konferensi CELAM di Puebla, dia bahkan menampar seorang kardinal."
Alvaro Léon, mantan kolega López
Trujillo, melanjutkan: “Hasil pertemuan Puebla sangat beragam bagi López
Trujillo. Dia berhasil mendapatkan kembali kekuasaan dan menjadikan dirinya
terpilih sebagai presiden CELAM, tetapi pada saat yang sama dia tidak
menyingkirkan teologi pembebasan yang masih memikat sejumlah besar uskup."
Tidak perlu lagi pasukan terjun
payung di kalangan para kardinal Italia atau menggunakan nuncio (dubes Vatikan)
untuk berperang melawan komunisme di Amerika Latin: yang harus mereka lakukan
hanyalah merekrut orang-orang Latin yang baik untuk 'menyelesaikan pekerjaan itu.'
Dan Alfonso López Trujillo begitu
berbakti, begitu bersemangat, sehingga dia melakukan tugasnya memberantas
teologi pembebasan dengan penuh semangat, di Medellín, di Bogotá, dan segera di
seluruh Amerika Latin. Dalam potret ironis dari buku The Economist, dia bahkan digambarkan dengan topi kardinal
merahnya, seperti Che Guevara yang terbalik!
Paus yang baru, John Paul II, dan
rombongan kardinalnya yang ultra-konservatif, sekarang dipimpin oleh prajurit
mereka: López Trujillo, yang akan menjadikan kekalahan total bagi arus teologi
pembebasan sebagai prioritas mereka. Ini juga merupakan garis yang diambil oleh
pemerintah AS: laporan Komisi Rockefeller, diproduksi atas permintaan Presiden
Nixon, menghitung bahwa sejak 1969 Teologi Pembebasan telah menjadi lebih dari
ancaman daripada komunisme: pada 1980-an di bawah Reagan, CIA dan Departemen
Sekretaris Negara terus menyelidiki gagasan subversif para imam Amerika Latin
yang 'merah' ini. Untuk mencapai hal ini, paus akan menunjuk sejumlah uskup ‘sayap
kanan’ dan ‘sayap paling kanan’ yang mengesankan di Amerika Latin selama era 1980-an
dan 1990-an.
"Sebagian besar uskup yang
ditunjuk di Amerika Latin pada masa kepausan John Paul II adalah dekat dengan
Opus Dei," kata akademisi Rafael Luciani, anggota CELAM, membenarkan.
Pada saat yang sama, Kardinal Joseph
Ratzinger, yang menjadi kepala Kongregasi untuk Ajaran Iman, memimpin
pertempuran ideologis melawan para pemikir teologi pembebasan, yang dia tuduh
menggunakan 'konsep-konsep Marxis,' dan dengan keras menghukum beberapa dari
mereka (López Trujillo adalah salah satu penulis dari dua dokumen anti-teologi-pembebasan
yang diterbitkan oleh Ratzinger pada tahun 1984 dan 1986).
Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun,
sebagian besar uskup CELAM bergerak ke pihak kanan. Teologi pembebasan menjadi
arus minoritas dalam dewan pada tahun 1990-an, dan itu hanya akan terjadi
ketika konferensi CELAM kelima diadakan di Aparecida, Brazil, bahwa arus
moderat baru akan muncul kembali, terwujud dalam diri kardinal Argentina, Jorge
Bergoglio. Sebuah garis yang anti Trujillo López.
Pada suatu malam di bulan Oktober
2017 saya berada di Bogotá bersama seorang mantan seminaris, Morgain, yang
bekerja dan berhubungan dengan López Trujillo untuk waktu yang lama di
Medellín. Pria itu bisa diandalkan; kesaksiannya tidak terbantahkan. Dia masih
bekerja untuk keuskupan Kolombia, yang membuatnya sulit untuk berbicara di
depan umum (disini nama depannya telah dirubah). Tetapi setelah diyakinkan oleh
fakta bahwa saya akan mengutip dia dengan nama palsu, maka dia mulai
menceritakan berbagai skandal, pertama dengan bisikan dan kemudian dengan suara
keras. Dia juga telah merahasiakan informasi ini begitu lama sehingga dia ingin
mengungkap semuanya secara terbuka, dengan detail yang tak terhitung jumlahnya,
selama makan malam yang panjang, di mana peneliti Kolombia saya juga hadir.
“Saya bekerja dengan Uskup Agung
López Trujillo di Medellín pada saat itu. Dia hidup dalam kondisi mewah dan beraktivitas
laksana seorang pangeran, atau lebih tepatnya seperti ‘señora’ yang
sesungguhnya. Ketika dia tiba di salah satu mobil mewahnya untuk kunjungan
keuskupan, dia meminta kami untuk mengeluarkan karpet merah. Kemudian dia
keluar dari mobil, menjulurkan kakinya, yang semua orang bisa melihat pada
awalnya adalah pergelangan kakinya, dan kemudian menginjakkan kaki di karpet,
seolah-olah dia adalah Ratu Inggris! Kami semua harus mencium cincinnya, dan dia
harus memiliki awan dupa di sekelilingnya. Bagi kami, kemewahan ini,
pertunjukan ini, kemenyan, karpet, sangat mengejutkan."
Cara hidup dari zaman lain ini
berjalan beriringan dengan perburuan nyata untuk para imam progresif. Menurut
Morgain - dan kesaksiannya telah dikonfirmasi oleh pastor lain - dalam
perjalanan diva-nya Alfonso López Trujillo akan menemukan para imam yang dekat
dengan teologi pembebasan dan kemudian mengatur 'penyingkiran’ mereka. Beberapa
dari pastor itu menghilang, atau dibunuh oleh paramiliter tepat setelah
kunjungan uskup agung.
Pada 1980-an, Medellín menjadi
ibukota kejahatan dunia. Pedagang obat terlarang, khususnya kartel Medellín,
Pablo Escobar yang terkenal - yang diyakini bertanggung jawab atas 80 persen
pasar kokain ke Amerika Serikat - mengobarkan teror disana. Dalam menghadapi
ledakan kekerasan - perang narkoba, meningkatnya kekuatan gerilyawan dan
konfrontasi antar kartel saingan - pemerintah Kolombia menyatakan keadaan
darurat (estatuto de seguridad). Tetapi pentingnya hal itu menjadi jelas: pada
tahun 1991 saja, lebih dari enam ribu pembunuhan dicatat di Medellín.
Mengingat ‘spiral neraka’ ini,
kelompok-kelompok paramiliter dibentuk di kota untuk mengorganisir pertahanan
rakyat, walaupun tidak selalu mungkin untuk mengetahui apakah milisi ini -
kadang-kadang publik, kadang-kadang pribadi - bekerja untuk pemerintah, untuk
kartel atau dengan pertimbangan mereka sendiri. 'Paramiliter' yang terkenal ini
pada gilirannya menabur teror di kota, sebelum mereka sendiri terlibat dalam
perdagangan narkoba untuk membiayai kegiatan mereka sendiri. Sementara itu,
Pablo Escobar memperkuat Departamento de Orden Ciudadano (DOC), milisi
paramiliternya sendiri. Pada akhirnya, batas antara pedagang obat bius,
gerilyawan, militer dan paramiliter menjadi sangat kabur, membuat Medellín dan
seluruh Kolombia menjadi kancah perang sipil yang sesungguhnya.
Kita harus menilai karier uskup agung
López Trujillo dalam konteks ini. Menurut para jurnalis yang telah menyelidiki
Uskup Agung dari Medellín ini (khususnya, Hernando Salazar Palacio dalam
bukunya La Guerra secreta del cardenal
López Trujillo, dan Gustavo Salazar Pineda di El Confidente de la Mafia se Confesia) dan penelitian yang dilakukan
untuk saya oleh Emmanuel Neisa di negara itu, dan ternyata uskup López Trujillo
dekat dengan kelompok paramiliter tertentu yang terkait dengan pengedar
narkoba. Dia dikatakan telah dibiayai dengan murah hati dan berlimpah ruah oleh
kelompok-kelompok ini -- mungkin secara langsung oleh Pablo Escobar, yang
menampilkan dirinya sebagai seorang Katolik yang taat - dan membuat mereka
terus diberi informasi tentang kegiatan-kegiatan kiri di dalam gereja-gereja
Medellín. Pengacara Gustavo Salazar Pineda, khususnya, menyatakan dalam bukunya
bahwa uskup agung López Trujillo sering menerima koper-koper berisi penuh uang
dari Pablo Escobar dari hasil bisnis narkoba, tetapi uskup agung Trujillo
menyangkal pernah bertemu dengan Pablo Escobar. (Kita tahu dari penyelidikan
terperinci oleh Jon Lee Anderson yang bekerja untuk media the New Yorker, bahwa Pablo Escobar terbiasa membayar para pastor yang
mendukungnya, dan banyak yang keluar dari markas Pablo Escobar dengan membawa koper
penuh uang.)
Pada saat itu paramiliter menganiaya
para imam progresif dengan lebih ganas karena mereka percaya, bukan tanpa
alasan, bahwa para imam yang dekat dengan teologi pembebasan ini bersekutu
dengan tiga kelompok gerilyawan utama Kolombia (FARC, E.L.N. dan M-19).
“Uskup agung López Trujillo sering bepergian
dengan anggota-anggota kelompok paramiliter,” saya diberitahu oleh Alvaro Léon
(yang menemaninya dalam beberapa perjalanannya sebagai pengatur perjalanan). “Dia
menunjuk para imam yang melakukan aksi sosial di barrios dan distrik-distrik
yang lebih miskin. Anggota paramiliter mengidentifikasi mereka dan
kadang-kadang kembali untuk membunuh mereka. Seringkali mereka harus
meninggalkan daerah atau negara itu.” (Kisah yang tampaknya tidak mungkin ini ternyata
dikonfirmasi oleh informasi dan kesaksian yang dikutip oleh jurnalis Hernando
Salazar Palacio dan Gustavo Salazar Pineda di buku mereka masing-masing.)
Salah satu tempat di mana uskup agung
López Trujillo yang korup itu sering mengecam beberapa imam sayap kiri adalah
paroki yang dikenal sebagai Parroquia Santo Domingo Savio, di Santo Domingo,
salah satu bagian paling berbahaya di wilayah Medellín. Ketika saya mengunjungi
gereja ini bersama Alvaro Léon dan Emmanuel Neisa, kami diberi informasi yang
tepat tentang pelanggaran yang dilakukan oleh uskup agung López Trujillo. Para
misionaris yang bekerja dengan orang-orang miskin di sana, banyak yang dibunuh,
dan seorang imam dari aliran teologis yang sama, Carlos Caldéron, juga dianiaya
oleh López Trujillo dan kemudian oleh para paramiliter, sebelum imam itu harus
meninggalkan negara itu menuju Afrika.
“Saya mengurus perjalanan uskup agung
López Trujillo di sini, di Santo Domingo,” Alvaro Léon memberi tahu saya di
tangga gereja Parroquia Santo Domingo Savio. “Dia biasanya tiba dengan
pengawalan tiga atau empat mobil, bersama dengan para pengawal dan paramiliter
di berbagai tempat. Rombongannya sangat mengesankan! Semua orang berpakaian
sangat bagus. Lonceng gereja harus berdentang ketika dia keluar dari limusinnya,
dan tentu saja dia harus berjalan di atas karpet merah. Orang-orang harus
mencium tangannya. Dia juga harus diiringi alunan musik, paduan suara, dan kami
harus mencukur rambut anak-anak terlebih dahulu hingga nampak sempurna, dan
kami tidak dapat memiliki kulit hitam. Selama kunjungan inilah para imam
progresif diidentifikasi dan dikecam oleh pasukan paramiliter."
Tuduhan-tuduhan ini disapu bersih dengan
punggung tangan oleh Mgr. Angelo Acerbi, yang menjadi nuncio di Bogotá antara
1979 dan 1990, ketika saya mewawancarainya di Santa Marta, Vatikan, di mana dia
pensiun.
“López Trujillo adalah seorang
kardinal yang hebat. Saya dapat meyakinkan Anda bahwa di Medellín dia tidak
pernah memiliki kolusi sekecil apa pun dengan paramiliter atau dengan
gerilyawan. Anda tahu, dia sangat terancam oleh para gerilyawan. Dia bahkan
ditangkap dan dipenjara. Dia sangat berani."
Saat ini, uskup agung López Trujillo
dianggap bertanggung jawab baik secara langsung maupun tidak langsung, atas
kematian puluhan imam dan uskup yang tersingkir karena keyakinan progresif
mereka.
"Adalah penting untuk
menceritakan kisah para korban ini, karena legitimasi proses perdamaian harus
melalui pengakuan itu," saya diberitahu dalam beberapa percakapan di
Bogotá oleh José Antequera, juru bicara asosiasi korban 'Hijos e Hijas' , yang
ayahnya juga dibunuh.
Kita juga tidak boleh melupakan
kekayaan luar biasa yang dikumpulkan oleh uskup agung López Trujillo selama
periode itu. Menurut beberapa pernyataan saksi, dia menyalahgunakan posisinya
untuk mendapatkan kembali semua benda berharga yang dimiliki oleh gereja-gereja
yang dia kunjungi - perhiasan, piala perak, lukisan - yang dia kumpulkan demi keuntungannya
sendiri.
“Dia menyita semua benda berharga
dari paroki dan menjualnya atau diberikan kepada para kardinal atau uskup Kuria
Roma, untuk merebut hati mereka. Inventarisasi yang sangat terperinci dari
semua pencurian ini telah dilakukan oleh seorang pastor," kata Alvaro Léon
memberi tahu saya.
Selama beberapa tahun terakhir,
kesaksian telah diterbitkan di Kolombia oleh anggota mafia yang menyesal atau
pengacara mereka, dan mereka membenarkan hubungan yang ada antara kardinal
López Trujillo dengan kartel narkoba yang terhubung dengan paramiliter. Desas-desus
ini sudah kuno, tetapi menurut permintaan beberapa wartawan utama Kolombia,
kardinal itu dibiayai oleh penyelundup obat bius tertentu, yang membantu -
bersama dengan kekayaan pribadi keluarganya - untuk menjelaskan gaya hidupnya
dan koleksi mobil mewahnya.
"Dan kemudian pada suatu hari,
López Trujillo tiba-tiba menghilang," Morgain memberitahu saya. “Dia
menguap begitu saja. Dia pergi dan tidak pernah menginjakkan kaki di Kolombia
lagi sejak itu."
Kehidupan baru dimulai di Roma untuk Uskup
Agung dari Medellín itu. Setelah secara efisien mendukung sayap kanan Kolombia,
dia sekarang mulai mewujudkan garis keras konservatif John Paul II pada masalah
moral dan keluarga.
Setelah menjadi kardinal sejak 1983,
López Trujillo mengasingkan diri secara definitif ke Vatikan pada kesempatan
pengangkatannya sebagai presiden Dewan Kepausan untuk Keluarga pada tahun 1990.
'Pelayanan' atau ‘kementerian’ baru ini, yang dibentuk oleh paus John Paul II tak
lama setelah pemilihannya, adalah salah satu dari prioritas kepausan.
Dimulai dengan periode ini, dan
dengan kepercayaan yang semakin besar dari Paus John Paul II - juga dari teman-teman
dekatnya: Angelo Sodano, Stanisław Dziwisz dan Joseph Ratzinger - kesombongan
López Trujillo, yang sudah spektakuler, menjadi tidak terkendali. Sekarang dia
mulai terlihat seperti sosok dari Perjanjian Lama, dengan amarahnya, perintah-perintah
exkom-nya, dan segala macam ocehannya. Terus menikmati cara hidup yang tak
terbayangkan bagi seorang imam, dia sekarang menjadi kardinal. Desas-desus terus
beredar dan kadang-kadang para imam menceritakan berbagai sejarah yang aneh
tentang dia.
Sebagai kepala 'pelayanan' bagi keluarga,
yang kemudian menjadi sebuah 'ruangan perang,' López Trujillo mengerahkan
energi tak tertandingi untuk mengutuk aborsi, mempertahankan pernikahan dan
mengecam homoseksualitas. Pria ini - yang sangat misoginis, menurut semua saksi
- juga merancang perang melawan teori gender. Seorang yang 'gila kerja' menurut
beberapa pengamat, dia melakukan intervensi di berbagai platform di seluruh
dunia untuk mencela seks pranikah dan hak-hak gay. Dalam forum-forum ini dia menciptakan
keharuman nama untuk dirinya sendiri dengan berbagai tindakan untuk menghalangi
'pembatasan kehamilan' ilmiah, yang dia tuduh melakukan kejahatan dengan tabung-tabung
reaksi mereka, atau menjadi ‘dokter membencikan’ yang menganjurkan penggunaan
kondom daripada pantang sex sebelum menikah.
AIDS, sekarang menjadi momok global,
menjadi obsesi baru López Trujillo, dan dia menyebarkan prasangka-prasangkanya karena
dia memiliki kekebalan hukum. “Kondom bukanlah solusi,” katanya berkali-kali di
Afrika, dengan menggunakan otoritasnya sebagai kardinal: karena hal itu hanya
akan mendorong 'pergaulan bebas seksual,’ sementara kesucian hidup dan
pernikahan adalah satu-satunya respons yang tepat terhadap pandemi ini.
Kemana pun dia pergi - di Afrika,
Asia dan tentu saja di Amerika Latin - dia meminta kepada pemerintah dan
badan-badan PBB untuk tidak menyerah pada 'kebohongan,' dan dia mendesak warga mereka
untuk tidak menggunakan kondom. Pada awal tahun 2000-an, dalam sebuah wawancara
dengan BBC, dia bahkan menyatakan bahwa kondom penuh dengan 'lubang
mikroskopis' yang membiarkan virus AIDS tetap lewat, yang, katanya, ‘450 kali
lebih kecil dari sperma’!
Pada tahun 1995, López Trujillo
menulis Kamus Istilah Ambigu tentang Keluarga, di mana dia berusaha untuk melarang ungkapan 'seks aman,'
'teori gender' dan 'keluarga berencana.' Dia juga menemukan beberapa kalimat
sendiri, seperti 'kolonialisme kontrasepsi' dan 'pan-seksualisme' yang luar
biasa.
Obsesi anti-gaynya, karena melampaui
rata-rata dan norma (yang sudah keterlaluan di Vatikan), dengan cepat
membangkitkan kecurigaan. Dari dalam, perang salibnya itu sangat mencengangkan:
apakah yang coba disembunyikan oleh kardinal di balik sikapnya yang begitu
agresif, begitu keterlaluan dan begitu pribadi? Mengapa dia begitu tertarik
pada provokasi, karena menjadi sorotan? Kenapa dia begitu 'manichean'?
Di dalam Vatikan beberapa orang mulai
mengejek ekses-eksesnya, memberi kepada kardinal yang akrab ini julukan ‘coitus
interruptus.’ Di luar, asosiasi Act Up
menjadikannya salah satu dari sekian banyak ejekan: begitu dia akan berbicara
di suatu tempat, para militan menyamar sebagai kondom raksasa, atau mengenakan
baju eksplisit, segitiga merah muda dengan latar belakang hitam, mengolok-olok besarnya
pengeluaran kardinal. Dia mengutuk para sodomi penghujat yang menghalanginya
berbicara; dan mereka pada gilirannya mengutuk ‘nabi Perjanjian Lama’ ini yang
ingin menyalibkan kaum gay.
Sejarah akan menghakimi Alfonso López
Trujillo dengan keras. Tetapi di Roma, pejuang heroik ini menjadi contoh bagi John
Paul II dan Benediktus XVI, dan dia dipuji habis-habisan oleh sekretaris negara
Angelo Sodano dan Tarcisio Bertone.
Dia dikatakan sebagai 'papabile' -
dalam menjalankan kepausan - ketika Paus John Paul II wafat. Dan paus yang sama
bahkan dikatakan telah menempatkannya dalam daftar calon penggantinya tepat
sebelum kematiannya pada tahun 2005 - meskipun ini belum terbukti. ‘Rasul’ yang
norak ini mengutuk dan mengamuk kepada banyak orang Katolik sayap kiri, dan
bahkan terlebih lagi terhadap pasangan-pasangan yang bercerai, praktik seksual
yang tidak wajar dan kejahatan.
Tetapi tiba-tiba, antara kepausan John
Paul II dan kepausan Benediktus XIV yang datang, dia menemukan sebuah platform,
gema dan mungkin penggemar (berdasarkan sebuah kesalahpahaman mahabesar), dan itu
adalah hadiah beracun dari keadaan yang ada saat itu.
Di Roma, López Trujillo tetap menjadi
sosok yang kompleks dan, bagi banyak orang, penuh teka-teki.
“López Trujillo menentang Marxisme
dan teologi pembebasan; itulah yang menginspirasinya,” kata Giovanni Battista
Re, mantan 'menteri dalam negeri' John Paul II memberi tahu saya dalam
wawancara kami di apartemennya di Vatikan.
Uskup Agung Vincenzo Paglia, yang
menggantikannya sebagai presiden Dewan Kepausan untuk Keluarga, bersikap lebih
tertutup. Garis keras kardinal tentang keluarga tidak lagi populer di bawah
kekuasaan Francis, Paglia memberitahu saya, dengan memilih kata-katanya dengan
hati-hati, ketika kami berbicara di Vatikan. “Dialog antara progresivisme dan
konservatisme tentang masalah sosial tidak lagi menjadi topik pembicaraan
dewasa ini. Kita harus menjadi misionaris secara radikal. Saya pikir kita harus
berhenti untuk ingin menjadi pusat panutan. Berbicara tentang keluarga bukan
berarti memperbaiki aturan; sebaliknya, itu berarti membantu keluarga.” (Selama
wawancara ini, Paglia, yang kecenderungan artistiknya sering diejek,
menunjukkan kepada saya instalasinya yang mewakili seni pop-art dari Bunda
Teresa: santa dari Calcutta ini menggunakan plastik biru bergaris, mungkin dari
lateks, dan Paglia memujinya dan kemudian menekan tombol dan foto Bunda Teresa
tiba-tiba menyala, dengan warna biru-lazuli, mulai berkedip-kedip ...)
Menurut beberapa sumber, pengaruh
López Trujillo di Roma juga berasal dari kekayaannya. Dia dikatakan telah memberi
hadiah kepada beberapa kardinal dan wali gereja, dengan meniru Marcial Maciel
dari Meksiko.
“López Trujillo adalah orang yang
memiliki jaringan dan uang. Dia kasar, mudah tersinggung, keras. Dia adalah
salah satu dari orang-orang yang ‘menciptakan’ Benediktus XVI, yang dalam
pemilihannya dia hamburkan uangnya secara melimpah, dengan kampanye yang sangat
terorganisir dan dibiayai dengan baik,” ujar pakar Vatikan Robert Carl Mickens.
Kisah ini tidak akan lengkap tanpa
'akhir yang bahagia.' Untuk mengungkap pendewaan itu sekarang, saya kembali ke
Medellín: ke distrik keuskupan agung tempat Alvaro Léon, mantan pengatur upacara
López Trujillo, membimbing saya dan Emmanuel Neisa, di sekitar gang-gang yang
mengelilingi katedral. Distrik pusat Medellín ini disebut Villa Nueva.
Ini adalah area yang aneh, di mana,
di antara Parque Bolivar dan Carrera 50, di sekitar jalan-jalan yang disebut
Calle 55, 56 dan 57, ada puluhan toko benda religius berjajar menjual
barang-barang Katolik dan pakaian imam, diselingi dengan bar-bar gay yang dihiasi
dengan gambar-gambar mencolok waria dengan sepatu hak tinggi. Dua dunia, sakral
dan cemar, salib plastik dan sauna murah, pastor dan pelacur, berbaur dalam
semangat pesta yang luar biasa yang begitu khas Kolombia. Seorang waria yang terlihat
seperti patung karya Fernando Botero menyapa saya dengan penuh semangat. Di
sekelilingnya ada para pelacur dan waria yang jelas lebih rapuh, jauh dari
gambar-gambar artistik yang akrab dari cerita rakyat dan Fellini; mereka adalah
simbol kemiskinan dan eksploitasi.
Sedikit lebih jauh kita mengunjungi
Medellín Diversa como Vos, sebuah pusat LGBT yang didirikan oleh para imam dan
seminaris. Gloria Londoño, salah satu direkturnya, menyambut kami. “Kita berada
di tempat yang strategis, karena seluruh kehidupan gay Medellín diatur di sini,
di sekitar katedral. Para pelacur dan waria adalah populasi yang sangat rentan,
dan mereka dibantu di sini dengan diberi informasi tentang hak-hak mereka.
Kondom juga didistribusikan di sini,” kata Londoño menjelaskan.
Meninggalkan pusatnya, di Calle 57,
kita bertemu dengan seorang pastor yang ditemani oleh pacarnya (laki-laki), dan
Alvaro Léon, yang telah mengenal mereka, menunjukkannya kepada saya dengan
diam-diam. Kami melanjutkan kunjungan kami ke kawasan kaum gay-Katolik ketika,
tiba-tiba, kami berhenti di depan sebuah bangunan bagus di Rue Bolivia, juga dikenal
sebagai Calle 55. Alvaro Léon menunjuk ke sebuah apartemen: “Di situlah
semuanya terjadi. López Trujillo memiliki apartemen rahasia di sana, tempat dia
mengajak ‘bermain’ para seminaris, para pria muda dan para pelacur."
Homoseksualitas Kardinal Alfonso
López Trujillo adalah sebuah rahasia umum, yang telah dibicarakan oleh banyak
saksi kepada saya, dan itu bahkan telah dikonfirmasi oleh beberapa kardinal lainnya.
'Pan-seksualisme'-nya, mengutip salah satu entri dalam kamusnya, sangat terkenal
di Medellín, Bogotá, Madrid dan Roma.
Pria itu adalah seorang ahli dan
praktisi dari kesenjangan besar antara teori dan praktik, antara pikiran dan
tubuh, seorang ahli dan praktisi tentang kemunafikan - yang terkenal di
Kolombia. Seorang pria yang dekat dengan kardinal, Gustavo Álvarez Gardeazábal,
yang menulis sebuah buku roman, La Misa
ha terminado, di mana dia mencela kehidupan ganda López Trujillo, yang dia
tulis dengan nama samaran sebagai tokoh utama kisahnya. Adapun banyak militan
gay yang saya tanyakan di Bogotá selama empat perjalanan saya ke Kolombia -
khususnya asosiasi Colombia Diversa, yang meliputi beberapa pengacara - mereka
telah mengumpulkan sejumlah besar pernyataan saksi, yang mereka bagikan kepada
saya.
Akademisi Venezuela, Rafael Luciani,
memberi tahu saya bahwa homoseksualitas yang obsesif dari Alfonso López
Trujillo sekarang dikenal luas oleh otoritas gerejawi Amerika Latin dan
beberapa perwakilan senior CELAM. Selain itu, sebuah buku dilaporkan sedang dalam
persiapan, yang mengisahkan kehidupan ganda dan kekerasan seksual dari Kardinal
López Trujillo, yang ditandatangani bersama oleh beberapa orang imam. Adapun
Morgain, seorang seminaris, adalah salah satu asisten López Trujillo, dia
memberi tahu saya nama-nama beberapa calo dan kekasih López Trujillo, semuanya
pria, yang banyak di antaranya diwajibkan untuk memenuhi nafsu bejat uskup
agung itu, agar tidak sampai menghambat karier mereka.
"Awalnya saya tidak mengerti apa
yang dia inginkan," Morgain memberitahu saya ketika kami makan malam di
Bogotá. “Saya merasa tidak bersalah, dan tekniknya melewati jangkauan pikiran saya
sepenuhnya. Dan kemudian secara bertahap saya mulai memahami sistemnya. Dia pergi
ke paroki-paroki, ke seminari-seminari, komunitas-komunitas religius, untuk
melihat anak-anak lelaki, yang kemudian akan dia perlakukan dengan sangat
kasar. Dia pikir dirinya diinginkan. Dia memaksa para seminaris untuk menyerah
pada kemauannya. Spesialisasinya adalah para novis (pemula). Yang paling rapuh,
yang paling muda, yang paling rentan. Tapi sebenarnya dia mau tidur dengan
siapa pun. Dia juga punya banyak koleksi pelacur."
Morgain membuat saya mengerti bahwa
penahbisannya oleh López Trujillo dihambat karena dia menolak untuk tidur
dengannya.
López Trujillo adalah salah satu pria
yang mencari kekuasaan untuk memperoleh seks dan seks untuk memperoleh kekuasaan.
Alvaro Léon, mantan penata acara Trujillo, butuh waktu beberapa saat untuk
memahami apa yang terjadi.
“Para imam berkata kepada saya,
dengan berani: ‘Anda adalah tipe anak lelaki yang disukai oleh uskup agung,’
tetapi saya tidak mengerti apa yang sedang mereka katakan itu. López Trujillo
menjelaskan kepada para seminaris muda bahwa mereka harus tunduk sepenuhnya
kepadanya dan kepada para imam, bahwa mereka harus tunduk kepada para uskup. Mereka
harus bercukur pendek, kami harus berpakaian sempurna untuk ‘bisa menyenangkannya.’
Ada banyak sindiran yang awalnya tidak saya mengerti. Saya bertanggung jawab
atas petualangan sex-nya dan dia sering meminta saya untuk pergi bersamanya
dalam berbagai perjalanannya; dia menggunakan saya dengan beberapa cara, dan
juga untuk melakukan kontak dengan para seminaris lainnya. Sasarannya adalah para
pria muda, kulit putih dengan mata biru, terutama berambut pirang; bukan ‘Latin’
yang terlalu asli, jenis-jenis Meksiko, misalnya - dan tentu saja bukan orang
kulit hitam! Dia membenci orang kulit hitam."
‘Sistem’ dari López Trujillo sudah mapan.
Alvaro Léon melanjutkan: “Dalam sebagian besar waktu, uskup agung memiliki ‘calo,’
‘M.’, ‘R.’ ‘L.’ dan bahkan ada seorang uskup dengan julukan ‘la gallina;’ juga para
imam yang bertugas mencarikan anak laki-laki untuknya, dimana mereka ‘berlayar’
di jalan-jalan untuk mencari dan membawa mereka kembali ke apartemen rahasia López
Trujillo. Itu bukanlah ad hoc, itu diorganisir dengan baik.” (Saya
menyembunyikan identitas dan tugas para imam calo ini, yang dikonfirmasi kepada
saya oleh setidaknya satu sumber lain lagi. Peneliti Kolombia saya, Emmanuel
Neisa, telah menyelidiki masing-masing dari mereka.) Selain bersaksi tentang
kehidupan yang tidak terkendali ini, saksi-saksi ini juga berbicara tentang
kekerasan Lopez Trujillo, yang menyalahgunakan para seminaris secara verbal dan
fisik. "Dia sering menghina mereka, mempermalukan mereka," kata
Alvaro Léon.
Semua bukti menunjukkan bahwa
kardinal tidak menjalani kehidupan homosex-nya secara diam-diam, seperti
kebanyakan rekannya di Roma. Baginya itu adalah penyimpangan yang berakar pada
dosa, yang kemudian dia lampiaskan dalam bentuk kekerasan fisik kepada para
kurbannya. Apakah itu adalah cara kejamnya untuk membebaskan dirinya dari 'penyakit
histeria'? Uskup agung ini memiliki ‘jalur perakitan pelacur’ sendiri:
kecenderungannya untuk membeli tubuh-tubuh pelacur pria sudah amat terkenal di wilayah
Medellín.
“López Trujillo memukuli para pelacur;
hal itu ada hubungannya dengan perilaku seksualitas. Dia membayar mereka,
tetapi mereka harus menerima pukulannya sebagai imbalannya. Hal itu selalu
terjadi pada akhir hubungan sex, bukan selama berlangsungnya. Dia menyelesaikan
hubungan seksualnya dengan memukuli mereka, sikap sadisme semata,” kata Alvaro
Léon melanjutkan.
Pada tingkat penyimpangan sexual
seperti ini, ada sesuatu yang aneh tentang kekerasan di dalam hasrat sexualnya.
Tindakan seksual berlebihan ini, kesadisan terhadap para pelacur, jauh dari
biasa. López Trujillo tidak peduli dengan tubuh-tubuh yang disewanya itu. Dia
bahkan memiliki reputasi untuk membayar gigolo-nya dengan buruk, melakukan
tawar menawar harga dengan keras, tatap matanya kosong tanpa emosi, untuk
mendapatkan harga terendah. Jika ada satu karakter tokoh yang menyedihkan dalam
keseluruhan buku ini, itu adalah López Trujillo.
Penyimpangan 'louche soul' ini tidak
berhenti, tentu saja, di perbatasan Kolombia. Sistem ini dilanjutkan dan diabadikan
di Roma, di mana dia pergi berpetualang dengan nafsu bejatnya di Roma Termini,
(menurut seorang saksi), dan juga di mana-mana di dunia, di tempat mana dia menempuh
karir yang cemerlang sebagai orator dan pewarta anti-gay.
Dia bepergian tanpa henti atas nama Kuria,
mengenakan topinya sebagai propagandis anti-kondom, López Trujillo mengambil
keuntungan dari perjalanan ini untuk menemukan anak laki-laki (menurut pernyataan
dari setidaknya dua orang nuncios atau dubes). Kardinal dikatakan telah
mengunjungi lebih dari seratus negara, beberapa tempat favoritnya adalah di
Asia, benua yang sering dia kunjungi setelah menemukan banyak pesona seksual di
Bangkok dan Manila pada khususnya. Selama perjalanan yang tak terhitung
jumlahnya ke sisi lain dunia, di mana dia kurang begitu dikenal daripada di
Kolombia atau Italia, kardinal López Trujillo bergerak secara teratur untuk menghilang
dari kerumunan para seminaris dan massa, untuk mengabdikan dirinya kepada
bisnisnya: ‘taxi boys’ dan ‘money boys.’
Roma, Kota Terbuka. Mengapa kamu
tidak mengatakan apa-apa? Tidakkah terungkap jelas bahwa, sekali lagi,
kehidupan kosmetik seorang narsis sesat ini dinyatakan sebagai suci? Seperti
monster Marcial Maciel, López Trujillo dikatakan telah memalsukan hidupnya
hingga tingkat yang luar biasa - seperti yang diketahui semua orang, atau
hampir semua orang, di Vatikan.
Berbicara dengan banyak kardinal
tentang kasus López Trujillo, saya tidak pernah mendengar salah satu dari
mereka memberi saya potret yang ideal dan baik tentang dia. Tidak ada yang
berkata, setelah kaget dengan informasi saya: “Saya akan memberinya catatan
yang bersih dalam pengakuan dosa!” Semua yang saya temui lebih suka diam, mengerutkan
kening, menarik wajah, mengangkat tangan ke atas atau menjawab dengan kata-kata
berkode yang tidak jelas maknanya.
Saat ini, bahasa lidah telah lebih
longgar, tetapi 'upaya penutupan' kasus ini telah bekerja dengan baik. Kardinal
Lorenzo Baldisseri, untuk waktu yang lama menjadi nuncio di Amerika Latin
sebelum menjadi salah satu orang paling dipercaya Paus Francis, membagikan
informasinya kepada saya selama dua wawancara di Roma: “Saya kenal López
Trujillo ketika dia menjadi vikaris jenderal di Kolombia. Dia adalah sosok yang
sangat kontroversial. Dia memiliki kepribadian ganda."
Sama-sama bijaksana, teolog Juan
Carlos Scannone, salah satu orang yang paling dekat dengan Paus Francis, yang
saya wawancarai di Argentina, tidak terkejut ketika saya menyebutkan kehidupan
ganda López Trujillo. “Dia adalah seorang komplotan. Kardinal Bergoglio tidak
pernah menyukainya. Saya bahkan tidak berpikir dia pernah berhubungan
dengannya." (Menurut informasi yang saya terima, Bergoglio bertemu dengan Lopez
Trujillo di CELAM.)
Claudio Maria Celli, seorang uskup
agung yang merupakan salah satu utusan Paus Francis ke Amerika Latin, setelah
menjadi salah satu direktur komunikasi Benedict XVI, mengenal López Trujillo
dengan baik. Dalam kalimat yang dipertimbangkan dengan cermat, dia memberi saya
penilaiannya tentang pria itu, selama diskusi di Roma: "López Trujillo
bukanlah orang suci, dengan pertimbangan dan cara apa pun."
Para nuncios juga tahu. Bukankah
pekerjaan mereka termasuk memastikan bahwa seorang imam gay tidak akan bisa
menjadi uskup, atau bahwa seorang uskup yang suka menyewa anak laki-laki tidak bisa
menjadi seorang kardinal? Namun, mungkinkah mereka yang telah berhasil
menduduki posisi uskup di Bogotá sejak 1975 - terutama Eduardo Martínez Somalo,
Angelo Acerbi, Paolo Romeo, Beniamino Stella, Aldo Cavalli dan Ettore
Balestrero - masing-masing dekat dengan Angelo Sodano – mereka semuanya tidak
menyadari kehidupan ganda López Trujillo?
Kardinal Kolombia, Darío Castrillón
Hoyos, prefek Kongregasi Klerus, saling berbagi terlalu banyak rahasia dengan
López Trujillo, dan mungkin juga moralnya, bisa dikatakan begitu! Dia adalah
salah satu dari mereka yang terus-menerus membantunya, bahkan ketika dia
mendapat informasi lengkap tentang pesta pora sex-nya. Pada akhirnya, ada seorang
kardinal Italia yang sama pentingnya ketika melindungi López Trujillo di Roma:
Sebastiano Baggio. Mantan pastor khusus untuk para pandu Italia ini adalah
seorang spesialis di Amerika Latin: dia bekerja di kedubes Vatikan di El
Salvador, Bolivia, Venezuela dan Kolombia. Pada tahun 1964 dia diangkat menjadi
nuncio untuk Brasil, tepat setelah kudeta: dia terbukti lebih dari sekadar
mengakomodasi kepentingan tentara dan kediktatoran (menurut pernyataan yang
telah saya kumpulkan di Brasilia, Rio, dan Sao Paulo; di sisi lain, Uskup Agung
Kardinal São Paulo, Odilo Scherer, yang saya wawancarai tentang hal ini,
menyebutnya sebagai 'nuncio hebat yang telah melakukan banyak hal untuk
Brasil').
Sekembalinya ke Roma, kolektor
estetika dan seni Sebastiano Baggio ini diangkat menjadi kardinal oleh Paul VI
dan dipromosikan menjadi ketua Kongregasi Uskup dan komisi kepausan untuk
Amerika Latin - jabatan yang diperbarui oleh John Paul II, yang menjadikannya
salah satu dari utusannya untuk anak benua Amerika.
Sejarawan David Yallop menggambarkan
Baggio sebagai 'reaksioner' dari 'ultra-konservatif kanan': pria ini, yang
dekat dengan Opus Dei, mengawasi CELAM dari Roma, dan sangat berpengaruh dalam
konferensi kontroversial yang diadakan di Puebla pada tahun 1979, yang
didampinginya. Paus Yohanes Paulus II hadir.
Para saksi mata menggambarkan dia,
bersama dengan Lopez Trujillo, mengamuk melawan sayap kiri Gereja, dan menjadi bersikap
anti-komunis yang keras dan kejam. Diangkat sebagai 'camerlengo' oleh John Paul
II, Baggio terus menggunakan kekuatannya yang luar biasa di Vatikan dan
melindungi 'teman baiknya' López Trujillo, terlepas dari desas-desus busuk yang
tak terhitung banyaknya tentang kehidupan gandanya. Dia sendiri dikatakan
sangat banyak 'berlatih.' Menurut lebih dari sepuluh pernyataan yang
dikumpulkan di Brasil dan Roma, Baggio dikenal karena persahabatan Latinonya
yang istimewa, dan karena sangat dekat dengan para seminaris, yang sering
ditemuinya dengan hanya memakai celana dalam atau cawat olahraga!
“Kehidupan mewah López Trujillo jauh
lebih dikenal daripada yang bisa ditolerir secara umum. Semua orang tahu
tentang mereka - jadi mengapa,” Alvaro Léon bertanya-tanya, “mengapa dia bisa ditunjuk
sebagai uskup? Mengapa dia ditempatkan menjadi kepala CELAM? Mengapa dia bisa
mengangkat kardinal? Mengapa dia diangkat sebagai presiden Dewan Kepausan untuk
Keluarga?"
Seorang wali gereja di Kuria, yang dekat
dengan López Trujillo, berkomentar: “López Trujillo adalah teman John Paul II;
dia dilindungi oleh Kardinal Sodano dan oleh asisten pribadi Paus, Stanisław
Dziwisz. Dia juga sangat dihormati oleh Kardinal Ratzinger, yang mengangkatnya
menjadi presiden Dewan Kepausan untuk Keluarga untuk sebuah mandat baru,
setelah pemilihannya pada tahun 2005. Namun semua orang tahu bahwa dia adalah homoseksual.
Dia tinggal bersama kami, di sini, di lantai empat Palazzo di San Calisto, di
apartemen seluas 900 meter persegi, dan dia memiliki beberapa mobil Ferrari!
Dia menjalani kehidupan yang sangat tidak biasa." (Apartemen indah López
Trujillo saat ini ditempati oleh kardinal Afrika, Peter Turkson, yang tinggal bersamanya
dengan ‘sangat memuaskan’ di lantai yang sama dengan apartemen Cardinals
Poupard, Etchegaray dan Stafford, yang juga sudah saya kunjungi.)
Spesialis Amerika Latin lainnya,
jurnalis José Manuel Vidal, yang mengelola salah satu situs web utama tentang
Katolik, dalam bahasa Spanyol, berkata: “López Trujillo sering datang ke sini,
ke Spanyol, sangat sering. Dia adalah teman Kardinal Madrid, Rouco Varela. Dia
juga sering datang bersama salah satu kekasihnya (pria, homo). Khususnya, saya ingat
ada seorang Polandia yang tampan, kemudian seorang Filipina yang tampan. Disini
dia dianggap sebagai ‘paus Amerika Latin,’ jadi mereka membiarkannya
melanjutkan petualangan nafsunya disini.”
Akhirnya, saya bertukar pikiran
dengan Federico Lombardi, yang adalah juru bicara John Paul II dan Benedict
XVI, tentang Kardinal dari Medellín ini. Seolah tak sadar, jawabannya seketika,
hampir seperti refleks: dia mengangkat tangannya ke langit sebagai tanda
ketakutan dan teror.
Tetapi mereka memang mendukung iblis.
Ketika López Trujillo meninggal secara tak terduga pada bulan April 2008,
sebagai konsekuensi dari 'infeksi paru-paru' (menurut pernyataan resmi),
Vatikan melipatgandakan pujiannya terhadapnya. Paus Benediktus XVI, yang masih
dibantu oleh Kardinal Sodano, merayakan misa kepausan untuk memperingati kardinal
badut ini.
Akan tetapi, setelah kematiannya,
desas-desus mulai beredar. Yang pertama adalah bahwa dia telah meninggal karena
penyakit AIDS; yang kedua dia dimakamkan di Roma karena dia tidak bisa
dimakamkan di tanah kelahirannya. “Ketika López Trujillo meninggal, keputusan
dibuat untuk menguburnya di sini, di Roma, karena dia tidak bisa dimakamkan di
Kolombia,” Kardinal Lorenzo Baldisseri memberi tahu saya. "Dia tidak bisa
kembali ke negaranya, bahkan meski sudah mati!"
Alasannya? Menurut pernyataan yang saya
kumpulkan di Medellín, ada harga yang melekat di kepalanya karena kedekatannya
dengan paramiliter. Itulah sebabnya baru pada tahun 2017, atau hampir sepuluh
tahun setelah kematiannya, Paus Francis memerintahkan pemulangan jenazahnya ke
Kolombia. Apakah Bapa Suci lebih suka, seperti yang dikatakan kepada saya oleh
seorang imam yang terlibat dalam repatriasi mendadak ini, bahwa jika sebuah skandal
muncul tentang kehidupan ganda kardinal, maka sisa-sisa tubuh López Trujillo
tidak boleh berada di Roma? Bagaimanapun, saya dapat melihat makamnya di sebuah
kapel di sayap barat dari katedral besar di Medellín. Tubuh kardinal López
Trujillo diletakkan di ruang bawah tanah, di bawah batu putih yang rapi,
dikelilingi oleh lilin yang berkelap-kelip secara permanen. Di belakang salib: ada
iblis!
“Sebagai aturan umum, kapel pemakaman
ditutup dengan pagar besi. Tetapi uskup agung setempat terlalu takut akan
vandalisme. Dia takut makam itu akan dirusak oleh keluarga salah satu korban
López Trujillo atau oleh seorang pelacur korbannya dengan kapak untuk
digiling," kata Alvaro Léon kepada saya.
Namun, anehnya, kelihatannya, di
katedral ini, yang terletak secara misterius di jantung wilayah kaum gay
Medellín, saya melihat beberapa pria, muda dan tidak begitu muda, saling
berpapasan. Mereka berdiri di sana dengan cukup terbuka, di antara umat paroki,
memegangi Alkitab mereka di antara wisatawan yang datang untuk melihat
katedral. Saya melihat mereka bergerak perlahan dalam pencarian mereka, di
antara bangku gereja, atau duduk di dinding timur katedral - seolah-olah ada jalan
gay melewati gereja besar itu. Dan ketika saya berjalan bersama mereka, dengan
Alvaro Léon dan Emmanuel Neisa di samping saya, mereka memberi kami kedipan
kecil yang simpatik - seolah-olah sebagai penghormatan terakhir kepada waria
besar ini dalam gaya lama, ratu agung dari sakristi ini, diva dari agama
Katolik terakhir ini, doktor satanik ini dan antikristus: Yang Mulia Alfonso
López Trujillo.
Untuk menyimpulkan, ada satu
pertanyaan terakhir yang tidak dapat saya jawab, dan yang tampaknya menyusahkan
banyak orang. Apakah López Trujillo, yang berpikir bahwa segala sesuatu dapat
dibeli, bahkan termasuk membeli tindak kekerasan, bahkan membeli perbuatan
sadomasokistik, juga membeli hubungan sex-nya, tanpa memakai kondom?
“Secara resmi, kematian López
Trujillo terkait dengan diabetes, tetapi ada desas-desus yang kuat dan berulang
yang menyatakan bahwa dia meninggal karena AIDS," saya diberitahu oleh
salah satu spesialis Gereja Katolik terbaik di Amerika Latin.
Mantan seminaris Alvaro Léon dan
Morgain juga telah mendengar desas-desus itu, dan menganggapnya bahwa hal itu
adalah mungkin. Apakah kardinal anti-kondom ini meninggal karena komplikasi
terkait dengan AIDS, dimana dia telah dirawat selama beberapa tahun? Saya sudah
sering mendengar desas-desus itu, tetapi saya tidak dapat mengkonfirmasi atau
menyangkalnya. Yang pasti adalah bahwa kematiannya pada tahun 2008 terjadi pada
saat penyakit tersebut dirawat dengan benar di Roma, di Poliklinik Gemelli,
rumah sakit tidak resmi milik Vatikan - perawatan semacam itu pasti akan
tersedia bagi seorang kardinal yang memiliki kemampuan finansial yang cukup
besar, seperti yang dia miliki. Tanggal kematiannya berbeda dengan saat keadaan
epidemi AIDS. Mungkinkah kardinal telah menyangkal penyakitnya dan menolak
untuk dirawat, atau, paling tidak, hanya menerima perawatan ketika sudah
terlambat? Itu mungkin, tetapi tidak pasti.
Pada tahap ini saya cenderung pada
gagasan bahwa itu adalah rumor palsu yang muncul karena kehidupan kardinal yang
benar-benar tidak wajar. Tidak ada yang saya pelajari hingga memungkinkan saya
untuk mengatakan dengan pasti bahwa López Trujillo meninggal karena dampak
AIDS.
Jika dia meninggal karena penyakit
itu, akan tetapi tidak ada yang luar biasa tentang kematian Kardinal López
Trujillo dalam Katolisitas Roma. Menurut sekitar sepuluh kesaksian yang saya
kumpulkan di Vatikan dan di dalam Konferensi Episkopal Italia, AIDS telah meruntuhkan
Tahta Suci dan keuskupan Italia selama tahun 1980-an dan 1990-an. Sebuah
rahasia yang dipendam untuk waktu yang lama.
Ada sejumlah imam, monsignori, dan
kardinal meninggal karena AIDS. Beberapa pasien 'mengakui' infeksi mereka dalam
pengakuan dosa (seperti yang diakui oleh salah satu bapa pengakuan di Gereja Santo
Petrus kepada saya, tanpa menyebutkan nama). Imam-imam lain didiagnosis melalui
tes darah tahunan mereka, yang diwajibkan untuk staf Vatikan (tetapi kewajiban
ini tidak berlaku untuk monsignori, nuncios, uskup atau kardinal): ini termasuk
tes AIDS; menurut informasi yang saya dapatkan, beberapa imam dipindahkan
setelah didiagnosis positif AIDS.
Proporsi yang signifikan dari orang
dengan AIDS dalam hierarki Katolik dikuatkan oleh sebuah studi statistik yang
dilakukan di Amerika Serikat, berdasarkan pada sertifikat kematian para imam
Katolik, yang menyimpulkan bahwa mereka memiliki tingkat kematian yang terkait
dengan virus AIDS empat kali lebih tinggi daripada populasi umum. Penelitian
lain, berdasarkan pemeriksaan anonim terhadap 65 seminaris Roma pada awal
1990-an, menunjukkan bahwa 38 persen dari mereka adalah seropositif. Transfusi
darah, kecanduan narkoba atau hubungan heteroseksual secara teoritis dapat
menjelaskan tingginya jumlah kasus AIDS dalam dua penelitian ini - tetapi pada
kenyataannya tidak ada yang mau terbuka untuk itu.
Di Vatikan, sikap diam dan penyangkalan
masih banyak terjadi. Francesco Lepore, mantan pastor Curia, memberi tahu saya
tentang kematian akibat AIDS dari seorang anggota Kongregasi untuk Penentuan Orang
Kudus. Orang ini, dekat dengan kardinal Italia, Giuseppe Siri, yang dikatakan
telah meninggal karena AIDS 'karena ketidakpedulian para atasannya,' dan
'dimakamkan dengan kebijaksanaan besar di saat fajar untuk menghindari skandal.'
Seorang kardinal berbahasa Belanda, dekat dengan John Paul II, juga meninggal
karena virus yang sama. Tetapi, tentu saja, tidak pernah ada penyebab kematian
seorang kardinal atau uskup secara resmi diumumkan karena AIDS.
"Menurut diskusi internal saya,
banyak orang di Vatikan yang positif HIV atau menderita AIDS," monsignore
lain menegaskan kepada saya. “Pada saat yang sama, para imam HIV-positif tidak
bodoh: mereka tidak mencari pengobatan di apotek-apotek Vatikan! Mereka pergi
ke rumah sakit di Roma."
Saya telah mengunjungi Farmacia
Vaticana beberapa kali - lembaga yang tidak biasa di sayap timur Vatikan:
perusahaan Dante-esque dengan sepuluh mesin uang - dan, di antara botol-botol
makanan, boneka dan parfum mewah, sulit membayangkan seorang imam pergi ke situ
untuk mencari Truvada-nya.
Jadi, bersama dengan Daniele,
peneliti Roma saya, beberapa pekerja sosial, dan anggota asosiasi pencegahan
AIDS Italia (khususnya Progetto COROH dan program lama 'Io faccio activo'),
saya melakukan penelitian di ibukota Italia. Kami pergi beberapa kali ke San
Gallicano Dermatological Institute (ISG), Poliklinik Gemelli, yang terkait
dengan ke Vatikan, serta pusat skrining AIDS gratis dan anonim ASL Roma, yang berlokasi
di Via Catone, dekat St Peter's.
Profesor Massimo Giuliani adalah
salah satu spesialis dalam penyakit menular seksual dan AIDS di San Gallicano
Dermatological Institute. Daniele dan saya bertemu dengannya untuk dua wawancara.
“Karena kami telah mempelajari
penyakit menular seksual di San Gallicano sejak lama, dan terutama sifilis,
kami segera dimobilisasi ketika kasus AIDS pertama kali muncul pada 1980-an. Di
sini, di Roma, kami menjadi salah satu rumah sakit pertama yang merawat pasien
semacam ini. Pada saat itu, dan sampai 1997, Institut berada di Trastevere,
daerah Roma yang tidak terlalu jauh dari Vatikan. Sekarang kita berada di sini,
di komplek ini, di sebelah selatan Roma.”
Menurut beberapa sumber, Institut
Dermatologi San Gallicano disukai pada tahun 1970-an oleh para imam ketika
mereka terjangkit penyakit menular seksual. Karena alasan anonimitas, rumah
sakit itu lebih disukai daripada Poliklinik Gemelli, yang terkait erat dengan
Vatikan.
Ketika AIDS muncul, San Gallicano
secara alami menjadi rumah sakit bagi para imam, monsignori, dan uskup yang
terinfeksi virus AIDS.
"Kami menemukan banyak pastor dan
seminaris yang positif HIV datang ke sini," Profesor Massimo Giuliani
memberi tahu saya. “Kami pikir ada masalah AIDS yang sangat besar di Gereja. Di
sini, kami tidak menghakimi. Satu-satunya hal yang penting adalah mereka datang
ke rumah sakit untuk diperiksa dan dirawat sendiri. Tetapi kami takut bahwa
situasi di Gereja lebih serius daripada yang telah kami saksikan, karena sikap penolakan
yang keras."
Pertanyaan soal penolakan di antara
para imam didokumentasikan dengan baik: lebih sering daripada rata-rata, mereka
menolak untuk diskrining karena mereka tidak merasa khawatir; dan bahkan ketika
mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pria, mereka menolak
untuk melakukan tes diri sendiri karena takut hilangnya kerahasiaan mereka.
“Kami pikir,” Profesor Massimo
Giuliani memberi tahu saya, “bahwa risiko terinfeksi AIDS ketika seseorang
menjadi anggota komunitas Katolik pria saat ini sangat tinggi, karena sikap penolakan
dan karena tingkat penggunaan kondom yang rendah. Dalam terminologi kami, para
imam adalah salah satu kategori sosial dengan risiko tertinggi dan yang paling
sulit dijangkau dalam hal pencegahan AIDS. Kami telah melakukan upaya-upaya
dialog dan pendidikan, khususnya di seminari-seminari, tentang penularan dan
perawatan STD (penyakit menular sexual) dan AIDS. Tapi itu masih sangat sulit.
Membicarakan risiko AIDS berarti mengakui bahwa para imam menjalankan praktik
homoseksual. Dan jelas Gereja menolak untuk terlibat dalam debat ini."
Percakapan saya dengan pelacur pria
Roma Termini (dan dengan pendamping kelas tinggi Francesco Mangiacapra di
Naples) membenarkan fakta bahwa para imam adalah salah satu klien yang paling
tidak bijaksana di mana tindakan seksual mereka terkait.
“Sebagai aturan, para imam tidak
takut dengan PMS (penyakit menular sexual). Mereka merasa tidak tersentuh.
Mereka begitu yakin dengan posisi mereka, kekuatan mereka, sehingga mereka
tidak memperhitungkan risiko ini, tidak seperti klien lain, yang non-imam.
Mereka tidak berani menghadapi realitas. Mereka merasa hidup di dunia tanpa
AIDS," Francesco Mangiacapra menjelaskan.
Alberto Borghetti adalah seorang
dokter di departemen penyakit menular dari Poliklinik Gemelli di Roma. Dokter
dan peneliti junior ini menerima saya dan Daniele atas permintaan kepala dinas,
ahli epidemiologi, Simona Di Giambenedetto, yang ingin membantu kami dalam
penyelidikan kami.
Poliklinik Gemelli adalah yang paling
Katolik dari rumah sakit Katolik di dunia. Dalam istilah medis, itu adalah maha
kudus! Para kardinal, uskup, staf Vatikan, dan banyak imam Roma pergi ke sana
untuk berobat, dan mereka juga memiliki rute akses prioritas. Dan, tentu saja,
itu adalah rumah sakit para paus. John Paul II adalah pasien paling terkenal di
Gemelli, dan kamera-kamera televisi dengan sinis mengamati perkembangan
penyakitnya dengan dengungan yang keras. Dengan perasaan ringan, paus dikatakan
telah memberi nama bagi Klinik Gemelli, tempat dia sering dirawat di rumah
sakit: 'Vatikan III.'
Mengunjungi rumah sakit dan berbagai
departemennya, bertemu berbagai dokter dan petugas medis lainnya, saya
menemukan tempat yang modern jauh dari citra yang dilaporkan oleh gosip di
Roma. Karena ini adalah rumah sakit yang melekat pada Vatikan, pandangan buram selalu
diarahkan kepada orang-orang dengan STDS atau AIDS, saya telah diberitahu
seperti ini.
Dengan profesionalisme dan
pengetahuan terperinci tentang epidemi AIDS, dokter junior, Alberto Borghetti,
membantah kecurigaan ini.
“Kami adalah salah satu dari lima
rumah sakit Roma paling mutakhir yang terkait dengan AIDS. Kami merawat semua
pasien, dan di sini di sayap ilmiah yang terhubung dengan Universitas Katolik
Hati Kudus di Milan, adalah salah satu pusat penelitian utama Italia mengenai
penyakit ini. Efek yang tidak diinginkan dan jaminan dari berbagai terapi
anti-retroviral dipelajari di sini; kami melakukan penelitian dalam interaksi
medis dan efek vaksinasi pada populasi dengan HIV-positif.”
Di departemen penyakit menular yang
saya kunjungi, saya dapat mengatakan dari beberapa poster dan panel bahwa
pasien dengan PMS dirawat di sini. Borghetti mengonfirmasi hal ini: "Kami
merawat semua PMS di sini, apakah itu disebabkan oleh bakteri, seperti
gonokokus, sifilis dan klamidia, atau virus seperti herpes, virus papilloma dan
tentu saja hepatitis."
Menurut seorang profesor kedokteran
lain yang berspesialisasi dalam pengobatan AIDS yang saya ajak bicara di Roma,
Poliklinik Gemelli telah mengalami ketegangan seputar PMS (penyakit menular
sexual) dan anonimitas pasien.
Namun dokter Alberto Borghetti
membantah informasi ini. “Secara umum, hasil pemeriksaan yang berkaitan dengan
virus AIDS hanya diketahui oleh dokter yang bertanggung jawab untuk perawatan,
dan tidak dapat diakses oleh profesional kesehatan lain di poliklinik. Di Rumah
Sakit Gemelli, pasien juga dapat meminta anonimisasi file mereka, yang semakin
memperkuat anonimitas orang HIV-positif.”
Menurut seorang pastor yang mengenal rumah
sakit Gemelli dengan baik, perlakuan anonimisasi (tanpa nama) ini tidak cukup
untuk memenangkan kepercayaan pasien gerejawi yang terinfeksi. “Mereka
melakukan apa saja untuk menjamin anonimitas, tetapi mengingat para uskup dan
imam yang dirawat di sana, mudah sekali untuk bertemu dengan orang yang Anda
kenal." ‘Departemen penyakit menular’ adalah judul yang cukup jelas!”
Seorang dokter kulit yang saya ajak
bicara di Roma memberi tahu saya: "Beberapa imam memberi tahu kami bahwa
mereka terinfeksi dengan melakukan kontak dengan jarum suntik atau transfusi
darah yang sudah kadaluwarsa: kami hanya pura-pura mempercayainya."
Dokter Alberto Borghetti membenarkan
bahwa ketakutan dan penolakan bisa saja muncul, khususnya bagi para imam.
Memang benar bahwa kita kadang-kadang menerima seminaris atau imam di sini yang
datang pada tahap AIDS yang sangat lanjut. Bersama dengan para imigran dan kaum
homoseksual, mereka mungkin adalah orang-orang yang tidak ingin melakukan tes
penyaringan: mereka takut, atau mereka menyangkal. Itu sangat memalukan, karena
jika mereka datang ke sistem perawatan dengan diagnosis terlambat,
kadang-kadang dengan penyakit yang sudah agresif, dan jika diperlakukan
terlambat, hal itu berisiko tidak bisa memulihkan sistem kekebalan tubuh secara
efisien.“
John Paul II adalah paus dari tahun
1978 hingga 2005. AIDS, yang muncul pada tahun 1981, pada awal masa
kepausannya, bertanggung jawab selama tahun-tahun berikutnya pada lebih dari 35
juta kematian. Di seluruh dunia, ada 37 juta orang yang masih hidup, bahkan
sampai hari ini, dengan menderita HIV.
Kondom, yang ditolak oleh John Paul
II dengan penuh semangat, dengan menggunakan semua sumber dayanya dan kekuatan
jaringan diplomatiknya untuk menentangnya, tetap merupakan cara paling efisien
untuk memerangi epidemi atau penyebaran penyakit kelamin, bahkan di antara
pasangan suami istri yang asimtomatik (sakit namun tanpa gejala). Setiap tahun,
berkat kondom dan obat-obat anti-retroviral, ada puluhan juta jiwa
diselamatkan.
Sejak penerbitan ensiklik Humanae vitae, Gereja telah mengutuk
semua cara pencegahan atau bahan kimia, seperti pil atau kondom, untuk mencegah
terjadinya kehidupan baru. Tetapi, seperti ditekankan oleh ahli Vatikan dari Prancis,
Henri Tincq, "haruskah cara mencegah penularan kematian dikacaukan dengan
cara-cara yang mencegah terjadinya kehidupan baru?"
Terlepas dari John Paul II, siapakah
orang-orang utama yang mendefinisikan dan melaksanakan kebijakan global
penolakan absolut terhadap kondom selama pandemi AIDS global? Mereka adalah
kelompok yang terdiri dari 12 pria setia, rajin, ortodoks, yang sumpah
kesuciannya melarang mereka untuk melakukan hubungan seksual. Menurut hasil
penyelidikan saya, dan berdasarkan ratusan wawancara yang dilakukan untuk buku
ini, saya dapat menyatakan bahwa sebagian besar wali gereja ini adalah homofil
atau mempraktikkan homoseksual. (Saya telah bertemu delapan dari dua belas
mereka.) Apa yang diketahui oleh orang-orang ini tentang kondom dan
heteroseksualitas, hingga mereka diangkat menjadi hakim dan juri?
12 orang ini, semuanya adalah
kardinal, adalah sekretaris pribadi Stanisław Dziwisz; sekretaris negara
Agostino Casaroli dan Angelo Sodano; paus masa depan Joseph Ratzinger; direktur
Sekretariat Negara: Giovanni Battista Re, Achille Silvestrini, Leonardo Sandri,
Jean-Louis Tauran, Dominique Mamberti dan para dubes Vatikan Renato Raffaele
Martino dan Roger Etchegaray. Dan tidak melupakan kardinal terakhir yang sangat
berpengaruh pada saat itu: Yang Mulia Alfonso López Trujillo.