by Dorothy
Cummings McLean
POPE FRANCIS: AMORIS LAETITIA ADALAH AJARAN
‘MAGISTERIUM GEREJA’ MENGENAI PERCERAIAN DAN MENIKAH LAGI
BANGKOK, Thailand, 6 Desember 2019 (LifeSiteNews) - Paus Francis mengatakan kepada para
Jesuit di Thailand bahwa Gereja harus bersikap pastoral kepada umat Katolik
yang ‘bercerai dan menikah kembali’ yang bisa ditemukan dalam bab 8 dari
nasihatnya yang kontroversial tahun 2016 Amoris
Laetitia, sebuah ajaran yang telah digunakan oleh para uskup di seluruh
dunia untuk memungkinkan umat Katolik yang secara objektif hidup dalam
perzinaan untuk menerima Komuni Kudus.
Paus mengindikasikan bahwa ajaran seperti itu
adalah "Magisterium Gereja."
Saat bertemu dengan sekelompok Yesuit Tenggara di Bangkok bulan lalu,
Paus Francis mengundang pertanyaan mereka. Salah satunya mengatakan bahwa
mereka memiliki umat Katolik yang ‘bercerai dan menikah kembali’ di komunitas
mereka dan bertanya bagaimana mereka harus ‘berperilaku pastoral terhadap mereka.’
“Saya bisa menjawab Anda dengan dua cara:
dengan cara kasuistik, yang bagaimanapun juga, bukanlah cara Kristiani, meski hal itu bisa bersifat gerejawi; atau
menurut ajaran Magisterium Gereja seperti yang disebutkan dalam Amoris Laetitia
bab delapan, yaitu, perjalanan, menemani dan melakukan pembedaan untuk
menemukan solusi,” jawab paus. "Dan ini tidak ada hubungannya dengan etika
situasi, tetapi dengan tradisi moral Gereja yang agung."
Francis tidak menjelaskan bagaimana sesuatu
yang bersifat gerejawi tetapi tidak bersifat Kristiani, bahkan dia langsung berpindah
ke pertanyaan tentang pengalamannya dengan Gereja di Thailand.
Kata ‘magisterium’ memiliki beberapa makna
potensial, termasuk pengajaran resmi seorang paus atau uskup di dalam
persekutuan dengan paus, atau doktrin yang sedang diajarkan. John Zmirak,
penulis The Politically
Incorrect Guide to Catholicism, mengatakan kepada LifeSiteNews bahwa kata ‘magisterium’ itu biasanya menggunakan dua
cara:
"Satu, bagian yang sempurna yang
mencerminkan Deposit Iman, baik tradisi suci atau yang secara otoritatif mengajarkan
penilaian Hukum Alam; dan dua, apa pun yang dikatakan beberapa paus dimana dengan
seorang paus lain belum saling bertentangan."
Zmirak mengambil pengecualian untuk Paus
Francis yang menggunakan kata-kata ‘kasuistis’ dan ‘Magisterium.’
"Seperti biasanya, Paus Francis berdalih, dengan
menggunakan bahasa sembarangan, dan mengandalkan konotasi yang bersifat anti-Katolik,
dengan memakai kata-kata yang disampaikan oleh pamflet-pamflet
anti-Kristen," kata Zmirak.
“'Kasuistis' tidak lebih dan tidak kurang adalah
penerapan aturan-aturan umum untuk kasus-kasus tertentu. Ini adalah istilah Latin
yang paling baik diterjemahkan sebagai 'hukum kasus.' Suatu hukum yang bisa
berubah menurut kasusnya. Padahal seorang hakim seharusnya menolak 'hukum
kasus.' Dan itulah arti yang masuk akal bagi seorang guru moral (paus) yang
seharusnya mengecam tindakan kasuistis," lanjutnya.
Zmirak juga mengkritik paus Francis yang mengutamakan
‘pendapatnya sendiri yang tidak berdasar dan bersifat tidak-Katolik, yang disampaikan
dalam dokumen yang keliru atau sesat, Amoris
Laetitia, sampai diangkat ke tingkat Magisterium.’
“Bagi Francis yang simpatisan Marxis,
Magisterium berarti harus mengikuti 'Garis Partai,' kata penulis. "Dan
garis Partai bisa bergeser, seperti halnya kepemimpinan Partai."
"Untuk memahami kepausan Francis ini, Anda
tidak perlu membaca tulisannya Francis, tetapi bacalah bukunya Arthur Koestler Darkness at Noon.”
Dr. John Rist, profesor emeritus dari
University of Toronto, mengatakan kepada LifeSiteNews
bahwa jawaban Paus Francis atas pertanyaan itu adalah contoh khas dari
"Peronisme." Peron adalah mantan presiden Argentina, seorang komunis.
“Langkah pertama adalah menyangkal 'kasuistis,'
yang tampaknya dipahami oleh (Paus) Bergoglio sebagai beberapa bentuk etika
konsekuensial / situasi (yang ia anggap sebagai non-Kristen),” kata Rist.
“Langkah kedua adalah mencoba mengacaukan kita
dengan menggunakan kata-kata tradisional seperti istilah 'pembedaan atau
pengenalan masalah’ tetapi hal itu untuk menyiratkan bahwa dengan mencoba
membedakan apa yang harus dilakukan akan memberi Anda jawaban yang
non-konsekuensialis sekaligus mengabaikan norma-norma yang telah diajarkan
Gereja secara tradisional, dan meminta Magisterium, demi kepentingan dirinya
sendiri, untuk membenarkan prosedur ini,” lanjut filsuf itu.
"Yang penting adalah menerima kembali
etika konsekuensialisme / situasi dari pintu belakang dan memberinya nama lain
(itulah yang disebut oleh Francis sebagai pembedaan atau kearifan)."
Bab delapan dari Amoris Laetitia menuai banyak sekali kritikan
setelah anjuran kerasulan itu diterbitkan pada 8 April 2016 karena mengizinkan interpretasi yang melemahkan
atau bahkan bertentangan dengan doktrin Katolik yang abadi. Gereja
Katolik mengajarkan bahwa pernikahan sakramental berakhir hanya dengan
kematian, dan bahwa siapa pun dalam pernikahan seperti itu yang menceraikan dan
mencoba menikah lagi berarti dia melakukan perzinaan (lht. Mat 5: 31-32; 19:
3–12; Mrk 10: 2 –12; Luk 16:18; 1 Kor 7: 1–16). Karena perzinahan adalah dosa
berat yang menghentikan rahmat pengudusan bagi jiwa seseorang, maka umat
Katolik yang berada dalam ‘perkawinan tidak teratur’ seperti ini tidak dianggap
dalam keadaan layak untuk menerima Komuni Kudus. Amoris Laetitia sangat dikritik
karena membalikkan ajaran ini dalam sebuah catatan kakinya.
Menyadari bahwa pada saat pasca-konsiliar terdapat
ledakan dalam jumlah umat Katolik yang bercerai dan menikah kembali secara
ilegal, yang melanggar doktrin Gereja, maka St. Yohanes Paulus II mengajarkan melalui
Familiaris Consortio bahwa umat
Katolik semacam itu dapat pergi mengaku
dosa dan menerima Komuni Kudus selama mereka hidup dalam kesucian yang
sempurna, atau, dengan kata lain, sebagai ‘kakak dan adik’ (bukan sebagai
suami-istri):
Rekonsiliasi dalam
sakramen Tobat, yang akan membuka jalan menuju Ekaristi, hanya dapat diberikan
kepada mereka yang bertobat karena telah melanggar tanda Perjanjian dan
kesetiaan kepada Kristus, dengan tulus siap untuk menjalani cara hidup yang
tidak lagi bertentangan dengan asas tidakterceraikannya pernikahan. Hal ini
berarti, dalam praktiknya, bahwa ketika, karena alasan serius, seperti misalnya
demi pengasuhan anak-anak hingga seorang pria dan wanita tidak dapat memenuhi
kewajiban untuk berpisah, maka mereka ‘mengambil sendiri tugas untuk hidup
dalam kelanjutan yang lengkap, yaitu, dengan berpantang dari tindakan yang hanya pantas bagi pasangan yang sudah
menikah.” [Familiaris
Consortio, 180]
Amoris Laetitia, bagaimanapun, telah digunakan
untuk mengizinkan orang-orang yang bercerai dan ‘menikah kembali’ dengan orang
lain untuk menerima sakramen-sakramen Tobat dan Komuni Kudus tanpa sebuah janji
atau niatan untuk hidup dalam kesinambungan (tidak melakukan hubungan sex) (catatan
kaki 351) dan bahkan Amoris Laetitia itu
digunakan secara lebih luas untuk menyatakan bahwa tindakan pantang sex adalah salah
bagi orang-orang yang hidup dalam perselingkuhan.
Saran ini, mungkin salah satu inovasi paling
eksplosif dari kepausan Francis, dimana semuanya itu terkubur dan disamarkan di
dalam catatan kaki, Catatan Kaki 329, yang salah dalam mengartikan Gaudium et Spes:
329. ... Dalam perzinahan (yang disebut sebagai
perkawinan kedua), banyak orang, yang mengetahui dan mau menerima kemungkinan
hidup sebagai ‘saudara dan saudari’ yang ditawarkan oleh Gereja kepada mereka, beralasan
bahwa jika tindakan keintiman tertentu (hubungan sex) tidak ada, maka sering
terjadi bahwa kesetiaan mereka terancam punah dan kebaikan bagi anak-anak akan menderita.”
(Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia
Modern Gaudium et Spes, 51).
Gaudium et Spes merujuk bukan pada ‘perkawinan’ yang
tidak teratur di sini, tetapi merujuk pada pernikahan yang sah di mana
pasangannya harus abstain dari hubungan sex dalam waktu yang berkelanjutan agar
tidak menghasilkan anak.
Sementara kebingungan dan
perdebatan tentang Amoris Laetitia bergejolak, empat orang kardinal
dengan mengikuti prosedur normal, mengirimkan pertanyaan kepada paus
Francis atau yang populer disebut ‘dubia’ mengenai implikasi teologis dari Amoris Laetitia. Namun
hingga kini Francis tidak mau menjawab dubia tersebut. Dan pada tanggal 9
September 2016, Francis justru menulis surat pribadi kepada para uskup
Argentina, yang kemudian dibocorkan kepada pers, bahwa interpretasi mereka (uskup-uskup Argentina) terhadap
Amoris Laetitia - yaitu yang mengizinkan orang Katolik yang menikah secara
tidak wajar, meski mereka tidak bersedia menjalani pantang hubungan sex, untuk
menerima sakramen-sakramen setelah periode persiapan pertobatan – adalah interpretasi yang benar.
No comments:
Post a Comment