SEBUAH NATAL YANG DITANDAI
OLEH PENCEMARAN, DIMANA BERGOGLIO SENDIRI SEBAGAI PENCEMAR UTAMANYA
Saya belum melihat DI SINI perayaan yang menghormati berhala Pachamama dengan
Bergoglio berada di depan altar, di Basilika Santo Petrus, 4 Oktober 2019 lalu,
pada saat pembukaan Sinode Amazon. Sangat mengejutkan! Sekarang saya mengerti
mengapa orang-orang berbicara tentang pencemaran
melalui penyembahan berhala serta perlunya melakukan konsenkrasi ulang atas Basilika Santo Petrus. Mungkin itu bukanlah (masih
belum) “kekejian yang membinasakan di
tempat kudus” (Mat 24:15) yang dinubuatkan oleh Yesus, tetapi perbuatan
Bergoglio itu tentu saja menimbulkan banyak keprihatinan.
Ini adalah Natal yang menyedihkan bagi umat Kristiani
jika kita memikirkan banyak sekali ‘penodaan dan pencemaran’ yang baru-baru ini
terjadi, yang tidak akan pernah bisa ditoleransi oleh agama lain mana pun.
Cukuplah dengan melihat beberapa tajuk berita terbaru.
Dua minggu yang lalu, ada sebuah acara di University
of Bologna, berjudul “Immaculate
Con(tra)ception.” Mengomentari poster dari acara itu, Il Giornale menampilkan berita utama: “Syok Kolektif: Semangat Penghujatan. Sang Madonna
dikelilingi oleh kondom."
Masih ada lagi. Pada hari Kamis media Il Messagero memuat berita utama:
“Netflix, sindiran terhadap Yesus yang gay.” Partai politik Fratelli d'Italia menyerukan penarikan
kembali film tersebut.”
Poster Bunda Maria dikelilingi oleh kondom
dengan judul “Immaculate
Con(tra)ception.”
Sepuluh hari yang lalu, ada kasus poster yang dipajang
di Roma dimana soal itu Vittorio Feltri sempat marah dan menulis kata-kata yang
berapi-api. Judul utama dalam media Il
Tempo: “Yesus bernafsu terhadap seorang anak. Sebuah badai kecaman
ditujukan terhadap Makro (Museum Seni Kontemporer) atas sebuah penggambaran
Kristus yang dilukiskan sebagai seorang penganiaya anak). Kecaman yang
dilakukan oleh (partai politik) Fratelli d'Italia: Karena merasa malu, Raggi
(Walikota Virginia) sampai turun tangan."
Dalam masing-masing kasus ini, suara protes justru tidak datang dari Vatikan, atau dari Konferensi
Waligereja Italia, tetapi justru berasal dari partai kanan-tengah, bersama
dengan umat awam Katolik (yang telah ditinggalkan oleh para pastor mereka) dan
beberapa jurnalis yang masih memiliki akal sehat. Dan akhirnya beberapa pastor
mengeluarkan kata-kata yang memalukan dan hina.
Para klerus nampaknya tidak punya waktu untuk membela
Yesus Kristus, Bunda Terberkati, dan iman umat Katolik sederhana dari segala
tindakan penghujatan ini, karena hari ini mereka sepenuhnya dipenuhi dengan sorak
sorai memuliakan Paus Argentina ini, yang sekarang menjadi komoditas media
dunia, yang dirayakan oleh budaya sekuler.
Bahkan dengan film Netflix The Two Popes, di mana -
jauh melampaui kekonyolan - Benediktus XVI digambarkan sebagai seorang paus yang
mencari seseorang untuk menuntun dirinya dan Bergoglio digambarkan sebagai
orang yang mendapatkan peran ini tanpa pernah mencarinya. Kita hanya perlu
sebuah kesadaran minimal saja akan kenyataan sebenarnya, untuk bisa mengetahui
bahwa justru kebalikannya adalah benar:
Kenyataannya, Ratzinger-lah yang mengundurkan diri, sementara Bergoglio
berjuang selama bertahun-tahun untuk naik ke puncak (bahkan gagal menerima dukungan
suara dari saudara-saudaranya di Yesuit). Tetapi - kembali kepada tindakan provokasi
yang melawan Katolik ini - tidaklah mengejutkan bahwa dunia klerus justru bersembunyi.
Bahkan lebih buruk lagi.
Magisterium Bergoglio sendiri dipenuhi dengan
demonstrasi dan tindakan yang membuat umat beriman bingung, seperti ketika dia memamerkan
palu dan sabit (lambang komunis) dengan salib yang terpasang disitu, yang diberikan
kepadanya oleh mantan presiden Bolivia Evo Morales (komunis).
Salib komunis
Evo Morales untuk Bergoglio
Atau ketika dia mengatakan bahwa dalam kisah Injil
tentang wanita yang berzina, “Yesus
bersikap agak bodoh” (16 Juni 2016) atau ketika, pada 16 Mei 2013, dia menyangkal mukjizat penggandaan roti
yang dilakukan oleh Yesus ("Roti itu tidak berlipat ganda. Tidak, itu
bukanlah sungguhan.") atau ketika (pada 21 Desember 2018) Bergoglio menyangkal dogma “Maria Dikandung Tanpa
Noda.” Kasus Sinode Amazon baru-baru ini telah menimbulkan skandal ketika -
menurut Corrispondenza Romana - "…pada tanggal 4 Oktober 2019 paus
Francis berpartisipasi dalam tindakan pemujaan terhadap dewi pachamama di Taman
Vatikan," hingga tindakan itu memprovokasi ‘protes dari seratus orang
ilmuwan Katolik’ yang menandatangani dokumen yang dimulai dengan kalimat sebagai
berikut: "Kami, yang bertanda tangan di bawah ini, para klerus, ilmuwan, cendekiawan,
dan intelektual Katolik, memprotes dan mengutuk keras tindakan asusila dan
takhayul yang dilakukan oleh Paus Francis."
Daftar ini bisa menjadi
lebih panjang. Selama minggu-minggu persiapan Natal ini, ada lebih banyak lagi kemarahan.
Pada 12 Desember 2019, misalnya, Bergoglio menegaskan bahwa Bunda Terberkati
"adalah berdarah campuran," dan bahkan berkata, "Maria telah menyebabkan
Tuhan berdarah campuran."
Niat Bergoglio yang jelas untuk secara politis
mengeksploitasi Tuhan dan Bunda Allah untuk melegitimasi gagasannya yang masih sangat
layak untuk diperdebatkan tentang migrasi, dapat digabungkan – demi kedalaman
pemikiran - dengan penegasan kartunis Vauro [Senesi], yang mengatakan,
"Yesus adalah orang Palestina." (Dia terus menarget Santa Claus yang meskipun
miskin, namun dengan kalimat-kalimat kebijaksanaan yang luar biasa.)
Tetapi pernyataan Bergoglio tentang ‘Tuhan berdarah
campuran,’ apakah dia mengetahuinya atau tidak, bahwa dirinya jatuh ke dalam
“bidaah Eutyches (378–454),” seperti yang diamati oleh Profesor Roberto De
Mattei.
Salib
pengungsi ala Bergoglio
Selain itu, niat Bergoglio untuk menggunakan
simbol-simbol keagamaan yang suci demi menyebarkan ide-ide politiknya terlihat
jelas dalam banyak isyaratnya. Dalam beberapa hari terakhir, misalnya, dia mengumumkan
di Twitter bahwa dia telah "memutuskan untuk mengekspos 'salib jaket
pelampung' untuk meminta agar pelabuhan-pelabuhan terbuka terhadap para
pengungsi.”
Kita juga yakin bahwa pada tahun ini - seperti
tahun-tahun sebelumnya – Bergoglio tidak akan ragu untuk mengeksploitasi Natal
secara politis untuk menyebarkan gagasan - yang sangat disenangi oleh para
pendukung kuat globalisasi - dari krisis pengungsi di seluruh dunia.
Lebih jauh, dalam lingkungannya
sendiri, para kroninya berusaha untuk membantunya bahkan sampai dengan ‘menulis
ulang’ Alkitab. Dalam beberapa hari terakhir Komisi Alkitab Kepausan telah
menerbitkan volume yang berjudul “What
Is Man?” Menurut situs web Katolik The
Daily Compass, teks ini “menyatakan bahwa Sodom dihancurkan bukan karena
tindakan homoseksual dari para warganya, tetapi karena kurangnya keramahan pada
mereka. Obsesi soal pengungsi telah menjadi kriteria penafsiran dari teks Kitab
Suci. ”
Kebingungan akan hal-hal yang sakral serta tindakan
pencemaran telah jauh melampaui hal-hal yang konyol di dunia klerus. Begitulah,
pencemaran oleh dunia sekuler masih lebih kecil dibandingkan dengan pencemaran
yang dilakukan oleh lembaga religius.
Presiden emeritus Senat Italia, Marcello Pera,
seorang intelektual sekuler, mengatakan dalam sebuah wawancara: "Kepausan
ini adalah sebuah skandal dalam arti Alkitabiah, ia sangat membingungkan umat beriman
dan membuat mereka terjatuh, tidak berbuah, dan sebaliknya, perbuatan itu
membuat mereka sangat berkurang dalam hal jumlah [.] Sejauh yang berkaitan
dengan dasar-dasar iman Katolik, kepausan ini memperlihatan kemarahan terhadap
akal sehat."
This
article was first published in Libero on December 22, 2019. It is
reprinted here with Antonio Socci’s permission and translated by Giuseppe
Pellegrino.
*****
Antonio
Socci is an Italian journalist and author. He has worked at Il Sabato and 30
Giorni and at Giornale, in collaboration with Il Foglio and
Panorama. Since 2004, he has also served as the director of the Perugia
Broadcasting Journalism School. He works for RAI (Radiotelevisione italiana)
and is a contributor to the Italian newspaper Libero. He is the author of some
15 books, including The Fourth Secret of Fatima.
No comments:
Post a Comment