4. MENGALAHKAN
SEBUAH JALUR BARU YANG BENGKOK
4.1.
SINODE KELUARGA: SEBUAH PENDEKATAN BARU TERHADAP MORALITAS SEKSUAL
Sinode
Luar Biasa: Menetapkan Sebuah Agenda
Pada 8 Oktober 2013, Paus Francis mengumumkan bahwa
dua sinode akan diadakan untuk membahas tantangan yang dihadapi keluarga. Yang
pertama, Sinode Luar Biasa, akan diselenggarakan pada 5-19 Oktober 2014 dan
yang kedua, Sinode Biasa, mulai 4-24 Oktober 2015.
Periode menjelang sinode didominasi oleh proposal, yang
dipelopori oleh Walter Cardinal Kasper, dengan usulan bahwa umat Katolik yang
telah bercerai dan masuk ke dalam perkawinan sipil yang tidak sah, dapat menerima
sakramen Tobat dan Komuni Kudus meski tanpa perubahan pada jalan kehidupan
mereka. Kasper telah mengejar tujuan ini selama bertahun-tahun. Pada bulan
September 1993 dia dan dua uskup Jerman lainnya telah mengeluarkan surat
pastoral yang meminta izin untuk melaksanakan praktik ini dalam kasus-kasus
tertentu. Kongregasi untuk Ajaran Iman menanggapi dengan meneguhkan kembali
ajaran tradisional Gereja, sebagaimana ditegakkan dalam Nasihat Apostolik 1981,
Familiaris Consortio.
Kardinal Kasper diangkat menjadi tokoh baru di pidato
Angelus pertama Paus yang baru, pada 17 Maret 2013. Pujian Francis terhadap
bukunya adalah, sebagaimana disebutkan dalam Bab 1, merupakan sinyal paling
awal tentang arah dari kepausan mendatang.
Pengorganisasian sinode berada di tangan Sekretariat
Sinode yang dipimpin oleh Kardinal Lorenzo Baldisseri. Pada tanggal 26 Oktober
2013, Sekretariat mengirim kuesioner ke semua konferensi para uskup yang
mengundang tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
pernikahan, keluarga dan etika seksual, dengan fokus pada ‘perkawinan’ yang
tidak wajar. Hanya tiga hari sebelumnya, Gerhard Cardinal Müller, Prefek CDF,
telah menerbitkan sebuah artikel di L'Osservatore
Romano yang menjelaskan mengapa tidak mungkin ada perubahan atas ajaran
Gereja tentang penerimaan Sakramen-sakramen bagi umat yang bercerai dan menikah
lagi. Müller merasa sangat khawatir tentang arah dari sinode, bahkan sebelum
konsultasi resmi dilaksanakan.
Ketakutan Kardinal Müller memang bisa dibenarkan
ketika, pada 7 November, Kardinal Reinhard Marx, anggota dewan internal Paus
Francis dari sembilan kardinal (C9), berkata bahwa Müller tidak akan dapat
"menghentikan perdebatan mengenai agenda sinode (‘perkawinan’ yang tidak
wajar). Kardinal Kasper diundang untuk memberikan pidato di konsistori para
kardinal yang diadakan pada tanggal 20 Februari 2014 dan dia menggunakan
kesempatan itu untuk menjelaskan usulannya secara panjang lebar. Dialah
satu-satunya orang yang diberikan kesempatan berbicara panjang seperti itu. Dilaporkan
bahwa sekitar empat perlima dari kardinal yang hadir telah menentang usulannya
itu. Kasper menanggapi reaksi perlawanan ini dengan menekankan bahwa dia
bertindak atas nama Paus. Dia berterima kasih kepada "Bapa Suci atas
kata-katanya yang bersahabat dan atas kepercayaannya karena telah mempercayakan
kepada saya melalui laporan ini."
Pastor Federico Lombardi, petugas pers Takhta Suci,
mengatakan kepada media bahwa Paus telah meminta para kardinal untuk menangani
masalah-masalah yang dihadapi keluarga tanpa memandang secara “kasuistis” dan
bahwa pidato Kasper “sangat selaras” dengan perkataan Paus.
Hari berikutnya, Paus memuji Kasper:
“Kemarin, sebelum jatuh tertidur, meskipun tidak sampai
tertidur, saya membaca, atau membaca kembali, komentar Cardinal Kasper. Saya
ingin mengucapkan terima kasih kepadanya, karena saya menemukan sebuah teologi
yang mendalam; dan pemikiran yang tenang dalam teologi. Sungguh menyenangkan
membaca teologi yang tenang itu. Hal itu sangat baik bagi saya dan saya punya
ide, dan permisi jika saya mempermalukan Yang Mulia, tetapi idenya adalah: ini
disebut melakukan teologi sambil berlutut. Terima kasih. Terima kasih."
Pidato Kasper diterbitkan beberapa minggu kemudian
dengan kata-kata pujian dari Paus di sampul belakang. Sekitar waktu yang sama sebuah
kumpulan ringkasan dari homili Paus Francis diterbitkan dengan judul The Church of Mercy. Kata pengantarnya
ditulis oleh Uskup Agung Westminster, Vincent Cardinal Nichols, seorang yang
terkenal sebagai pembangkang terhadap ajaran Katolik tentang etika seksual. Pendahulu
Nichols di Westminster, Kardinal Murphy-O'Connor, pensiunan, anggota kelompok mafia
St. Gallen dan seorang juru kampanye aktif bagi terpilihnya Kardinal Bergoglio,
mengatakan kepada Vatican Insider
pada Maret 2014: “Ketika para kardinal memilih Bergoglio, mereka tidak tahu
kotak Pandora apa yang mereka buka, mereka tidak tahu karakter seperti apa dia,
mereka tidak tahu bahwa dia adalah seorang Jesuit dengan cara berpikir yang
sangat dalam, mereka tidak tahu siapa yang mereka pilih."
Antara Februari dan Oktober 2014 Kasper terus mencari
dukungan atas usulannya dengan bepergian ke AS dan memberikan wawancara kepada
berbagai publikasi, stasiun TV dan radio. Namun penentangan di dalam kolese para
kardinal cukup tangguh. Lima orang Kardinal, Walter Brandmüller, Raymond Burke,
Carlo Caffara, Gerhard Müller dan Velasio de Paolis berkontribusi, bersama
empat cendekiawan lainnya, untuk memberikan jawaban yang komprehensif atas
argumen Kasper, dan diterbitkan dalam bentuk buku berjudul: Remaining in the Truth of Christ: Marriage
and Communion in the Catholic Church. Ada indikasi bahwa tanggapan para
kardinal tersebut mengecewakan baik Kardinal Kasper dan Paus. La Croix melaporkan bahwa Bapa Suci merasa
“tidak senang” oleh sikap para kardinal yang telah berkontribusi dalam membuat
buku Remaining in the Truth of Christ:
Marriage and Communion in the Catholic Church. La Croix juga melaporkan bahwa paus “menuntut” agar Kardinal Müller
tidak boleh ikut serta dalam mempromosikan buku ini.
Pada 18 September 2014 Kasper memberi tahu Il
Mattino:
"Saya setuju dengan dia dalam segala hal. Dia
setuju. Apa yang bisa dilakukan seorang kardinal, kecuali berada bersama Paus?
Saya bukanlah sasaran, sasarannya adalah orang yang lain. ... Mereka tahu bahwa
saya belum melakukan hal-hal ini sendiri. Saya setuju dengan Paus, saya
berbicara dua kali dengannya. Dia menunjukkan dirinya merasa puas. Sekarang,
mereka menciptakan kontroversi ini. Seorang Kardinal harus dekat dengan Paus,
di sisinya. Para Kardinal adalah ko-operator Paus."
Mungkin fakta yang paling mencolok dari masa pra-sinode
adalah apa yang dipublikasikan pada tanggal 20 September oleh Marco Tosatti
dari La Stampa. Dia mengungkapkan
bahwa Kardinal Baldisseri telah menjelaskan bahwa Sinode Luar Biasa nanti akan
dikelola sedemikian rupa untuk mencapai hasil seperti yang diinginkan oleh sekretariat.
Ini akan dilakukan dalam tiga cara; yang pertama, yang telah dilaksanakan,
adalah bahwa semua intervensi dan usulan oleh para uskup peserta sinode harus
diserahkan sebelum 8 September. Kemudian hal ini memungkinkan strategi kedua
untuk dilaksanakan: yaitu membaca semua intervensi dan usulan para uskup dengan
hati-hati untuk memastikan bahwa setiap poin yang bertentangan dengan agenda
yang diinginkan dapat dijawab dengan cara yang paling efektif sebelum pembicara
memiliki kesempatan untuk berbicara. Strategi ketiga adalah untuk mencegah para
peserta sinode tertentu berpidato di dalam persidangan. Mereka akan diberitahu
bahwa tidak ada lagi waktu untuk intervensi, tetapi pandangan atau pendapat mereka
akan diperhitungkan dalam laporan akhir. Laporan Tosatti ini menyadarkan para
peserta dan komentator akan adanya ancaman manipulasi. Pada konferensi pers
pra-sinode pada 3 Oktober, Kardinal Baldisseri menjadi marah ketika wartawan
mempertanyakan kurangnya transparansi; "Anda harus datang ke sini untuk tahu
segalanya, mungkin Anda harus menjadi peserta sinode", katanya membentak
seorang reporter wanita.
Mendapatkan
Hasil Yang Diinginkan
Sinode Luar Biasa dimulai, pada 5 Oktober 2014,
dengan pidato pembuka dari Paus Francis yang
mengutuk "para pastor jahat" yang
"meletakkan beban tak tertahankan di pundak orang lain, dimana mereka sendiri
sendiri tidak bersedia untuk mengangkat satu jari sekalipun untuk
bergerak." "Majelis Sinode "lanjutnya "tidak dimaksudkan
untuk membahas ide-ide yang indah dan cerdas, atau untuk melihat siapa yang
lebih pintar."
Kekhawatiran bahwa kesempatan ini adalah upaya untuk
mengintimidasi para peserta sinode diperkuat oleh wawancara yang diberikan oleh
Bapa Suci kepada surat kabar Argentina La
Nación, yang diterbitkan dua hari setelah khotbahnya itu. Paus ditanyai
oleh pewawancara apakah dia “khawatir” tentang buku yang Remaining in the Truth of Christ. Dalam jawabannya, Francis
membedakan dirinya dari para pengarang buku itu dengan menyatakan bahwa dia
menikmati kegiatan “berdebat dengan uskup yang sangat konservatif, tetapi
memiliki kecerdasan intelektual.” Tetapi, dia berkata, “dunia telah berubah dan
Gereja tidak dapat mengunci dirinya dalam interpretasi-interpretasi dogma.
Selama minggu pertama sidang majelis, setiap peserta sinode
diberi waktu empat menit untuk berbicara dalam sesi sidang pleno. Untuk pertama
kalinya dalam sejarah sinode modern, tidak ada teks pidato atau ringkasan rinci
yang diterbitkan oleh panitia atau sekretaris sinode; sebaliknya, petugas pers
Vatikan hanya memberikan ikhtisar singkat tentang apa yang dikatakan yang diambil
dari catatan tulisan tangan mereka sendiri. Dengan cepat menjadi jelas bahwa
ringkasan dari kantor pers Vatikan ini memberikan kesan yang tidak seimbang
dari jalannya intervensi-intervensi yang terjadi selama sidang. Pastor Rosica,
juru bicara berbahasa Inggris, telah mengundang banyak kritikan karena bias
yang dirasakan ada di dalam rangkuman-rangkumannya. Sebagai contoh, Rosica
mengemukakan pandangannya bahwa "salah satu intervensi yang menonjol"
pada saat itu adalah saran bahwa ada keinginan besar bagi bahasa kita
"untuk berubah guna memenuhi situasi-situasi yang konkret" dan juga
tentang ‘hidup di dalam dosa,’ 'secara intrinsik tidak wajar,’ atau 'mentalitas
kontrasepsi' bukanlah merupakan kata atau istilah yang bisa mengundang orang
untuk mendekat kepada Kristus dan Gereja.” Namun jauh dari jelas bahwa
intervensi semacam ini adalah merupakan ciri khas yang disengaja. Seorang
pejabat senior Vatikan mengatakan kepada wartawan Edward Pentin, "Hampir
semua briefing Rosica dan Lombardi diarahkan untuk memutar-mutar sudut pandang liberal",
sementara pidato "yang mendukung ajaran tradisionil Gereja tidak
dilaporkan."
Marco Tossatti berkata bahwa sementara dalam
sinode-sinode sebelumnya Anda dapat mengetahui apa yang dikatakan oleh setiap
uskup, tetapi selama pertemuan saat ini “Anda tidak memiliki apa pun tentang
hal ini, Anda hanya memiliki ‘riassunto’ yang samar-samar, atau ringkasan… Anda
tidak bisa tahu apa yang dikatakan semua orang tentang masalah ini.
"Kardinal Müller adalah di antara mereka yang berbicara menentang prosedur
baru. Dia bersikeras bahwa "semua orang Kristen memiliki hak untuk
memberitahu Bergoglio tentang usulan para uskup mereka." Kardinal Burke
mengatakan kepada Il Foglio: “... bagi saya sepertinya ada sesuatu yang tidak
berfungsi dengan baik jika informasi tersebut dimanipulasi sedemikian rupa
sehingga hanya menekankan satu posisi atau satu sikap saja, bukannya melaporkan
dengan setia berbagai posisi atau pendapat yang diungkapkan. Hal ini sangat
mengkhawatirkan saya, karena ada sejumlah uskup yang konsisten tidak mau menerima
gagasan penghentian pengajaran Gereja tradisional, namun hanya sedikit saja
orang luar yang mengetahui hal ini, karena tidak dilaporkan oleh pihak panitia.”
Mungkin bukti manipulasi yang paling terkenal adalah Relatio Post Disceptationem (laporan
pertengahan sinode), yang disajikan kepada para peserta sinode dan pers pada
hari Senin 13 Oktober. Dokumen ini konon didasarkan pada usulan para peserta sinode.
Di antara elemen yang paling kontroversial dari laporan ini adalah: (1) keterbukaan
untuk menerima "proposal Kasper", (2) menyerukan Gereja untuk
"menghargai" orientasi homoseksual dan (3) menyerukan agar Gereja berfokus
pada elemen-elemen yang positif dari ‘perkawinan yang berdosa,’ seperti misalnya
hidup bersama (kumpul kebo).
Suara-Suara
Yang Berbeda
Laporan itu dielu-elukan sebagai revolusi di dalam Gereja
oleh banyak orang di media, meskipun ada desakan dari banyak peserta sinode
bahwa itu bukanlah refleksi akurat dari usulan yang dilakukan. Kardinal Napier,
salah satu dari lima belas anggota dewan permanen sinode, mengutip para peserta
sinode yang bertanya, “Bagaimana hal ini dapat dikatakan berasal dari sinode padahal
bahkan sinode masih belum membahasnya?” Dan yang lainnya menyatakan, “…ada ada
hal-hal yang dikatakan di sana tentang sinode yang mengatakan ini, itu, dan
yang lain-lainnya, tetapi sesungguhnya semua itu tidak ada yang pernah
mengatakannya.” Kemudian Napier menyimpulkan: "Jadi saat itulah menjadi
jelas bahwa ada beberapa rekayasa yang terjadi." Dia telah diperingatkan
tentang potensi ancaman ini. Beberapa bulan sebelum sinode dimulai, salah
seorang yang terkait dengan sinode memberi tahu Napier bahwa dia “sangat
terganggu” oleh apa yang dia saksikan. "Hal itu sama dengan memanipulasi
sinode, merekayasa agar sinode berjalan ke arah tertentu," kenang Napier.
"Saya bertanya: "Tapi mengapa?" Dia berkata: ‘…karena mereka
menginginkan sebuah hasil tertentu.’ “
Kardinal Pell, Prefek dari Sekretariat Ekonomi,
menanggapi Relatio (laporan pertengahan sinode) dengan menuduh bahwa
“unsur-unsur radikal” telah menggunakan usulan untuk menerima Komuni Kudus oleh
orang yang menikah kembali, sebagai “kuda penguntit” untuk melakukan perubahan
lebih lanjut dalam ajaran Gereja tentang pertanyaan-pertanyaan soal moralitas
seksual. Laporan itu, katanya, "…tendensius, cenderung menyimpang; tidak
mewakili secara akurat perasaan para peserta sinode .... Dalam reaksi langsung
terhadapnya, ketika ada waktu satu jam, dan satu setengah jam diskusi, maka tiga
perempat dari peserta yang berbicara, menganggap ada masalah dengan dokumen (Relatio)
itu," kata Pell.
Cardinal Burke mengatakan pada Catholic World Report:
“Dengan sepenuh hati saya setuju dengan apa yang
telah dinyatakan oleh Kardinal George Pell dan Kardinal Wilfrid Fox Napier
mengenai manipulasi Sinode melalui Relatio
post disceptationem. Jelas bahwa siapa pun yang menulis dokumen Relatio itu
memiliki agenda tersembunyi dan dengan menggunakan pertemuan serius para
Kardinal dan Uskup untuk memajukan agendanya sendiri tanpa menghormati diskusi
yang berlangsung selama minggu pertama Sinode.”
Kardinal Baldisseri kemudian mengkonfirmasi bahwa
dokumen ini, dan semua dokumen sinode lainnya, telah menerima persetujuan Paus
Francis sebelum dipublikasikan:
"Perhatikan, karena ini adalah sesuatu yang
benar-benar harus diketahui ... Paus memimpin semua rapat dewan sekretariat.
Dia yang memimpin. Saya sekretarisnya. Dan semua dokumen dibaca dan disetujui
oleh paus, dengan persetujuan melalui kehadirannya. Bahkan dokumen-dokumen
selama sinode, seperti Relatio ante disceptationem, Relatio post
disceptationem, dan Relatio sinode, sudah diperiksa olehnya sebelum ia diterbitkan.”
Paus Francis telah menyetujui Relatio tetapi Kardinal
Erdő, sebagai Relator Jenderal, secara teoritis bertanggung jawab untuk itu, namun
dia menjauhkan dirinya dari pertanggungan jawab atas isinya. Pada konferensi
pers di mana Relatio itu diluncurkan, dia dan Uskup Agung Bruno Forte,
Sekretaris Khusus Sinode, keduanya ikut hadir. Ketika ditanya tentang arti
ayat-ayat yang berkaitan dengan homoseksualitas, Erdő menunjuk kepada Forte dan
berkomentar, “..dia yang menulis teks itu harus tahu apa yang dibicarakan.” Subjek
homoseksualitas secara khusus telah memecah belah para peserta sinode. Dalam
sebuah wawancara kontroversial, yang dilaporkan oleh Edward Pentin, Kardinal
Kasper mengklaim bahwa "Afrika benar-benar berbeda dari Barat" dan
bahwa "Anda tidak dapat berbicara tentang [homoseksualitas] dengan orang
Afrika dan orang-orang di negara-negara Muslim. Itu tidak mungkin. Itu tabu. Bagi
kami, kami mengatakan bahwa kami tidak boleh mendiskriminasi, kami tidak ingin
mendiskriminasi dalam hal-hal tertentu." Dia juga tampak menyarankan bahwa
posisi para uskup Afrika hanya didengarkan saja di Afrika," di mana itu adalah
tabu," tetapi tidak di dalam sinode
ini. Kardinal itu melanjutkan, “Harus ada ruang bagi konferensi para uskup
setempat untuk menyelesaikan masalah mereka, tetapi saya katakan bahwa dengan
Afrika tidaklah mungkin (bagi kita untuk menyelesaikannya). Tetapi mereka
seharusnya tidak mendikte kita terlalu banyak tentang apa yang harus kita
lakukan.”
Banyak uskup Afrika menjadi marah oleh sindiran
Kasper bahwa posisi mereka didasarkan pada masalah "tabu" yang dapat
dianggap terbelakang, serta oleh pernyataannya bahwa mereka tidak boleh mendikte
para uskup Eropa "terlalu banyak tentang apa yang harus kita
lakukan". Kasper awalnya membantah bahwa dia telah mengatakan kalimat ini,
dan dia segera menuduh jurnalis yang melakukan kesalahan. Hanya ketika jurnalis
Pentin memutar ulang rekaman audio wawancaranya, barulah Kasper menyampaikan
permintaan maaf.
Sebuah
Tujuan Yang Diperoleh Setengahnya
Setelah rilis laporan sementara pada 13 Oktober para peserta
sinode dipisahkan menjadi kelompok-kelompok kecil untuk menyarankan amandemen
terhadap teks Relatio. Pada pagi hari Kamis 16 Oktober, laporan-laporan
kelompok-kelompok kecil diserahkan kepada otoritas sinode dan segera diumumkan
bahwa laporan-laporan itu tidak akan dipublikasikan. Hal ini bertentangan
dengan kebiasaan. Segera saja pengumuman ini menimbulkan keributan di aula
sinode ketika para kardinal dan uskup bangkit, satu demi satu, menuntut
publikasi amandemen mereka. Dilaporkan bahwa sekretariat sinode dicemooh dan
diejek selama sekitar lima belas menit sampai paus Francis mengindikasikan
kepada Kardinal Baldisseri bahwa laporan itu dapat dipublikasikan.
Pentingnya publikasi amandemen (tanggapan peserta sinode)
itu, dijelaskan oleh Kardinal Burke:
“Saya menganggap bahwa publikasi laporan sepuluh
kelompok kecil yang sangat penting bagi mereka, hal itu menunjukkan bahwa para
Bapa peserta Sinode sama sekali tidak menerima isi dari Relatio… Terasa sekali
bahwa ada upaya untuk tidak mempublikasikan laporan dan agar pastor Lombardi
sekali lagi bisa menyaring isinya, tetapi para Bapa peserta Sinode, yang sampai
saat itu tidak diberi sarana komunikasi langsung dengan publik, bersikeras agar
laporan itu dipublikasikan. Sangat penting bagi publik untuk mengetahui,
melalui publikasi laporan, bahwa Relatio adalah dokumen yang sangat buruk dan sama
sekali tidak mengungkapkan ajaran dan disiplin Gereja secara memadai dan, dalam
beberapa aspek, bahkan menyebarkan kesalahan doktrinal dan pendekatan pastoral
yang salah.”
Publikasi laporan-laporan ini memastikan bahwa
dokumen akhir harus mencerminkan kontribusi para peserta sinode secara lebih
akurat. Dalam versi terakhir, bagian-bagian kontroversial tentang
homoseksualitas telah dihilangkan seluruhnya dan diganti dengan pernyataan
singkat dan umum tentang ajaran Katolik. Ajakan untuk mengakui adanya aspek-aspek
positif dari ‘perkawinan’ yang berdosa (kumpul kebo) masih tetap ada dalam draf
akhir dan diterima oleh para peserta sinode. Bagian-bagian tentang penerimaan
Komuni Kudus untuk umat bercerai dan menikah kembali, tetap dalam bentuk yang
diamandemen, tetapi gagal untuk mencapai dukungan mayoritas dua pertiga. Meskipun
demikian, Paus Francis memerintahkan agar paragraf yang ditolak itu tetap ada dalam
rancangan. Dengan bertindak seperti ini berarti paus mengesampingkan aturan
yang mengatur sinode. Pasal 26 § 1 dari Ordo Synodi Episcoporum menyatakan: “Untuk
sampai pada suara terbanyak, jika suara itu diperlukan untuk menyetujui suatu masalah,
diperlukan dua pertiga suara anggota yang memberikan suara; jika demi penolakan
terhadap beberapa item, maka mayoritas absolut dari anggota yang sama
diperlukan." Dengan memerintahkan pengabaian atas paragraf 52, 53 dan 55,
Paus Francis sendiri memastikan bahwa "proposal Kasper" akan tetap
menjadi agenda Sinode Biasa (pada tahun berikutnya nanti, 2015), meskipun hal
itu telah ditolak oleh para peserta Sinode Luar Biasa.
Sesi terakhir sinode diadakan pada 18 Oktober. Dalam
pidato penutupnya, paus Francis menyampaikan serangan pedas terhadap kaum "tradisionalis"
dan "intelektual". Dia mengutuk: "…godaan untuk bersikap tidak
fleksibel, yaitu, ingin mengurung diri di dalam kata-kata tertulis, dan tidak
membiarkan diri sendiri dikejutkan oleh Tuhan, oleh kejutan Tuhan, (roh); di dalam
hukum, di dalam kepastian tentang apa yang kita ketahui, dan bukan dari apa
yang masih perlu kita pelajari dan kita capai. Dari zaman Kristus, ini adalah
godaan dari orang yang terlalu bersemangat, yang teliti, yang peduli dan apa
yang disebut - hari ini – kaum 'tradisionalis' dan juga para intelektual."
Paus Francis menyimpulkan: “…sekarang kita masih
memiliki waktu satu tahun lagi untuk menjadi matang, dengan ketajaman rohani yang
sejati, dengan ide-ide yang diusulkan dan untuk menemukan solusi konkret atas begitu
banyak kesulitan dan tantangan yang tak terhitung banyaknya yang harus dihadapi
keluarga-keluarga. Implikasi dari semua ini segera disimpulkan oleh Kardinal
Marx: "Pintunya terbuka - lebih luas daripada yang pernah ada sejak
Konsili Vatikan II. Debat dalam sinode itu hanyalah titik awal. Francis ingin
membuat segalanya bergerak, untuk mendorong proses maju. Pekerjaan nyata akan
dimulai."
Sinode Biasa
(2015)
Pernyataan-pernyataan seperti ini memastikan bahwa
ketegangan akan terus meningkat sementara Sinode Biasa 2015 semakin mendekat.
Satu kejadian, yang tampaknya mewakili banyak
tindakan yang meragukan dari proses sinode adalah kisah, yang muncul pada bulan
Februari 2015, tentang "lenyapnya" salinan buku Remaining in the Truth of Christ yang telah dikirim oleh Ignatius
Press kepada semua peserta sinode.
Menurut kisah yang dikumpulkan oleh Edward Pentin,
salinan-salinan buku itu dikirimkan kepada masing-masing peserta sinode, di
aula sinode, dalam amplop-amplop yang ditujukan dengan nama pribadi, pada hari
pertama sinode, Senin 6 Oktober. Buku-buku itu dikirim ke kantor pos Vatikan
pada hari Kamis atau Jumat minggu itu. Setibanya di kantor pos, buku-kubu itu dibawa
ke kantor sekretariat sinode. Di sinilah salah satu amplop dikatakan telah
dibuka, buku itu diidentifikasi, dan Cardinal Baldisseri diberi tahu hal ini. Untuk
alasan yang tidak jelas, prosedur yang benar dari pengiriman buku tidak diikuti
di kantor pos Vatikan dan amplop tidak dicap oleh mereka.
Pentin menulis:
“Menurut berbagai sumber, kardinal Baldisseri merasa 'geram'
demi mengetahui bahwa buku itu dikirim kepada para peserta sinode ... Sumber
kedua di sekretariat mengatakan bahwa 'diskusi' kemudian terjadi di antara staf
tentang apa yang harus dilakukan dengan buku-buku itu. Kardinal Baldisseri,
katanya, 'memblokir’ semua buku yang dikirim ke sinode."
Sumber yang sama memberi tahu Pentin bahwa Kardinal
Baldisseri menginginkan pengiriman buku-buku itu diblokir tetapi kepala kantor
pos Vatikan mengatakan bahwa tindakan itu adalah ilegal. Karena itu dia meminta
buku-buku itu dikirim kembali ke kantor pos untuk distempel dengan benar dan
kemudian menunda pengiriman selama mungkin. Hanya pada hari Rabu minggu kedua,
ketika sinode hampir ditutup, dan hampir seminggu setelah buku itu dikirim, akhirnya
buku-buku itu dikirim ke kotak surat para peserta sinode. Buku-buku itu dibiarkan
selama beberapa hari untuk memenuhi persyaratan hukum dan kemudian dimusnahkan.
Karena itu, kebanyakan para peserta sinode merasa tidak pernah menerima salinan
buku ini, buku yang isinya membela dan mempertahankan doktrin Gereja yang
abadi.
Memang insiden ini cukup mengganggu, tetapi itu tidak
sebanding dengan tantangan yang dihadapkan kepada doktrin Katolik tradisional melalui
penerbitan Instrumentum Laboris,
dokumen kerja Sinode Biasa, pada Juni 2015. Dalam dokumen ini Relasio Synodi dari
Sinode Luar Biasa dilengkapi dengan komentar lanjutan yang lebih luas, yang
mengembangkan tema-tema yang ada dalam dokumen sebelumnya, serta menangani
beberapa subyek yang sebelumnya tidak dipertimbangkan.
Dokumen tersebut berisi paragraf 52, 53 dan 55 dari
Relatio Synodi, meskipun saat sebelumnya telah ditolak oleh sinode pertama.
Namun, masalah dengan Instrumentum Laboris yang ini jauh melampaui masalah yang
satu ini. Para kritikus berpendapat bahwa dokumen tersebut:
-
merusak
ajaran Gereja tentang kejahatan intrinsik dalam pengendalian kelahiran buatan
dengan mengusulkan sebuah pemahaman yang salah tentang hubungan antara hati
nurani dan hukum moral (paragraf 137)
-
memperkenalkan
ambiguitas ke dalam ajaran Gereja tentang metode reproduksi buatan, seperti
IVF, dengan membahas “fenomena” tanpa memberikan penilaian apa pun tentang
moralitas metode tersebut atau membuat referensi apa pun pada pengajaran
sebelumnya dari Donum Vitae dan Dignitatis Personae, atau perhatian kepada
hilangnya nyawa manusia yang dihasilkan dari penggunaannya (paragraf 34)
-
mengurangi
ketidakterceraikannya pernikahan menjadi sebuah pemahaman yang "ideal"
menurut manusia (paragraf 42)
-
menyarankan
bahwa kumpul kebo bisa saja memiliki "aspek positif" dan, sampai
batas tertentu, dapat dianggap sebagai bentuk ‘perkawinan’ yang sah (paragraf
57, 61, 63, 99, 102)
-
mempersiapkan
jalan untuk diterimanya relasi homosex dengan mengakui perlunya mendefinisikan
“karakter khusus dari relasi tersebut dalam masyarakat” (paragraf 8)
-
menolak hak penuh dari orang tua dalam pendidikan seks bagi anak-anak
mereka (paragraf 86)
Koalisi
pro-kehidupan, Voice of the Family,
menyimpulkan bahwa: “Instrumentum Laboris 2015, yang sama dengan Relatio Post
Disceptationem dan Relatio Synodi dari Sinode Luar Biasa 2014, sedang mengancam
seluruh struktur ajaran Katolik tentang pernikahan, keluarga dan seksualitas
manusia.”
Susunan
komite yang akan menyusun laporan akhir sinode mengkonfirmasi ketakutan semacam
itu. Jelas bahwa setidaknya ada tujuh dari sepuluh penyusun yang ditunjuk oleh
Paus Francis adalah orang-orang yang memiliki pandangan progresif, liberal,
modern. Selain Kardinal Baldisseri dan Uskup Agung Bruno Forte, disitu juga ada:
Kardinal Wuerl dari Washington, Kardinal Dew dari Wellington, Uskup Agung
Victor Manuel Fernandez dari Argentina, Uskup Marcello Semeraro dari Albano,
dan Jenderal Yesuit, Pastor Adolfo Nicolás.
Paus
Francis juga nampak menggunakan kekuatannya secara luas untuk membuat perintah khusus
pada sinode untuk memberikan hak suara kepada para uskup yang terkenal liberal meskipun
mereka tidak hadir dalam sinode. Terlepas dari Walter Kasper sendiri, mungkin
pilihannya yang paling terkenal adalah Godfried Cardinal Danneels, seorang
tokoh terkemuka dalam grup mafia St. Gallen. Catatan Danneels dalam kasus menutup-nutupi
seorang uskup yang mencabuli anak-anak dan mendukung legalisasi aborsi dan relasi
homoseksual, telah dijelaskan di atas. Penunjukkan oleh paus yang kontroversial
lainnya termasuk kepada Cardinal Dew, Cardinal Cupich dari Chicago, yang secara
terbuka mereka mendukung pemberian sakramen-sakramen kepada para pezinah yang
tidak bertobat dan mempraktikkan homoseksual, dan juga kepada Walter Kasper
sendiri.
Ketika
pembukaan sinode (2015) akan segera terjadi, Kardinal Robert Sarah menyuarakan
kecemasan dari banyak umat gereja yang terkemuka:
“Sementara
tanggal dari Majelis Umum Biasa XIV dari Sinode para Uskup yang didedikasikan
untuk “Panggilan dan Misi Keluarga di dalam Gereja dan Dunia Kontemporer,” semakin
dekat, Gereja-gereja tertentu, fakultas-fakultas teologis, dan kelompok dan
asosiasi keluarga mengintensifkan persiapan mereka untuk menghadapi acara
gerejawi utama ini. Pada saat yang sama, ada perasaan bahwa para pembuat opini,
kelompok penekan, dan lobi-lobi muncul kedepan. Kami juga melihat strategi
komunikasi telah diimplementasikan; nampak bahwa cara-cara baru bagi majelis
sinode sedang diperiksa ulang untuk memberikan suara pada beberapa garis
pemikiran tertentu, sementara berusaha membuat yang lain tidak terdengar, atau jika
mungkin, untuk membungkam mereka sepenuhnya. Semuanya menuntun kita untuk
percaya bahwa majelis sinode berikutnya nanti, bagi banyak orang, adalah sebuah
sinode dengan taruhan yang tinggi. Masa depan keluarga memang dipertaruhkan
bagi umat manusia saat ini.”
Benar
saja, dua hari sebelum sinode dibuka diumumkan bahwa Sekretariat Sinode telah
"merancang metode baru" untuk melakukan diskusi. Para peserta sinode
akan menghabiskan lebih banyak waktu dalam kelompok-kelompok kecil diskusi
berbasis bahasa hingga mereka memiliki relatif sedikit waktu dalam sesi-sesi
pleno yang besar. Tidak akan ada Relatio Post Disceptationem, yang berarti bahwa,
tidak seperti tahun sebelumnya ketika laporan sementara (laporan pertengahan
sinode) mengungkapkan agenda yang dibicarakan dan memicu berbagai perlawanan, namun
kali ini para peserta sinode tidak akan menerima indikasi isi laporan akhir
hingga hari terakhir dari Sinode.
Paus Francis Tidak Senang
Dalam
konteks inilah tiga belas kardinal menulis surat kepada Paus Francis yang
mengutarakan keprihatinan utama mereka.
Di
antara para kardinal ini adalah Carlo Caffarra, Uskup Agung Bologna; Thomas
Collins, Uskup Agung Toronto; Timothy Dolan, Uskup Agung New York; Willem Eijk,
Uskup Agung Utrecht; Gerhard Ludwig Müller, prefek Kongregasi Doktrin Iman;
Wilfrid Fox Napier, Uskup Agung Durban; George Pell, prefek Sekretariat Ekonomi;
Robert Sarah, prefek Kongregasi untuk Ibadah Ilahi dan Disiplin Sakramen;
Angelo Scola, Uskup Agung Milan dan Jorge L. Urosa Savino, Uskup Agung Caracas.
Teks dari
surat itu, seperti diungkapkan oleh jurnalis Italia, Sandro Magister, pada 12
Oktober 2015, meminta Paus Francis untuk "mempertimbangkan sejumlah
keprihatinan yang telah kami dengar dari para peserta sinode yang lain, dan
yang juga kami rasakan." Di antara kekhawatiran ini adalah:
-
Instrumentum Laboris, yang “menjamin prosedur baru
untuk menuntun jalannya sinode… memiliki pengaruh yang berlebihan ",
memiliki "berbagai bagian yang bermasalah" dan karenanya ia tidak
dapat "berfungsi sebagai teks panduan atau fondasi bagi dokumen akhir.”
-
"prosedur-prosedur baru bagi sinode" akan
"dianggap di berbagai bagian sebagai kurangnya keterbukaan dan
kolegialitas yang sejati.” Di masa lalu, proses penyampaian usulan dan
pemungutan suara bagi mereka menjadi tujuan yang berharga guna mengetahui isi
pikiran para peserta sinode.
-
Tidak adanya usulan dan diskusi yang terkait serta
tidak adanya pemilihan suara, tampaknya menghambat debat terbuka dan membatasi
diskusi pada kelompok-kelompok kecil; oleh karena itu terasa sangat mendesak
bagi kita agar penyusunan usulan untuk bisa dipilih oleh seluruh peserta sinode
harus dikembalikan lagi. Melakukan voting atas sebuah dokumen akhir akan
terlambat karena harus dilakukan peninjauan secara penuh dan penyesuaian yang
serius dari teks dokumen.”
-
“kurangnya masukan oleh para peserta sinode dalam
komposisi komite perancang, telah menciptakan kegelisahan yang cukup besar. Para
anggota telah ditunjuk, bukan dipilih, tanpa konsultasi. Demikian juga, siapa
pun yang menyusun apa pun di tingkat kelompok kecil harus dipilih, bukan ditunjuk.”
Para
kardinal menyimpulkan: “… semua ini telah menimbulkan kekhawatiran bahwa
prosedur baru itu tidak sesuai dengan semangat tradisional dan tujuan sinode.
Tidak jelas mengapa perubahan prosedural ini diperlukan. Sejumlah peserta merasa
bahwa proses baru itu tampaknya dirancang untuk memfasilitasi hasil yang telah
ditentukan sebelumnya atas pertanyaan-pertanyaan penting yang disengketakan."
Berbagai
laporan mulai beredar bahwa paus Francis menjadi sangat marah di hadapan para
uskup dan imam, ketika menerima surat itu di Casa Santa Marta, dan beritanya
adalah bahwa paus Francis telah mengeluarkan kata-kata sangat kasar, yang
pastinya, tidak pernah terdengar dari bibir kepausan selama beberapa abad
sebelumnya. Il Giornale menyebutkan desas-desus bahwa paus berseru: "Jika
ini masalahnya, mereka dapat segera pergi. Gereja tidak membutuhkan mereka.
Saya akan mengusir mereka semua!" Laporan lain mengatakan bahwa dia
berkata: "Tidakkah mereka tahu bahwa sayalah yang bertanggung jawab di
sini? Sayalah yang memiliki topi-topi merah mereka."
Apa pun
kebenaran dari kisah-kisah ini, tanggapan Paus Francis di Sinode Hall pada hari
Selasa 6 Oktober itu menegaskan posisinya. Dalam sebuah pidato yang tidak
dijadwalkan dalam sinode itu, Paus memperingatkan terhadap adanya "hermeneutik
konspirasi" yang "secara sosiologis lemah dan tidak bisa membantu
secara spiritual."
Memiringkan Keseimbangan
Intervensi
paus Francis juga berkaitan dengan krisis lain yang muncul untuk partai
“progresif”, yaitu pembelaan terus terang atas ajaran moral Katolik yang mapan
oleh Kardinal Erdő, Relator Umum Sinode. Dalam laporan pembukaannya, yang
disampaikan pada hari pertama majelis, Erdő menyatakan kembali ajaran Gereja di
seluruh spektrum etika seksual, termasuk dengan tegas dia menolak “proposal
Kasper.” Penegasan Erdö tentang ortodoksi Katolik memberikan dorongan positiv bagi
banyak peserta sinode, tetapi Paus Francis segera bertindak tegas untuk
merusaknya. Dalam intervensi yang tidak terjadwal keesokan paginya, Paus
Francis menginstruksikan para peserta, bahwa mereka harus mempertimbangkan
Sinode Biasa ini (2015) dalam kesinambungan sempurna dengan Sinode Luar Biasa
2014. Dia mengatakan kepada mereka bahwa mereka hanya mempertimbangkan tiga
dokumen sebagai dokumen formal sinode; ini adalah pidato pembukaannya sendiri
di Sinode Luar Biasa, Relasi Sinode Luar Biasa, dan pidato penutup sinode itu
sendiri. Dia juga menekankan bahwa Instrumentum Laboris harus memandu diskusi
dalam beberapa hari mendatang.
Perkataan
Francis ini telah melemahkan wewenang laporan Kardinal Erdő dan memberi isyarat
kepada para peserta sinode bahwa dia berharap diskusi berlanjut di sepanjang
garis yang ditetapkan oleh Relatio Synodi yang menyimpang itu, bukan oleh
arahan dari Kardinal Erdő. Paus juga memperjelas bahwa pertanyaan tentang
penerimaan Komuni Kudus oleh "orang yang bercerai dan menikah lagi"
ada dalam agenda untuk dipertimbangkan sinode. Isi dari intervensi paus ini diulang-ulang
beberapa kali oleh Pastor Lombardi dan pembicara lain pada konferensi pers. Tindakan
Paus Francis ini tampaknya diarahkan untuk melemahkan upaya Kardinal Erdő yang
mau mengarahkan kembali Sinode Biasa ke arah penegasan dan pembelaan terhadap
doktrin Katolik yang sejati.
Dalam
banyak hal penting Sinode Biasa ini mengikuti jalan yang serupa dengan sinode
sebelumnya. Kantor pers Vatikan sekali lagi tampaknya memanipulasi narasi. Pastor
Rosica ingin melaporkan suatu intervensi di mana dikatakan bahwa “dalam
pelayanan pastoral terhadap umat, maka kita haruslah memakai aturan Bergoglio sebagai
bahasa kita, dan selalu mempertimbangkan kemungkinan dan solusi pastoral dan
kanonik.” Dia juga membuat referensi yang menyerukan adanya "katekese baru
untuk pernikahan", "bahasa baru untuk berbicara kepada orang-orang di
zaman kita", "pendekatan pastoral baru untuk mereka yang telah hidup
bersama sebelum menikah" dan “pendekatan baru terhadap homoseksualitas.”
Salah
satu intervensi yang disampaikan oleh Rosica adalah saran bahwa pertanyaan mengenai
Komuni Kudus untuk orang yang bercerai dan menikah lagi, dapat diselesaikan
dengan cara yang berbeda di berbagai belahan dunia yang berbeda. Hal ini akan
menuntun umat kepada praktik-praktik yang berbeda, dan secara implisit kepada doktrin
yang berbeda-beda, di berbagai bagian Gereja. Seruan untuk
"desentralisasi" seperti itu adalah bagian dari strategi keseluruhan
yang diadopsi oleh partai "progresif" (liberal) dalam kepausan
Francis.
Dalam sebuah pidato pada 17 Oktober
2015, pada setengah dari perjalanan sinode, Paus Francis menyatakan bahwa dia “merasa perlu untuk meluaskan kekuatan ‘desentralisasi' yang sehat kepada “Konferensi-Konferensi
Episkopal” (keuskupan lokal). "Kita harus merenungkan untuk merealisasikan lebih
banyak lagi melalui badan-badan ini," katanya, karena "harapan Konsili agar
badan-badan semacam itu akan membantu meningkatkan semangat kolegialitas keuskupan, belum sepenuhnya terwujud."
Tuntutan untuk pelimpahan kekuasaan, termasuk "otoritas doktrinal
sejati", diulangi oleh beberapa peserta sinode. Abbot Jeremias Schroder,
yang menghadiri sinode itu sebagai perwakilan dari Union of Superior General,
mengatakan bahwa keduanya, “penerimaan sosial terhadap homoseksualitas” dan
cara berurusan dengan “orang-orang yang bercerai dan menikah lagi” adalah
contoh-contoh “di mana konferensi-konferensi para uskup lokal seharusnya
diizinkan oleh Bergoglio untuk merumuskan tanggapan pastoral yang selaras
dengan apa yang dapat dikhotbahkan dan diumumkan serta hidup dalam konteks yang
berbeda.”
Abbot
menuduh bahwa delegasi semacam itu didukung oleh mayoritas peserta sinode. “Ini
telah muncul berkali-kali, banyak intervensi dalam aula telah mengembangkan
topik bahwa harus ada delegasi dan otorisasi untuk menangani isu-isu itu setidaknya
secara pastoral dengan cara yang berbeda sesuai dengan budaya setempat…. Saya
pikir saya pernah mendengar sesuatu seperti itu setidaknya dua puluh kali dalam
intervensi peserta sinode, dan hanya sekitar dua atau tiga orang yang
menentangnya, dengan menegaskan bahwa persatuan gereja perlu dipertahankan juga
dalam semua hal dan bahwa akan cukup menyakitkan untuk mengikuti delegasi
otoritas seperti itu."
Sebenarnya
ada pertentangan yang cukup besar dari para peserta sinode konservatif,
sebagaimana intervensi yang diterbitkan oleh para uskup seperti Uskup Agung
Gadecki dari Poznan, Uskup Agung Tomas Peta dari Kazakhstan, dan Uskup Agung
Utama Kiev, Sviatoslav Shevchuk membuktikan. Namun perlawanan dari para
kardinal dan uskup semacam itu tidak mampu mencegah persetujuan dari banyak
paragraf yang tampaknya merusak, atau bahkan secara langsung bertentangan
dengan ajaran Katolik sebelumnya. Yang sangat penting dalam hal ini adalah
paragraf 85 dari Relatio yang mengangkat pertanyaan tentang “integrasi” umat
Katolik yang bercerai dan menikah kembali yang tidak bisa disalahkan sepenuhnya
atas dosa mereka. Paragraf ini direferensikan dan dimasukkan dalam anjuran Apostolik
Amoris Laetitia. Dalam paragraf 305,
dan catatan kaki yang menyertainya (n. 351), Paus Francis menunjukkan bahwa,
dalam kasus-kasus tertentu, mereka yang hidup dalam “keadaan dosa obyektif”
dapat menerima sakramen Tobat dan Komuni Kudus tanpa keharusan untuk
memperbaiki kehidupannya, ketika dinilai bahwa mereka secara subyektif tidak bisa
disalahkan atas dosa berat yang dilakukannya. Hal ini adalah merupakan penyimpangan
sepenuhnya dari ajaran Gereja yang telah mapan bahwa mereka yang secara
objektif bersalah atas dosa berat harus ditolak untuk menerima sakramen-sakramen,
meskipun ada faktor-faktor yang dapat mengurangi kesalahan mereka. Sehubungan
dengan orang yang bercerai dan menikah lagi, Paus Yohanes Paulus II
mengajarkan: “Mereka tidak dapat menerima sakramen-sakramen karena kenyataan
bahwa keadaan dan kondisi hidup mereka secara objektif adalah bertentangan
dengan persatuan kasih antara Kristus dan Gereja yang ditandai dan ditegaskan oleh
Ekaristi." Oleh karena itu ada benturan antara pengajaran paragraf 305 Amoris Laetitia dan paragraf 84 Familiaris Consortio.
Agar
disetujui, setiap paragraf, menurut aturan sinode, membutuhkan dukungan mayoritas
dua pertiga, dalam hal ini 177 suara. Paragraf 85 menerima dukungan 178 suara. Semua
orang dapat melihat dalam kasus itu, bahwa jika Paus Francis tidak menambahkan
ke sinode itu, sebagai penunjukan kepausannya sendiri yang khusus, kepada banyak
orang - termasuk Kardinal Kasper sendiri - yang dikenal mendukung orang-orang
berdosa yang tidak bertobat, untuk menerima sakramen-sakramen, maka paragraf 85
itu tidak akan disetujui. Fakta ini sendiri telah menunjukkan dengan jelas bahwa
sinode-sinode tentang keluarga itu telah dicurangi oleh paus Francis sendiri. Juga
ada cukup bukti manipulasi sistematis sepanjang keseluruhan proses sinodal yang
membenarkan pernyataan yang dibuat oleh Uskup Athanasius Schneider: manipulasi
sinode “akan tetap terjadi untuk generasi-generasi mendatang, dan bagi para sejarawan
itu adalah sebuah bintik hitam yang telah menodai kehormatan Tahta Suci."
4.2. APA YANG SEDANG DIAJARKAN OLEH PAUS FRANCIS?
Amoris Laetitia Dan Dubia Para Kardinal
Paus
Francis menindaklanjuti Sinode tentang Keluarga dengan menerbitkan pada bulan
Maret 2016 nasihat Apostolik Amoris
Laetitia, yang dimaksudkan untuk menyampaikan pengajaran Sinode. Pada lebih
dari dua ratus halaman, nasihat itu sulit diringkas, tetapi bagian yang paling
kontroversial adalah terutama ditemukan dalam bab 8.
Khususnya
paragraf 305, bersama dengan catatan kaki 351, kini telah ditafsirkan oleh
berbagai uskup sebagai anjuran, yang secara langsung memungkinkan pemberian Komuni
bagi umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi secara sipil: “Karena adanya berbagai macam alasan dan
faktor yang menghalangi, memang dimungkinkan bahwa ada orang yang berada dalam
keadaan berdosa secara obyektiv, yang mungkin tidak bisa disalahkan secara
subyektif, atau sepenuhnya salah seperti itu, namun orang tersebut bisa hidup
dalam keadaan rahmat Allah, dapat mengasihi dan juga dapat tumbuh dalam
kehidupan rahmat dan kemurahan hati, sambil menerima bantuan Gereja bagi
masalah yang dihadapinya.” Dan catatan kaki 351 itu diikuti oleh kalimat
berikut : “Dalam kasus-kasus tertentu
bantuan Gereja dapat mencakup juga bantuan pemberian sakramen-sakramen.”
Meskipun
kontroversi muncul atas penafsiran yang benar dari paragraf itu, atau seperti
yang dimaksudkan dari petikan-petikan ini, dimana ada banyak uskup bersikeras
bahwa tidak mungkin bagi dokumen kepausan untuk bertentangan dengan pengajaran
sebelumnya, tetapi para uskup Buenos Aires mengeluarkan pedoman mereka sendiri pada
bulan September 2016. Mereka mengatakan bahwa “…para imam dapat menyarankan
sebuah keputusan untuk hidup dengan berpantang (dalam hal sexual),” tetapi mereka
juga mengatakan bahwa “jika para pasangan gagal dalam melakukan saran ini,”
setelah mengikuti “suatu proses pemahaman,” maka Amoris Laetitia “menawarkan
kemungkinan untuk bisa menerima Sakramen Rekonsiliasi,” tanpa niatan untuk ikut
campur dalam hal relasi suami-istri.
Sementara
kontroversi atas interpretasi Amoris Laetitia berlanjut, Francis tetap bersikap
diam dan belum juga mau mengoreksi para uskup, seperti Chaput dari Philadelphia
dan Stanisław Gądecki dari Poznan, yang tetap mengambil sikap konservatif.
Tetapi dukungan dari Paus telah dikirimkan kepada para uskup Buenos Aires dan
Malta dalam bentuk surat pernyataan terima kasih kepada mereka atas interpretasi
liberal mereka. Francis menulis kepada mantan rekannya di Argentina dan berterima
kasih kepada mereka atas pedoman yang "sangat bagus" mereka, yang
"sepenuhnya mampu menangkap makna dari bab VIII 'Amoris Laetitia'."
Untuk menegaskan sikapnya, bahkan paus menambahkan, "Tidak ada
interpretasi lain." Surat yang serupa juga dikirim ke Malta melalui wakil
Paus, Sekretaris Jenderal Sinode para Uskup, Kardinal Lorenzo Baldisseri.
Mengingat
interpretasi yang berbeda atas paragraf yang sama, dan subjektivitas yang tinggi
yang diperkenalkan Amoris Laetitia kepada ajaran moral Katolik, maka sejumlah
kardinal menulis surat yang dialamatkan kepada Paus untuk meminta klarifikasi atas
dokumen itu. Para penandatangan surat itu, yang kemudian berjumlah sampai enam
orang, meskipun hanya empat nama yang diumumkan - Kardinal Brandmüller, Burke,
Caffarra dan Meisner - tetapi mereka dikatakan mendapat dukungan dari sekitar
dua puluh atau tiga puluh tokoh Gereja lainnya. Mereka mulai dengan mengirimkan
surat pribadi kepada Paus dan Kepala Kongregasi untuk Ajaran Iman pada tanggal
19 September 2016 dengan permintaan yang disebutkan. Surat itu ditulis dalam
bentuk lima pernyataan yang berisi keraguan, yaitu poin-poin yang disengketakan,
yang disampaikan kepada Kongregasi untuk Ajaran Iman, ketika ajaran Gereja
tampaknya menjadi tidak pasti. Lima dubia dapat diringkas sebagai berikut:
1. Apakah sah untuk mengijinkan kepada orang yang
bercerai dan menikah lagi untuk menerima Komuni Kudus?
2. Apakah ajaran Katolik masih mengajarkan bahwa ada
norma moral yang absolut?
3. Apakah mereka yang hidup dengan melanggar suatu perintah
(Allah), misalnya, perintah untuk menolak perzinahan, bisa dianggap sebagai hidup
dalam dosa objektif?
4. Apakah pernyataan berikut ini masih merupakan ajaran Katolik: “Bahwa keadaan atau niat tidak pernah bisa merubah suatu tindakan yang
secara intrinsik adalah jahat, menjadi
tindakan yang "secara subyektif" baik?
5. Apakah masih termasuk dalam ajaran Katolik pernyataan berikut ini: ‘hati
nurani tidak dapat membenarkan
adanya pengecualian terhadap norma-norma moral absolut?’
Atas pertanyaan-pertanyaan
ini, Kongregasi untuk Doktrin Iman telah menolak untuk menjawab, dimana sikap
mereka itu bertentangan dengan praktik normal, dan jelas bahwa mereka bertindak
atas perintah paus Francis. Mengingat hal ini, para penandatangan
mempublikasikan surat mereka pada bulan November, sehingga membuat tantangan terhadap
ajaran Amoris Laetitia menjadi terbuka. Paus tidak juga membuat jawaban
eksplisit, tetapi dia dilaporkan telah mendorong orang-orang di sekitarnya
untuk mendiskreditkan para ‘pembangkang’ dubia itu dengan cara tidak langsung.
Sebagian besar kardinal penandatangan dipensiunkan; satu-satunya dari mereka
yang masih memegang jabatan resmi adalah Kardinal Burke, yang adalah Pemimpin
dari Ordo Malta, dan pengalamannya akan dijelaskan dalam Bab 5. Selain itu,
efek dari instruksi tidak resmi Paus itu adalah berupa sikap marah yang
mengejutkan yang telah diungkapkan oleh beberapa juru bicara atas ‘kebutaan
para kardinal (dubia) terhadap keterbukaan baru pengajaran Katolik.’ Apa
keterbukaan itu tepatnya, Gereja masih belum bisa merincinya, karena Francis sendiri
tidak mau menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Untuk menyimpulkan di
mana Paus bermaksud untuk merubah ajaran Gereja, kita perlu mempelajari
kebijakan yang dia lakukan di dalam tubuh Vatikan yang dirancang untuk menjaga
institusi keluarga.
Perombakan Akademi Kepausan Untuk Kehidupan
Dari tahun
1978 hingga pemerintahan Benediktus XVI, mereka yang terlibat dalam membela
etika Katolik tradisional menjadi terbiasa memandang Vatikan sebagai benteng
dukungan bagi perjuangan mereka, khususnya dalam perang melawan aborsi. Kombinasi
John Paul II, "paus pro-kehidupan", dan Kardinal Ratzinger yang mendukungnya
di Kongregasi untuk Ajaran Iman, memberi Vatikan kuasa untuk memberi keputuskan
atas sejumlah pertanyaan moral yang sangat penting dalam politik. Otoritas
moral Vatikan ini sangat dihormati bahkan oleh kaum konservatif non-Katolik
yang mengikuti jejak Vatikan dalam masalah-masalah kompleks seperti teknologi baru
di bidang reproduksi, kloning, dan penelitian stem-cell (sel induk). Meskipun
CDF memainkan peran penting dalam mengembangkan posisi pro-kehidupan, salah
satu organ utama pemikiran Katolik tentang masalah ini adalah badan yang
didirikan pada tahun 1994, ‘the
Pontifical Academy for Life’ (Akademi Kepausan untuk Kehidupan), yang
didedikasikan untuk mempelajari “masalah utama bio-medis dan hukum, relatif
terhadap promosi dan pembela kehidupan, terutama dalam hubungan langsung yang
mereka miliki dengan moralitas Kristiani dan arahan Magisterium Gereja."
Didirikan
oleh John Paul II dan dokter pro-kehidupan terkenal dan ahli genetika, Jérôme
Lejeune, the Pontificial Academia Pro Vita (PAV) mempromosikan beberapa
pemikiran Katolik yang paling penting di Eropa, termasuk para filsuf Michel
Schooyans dan Joseph Seifert serta ahli bio-etika Elio Sgreccia. Tidak semua
anggotanya dikenal luas, tetapi semua anggota pro-kehidupan diharuskan untuk
mengambil “sumpah sebagai Hamba Kehidupan,” yang mengikat mereka untuk
menegakkan ajaran Katolik tentang kesucian kehidupan manusia dalam semua
tahapannya.
Bahkan
sebelum pengunduran diri Paus Benediktus, keretakan mulai terlihat di PAV.
Tanda-tanda perubahan dimulai pada 2008 dengan penunjukan sebagai presidennya,
Uskup Agung Rino Fisichella, seorang pejabat karir Vatikan yang karirnya naik
karena keterikatan yang lemah pada ajaran Katolik tradisionil tentang
masalah-masalah kehidupan. Pada 2009, Fisichella mengkritik seorang uskup
Brasil karena secara terbuka menegaskan ekskomunikasi terhadap para dokter yang
melakukan aborsi terhadap bayi kembar yang dikandung oleh seorang korban perkosaan
yang berusia sembilan tahun. Menurut hukum Gereja, aborsi adalah salah satu
dari "graviora delicta," pelanggaran yang amat serius sehingga pelakunya
bisa di-exkom secara otomatis, tanpa perlu deklarasi resmi. Uskup agung Fisichella
menulis, bagaimanapun, bahwa tindakan para dokter itu bisa dibenarkan karena, menurut
dia, mereka bertindak demi menyelamatkan hidup gadis itu.
Uskup yang
lain, Uskup Cardoso Sobrinho dari Recife, kemudian mengklarifikasi bahwa anak
itu dan keluarganya berada di bawah perawatan dokter yang siap untuk
menyelamatkan nyawa si kembar melalui operasi caesar tanpa membahayakan hidup gadis
itu, tetapi dia dipaksa, melalui menghilangnya gadis itu secara diam-diam, untuk
mengeluarkan peringatan publik tentang konsekuensi kanonik dari aborsi. Insiden
itu menjadi terkenal di Brasil dan uskup harus berjuang dalam pertempuran melawan
pers sekuler dan pendukung aborsi. Pernyataan Fisichella, oleh karena itu,
dianggap sebagai tanda bahwa Vatikan bersikap melawan uskupnya dan ajarannya
sendiri, dan ketika Fisichella menjadi tersudut dan menyerang para
pengritiknya, maka kesan sikap Vatikan ini semakin diperkuat.
Artikel
itu segera menyebabkan kegemparan di kalangan pers sekuler, yang memuji hal itu
sebagai sinyal bahwa Gereja Katolik akan segera mengubah ketidaktaatannya.
Tetapi para anggota PAV harus memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap seorang
presidennya yang secara terbuka menyetujui aborsi. Lima anggota merespons di
depan umum terhadap artikel itu, tetapi, seperti yang sering terjadi di Vatikan
modern, karier Fisichella didorong naik oleh skandal itu. Setelah dua tahun
pertempuran sengit antara anggota pro-kehidupan dan Fisichella, dia dipindahkan
pada 2010 tetapi ditempatkan pada posisinya saat ini sebagai kepala Dewan
Kepausan untuk Evangelisasi Baru - sebuah postingan yang, di bawah Francis,
sulit untuk tidak dilihat sebagai hadiah besar, yang melibatkan profil publik
yang tinggi dan hubungan yang lebih dekat dengan Paus.
Pada
tahun-tahun berikutnya, PAV terus menimbulkan keprihatinan bagi para pendukung
pro-kehidupan tentang berbagai topik, termasuk dukungannya terhadap pendidikan
seks eksplisit untuk anak-anak, yang dikembangkan oleh Dewan Kepausan untuk
Keluarga dan dirilis selama Hari Pemuda Sedunia di Polandia. Pada 2012 Joseph
Seifert menulis surat terbuka atas penggantian Fisichella oleh Mgr. Ignacio
Carrasco de Paula, memperingatkan bahwa PAV berada dalam bahaya mengkhianati
tujuan pendiriannya setelah Majelis Umum ke-18 organisasi tampaknya mendukung pembuahan in vitro (bayi tabung), sebuah
proses yang dikutuk oleh dokumen CDF Donum
Vitae (1987) dan Dignitas Personae
(2008).
Aktivis
pro-kehidupan Amerika, Judie Brown dari American
Life League, adalah salah satu anggota PAV awal yang telah menentang
pengesahan aborsi oleh Fisichella. Dia berkomentar pada Februari 2017 bahwa
Paus Francis telah "meruntuhkan" PAV dengan aturannya yang baru dasar
dan pengangkatan anggota baru. Judie Brown mengatakan bahwa itu adalah
"salah satu peristiwa paling memilukan yang pernah saya saksikan dalam
hidup saya. Tetapi mengingat politik Vatikan saat ini, maka hal itu tidaklah
mengejutkan.”
“Apakah
itu (kasus Recife) merupakan awal dari sebuah akhir? Beberapa kejadian
berikutnya, termasuk oleh presiden Akademi saat ini, Uskup Agung Vincenzo
Paglia, dalam mendukung pendidikan seks versi Vatikan, bukanlah menjadi
pertanda yang baik bagi Akademi dan masa depannya,” demikian kata Judie Brown.
Francis Menyapu Bersih; Ketetapan Baru, Anggota Baru
Dan Arahan Baru Oleh Amoris Laetitia
Dalam
dua tahun pertama masa kepausannya, paus Francis memberi petunjuk kepada para pendukung
pro-kehidupan tentang pemikirannya, meskipun selalu ditulis dalam istilah yang sangat
ambigu. Pada bulan Juli 2013, di pesawat yang terbang kembali ke Roma setelah
mengikuti acara Hari Pemuda Sedunia di Rio de Janeiro, sebagai jawaban atas
pertanyaan tentang kehadiran Battista Ricca yang terkenal buruk di dalam
lingkungannya, Francis menjawab dengan yang terkenal saat ini, “Who am I to
judge?” New York Times mencatat,
menyebutnya "revolusioner," dimana untuk pertama kalinya seorang paus
menggunakan istilah sehari-hari "gay" untuk menggambarkan seorang
homoseksual. NYT berkomentar:
"Kata-kata Francis sangat berbeda dari kata-kata Benedict XVI, yang pada
2005 menulis bahwa ... pria dengan 'kecenderungan homoseksual yang dalam' tidak
seharusnya menjadi imam." Sebagai ucapan terima kasih atas komentarnya,
Paus Francis segera diangkat oleh majalah Advocate
menjadi pahlawan lobi politik homoseksual; Majalah itu menampilkan wajahnya di
sampul mereka dan menyatakannya "orang terbaik tahun ini." September
berikutnya, paus Francis mendorong para pendukung pro-kehidupan ke dalam
kerusakan ketika dia mengatakan bahwa dunia Katolik tidak boleh "khawatir"
dengan aborsi, "perkawinan gay" dan kontrasepsi. Dalam wawancara
panjang dengan Antonio Spadaro di La
Civiltà Cattolica, Francis mengatakan, “Tidak perlu membicarakan masalah
ini terus menerus. Ajaran dogmatis dan moral gereja tidak semuanya setara. Pelayanan
pastoral gereja tidak boleh merasa terganggu dengan aliran dari banyak doktrin
yang tidak saling behubungan satu dengan yang lain, untuk bisa menerimanya."
Pada
Oktober 2016, setahun setelah Sinode kedua tentang Keluarga dan di tengah
kehebohan berkembang atas dubia, Paus Francis mengarahkan kembali akademi (Pontificia
Academia Pro Vita / PAV) pada jalur yang baru, dimana dia menyetujui
undang-undang baru, dan memberhentikan
semua anggotanya dan melembagakan aturan selama lima tahun ke depan bagi semua
orang. Aturan-aturan baru ini juga menghapuskan sumpah kesetiaan Lejeune terhadap ajaran Katolik, hingga memungkinkan
orang non-Katolik untuk diangkat oleh Bergoglio dan tidak mengharuskan kepatuhan
mereka terhadap ajaran Katolik.
Christine
Vollmer, Venezuela, pendiri perlindungan bagi wanita, dan merupakan anggota
pendiri yang diberhentikan Francis dari keanggotaannya pada organisasi itu,
berkomentar tentang perubahan yang dilakukan Bergoglio: “Awalnya kita
masing-masing harus membuat sumpah di depan Nuncio di negara kita bahwa kita
akan menjadi pelayan Kehidupan dan menjunjung tinggi ajaran tentang kehidupan yang
diberikan oleh Magisterium. Kami belum melihat adanya 'komitmen' baru disitu, tetapi
kata-kata dari undang-undang baru itu terdengar lebih lunak dan longgar, dan
karenanya, Akademi (PAV) sekarang terbuka untuk orang-orang dari agama apa pun
atau tidak beragama sama sekali, hingga patut diragukan apakah mereka akan
berkomitmen serius kepada Humanae Vitae!
Vollmer
memperingatkan bahwa sejak kematian Dr. Lejeune, PAV telah menjadi
"semakin diarahkan menuju 'sains keras' bukannya 'sains
pro-kehidupan.'" Akademi, katanya, “didirikan dengan sebuah daftar para spesialis
campuran yang termasuk pengacara, dokter, jurnalis, pemimpin pro-kehidupan, psikiater,
aktivis keluarga, pastor, guru, dan sebagainya; niat para pendiri adalah untuk
dapat untuk mempelajari dan menganalisis penyebab dari kecenderungan
anti-kehidupan dan menemukan cara untuk menangkalnya.”
Memang,
undang-undang baru itu melibatkan bahasa yang sebelumnya tidak pernah terlihat
dari dikasteri Vatikan. Akademi yang berusaha membela kehidupan, katanya, haruslah
termasuk upaya “promosi kualitas hidup manusia dengan mengintegrasikan nilai
material dan spiritualnya dengan pandangan kepada 'ekologi manusia' yang otentik
yang membantu memulihkan keseimbangan awali antara manusia dan seluruh alam
semesta.” Penulis, bagaimanapun, tidak akan menawarkan definisi apa pun yang memberikan
penjelasan atas hal-hal yang muluk ini.
Francis
menindaklanjuti hal ini pada Juni 2017 dengan menunjuk empat puluh lima anggota
penuh yang baru, di antaranya hanya tiga belas orang yang benar-benar baru.
Mungkin yang paling terkenal dari kalangan non-Katolik adalah pemenang Nobel
Jepang dalam bidang kedokteran, Shinya Yamanaka, pengembang metode
kontroversial kloning sel induk "mirip embrio." Pilihan lainnya dari
Francis adalah seorang Anglican, Nigel Biggar. Penunjukannya menyebabkan
kemarahan ketika The Catholic Herald
mengungkapkan bahwa Biggar mengatakan kepada filsuf Peter Singer, bahwa batas
usia kehamilan 18 minggu dapat diijinkan untuk diaborsi secara legal karena
janin tidak memiliki status moral yang sama dengan manusia dewasa.
The Herald mengutip perkataan Biggar:
“Tidak jelas bahwa janin manusia adalah jenis yang
sama dengan orang dewasa atau manusia dewasa, dan apakah ia layak mendapatkan
perlakuan yang sama. Hal ini kemudian menjadi sebuah pertanyaan di mana kami
menggambar sebuah garis, dan tidak ada alasan yang benar-benar meyakinkan untuk
bisa menggambar lagi sebuah garis baru tepat pada garis sebelumnya."
Mengingat
hal ini, penentangan Biggar terhadap eutanasia yang dilegalisasi - dengan
alasan bahwa hal itu akan menciptakan "masyarakat yang secara libertarian
radikal dengan mengorbankan masyarakat yang secara sosial manusiawi," -
tampaknya ini adalah sebuah kualifikasi yang lemah untuk menerima keanggotaan
dalam akademi kepausan yang awalnya didedikasikan untuk Ajaran Gereja tentang
kesucian hidup manusia.
Tiga
belas anggota dikonfirmasi dari daftar sebelumnya, tetapi mereka terutama tidak
memasukkan daftar tokoh akademis dan pembela ajaran moral Katolik yang sudah
lama berdiri, banyak dari mereka yang berada dekat dengan Paus Yohanes Paulus
II dan Benediktus, yang telah bekerja di dalam akademi itu sejak dari awal pendiriannya.
Mereka ini termasuk filsuf Belgia Michel Schooyans, Joseph Seifert dari
Austria, Robert Spaemann dari Jerman dan orang Inggris, Luke Gormally, yang
semuanya memimpin suara-suara yang menentang Fisichella, dan kemudian mereka menjadi
kritikus vokal atas kedua sinode keluarga dan Amoris Laetitia. Yang juga
ditolak adalah filsuf Australia, John Finnis, dan ahli bio-etika
Amerika-Prancis terkenal, Germain Grisez, yang ikut menulis "surat
terbuka" kepada Paus Francis yang sangat kritis terhadap Amoris Laetitia. Penolakan
lainnya adalah terhadap sekelompok psikolog Eropa tengah yang merupakan
penentang utama "ideologi gender," Andrzej Szostek (Polandia),
Mieczyslaw Grzegocki (Ukraina), dan Jaroslav Sturma (Republik Ceko). Francis
tampaknya memperluas upaya ‘pembersihannya’ termasuk menyingkirkan ‘orang-orang
awam yang menyusahkan’ yang menentang rencana-rencananya.
Institut John Paul untuk Studi Atas Pernikahan dan Keluarga; dipisahkan dari
Sinode, dan kemudian dibersihkan
Pada periode menjelang Sinode 2014, panitia merilis
informasi tentang siapa-siapa yang diundang dan yang tidak diundang untuk hadir
dan memberikan masukan dalam sinode. Di antara ‘penyingkiran’ yang paling
menonjol adalah terhadap para perwakilan dari Institut Studi untuk Pernikahan
dan Keluarga John Paul II. Lembaga ini didirikan oleh Paus Yohanes Paulus II
pada tahun 1982 setelah sinode 1980 tentang keluarga, dan pewartaan atas
nasihat apostoliknya, Familiaris
Consortio, dan terus berkembang hingga ada sepuluh afiliasi di seluruh
dunia. Dokumen Yohanes Paulus II inilah, yang menegaskan kembali
ketidakmungkinan bagi umat yang menikah lagi secara sipil, untuk menerima
Komuni, yang akan diserang habis dalam sinode Paus Francis mendatang.
Lembaga JPII menerbitkan serangkaian makalah menjelang sinode
2014, mengulangi Ajaran klasik moral Katolik, sebagaimana disebutkan dalam Familiaris Consortio, dan hal itu jelas
ditujukan pada proposal Kasper (yang mengijinkan umat yang menikah lagi secara
sipil untuk menerima Komuni). Salah satu makalah mereka, “Injil Keluarga:
Melampaui Usulan Kardinal Kasper dalam Debat tentang Perkawinan, Pernikahan
Kembali secara Sipil, dan Komuni di dalam Gereja,” dengan kata pengantar oleh
Cardinal Pell dan diterbitkan secara bersamaan di Italia, Amerika Serikat,
Spanyol dan Jerman. Pada konferensi pendahuluan di Roma pada awal Oktober 2014,
profesor filsafat Stanislaw Grygiel, yang dekat dengan Karol Wojtyla, dan
mengajar di Institut JPII, memberi petunjuk mengapa Institut ini dipinggirkan dari
sinode. Dia langsung menyangkal premis dalam proposal Kasper:
“Pengampunan ‘yang
penuh belas kasih,’ seperti yang diminta oleh beberapa teolog, tidak akan mampu
menghentikan kekerasan hati manusia yang tidak ingat bagaimana segala sesuatu
adalah terjadi ‘sejak awal.’ Asumsi Marxis, yang dengan hal itu filsafat harus
mengubah dunia, bukan merenungkannya, telah membuat terobosan ke dalam
pemikiran para teolog tertentu sedemikian rupa sehingga dengan hal ini, disengaja
mau pun tidak, bukannya melihat manusia dan dunia dalam terang Firman yang
kekal dari Allah yang hidup, tetapi melihat Firman ini dari perspektif
kecenderungan sosiologis sesaat. Sebagai hasilnya mereka membenarkan tindakan
'hati yang keras' tadi sesuai dengan keadaan, dan berbicara tentang belas kasihan
Tuhan seolah-olah ini adalah masalah toleransi belaka yang diwarnai dengan rasa
simpati.
“Sebuah teologi
yang dibentuk dengan cara ini menunjukkan pengabaian terhadap manusia. Bagi
para teolog ini, manusia tidak lagi cukup dewasa untuk melihat dengan berani,
dalam terang belas kasihan Ilahi, pada kebenaran tentang dirinya sendiri untuk menjadi
kasih, sama seperti kebenaran ini sendiri yang berlaku ‘sejak awal’ (lht.Mat
19: 8)."
Menyusul sinode-sinode itu, pada bulan September 2016, paus
Francis mengabaikan aturan-aturan Institut itu sendiri, yang menetapkan bahwa kepala
institut harus menjadi vikjen Roma, dengan menunjuk Uskup Agung Paglia untuk
memegang peran itu, dan sebagai presiden baru, Mgr. Pierangelo Sequeri, yang
telah mengambil garis yang serupa dalam hal kontroversi Amoris Laetitia. Segera
setelah ini, Paus membatalkan pidato pembukaan oleh Kardinal Robert Sarah dan
menyampaikan pidato sendiri, di mana dia menegur para teolog yang menawarkan
"cita-cita teologis tentang pernikahan yang terlalu abstrak dan artifisial."
Edward Pentin menulis tentang penunjukan Paglia dan Sequeri yang “memberikan kekuasaan
pada mereka, dan pada sebuah dimana ajaran St. Yohanes Paulus II di bidang ini
tampaknya dinilai tidak tepat, hingga masuknya mereka sebagai kepala lembaga
kepausan itu tidak diragukan lagi akan menjadi penyebab dari keprihatinan di
antara orang-orang yang bekerja di sana dan para pendukung institut itu."
Begitulah masa depan dari pengabdian Institut kepada Familiaris Consortio diragukan. Pada
Oktober 2016, Uskup Agung Denis Hart mengumumkan penutupan cabang institut itu
(JPII Institute) yang ada di Melbourne, dengan alasan bahwa Institut itu memiliki
terlalu sedikit siswa dengan pengeluaran keuangan yang sangat besar. Tetapi Dan
Hitchens, wakil editor The Catholic
Herald, mengaitkan penutupan itu dengan penentangan Institut terhadap arah
yang diambil oleh sinode (2014 & 2015) dan dia melaporkan kenyataan bahwa tidak
hanya pendaftaran siswa meningkat, tetapi bahwa Melbourne adalah “…salah satu keuskupan
terkaya di dunia” dengan sumber daya yang mampu membeli sebuah bangunan besar
pada tahun 2011 sebesar A $ 36 juta, “ini adalah uang yang cukup membuat Institut
JPII bisa terus berjalan selama beberapa dekade ke depan.”
Hitchens menulis, "Ada seekor gajah di ruangan itu:
Institut John Paul II memiliki banyak musuh di Australia ... Pendukung institut
memandang Institut JPII sebagai "cahaya terang ortodoksi Katolik di tengah
rawa modernisme pada banyak struktur pendidikan Katolik. Keterikatan Institut pada
paham ortodoksi (tradisionil) telah membuatnya tidak populer.”
Kehadiran Uskup Agung Vincenzo Paglia, Merupakan ‘Pesan’
Paus Francis Untuk Dunia Pro-Life
Tidak
terkenal di luar Italia, Vincenzo Paglia telah menjadi tokoh terkemuka di
Gereja Italia yang ditinggalkannya selama beberapa dekade. Sementara dia
sesekali berbicara untuk mendukung ajaran moral Katolik tradisional, tetapi
kebiasaannya yang bersikap ambigu telah membuatnya menjadi ‘gema’ dari paus
Francis. Pada bulan Agustus 2015, di bawah kepemimpinannya, Dewan Kepausan
untuk Keluarga mengeluarkan sebuah buku yang mengusulkan alasan-alasan untuk
mengizinkan orang-orang Katolik yang bercerai dan menikah kembali secara sipil,
untuk menerima Komuni, setelah menjalani sebuah "jalan pilihan," yang
pada dasarnya adalah merupakan pengulangan proposal Kardinal Kasper. Mengenai
hal ini, mungkin yang menjadi subjek paling menjengkelkan di Gereja
kontemporer, bahwa Paglia sendiri telah mempertahankan di depan umum sebuah
ambiguitas yang telah dihafalkannya. Dia menyebut umat tradisionil “seperti
orang Parisi, dengan membatasi diri kita untuk melafalkan hukum-hukum dan
mengecam dosa.” Gereja, katanya, “harus seperti Bergoglio yang siap untuk
menemukan jalan baru untuk diikuti.”
Pada
bulan Februari 2017 Uskup Agung Paglia membangkitkan badai protes ketika dia
memuji Marco Pannella, pendiri Partai Radikal Italia, dan menyebutnya sebagai “seorang
pria dengan spiritualitas yang hebat.” Dia mengatakan bahwa Pannella - yang
partainya telah mendorong kita untuk melegalkan perceraian, kontrasepsi, aborsi
dan eutanasia, serta narkoba - telah "menghabiskan hidupnya" untuk "membela
martabat semua orang, terutama mereka yang paling terpinggirkan." Paglia
menyebut kehidupan Pannella sebagai "inspirasi untuk kehidupan yang lebih
indah, bukan hanya untuk Italia, tetapi juga bagi dunia kita, yang membutuhkan
lebih banyak orang yang dapat berbicara seperti dia ... Saya harap semangat
Marco Pannella dapat membantu kita menjalani kehidupan ini ke arah yang
sama." Pidato itu telah menyulut banyak tuntutan bagi pengunduran diri
Paglia sebagai kepala Akademi Kepausan untuk Kehidupan dan Institut untuk Studi
Pernikahan dan Keluarga JPII.
Paglia
telah menjadi berita utama sejak 2012, sebagai pendukung klerus dari gerakan
politik homoseksual, dengan selalu mempertahankan sikap ambiguitas yang cukup
untuk memastikan tidak ada penyangkalan atas dirinya. Pada bulan Februari 2013,
hanya beberapa minggu sebelum pengunduran diri Paus Benediktus, dia mengatakan
kepada seorang pewawancara bahwa negara harus memberikan pengakuan hukum kepada
pasangan kumpul kebo, termasuk juga homoseksual. Ini terjadi pada saat parlemen
Italia sedang memperdebatkan undang-undang yang memberikan hak yang sama pada
‘perkawinan’ homoseksual yang mirip dengan pernikahan alami.
Dengan
penunjukan Paglia, menjadi jelas bahwa PAV dijadwalkan untuk membersihkan dirinya
dari tujuan pendiriannya dulu. Penunjukan Neil Biggar diperkirakan telah
diusulkan oleh Paglia, bersama dengan Uskup Agung Canterbury, Justin Welby. Mengingat
bahwa Biggar tercatat sebagai pendukung legalisasi aborsi dan menyangkal
kepribadian anak yang belum lahir, hal itu menimbulkan pertanyaan tentang betapa
seriusnya Francis atau Paglia berniat untuk menjalankan ajaran mereka sendiri.
Mengenai
tugasnya sebagai kepala Akademi Kepausan untuk Kehidupan, Uskup Agung Paglia
memberikan indikasi sikapnya dalam kasus anak Inggris yang sakit parah, Charlie
Gard. Orang tua Charlie Gard telah melakukan pertempuran melalui pengadilan dan
media, yang menyatakan hak mereka untuk menentukan perawatan atas putra mereka,
guna melawan rumah sakit yang telah menentukan bahwa anak itu harus
"diizinkan untuk mati," dan telah menolak untuk melanjutkan merawat
anak itu. Paglia mengeluarkan pernyataan bahwa pada dasarnya menegaskan hak
negara atas orang tua untuk menentukan perawatan terhadap anak itu, dengan
mengatakan bahwa orang tua tidak boleh "dibiarkan menghadapi keputusan
menyakitkan mereka sendirian." Michael Brendan Dougherty menulis dalam The National Review:
"Selain menggurui, pernyataan Vatikan merupakan
distorsi yang besar bagi situasi ini. Ini menggambarkan seolah keluarga Gard
bertindak bersama para dokter, tetapi tunduk pada manipulasi luar. Kenyataannya
keluarga Gard menentang para dokter. Keluarga Gard tidak menghadapi keputusan-keputusan
mereka.’ Keluarga Gard menghadapi pihak berwenang yang telah menimpa mereka.
Uskup yang baik menulis bahwa pemikiran keluarga Gard 'harus didengar dan
dihormati, tetapi mereka juga harus dibantu untuk memahami kesulitan unik dari
situasi mereka.' Orang-orang yang 'membantu’ keluarga Gard untuk memahami,
berbicara dalam bahasa yang lembut 'kematian secara bermartabat.' ”
Begitu
hebatnya kegemparan terhadap pernyataan Paglia sehingga paus turun tangan,
mungkin untuk mengantisipasi bencana media jika Gereja terlihat jelas menentang
ajarannya sendiri dan keinginan orang tua yang dilanda kesedihan. Kemudian
‘pengendalian kerusakan’ datang dalam bentuk catatan yang di-posting ke akun
Twitter Paus dua hari setelah pernyataan Paglia, dimana dia mengatakan,
"Untuk mempertahankan kehidupan manusia, terutama ketika manusia terluka
oleh penyakit, adalah tugas kasih yang dipercayakan Tuhan kepada semua
orang."
Sebuah
pengamatan tentang karir masa lalu Uskup Agung Paglia bisa dikembalikan pada
tahun 2017 ketika Dr. Thomas Ward, presiden Asosiasi Nasional Keluarga Katolik
di Inggris berkata bahwa gambar mural yang dianjurkan Paglia untuk dipajang di
sebuah katedral, sebagai ‘penghujatan’ karena penggambaran tentang Kristus yang
“erotis.”
Mural
itu telah dilukis untuk katedral Paglia, sementara dia adalah Uskup Terni, dan
dilukis oleh seorang pelukis, homoseksual, dari Argentina, Ricardo Cinalli. Mural
itu menggambarkan sosok Kristus yang hampir telanjang, mengangkat dua jala yang
penuh dengan sosok manusia yang bertingkah, termasuk penggambaran diri Paglia
sendiri disitu. Cinalli, si pelukis, membenarkan bahwa Paglia telah menyetujui
setiap tahap pekerjaannya; dia menambahkan bahwa Paglia telah menarik garis besar
hanya untuk menggambarkan sosok-sosok dalam tindakan bersanggama, dan Paglia setuju
"bahwa aspek erotis adalah yang paling menonjol di antara orang-orang di
dalam jaring yang dipegang Yesus."
Apa arti semua itu?
Kita
dibiarkan dengan pertanyaan tentang apa yang ingin diajarkan oleh paus Francis di bidang keluarga dan moralitas seksual.
Salah satu bukti adalah percakapan yang terkait dengan Uskup Agung Bruno Forte,
yang ditunjuk Francis sebagai Sekretaris Khusus untuk sinode. Pada sebuah
konferensi tentang Amoris Laetitia pada bulan Mei 2016, Forte mengatakan bahwa
sebelum sinode, Paus mengatakan kepadanya, “Jika kita berbicara secara
eksplisit tentang Komuni bagi orang yang bercerai dan menikah lagi, Anda tidak
tahu kekacauan apa yang akan kita buat. Jadi kita sengaja tidak akan berbicara
dengan jelas, kita melakukannya dengan sebuah cara dimana dasar-dasar pemikiran
ada di situ, maka saya akan menarik kesimpulan." Soal Uskup lukisan mural Agung
Paglia, Forte ini bercanda: "Ciri khas dari seorang Jesuit." Mungkin
benar. Mereka yang mengenal Serikat Yesus ( Ordo Jesuit) mungkin menjawab bahwa
itu bukan cara yang diajarkan oleh para teolog Jesuit besar seperti St. Robert
Bellarmine di masa lalu, meskipun itu mungkin kesan yang diberikan oleh
beberapa anggota ordo yang loyo di masa kemerosotan moral terjadi. Jika itu
adalah untaian tradisi Yesuit yang dibawa Francis ke tahta kepausan, maka Gereja
telah menuai panenan yang kurang menguntungkan.
Dalam
pemerintahannya selama empat tahun, paus Francis tidak pernah mundur dengan mengumbar
berbagai hukuman dan teguran, dan ciri khasnya adalah dengan menyerang sikap kekejaman
dan ketidaktulusan dan mengajak kita kembali kepada semangat sejati ajaran
Kristus. Tetapi ada satu ajaran yang sepertinya telah dilupakannya adalah,
“Katakanlah yang baik itu baik, dan yang buruk itu buruk.” Di tengah kerasnya suara
dan ambiguitas, umat beriman bertanya-tanya: apa yang ingin dia ajarkan? Kaum
konservatif terkejut melihat ditinggalkannya sikap di mana John Paul II dan
Benedict XVI berdiri teguh; kaum liberal juga tidak lebih bahagia dengan
pengajaran Amoris Laetitia yang tidak jelas itu. Dokumen itu (Amoris Laetitia)
tidak menjelaskan apakah Gereja benar-benar berniat untuk mengijinkan orang
yang bercerai dan menikah lagi untuk menerima Komuni, dan hal itu menyisakan
berbagai pertanyaan berikutnya tentang moralitas seksual, mulai dari aborsi
hingga homoseksualitas, yang harapkan oleh orang banyak untuk dapat ditangani.
Dalam beberapa hal, paus Francis telah menunjukkan dirinya sebagai musuh
liberalisme; dia telah berulang kali mengutuk aborsi (meskipun bukan tanpa
sinyal yang membingungkan) dan dia telah berbicara keras menentang ideologi
gender. Tetapi jika program pembebasannya adalah jalan yang benar bagi masa
depan, tidak dapatkah kita berharap dia mewartakannya dengan kejelasan dan
keberanian orang yang berbicara dalam roh Kristus?
Berbagai
pertanyaan yang tidak terjawab telah disuguhkan oleh masa kepausan Francis.
Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari kebijakan Paus dengan badan-badan
Vatikan yang dulunya adalah pengawas doktrin Gereja? Bisakah kita yakin bahwa
ajaran Katolik masih mengutuk perbuatan aborsi, atau apakah ajaran itu sedang
dimodifikasi oleh kaum Protestan dan agnostik yang telah dibawa masuk kedalam Akademi Kepausan untuk Kehidupan? (Pontifical Academy for Life) Francis
mengatakan kepada kita bahwa Gereja di masa lalu menjunjung tinggi "idealisme
pernikahan", tetapi apakah isi dari doktrin pernikahan yang sekarang dia
khotbahkan kepada kita? Apa artinya bahwa, di bawah paus Francis ini, Kongregasi untuk Ajaran Iman tidak akan
menjawab pertanyaan apakah ajaran Katolik percaya pada norma-norma moral yang
objektif, dan bahwa tampaknya telah dianggap sebagai pelanggaran untuk
mengajukan pertanyaan? Bagaimana mungkin orang seperti uskup agung Paglia
dinilai layak untuk mengepalai Institut JPII untuk Studi Pernikahan dan
Keluarga dan Akademi Kepausan untuk Kehidupan? Pernahkah kita berharap, di
bawah kepemimpinannya, untuk menemukan lukisan-lukisan mural homo-erotis muncul
pada dinding gereja-gereja Katolik dari San Francisco hingga Manila? Jika
demikian, apakah paus Francis akan mengabaikannya, dengan semboyannya yang
terkenal: “Who am I to judge?” Atau akankah dia tidak mau memberi tahu kita
sama sekali? Pada tingkat yang lebih umum, apakah Francis percaya bahwa
kawanannya layak mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu,
atau apakah mereka hanya sebagai domba yang tidak berotak, yang akan diseret ke
mana pun tuannya memilih untuk menyeret mereka?
No comments:
Post a Comment