DI DALAM LEMARI VATIKAN
Frếdếric Martel
KEKUASAAN
HOMOSEXUALITAS
KEMUNAFIKAN
DAFTAR ISI
CATATAN DARI
PENULIS DAN PENERBIT
|
|
|
|
Bab 1. Domus Sanctae Marthae
|
|
Bab 2. Teori Gender
|
|
Bab 3. Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?
|
|
Bab 4. Buenos Aires
|
|
Bab 5. Sinode
|
|
Bab 6. Roma Termini
|
|
BAGIAN II - PAULUS
|
Bab 7. Kode Maritain
|
Bab 8. Persahabatan
Yang Penuh Cinta
|
|
BAGIAN III – YOHANES PAULUS
|
Bab 9. Kolese Suci
|
Bab 10. Legiun
Kristus
|
|
Bab 11. Lingkaran
Nafsu
|
|
Bab 12. Garda Swiss
|
|
Bab 13. Perang Salib
Melawan Gay
|
|
Bab 14. Diplomasi
Paus
|
|
Bab 15. Rumah Tangga Aneh
|
BAGIAN III
Yohanes Paulus
Bab 15
Rumah Tangga Aneh
Setelah melancarkan perang melawan
penggunaan kondom di Afrika, para kardinal dan nuncio dari John Paul II mencoba
untuk melarang pernikahan sipil. Di sini kita memasuki salah satu episode
paling mengejutkan dalam buku ini: bahwa pasukan homofil dan homoseksual akan berperang
melawan pernikahan gay!
Di Belanda debat itu dimulai, dengan
perkenalan mengejutkan pada 1 April 2001 tentang pernikahan untuk pasangan
sesama jenis. Di Amsterdam, komunitas gay merayakan acara tersebut, dimana
mereka takjub dengan keberaniannya sendiri. Gema dari perkembangan ini bersifat
internasional. Pasal-pasal hukum yang baru ditulis sebagai ikutannya. Cukup
sederhana: “Pernikahan dapat dilakukan secara sah oleh dua orang dari jenis
kelamin yang berbeda atau jenis kelamin yang sama.”
Beberapa analis di Tahta Suci telah
melihat tanda-tanda peringatan dini, dan para nuncio seperti François Bacqué,
di kantornya di negara itu, telah mengirim banyak telegram diplomatik yang
memperingatkan Roma tentang hal ini. Tetapi keputusan Belanda yang spektakuler ini
diterima di Vatikan seperti Kejatuhan Adam yang kedua.
Paus Yohanes Paulus II berada diluar kesadarannya
saat itu karena keadaan kesehatannya, tetapi sekretaris negara menciptakan
cukup banyak kegelisahan bagi dua orang. Angelo Sodano benar-benar 'bingung'
dan 'bertanya-tanya,’ menurut seorang saksi, dan berbagi kebingungan dan pertanyaan
ini dengan pemikiran yang tidak pasti dengan timnya, sambil berusaha mempertahankan
ketenangannya yang tak tergoyahkan. Dia tidak hanya menolak untuk menerima
preseden ini di Eropa Barat, tetapi dia takut, seperti halnya seluruh Kuria,
bahwa keputusan Belanda ini akan membuka pelanggaran serupa yang akan ditularkan
ke negara lain.
Sodano memberi 'menteri urusan luar
negeri’ di Vatikan, Jean-Louis Tauran, orang Perancis, tugas untuk mempelajari
berkas di Belanda itu, dengan dukungan dari nuncio Bacqué, yang pernah menjadi
wakilnya di Chili. Tak lama setelah itu, dia menunjuk ke Jenewa seorang uskup,
yang dia angkat sendiri, Silvano Tomasi, untuk mengikuti debat di tingkat
multilateral. 'Menteri untuk urusan luar negeri’ dari Benediktus XVI, Dominique
Mamberti, juga akan memainkan peran penting. (Untuk menceritakan kisah ini,
saya mengandalkan wawancara saya dengan empat aktor utama, Tauran, Bacqué,
Tomasi dan Mamberti, serta sepuluh sumber diplomatik Vatikan lainnya. Saya juga
telah mendapatkan salinan lusinan telegram rahasia dari para diplomat yang
diposting ke PBB yang menggambarkan posisi Vatikan. Yang terakhir, saya
berbicara dengan beberapa duta besar asing, Menteri Luar Negeri Perancis,
Bernard Kouchner, direktur UNAIDS, Michel Sidibé, dan Duta Besar Jean-Maurice
Ripert, yang mengemudikan ‘kelompok inti' PBB di New York.)
Antara tahun 2001 - 'kejutan' Belanda
- dan 2015 - tanggal ketika 'pernikahan sesama jenis' diijinkan di Amerika
Serikat oleh Mahkamah Agung, seakan mengesahkan kekalahan abadi dari Tahta Suci
- sebuah pertempuran yang belum pernah terjadi sebelumnya yang akan dilaksanakan
oleh tak terhitung banyaknya nuncatur dan episkopat apostolik. Di bawah Paulus
VI, hanya ada 73 duta besar di Tahta Suci, tetapi jumlah mereka mencapai 178
pada akhir kepausan Yohanes Paulus II (sekarang ada 183). Di mana-mana,
mobilisasi untuk melawan perkawinan sipil dan perkawinan gay menjadi salah satu
prioritas Vatikan, dan semakin keras para uskup, semakin memekakkan telinga sikap
diam mereka dalam hal kehidupan ganda mereka sendiri.
Di Belanda, François Bacqué diminta
memobilisasi para uskup dan asosiasi Katolik disana untuk menghasut mereka turun
ke jalan dan membuat pemerintah membatalkan keputusannya. Tetapi sang nuncio
dengan cepat menyadari bahwa sebagian besar keuskupan di Belanda, terlepas dari
para kardinal yang ditunjuk oleh Roma (termasuk 'Wim' Eijk) yang sangat
anti-gay, adalah bersikap moderat, bahkan liberal. Sifat dasar Gereja adalah
progresif, dan telah lama menyerukan untuk mengakhiri selibat imamat, pemberian
Komuni kepada pasangan yang bercerai dan menikah lagi secara sipil) dan bahkan
pengakuan atas perkawinan homoseksual. Pertempuran di Belanda ini melaju
kencang.
Di Dewan Hak Asasi Manusia,
perlawanan terhadap 'gelombang merah muda' (lambang homosex dan LGBT) tampak
lebih menjanjikan. Masalah pernikahan tidak memiliki peluang untuk
diperdebatkan, meski ada penentangan radikal dari negara-negara Muslim dan beberapa
negara di Asia. Namun, Sodano memperingatkan nuncio Tomasi, yang baru saja tiba
di Swiss, bahwa mereka harus menentang sekuat tenaga tentang dekriminalisasi
homosex, yang di sini juga, akan memberikan contoh yang buruk dan, melalui efek
bola salju, membuka cara untuk pengakuan terhadap pasangan gay.
Usulan untuk melakukan dekriminalisasi
homosex pada tingkat PBB sudah ada. Brasil, Selandia Baru, dan Norwegia telah
melakukan beberapa upaya sederhana, mulai tahun 2003, untuk memecahkan masalah
itu, seperti yang dijelaskan oleh Boris Dittrich selama wawancara kami di
Amsterdam. “Untuk waktu yang lama saya adalah seorang militan dan politisi; dan
setelah membantu mengubah hukum di Belanda, saya pikir kami harus melanjutkan
perjuangan ini di tingkat internasional.” kata anggota parlemen Belanda ini,
mantan hakim, yang adalah arsitek dari perkawinan gay di negaranya.
Sementara itu, di Roma, Benediktus
XVI terpilih dan Sodano digantikan, melawan kehendaknya, oleh Tarcisio Bertone sebagai
kepala Kuria Roma. Paus yang baru, pada gilirannya, menjadikan penentangannya
terhadap perkawinan homosex sebagai prioritas dan mungkin, bahkan sebagai masalah
pribadi.
Kenyataannya, apa yang belum dipahami
oleh nuncio Tomasi, dan apa yang diremehkan para kardinal di Vatikan, dan
karena terlalu dibutakan oleh prasangka-prasangka mereka, adalah bahwa keadaan sosial
berubah pada pertengahan tahun 2000-an. Dinamika pro-gay mulai terjadi di
banyak negara Barat, bahkan di Uni Eropa yang ingin meniru model Belanda.
Di PBB, keseimbangan kekuatan juga
berubah ketika Perancis memilih untuk menjadikan dekriminalisasi homosex sebagai
prioritas, dengan mengambil peran sebagai kepala kepresidenan Uni Eropa.
Beberapa negara di Amerika Latin, termasuk Argentina dan Brasil, juga melakukan
ofensif. Satu negara Afrika, Gabon, serta Kroasia dan Jepang, bergabung dengan
'kelompok inti' ini, yang akan membawa pertempuran ini ke Jenewa dan New York.
Setelah berbulan-bulan negosiasi
rahasia antar negara, di mana Vatikan tidak pernah terlibat, keputusan diambil
untuk menyajikan teks kepada Majelis Umum PBB, yang akan diadakan di New York
pada bulan Desember 2008. 'Rekomendasi' bersifat tidak mengikat, tidak seperti
'resolusi,' yang harus disetujui oleh mayoritas pemilih, tetapi simbol atau
makna yang dibawanya tidak kalah kuatnya.
"Saya pikir kita tidak harus
membela resolusi ini jika kita tidak yakin mendapatkan mayoritas suara,"
Dittrich menegaskan. "Kalau tidak, kita berisiko berakhir dengan keputusan
resmi oleh PBB yang melawan hak-hak homoseksual, dan kita akan kalah dalam
pertempuran untuk waktu yang lama."
Untuk memastikan bahwa debat tersebut
tidak tampak ketat seperti di Barat, dan untuk menghindari jurang pemisah yang
dibuat antara negara-negara di Utara dan di Selatan, para diplomat 'kelompok
inti' mengundang Argentina untuk membuat deklarasi resmi. Jadi idenya akan bersifat
universal, dan didukung oleh semua benua.
Hingga 2007, Silvano Tomasi tidak
menganggap serius ancaman itu. Tetapi di Roma, 'menteri' baru urusan luar
negeri Benediktus XVI, Dominique Mamberti dari Perancis, yang sangat akrab
dengan serangkaian masalah seputar homosex, mengetahui proyek ini. Para nuncio
apostolik umumnya mendapat informasi dengan baik. Informasi dengan cepat
mencapai Tahta Suci. Dominique Mamberti memberi tahu Bapa Suci dan Kardinal
Bertone.
Paus Benediktus XVI, yang membuat
penolakannya untuk mengakui homosex sebagai salah satu elemen kunci dalam
karirnya, merasa putus asa dengan situasi tersebut. Selama perjalanan yang dia lakukan
secara langsung ke markas besar PBB di New York pada tanggal 18 April 2008, dia
mengambil keuntungan dari pertemuan pribadi dengan Ban Ki-moon, sekretaris
jenderal PBB, untuk menceramahinya. Paus mengingatkan sekretaris jenderal itu tentang
permusuhan absolutnya, dalam istilah yang halus tetapi tegas, terhadap segala
bentuk penerimaan hak-hak kaum homoseksual. Ban Ki-moon dengan hormat
mendengarkan Paus yang berbicara berapi-api; namun tak lama kemudian dia
menjadikan pembelaan hak-hak kaum gay sebagai salah satu prioritasnya!
Sejak sebelum musim panas 2008,
Vatikan telah diyakinkan bahwa deklarasi pro-LGBT akan diajukan ke PBB. Reaksi Tahta
Suci diwujudkan dalam dua arah. Pertama-tama, para nuncio dipanggil untuk
campur tangan dengan pemerintah-pemerintah untuk menghentikan mereka melakukan
sesuatu yang tidak dapat diperbaiki. Tetapi dengan sangat cepat, Vatikan mendapati
bahwa semua negara Eropa, tanpa kecuali, akan memilih mendukung deklarasi
tersebut. Termasuk Polandia, yang disukai oleh John Paul II, dan Berlusconi
dari Italia! Sekretaris negara Tarcisio Bertone, yang sekarang bertanggung
jawab atas dokumen ini, mengesampingkan Konferensi Episkopal Italia, menjadi
semakin sibuk dan menggunakan semua kontak politiknya di Palazzo Chigi dan parlemen,
tetapi masih tidak dapat mengubah sikap dan posisi pemerintah Italia.
Kedua, Vatikan juga menguji beberapa
negara yang tampaknya akan berubah, tetapi di mana-mana, di Australia, Israel
dan Jepang, pemerintahnya bersiap untuk menandatangani deklarasi yang mendukung
homosex itu. Di Amerika Latin khususnya, hampir semua negara berbahasa Spanyol
dan Portugis bergerak ke arah yang sama. Cristina Kirchner dari Argentina,
membenarkan bahwa mereka siap untuk mempublikasikan teks tersebut, dan ada juga
desas-desus bahwa Kardinal Jorge Bergoglio, yang saat itu memimpin Konferensi
Episkopal Argentina, menolak segala bentuk diskriminasi (termasuk diskriminasi
terhadap homosex.)
Vatikan muncul dengan sebuah sikap yang
canggih, dibangun di atas argumen yang keliru: "Tidak boleh ada orang yang
dihukum karena homosex atau homosex itu dikriminalisasi," kata Tahta Suci,
sambil menjelaskan bahwa teks yang ada tentang hak-hak asasi manusia sudah
'cukup.' Mengajukan sikap yang baru berarti memilih menjalani risiko, dengan
dalih memerangi ketidakadilan, tidak menciptakan 'bentuk-bentuk diskriminasi
baru.' Para diplomat Vatikan akhirnya berperang melawan ekspresi 'orientasi
seksual' dan 'identitas gender,' yang dalam pandangan mereka tidak memiliki
nilai dalam hukum internasional. Mengakui semua itu mungkin mengarah pada
legitimasi atas poligami atau pelecehan seksual. (Di sini saya mengutip istilah
yang muncul di telegram diplomatik.)
“Vatikan berani membangkitkan rasa
takut terhadap pedofilia untuk mencegah kriminalisasi terhadap homosex! Hal itu
luar biasa! Argumen itu sangat gamblang mengingat apa yang kita ketahui tentang
jumlah kasus yang melibatkan imam pedofil,” kata seorang diplomat Perancis yang
ikut serta dalam negosiasi.
Dalam menentang perpanjangan hak
asasi manusia kepada kaum homosex, Benedict XVI terhubung kembali dengan
kecurigaan lama Katolik terhadap hukum internasional. Bagi Joseph Ratzinger,
norma-norma yang dia rubah menjadi dogma pada hakikatnya bersifat ilahiah,
karena itu aturan itu dikenakan pada negara-negara karena dogma lebih tinggi
daripada mereka. Ultramontanisme ini segera tampak ketinggalan zaman. Francis,
setelah pemilihannya, akan terbukti sangat bermusuhan dengan 'klerikalisme,'
dan dia melakukan yang terbaik, menurutnya, untuk membawa Gereja kembali ke
tatanan dunia, dan melupakan gagasan usang Benediktus XVI.
Ketika strategi Ratzingerian ini
gagal, Tahta Suci mengubah metodenya. Karena tidak mungkin lagi meyakinkan
negara 'kaya' tentang sikapnya, sudah tiba saatnya untuk memobilisasi negara
'miskin.' Di Jenewa, Silvano Tomasi mencoba untuk menghalangi proses di PBB,
meningkatkan kesadaran di antara rekan-rekannya dari negara-negara Muslim,
Asia, dan terutama Afrika (yang dia ketahui dengan baik semasa menjadi pengamat
di Uni Afrika di Addis Ababa). Rekan sesama nuncio di PBB, di New York,
Celestino Migliore, yang menggantikan Renato Martino, juga melakukan hal yang
sama. Paus Benediktus, dari Roma, juga gelisah, merasa sedikit kehilangan peran.
“Garis diplomasi kami sesuai dengan
apa yang saya sebut suara nalar dan akal sehat. Kami mendukung kepentingan
universal dan bukan kepentingan khusus,” Silvano Tomasi memberi tahu saya
dengan sederhana, untuk menjelaskan oposisi Gereja Katolik terhadap deklarasi
PBB itu.
Saat itulah Vatikan melakukan
kesalahan yang, oleh banyak diplomat Barat, dianggap sebagai kesalahan
bersejarah. Dalam perang salib barunya ini, Tahta Suci menandatangani
perjanjian dengan beberapa kediktatoran atau teokrasi Muslim. Dalam dunia diplomasi,
hal ini disebut sebagai sebuah 'pembalikan aliansi.'
Vatikan dengan demikian bergabung
dengan koalisi kontingensi yang berbeda, mendekati Iran, Suriah, Mesir,
Organisasi Konferensi Islam dan bahkan Arab Saudi, yang bahkan tidak memiliki
hubungan diplomatik! Menurut sumber-sumber yang kuat, para nuncio apostolik
terlibat dalam banyak dialog dengan para kepala negara di mana mereka
dinyatakan bertentangan dalam masalah hukuman mati, kebebasan beragama dan hak
asasi manusia secara umum.
Pada 18 Desember 2008, sesuai
rencana, Argentina membela 'Deklarasi Orientasi Seksual dan Identitas Gender'
di hadapan Majelis Umum PBB. Inisiatif ini menerima dukungan dari 66 negara: semua
negara Uni Eropa menandatanganinya, tanpa kecuali, serta 6 negara Afrika, 4
negara Asia, 13 di Amerika Latin, serta Israel, Australia dan Kanada. Untuk
pertama kalinya dalam sejarah PBB, negara-negara dari semua benua berbicara
menentang pelanggaran HAM berdasarkan orientasi seksual.
“Sebuah sesi bersejarah yang sangat
mengharukan. Saya akui saya hampir menangis," kata Jean-Maurice Ripert,
duta besar Perancis di PBB yang memimpin ‘kelompok inti,’ ketika saya
mewawancarainya di Paris.
Seperti yang juga diprediksi,
deklarasi tandingan, 'Gagasan tentang Orientasi Seksual dan Identitas Gender,'
dibacakan secara paralel oleh Suriah, atas nama 59 negara lain. Teks ini
didasarkan pada pembelaan keluarga sebagai 'elemen alami dan fundamental
masyarakat,' dan mengkritik penciptaan 'hak baru' dan 'standar baru' yang
mengkhianati semangat PBB. Secara khusus, teks tersebut mengecam ungkapan
'orientasi seksual,' yang dikritik karena tidak memiliki dasar dalam hukum
internasional, dan karena itu akan membuka jalan bagi legitimasi dari 'berbagai
tindakan menyedihkan, termasuk pedofilia.' Hampir semua negara Arab mendukung
deklarasi ini, serta 31 negara Afrika, beberapa negara di Asia, dan tentu saja
Iran. Di antara para penandatangan adalah Benedict XVI.
“Vatikan bersekutu dengan Iran dan
Arab Saudi. Setidaknya bisa bersikap abstain,” kata Sergio Rovasio, presiden
asosiasi gay Certi Diritti, yang dekat dengan Partai Radikal Italia, selama
wawancara kami di Florence. Terlebih lagi, karena 68 negara 'netral' seperti
Cina, Turki, India, Afrika Selatan atau Rusia, menolak untuk mengaitkan diri
mereka dengan teks yang disajikan oleh Argentina atau kontra-deklarasi dari
Suriah. Vatikan, pada akhirnya, meniru mereka.
Ketika saya bertanya kepada nuncio
Silvano Tomasi tentang posisi Vatikan, dia menyesalkan deklarasi ini karena menandai
'awal gerakan dalam komunitas internasional dan PBB untuk mengintegrasikan
hak-hak gay dalam agenda keseluruhan hak asasi manusia.' Pernyataan itu cukup
akurat. Antara tahun 2001, tanggal penerimaan pernikahan pasangan homosex di
Belanda, dan akhir kepausan Benediktus XVI pada tahun 2013, 'momentum'
internasional telah berkembang dalam masalah gay.
Menteri Luar Negeri Amerika, Hillary
Clinton, mengatakan hal ini ketika dia mendeklarasikan kepada PBB di Jenewa,
pada bulan Desember 2011: “Beberapa orang berpendapat bahwa hak-hak gay dan hak
asasi manusia terpisah dan berbeda; tetapi, pada kenyataannya, mereka adalah satu
dan sama. (...) Hak-hak gay adalah hak asasi manusia, dan hak asasi manusia
adalah hak-hak gay.”
Para diplomat Vatikan diam-diam memperhatikan
pesan ini, yang diterima saat ini oleh sebagian besar pemerintah Amerika Barat
dan Amerika Latin: apakah Anda menerima hak asasi manusia sepenuhnya, atau
tidak sama sekali.
Namun, sampai akhir masa kepausannya,
Benediktus XVI menolak untuk menyetujuinya. Sebaliknya, dia juga akan melakukan
perlawanan terhadap pernikahan sipil dan pernikahan gay. Bahkan, sekali lagi,
paus membuatnya menjadi pertanyaan tentang prinsip. Tetapi apakah dia menyadari
bahwa pertempuran ini, seperti yang sebelumnya, dia akan kalah sebelum
berperang?
“Bagi orang seperti Benediktus XVI,
pertempuran melawan homosex selalu menjadi alasan utama hidupnya. Dia bahkan
tidak bisa membayangkan pernikahan gay dilegalkan," seorang pastor Kuria
menegaskan kepada saya.
Pada saat yang gelap ini, tidak ada
pertanyaan mundur, meski jika itu berarti kalah! Jadi dia meluncurkan dirinya
secara membabi buta, dilemparkan ke gua singa seperti orang Kristen awali, apa
pun yang terjadi!
Sejarah yang tidak rasional dan
memusingkan dari komitmen gila terhadap pernikahan gay ini adalah bab penting
dalam buku ini, karena buku ini mengungkapkan sepasukan imam homofilik dan
prelatus homoseksual tertutup yang, dari hari ke hari, akan bergerak melawan
pasukan aktivis 'gay terang-terangan’ lainnya. Perang atas pernikahan gay,
lebih dari sebelumnya, merupakan pertempuran antar kaum homosex sendiri.
Sebelum membahas panjang lebar tentang
Spanyol dan Italia dalam beberapa bab berikutnya, saya akan mulai dengan
menceritakan kisah pertempuran ini berdasarkan wawancara saya di lapangan, di
tiga negara: Peru, Portugal dan Kolombia.
Dengan janggut putih kecil, arloji
besar dan jaket suede cokelat, Carlos Bruce adalah sosok yang tidak bisa
dilewatkan dalam komunitas LGBT Amerika Latin. Saya bertemu MP ini, dua kali ketika
menjadi menteri di pemerintahan sayap kanan moderat, beberapa kali di Lima,
pada 2014 dan 2015. Dia menjelaskan kepada saya konteks yang umumnya
menguntungkan hak-hak gay di benua itu, meskipun karakteristik nasional
tertentu mungkin mengekang dinamika itu, seperti yang mereka lakukan di Peru.
Ada perbuatan gay aktif di Lima, seperti yang bisa saya amati, namun toleransi masyarakat
terus meningkat. Tetapi pengakuan akan hak-hak pasangan gay, perkawinan sipil
dan perkawinan gay harus berhadapan dengan Gereja Katolik, yang mencegah
kemajuan apa pun, terlepas dari kegagalan moral Gereja yang dibuktikan dengan
meningkatnya jumlah kasus pedofilia di kalangan klerus.
“Di sini, Kardinal Juan Luis Cipriani
benar-benar adalah homofobia. Dia berbicara tentang kaum homosex sebagai ‘barang-barang
yang telah dirusak dan dicemarkan,’ dan baginya, pernikahan gay adalah sebanding
dengan Holocaust. Namun, ketika ada seorang uskup dituduh melakukan pelecehan
seksual di wilayah Ayacucho, kardinal Luis Cipriani datang justru untuk membela
mereka!" demikian kata Carlos Bruce yang tampak jijik.
Sebagai anggota Opus Dei, kardinal
Luis Cipriani diangkat sebagai kardinal oleh John Paul II berkat dukungan aktif
sekretaris negara Vatikan, Angelo Sodano, dan seperti dia, dia telah dikritik
karena hubungannya dengan sayap kanan dan permusuhannya terhadap teologi
pembebasan. Memang benar bahwa pastor tertentu yang dekat dengan aliran
pemikiran ini telah mengangkat senjata bersama gerilyawan Maois seperti Sendero
Luminoso atau, lebih lanjut dengan kelompok Guevarist, MRTA - yang meneror para
klerus konservatif. Terlepas dari kekhasan lokal ini, kardinal Luis Cipriani
telah berhasil, seperti banyak rekan seagama lainnya, dalam melipatgandakan lingkaran:
keduanya memusuhi keras terhadap perkawinan sejenis (bahkan saat itu perkawinan
sipil masih belum ada di Peru) dan dia gagal untuk menolak imam-imam pedofil.
Selama tahun 2000-an, Kardinal Luis Cipriani
menyampaikan begitu banyak pidato anti-gay sehingga dia banyak ditentang dan
secara terbuka dipanggil untuk bertanggung jawab oleh walikota baru Lima,
Susana Villarán, meskipun Susana adalah seorang Katolik yang ‘saleh.’ Dia
begitu jengkel dengan standar ganda Kardinal Cipriani, yang menentang hak-hak
gay tetapi bersikap diam dalam hal imam-imam pedofil, sehingga Susana Villarán
mengobarkan perang terhadap kardinal. Susana Villarán muncul di acara pawai Gay
Pride dan mengolok-olok kardinal hantu itu.
“Di sinilah, perlawanan utama
terhadap hak-hak gay,” Carlos Bruce menambahkan, “adalah Gereja Katolik,
seperti halnya di mana-mana di Amerika Latin, tetapi saya pikir para homofob
itu sibuk karena kehilangan tempat berpijak. Sementara itu orang-orang lain
bersikap sangat jelas tentang perlindungan pasangan gay."
Ini adalah penilaian yang juga diberikan
oleh jurnalis Alberto Servat, seorang kritikus budaya berpengaruh yang saya
temui beberapa kali di Lima: “Skandal sex yang berulang di dalam Gereja saat ini
sangat mengejutkan opini publik. Dan Kardinal Cipriani memberi kesan bahwa dia tidak
melakukan apa pun untuk membatasi tindak pelecehan seksual itu. Salah satu pastor
yang tertuduh, sekarang menjadi ‘pengungsi’ di Vatikan ... “
Dan Carlos Bruce menyimpulkan,
membuat saran konkret yang juga berarti penolakan tegas terhadap Cipriani: “Saya
pikir Gereja harus menerima semua konsekuensi dari kegagalan moral: gereja harus
berhenti mengkritik hubungan homosex antara orang dewasa yang saling setuju,
dan mengesahkan pernikahan (sejenis); maka gereja harus meninggalkan
kebisuannya tentang pelecehan seksual dan sepenuhnya meninggalkan strategi yang
ditutup-tutupi secara umum dan terlembagakan. Akhirnya, karena ini adalah kunci
masalahnya, maka gereja harus mengakhiri selibat imamat.”
Di Portugal, di mana saya pergi dua
kali untuk penyelidikan ini, pada 2016 dan 2017, perdebatan tentang pernikahan
gay adalah kebalikan dari yang terjadi di Peru atau di seluruh Eropa, karena
hirarki Katolik disana tidak mengikuti instruksi-instruksi dari Roma. Sedangkan
di Perancis, Spanyol dan Italia, misalnya, para kardinal mengantisipasi dan
mendukung posisi Benediktus XVI, namun keuskupan Portugis, sebaliknya,
melemahkan prasangka-prasangka itu. Kardinalnya saat itu, pada tahun 2009-10,
adalah Uskup Agung Lisabon: José Policarpo.
“Policarpo adalah seorang moderat.
Dia tidak pernah melakukan apa yang diperintahkan Roma kepadanya. Dia dengan
tenang menyuarakan ketidaksetujuannya dengan hukum yang direncanakan tentang
pernikahan gay, tetapi menolak untuk membiarkan para uskup turun ke jalan,"
demikian wartawan António Marujo, seorang spesialis agama yang ikut menulis
sebuah buku dengan Policarpo, menjelaskan kepada saya.
Harus dikatakan bahwa Gereja
Portugis, yang dikompromikan di bawah kediktatoran sebelum 1974, sekarang
menjaga jarak dari kubu Katolik paling kanan. Ia tidak berusaha untuk terlibat
dalam masalah politik, dan tetap keluar dari debat parlemen. Hal ini
dikonfirmasi oleh José Manuel Pureza, wakil presiden parlemen Portugal, seorang
anggota parlemen dari blok kiri (Bloco de Esquerda) dan seorang Katolik yang
taat, yang merupakan salah satu arsitek utama undang-undang tentang perkawinan
homosex.
“Kardinal Policarpo, yang dikenal
karena mendukung demokrasi di bawah kediktatoran, memilih bentuk netralitas
dalam perkawinan. Pada tingkat prinsip dan moralitas keluarga, dia menentang
hukum yang direncanakan, tetapi dia sangat berhati-hati. Gereja memiliki sikap
moderat yang sama dalam soal aborsi dan adopsi anak oleh pasangan sejenis.” (Analisis
ini menyatukan tiga tokoh politik utama lainnya yang mendukung pernikahan gay,
dan yang saya wawancarai di Lisbon: cendekiawan Francisco Louçá; Caterina
Martins, para pembicara untuk Bloco de Esquerda; dan Ana Catarina Mendes, juru
bicara perdana menteri António Costa.)
Selama perjalanan saya di negara Katolik
kecil ini, saya dikejutkan oleh moderasi politiknya: pertanyaan-pertanyaan sosial
dibahas dengan sopan dan homosex tampaknya secara diam-diam menjadi masalah
yang tidak kontroversial lagi, bahkan di gereja-gereja. Kadang-kadang perempuan
bahkan mengambil beberapa fungsi pastor di Portugal, karena krisis panggilan, maka
wanita mengambil alih semua tugas, kecuali pemberian sakramen-sakramen. Banyak
pastor Katolik juga menikah, khususnya orang-orang Anglikan yang sudah memiliki
kedudukan yang mapan sebelum bergabung dengan Gereja Roma. Saya juga bertemu
dengan beberapa pastor dan rahib homosex, yang tampaknya cukup tenang-tenang
saja dengan situasi mereka yang tidak biasa itu, terutama di dalam biara-biara.
Paroki Santa Isabel, di jantung kota Lisbon, menyambut semua pasangan dan semua
jenis kelamin. Adapun kepala penerjemah Alkitab ke dalam bahasa Portugis,
Frederico Lourenço, dia secara terbuka menikah dengan pasangan homosexnya.
Liberalisme yang lunak ini tidak
luput dari perhatian Roma: netralitas Lisbon (ibukota Portugis) juga meliputi
masalah-masalah sosial - seperti tingkat mobilisasi yang rendah terhadap hukum
perkawinan - telah menyebabkan kekhawatiran. Roma sedang menunggu untuk
memerintah; tetapi Kardinal Policarpo memberikan alasan bagi mereka untuk
mengambil tindakan sendiri.
Setelah wawancara yang dinilai
terlalu liberal (terutama pada masalah penahbisan wanita), Policarpo dipanggil
ke Roma atas permintaan Paus Benediktus XVI, oleh sekretaris negara Tarcisio
Bertone. Di sana, menurut sumber-sumber yang menguatkan (dan penyelidikan
terperinci tentang masalah itu oleh jurnalis António Marujo di Público),
Bertone memberikan ganti rugi kepada kardinal, dan dia harus menerbitkan sebuah
komunike, yang secara publik menerima sikap moderat Policarpio. Paus berharap
untuk menyelesaikan masalah Policarpo sesegera mungkin.
Pada saat ini, orang kunci Benediktus
XVI di Portugal adalah uskup pembantu Lisbon dan wakil rektor Universitas
Katolik, Carlos Azevedo. Penyelenggara perjalanan Paus pada tahun 2010, yang
bertujuan khusus untuk mencoba menghalangi undang-undang tentang pernikahan, Carlos
Azevedo menjadi tokoh yang menonjol di Gereja Portugis. Paus Benediktus XVI
memiliki ambisi besar untuk anak didiknya ini: dia berencana untuk mengangkatnya
sebagai kardinal dan mengangkatnya lebih tinggi sebagai Patriarkh Lisbon
sebagai pengganti Policarpo yang tidak terkendali lagi ulahnya. Untuk waktu
yang lama sebagai kapelan rumah sakit, Carlos Azevedo tidak benar-benar bersikap
liberal atau sepenuhnya konservatif; dia secara intelektual dihormati oleh
semua orang, dan kebangkitannya tampaknya tidak dihalangi, begitu dia menangkap
arti dibalik pandangan mata paus.
"Uskup Carlos Azevedo adalah
suara yang sangat didengarkan, sangat dihormati," tegas mantan menteri
Guilherme d'Oliveira Martins.
Tetapi Benediktus XVI sekali lagi
melihat seorang klerus yang 'tertutup'! Kami bahkan bisa mengejek keutamaan
seorang pria yang ahli ini, terlepas dari dirinya sendiri, dalam seni
mengelilingi dirinya dengan kaum homosex yang terus memamerkan kehidupan ganda
mereka.
Desas-desus tentang homoseksualitas Carlos
Azevedo cukup marak, dan dikipasi oleh seorang uskup lain yang tertutup yang
bergosip tentang segala sesuatu, karena rasa cemburu, dalam semacam 'porno
balas dendam' gerejawi, di mana keuskupan Katolik nampaknya unggul. Rumornya
sedemikian rupa sehingga karier Azevedo mulai terganggu.
Tampaknya seperti sebuah kemurahan
hati terhadap para uskup yang memiliki kecenderungan (homosex), apakah aktif
atau tidak, para klerus yang dekat dengan Ratzinger memindahkan Carlos Azevedo
ke Roma untuk membebaskannya dari jerat di mana dia secara tidak sengaja telah
menjebak dirinya sendiri. Sebuah pos dibuat baginya, untuk menakar dirinya, dan
sebuah gelar ditemukan untuk wali gereja yang malang itu, berkat pengertian
yang luar biasa dari Kardinal Gianfranco Ravasi, yang mengetahui ‘nada yang
sedang dimainkan’: uskup yang diasingkan itu diangkat sebagai ‘delegato’ ke
Dewan Kepausan untuk Kebudayaan di Roma. Tak lama setelah pemindahan yang
sukses dan kreatif ini, mingguan utama Portugis Visão menerbitkan penyelidikan terperinci tentang homoseksualitas Carlos
Azevedo ketika dia tinggal di Porto. Untuk pertama kalinya dalam sejarah
Portugal baru-baru ini, kemungkinan homoseksualitas seorang uskup muncul di
tempat terbuka, yang cukup untuk menimbulkan skandal - dan menyebabkan
pengucilan yang pasti atas wali gereja yang malang itu. Carlos Azevedo
ditinggalkan oleh semua teman-teman Portugisnya, ditolak oleh nuncio dan
ditinggalkan nasibnya oleh Kardinal Policarpo, karena jika mendukung Azevedo
akan membawa risiko jatuh di bawah kecurigaan dari sekitarnya.
Jika memang ada, 'skandal' Azevedo,
itu bukanlah di tempat di mana orang mungkin berharap menemukannya: bukan
karena homoseksualitas yang mungkin dari seorang uskup agung, tetapi dalam tindak
pemerasan yang menjadi sasarannya, dan pengabaiannya oleh beberapa wali gereja
yang juga memiliki kecenderungan yang sama (homosex).
“Carlos Azevedo adalah korban
pemerasan atau balas dendam. Tetapi dia tidak dibela oleh keuskupan seperti
yang mungkin dibayangkan orang," demikian konfirmasi Jorge Wemans, pendiri
surat kabar harian Público.
Saya telah mewawancarai uskup agung
Portugis di Roma beberapa kali, dan dia memberi tahu saya tentang hidupnya,
kesalahannya, dan pengasingannya yang tidak bahagia. Dia sekarang menghabiskan
hari-harinya di Dewan Kepausan untuk Kebudayaan dan sore hari di perpustakaan
Vatikan, meneliti para tokoh agama Portugis abad pertengahan. Dia adalah
seorang moderat, toleran, dan ahli dalam ekumenisme: dia adalah seorang
intelektual - tidak banyak orang seperti dia di Vatikan.
Menulis baris-baris ini, saya
memikirkan uskup cerdas ini yang kariernya telah hancur. Dia tidak bisa membela
diri. Dia tidak bisa memohon bantuan bagi kasusnya di hadapan nuncio Italia
yang berkuasa di Lisbon, seorang konservatif yang berpikiran estetis kaku, yang
kemunafikannya tentang kasus ini diketahui orang banyak. Dengan sangat
bermartabat, Carlos Azevedo tidak pernah berbicara di depan umum tentang
tragedi yang dideritanya, menjadikannya semakin pedih karena dia, katanya
kepada saya, adalah 'direktur spiritual' pria yang dimaksud. "Anak
laki-laki itu adalah orang dewasa," tambahnya, "dan tidak pernah terjadi
tindakan pelecehan seksual."
Singkatnya, bukankah Gereja Roma harus
membela uskup ini, yang menjadi korban? Dan pada akhirnya, jika masih ada
moralitas di dalam gereja paus Francis, seharusnya Carlos Azevedo tidak menjadi
Patriarkh Lisbon dan seorang kardinal, karena sebagian besar pastor dan
jurnalis Katolik yang saya temui di Portugal percaya bahwa dia seharusnya berada
di sebuah negara di mana pernikahan gay diadopsi sekali dan untuk semua pada
tahun 2010?
Contoh ketiga dari pertempuran
melawan pernikahan gay adalah Kolombia. Kita sudah akrab dengan negara ini
melalui sosok Kardinal Alfonso López Trujillo. Di Bogotá, obsesi anti-gay dari Gereja
Katolik tidak luntur dengan kematian kardinal homosexnya yang paling homofobik,
yang menyebabkan perselisihan yang tak terduga dan membuat Paus Francis berada dalam
kesulitan.
Kami berada di tahun 2015-16. Pada
titik ini Vatikan berada di tengah-tengah tarian diplomatik berskala besar yang
berusaha mengakhiri konflik bersenjata dengan gerilyawan FARC, yang telah
berlangsung selama lebih dari lima puluh tahun. Tujuh juta orang terlantar, dan
setidaknya 250.000 terbunuh selama apa yang harus kita sebut sebagai perang
saudara.
Bersama dengan Venezuela dan
Norwegia, Vatikan terlibat dalam negosiasi damai Kolombia yang berlangsung lama
di Kuba. Perwakilan FARC ditampung di seminari Yesuit. Kardinal Ortega di
Havana dan keuskupan Kuba, para nuncio yang menjabat di Kolombia, Venezuela,
dan Kuba, serta para diplomat Sekretariat Negara, ikut serta dalam negosiasi
antara pemerintah dan gerilyawan. Paus Francis aktif di belakang layar dan
menerima para peserta utama dalam proses perdamaian, yang ditandatangani di
Cartagena, pada September 2016.
Namun, beberapa hari kemudian,
referendum rakyat untuk mengkonfirmasi perjanjian damai ditolak. Dan diketahui
bahwa keuskupan Kolombia, dengan para kardinal dan uskup yang memimpin mereka,
telah berunjuk rasa ke kubu yang menolak kepada mantan presiden Uribe, seorang
ultra-Katolik dan anti-komunis yang ganas, yang berkampanye dengan slogan: “Kami
menginginkan kedamaian, tetapi bukan kedamaian seperti ini.”
Alasan penolakan oleh pihak berwenang
Katolik tidak ada hubungannya dengan proses perdamaian, dimana mereka telah
tergelincir: bagi mereka, yang penting adalah untuk menolak pernikahan gay dan
aborsi. Kenyataannya, karena mahkamah agung Kolombia telah mengesahkan
perkawinan sejenis dan adopsi anak oleh pasangan sejenis, Gereja Katolik
mengklaim bahwa referendum mengenai proses perdamaian, jika hal itu
menguntungkan bagi kekuatan-kekuatan yang ada saat ini, akan secara sah
melegitimasi kebijakan itu. Karena oportunisme pemilihan yang murni, Gereja
karenanya menyabotase referendum itu untuk mempertahankan posisi
konservatifnya.
Seperti buah pada kue, Menteri
Pendidikan Kolombia, Gina Parody, secara terbuka mengakui bahwa dirinya adalah lesbian,
dan pada saat yang sama dia menyarankan memperkenalkan kebijakan anti-diskriminatif
berkaitan dengan orang-orang LGBT di sekolah-sekolah. Pengumuman ini
ditafsirkan oleh Gereja Kolombia sebagai upaya untuk memperkenalkan 'teori gender'
ke dalam kelas. Jika referendum perdamaian diterima, pembelaan terhadap homosex
juga akan demikian, dan para perwakilan pada dasarnya mengatakan untuk menyerukan
abstain atau bersuara 'menolak.'
“Gereja Kolombia selalu bersekutu
dengan kekuatan-kekuatan paling gelap di negara ini, khususnya dengan paramiliter.
Hal ini sudah terjadi sejak zaman Kardinal Alfonso López Trujillo dan itu tetap
berlaku sampai sekarang. Pernikahan gay dan teori gender hanyalah dalih semata.
Mereka menyerukan untuk bersuara ‘tidak’ karena baik paramiliter maupun Gereja
Kolombia tidak benar-benar ingin berkontribusi pada perdamaian. Dan mereka
melangkah lebih jauh dengan mengingkari paus karena alasan itu,” demikian kata seorang
imam Yesuit yang saya temui di tengah keributan di Bogotá.
Pembicaraan-ganda dan permainan ganda
yang mencapai tingkat yang sangat buruk di negara-negara Eropa yang penting -
Spanyol dan Italia – ke tempat mana sekarang kita akan mengalihkan perhatian
kita.
No comments:
Post a Comment