DI DALAM LEMARI VATIKAN
Frếdếric Martel
KEKUASAAN
HOMOSEXUALITAS
KEMUNAFIKAN
DAFTAR ISI
CATATAN DARI
PENULIS DAN PENERBIT
|
|
|
|
Bab 1. Domus Sanctae Marthae
|
|
Bab 2. Teori Gender
|
|
Bab 3. Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?
|
|
Bab 4. Buenos Aires
|
|
Bab 5. Sinode
|
|
Bab 6. Roma Termini
|
|
BAGIAN II - PAULUS
|
Bab 7. Kode Maritain
|
Bab 8. Persahabatan
Yang Penuh Cinta
|
|
BAGIAN III – YOHANES PAULUS
|
Bab 9. Kolese Suci
|
Bab 10. Legiun
Kristus
|
|
Bab 11. Lingkaran
Nafsu
|
|
Bab 12. Garda Swiss
|
|
Bab 13. Perang Salib
Melawan Gay
|
|
Bab 14. Diplomasi
Paus
|
|
Bab 15. Rumah Tangga
Aneh
|
|
Bab 16. Rouco
|
|
Bab 17. CEI (Konferensi Episkopal Italia)
|
|
Bab 18. Seminaris
|
BAGIAN III
Yohanes Paulus
Bab 18
Seminaris
Selama beberapa bulan, Daniele,
pembantu saya dalam penulisan buku ini, telah menyelidiki berbagai seminari dan
universitas di Roma. Bersama-sama, kami berusaha selama bertahun-tahun untuk
mengidentifikasi para 'informan' yang sekiranya bisa membantu kami dengan memberi
informasi tentang setiap seminari ‘utama' di Roma. Kami sekarang memiliki
kontak (orang-orang) di sekitar dua belas lembaga pendidikan di bawah kepausan
ini: di Universitas Dominika St. Thomas Aquinas (disebut juga Angelicum), di
Universitas Urbaniana, Universitas Lateran, PNAC (perguruan tinggi Amerika),
Universitas Gregorian (Jesuit), Perguruan Tinggi Ethiopia, seminari Perancis
dan Germanicum, Universitas Kepausan St. Anselmus (Benediktin), Universitas
Salib Suci (Opus Dei), dan bahkan di Pontifical Athenaeum Regina Apostolorum
dari Legiun Kristus.
Berkat para ‘perwakilan’ ini, kami
dapat mendekati lebih dari lima puluh orang seminaris gay di Roma dan, secara menyebar,
ada lusinan lagi informan di beberapa negara lain, terutama Perancis, Spanyol,
Swiss, dan Amerika Latin. Dengan cara ini, saya dapat menyelidiki 'masalah'
homoseksual di jantung Gereja: di almamater para imam.
Dua informan seminaris saya, yang
pertama diperkenalkan kepada saya di Roma oleh Mauro Angelozzi, salah satu
direktur asosiasi LGBT Mario Mieli.
Kami bertemu secara rahasia, di markas pusat budaya ini. Saya kemudian melihat
para seminaris lainnya lagi dan, terima kasih kepada mereka, dapat memperluas
jaringan awal saya. Dan ketika saya menghabiskan sebuah malam dengan Mauro,
yang mengorganisir pesta-pesta gay terkenal yang dikenal sebagai Muccassassina ('The Murderous Cow')
setiap Jumat malam di Roma, dia memperkenalkan saya kepada salah satu rekannya,
yang bekerja dengannya dalam mengatur Muccassassina.
Saat itulah Mauro memberi tahu saya, sambil menyelesaikan perkenalan, "Dia
juga seorang seminaris!"
"Saya sudah berubah,
bukan?"
Bocah yang mengatakan hal ini kepada
saya adalah pelayan di salah satu restoran favorit saya di Roma, Trattoria
Monti, dekat Gereja Santa Maria Maggiore.
"Kamu tahu, saya tidak semuda
dulu!" tambah si pelayan, yang berpose dalam kalender terkenal yang
bergambar para seminaris tampan.
Selama beberapa bulan, pada
kenyataannya, saya tertarik dengan kalender ini, yang dijual di jalan-jalan di Roma
dan bahkan di gerbang Vatikan. Harganya: 10 euro. Setiap tahun, 12 seminaris
dan pastor muda difoto. Gambar hitam-putih, tentang pria muda tampan berkerah
anjing, tentu saja memikat hati, dan beberapa dari klerus muda ini berpose sangat
seksi sehingga orang mungkin mengatakan bahwa Gereja telah mengumpulkan barisan
orang-orang yang layak untuk para pemeran film. Beberapa kardinal, katanya,
tidak pernah lupa membeli kalender itu setiap tahun; tetapi bagi saya, saya
belum pernah melihat kalender itu tergantung di satu kantor di Vatikan.
Saat itulah saya menemukan kebenaran.
Pelayan di depan saya memang berpose di Calendario Romano yang terkenal. Dia
tidak diragukan lagi adalah gay. Tetapi dia tidak pernah menjadi seorang
seminaris!
Sebuah mimpi hancur. Robert Mickens,
seorang ahli Vatikan yang telah memeriksa kalender misterius ini dan dengan
siapa saya makan malam di Trattoria Monti, menegaskan trik yang kejam ini. Kenyataannya,
kalender itu adalah palsu. Betapapun ‘panasnya’ pose mereka, para pemuda yang
berpose di depan lensa fotografer Venesia, Piero Pazzi, bukanlah seminaris atau
imam muda, tetapi itu adalah model yang dipilih oleh perusahaan ramah-gay yang bermain
melalui ide bisnis kecil ini. Dan hal itu berhasil! Edisi baru telah
diterbitkan setiap tahun sejak 2003, seringkali dengan foto yang sama. Perusahaan
itu diduga telah menjual 100.000 kopi setiap tahun (menurut penerbit;
angka-angka itu tidak mungkin untuk diperiksa).
Salah satu model itu adalah seorang manajer
bar gay; yang lain adalah pelayan yang saya ajak bicara, yang menambahkan: “Tidak,
saya bukan seorang seminaris. Saya belum pernah jadi seminaris. Saya berpose
lama sekali saat itu. Saya dibayar untuk itu."
Dia, setidaknya, tidak pernah
bermimpi menjadi seorang imam. Gereja, katanya menegaskan sambil tertawa
‘terlalu homofobik bagi saya.’
Ternyata ini adalah jejak yang keliru
bagi saya. Untuk menyelidiki para seminaris gay di Roma, kami harus mencari
cara lain.
Pada tahun 2005, Paus Benediktus XVI
menyetujui sebuah instruksi penting, yang diterbitkan oleh Kongregasi untuk
Pendidikan Katolik, yang meminta agar tidak ada lagi calon seminaris dengan
'kecenderungan homoseksual yang mendalam' untuk ditahbiskan. Teks itu
dikonfirmasikan pada tahun 2016 oleh Kongregasi Klerus: untuk bisa ditahbiskan menjadi
imam, yang pertama-tama seseorang harus menertibkan kehidupan emosionalnya
sendiri!
Gereja dengan demikian menekankan
kembali kewajiban untuk tidak melakukan hubungan seksual, dan menetapkan bahwa
akses kepada kehidupan imamat dilarang bagi ‘mereka yang mempraktikkan
homoseksualitas, menunjukkan kecenderungan homoseksual yang mendalam, atau
mempertahankan apa yang disebut budaya gay.’ Dengan sangat hati-hati, dokumen
itu menambahkan 'pengecualian' untuk orang-orang dengan 'kecenderungan homosex yang
merupakan ekspresi dari masalah sementara seperti misalnya, dari masa remaja,
yang belum terselesaikan.' Akhirnya, dokumen itu mengingatkan kita bahwa akan 'sangat
tidak bijaksana’ untuk menerima seseorang kedalam seminari 'jika dia belum
mencapai kondisi emosi yang matang, mapan dan bebas, suci dan setia kepada
kehidupan selibat.'
Terinspirasi dan disetujui oleh
Benediktus XVI, teks dari 2005 ini ditulis oleh kardinal Polandia, Zenon
Grocholewski, prefek Kongregasi untuk Pendidikan Katolik. Lebih lanjut dia menegaskan
dalam sebuah catatan kepada para uskup di seluruh dunia (yang telah berhasil
saya dapatkan) bahwa aturan itu terbatas pada para imam di masa depan: “Instruksi
itu tidak mempertanyakan validitas penahbisan dan situasi para imam yang sudah
ditahbiskan dan yang memiliki kecenderungan homoseksual.”
Kardinal Zenon Grocholewski tahu masalah
ini dengan sangat baik - dan bukan hanya karena dia menyandang nama pertama
pahlawan biseksual The Abyss oleh
Marguerite Yourcenar. Teman-temannya memperingatkannya bahwa mempertanyakan
penahbisan imam homoseksual akan menyebabkan pertumpahan darah sehingga Gereja
mungkin tidak akan pernah pulih: hampir tidak ada kardinal yang tersisa di
Roma, tidak ada di Kuria dan mungkin bahkan tidak juga seorang paus! Mantan
anggota parlemen Italia dan aktivis gay Franco Grillini sering mengulangi:
"Jika semua gay di Gereja Katolik diminta pergi sekaligus - sesuatu yang
sangat kami sukai – hal itu akan menyebabkan masalah operasional yang
serius."
Di Vatikan, kardinal Polandia ini
menaruh minat besar pada kehidupan seks para imam dan uskup, karena
kecenderungan pribadi dan obsesi profesional. Menurut dua sumber, termasuk
seorang pastor yang bekerja dengannya, kardinal Grocholewski bahkan seharusnya
mengumpulkan file tentang kecenderungan beberapa kardinal dan uskup. Salah
satunya adalah seorang uskup dari lingkaran korupsi terkenal di sekitar John
Paul II, tempat dimana penyelewengan keuangan dan prostitusi berjalan bersama
seperti seorang pelatih kuda dengan kudanya,
sambil terus menunggu topi kardinal bertengger di kepalanya!
Selain dari pedoman yang dikeluarkan
oleh Kardinal Ratzinger, ketika situasi memburuk, kardinal Grocholewski diminta
untuk merumuskan instruksi yang dirancang untuk mengusir kejahatan.
Homoseksualitas benar-benar tak terkendali di dalam seminari. Di seluruh dunia,
skandal demi skandal, pencabulan demi pencabulan, terus terjadi. Tetapi kebejatan
ini tidak ada bandingannya dengan kenyataan lain yang masih lebih mendesak:
file-file yang muncul dari berbagai kedubes Vatikan dan keuskupan agung telah bersaksi
tentang normalisasi homoseksualitas secara de facto. Para seminaris hidup
hampir secara normal sebagai pasangan, banyak pertemuan pro-LGBT diadakan di lembaga-lembaga
Katolik, dan pergi pada malam hari ke bar-bar gay di kota itu, jika bukan
‘berpraktek gay,’ maka setidaknya ada kemungkinan untuk hal itu.
Pada tahun 2005, ketika dia menulis
surat edarannya, kardinal Grocholewski menerima permintaan bantuan dari Amerika
Serikat untuk berurusan dengan homoseksualisasi di seminari-seminari. Beberapa
dikatakan ‘hampir spesialis dalam perekrutan homoseksual.’ Hal yang sama juga berlaku
di Austria, di mana seminari Sankt-Polten telah menjadi model genre: foto-foto
yang ditampilkan dalam pers menunjukkan direktur lembaga Katolik itu, serta
wakil direkturnya, menciumi siswa-siswa seminaris (sejak itu seminari itu ditutup).
"Itu adalah sebuah skandal sangat
besar di Vatikan," konfirmasi mantan pastor Francesco Lepore. Foto-foto
itu sangat mengejutkan. Tapi itu adalah kasus yang ekstrem, paling tidak biasa.
Fakta bahwa direktur seminari itu sendiri terlibat dalam kelakuan buruk ini,
setahu saya, adalah unik. Di sisi lain, fakta bahwa seminari-seminari memiliki
mayoritas besar kaum gay muda telah menjadi sangat biasa: mereka menjalani homoseksualitas
sebagai hal yang sangat normal, dan mereka pergi secara diam-diam ke klub-klub
gay tanpa terlalu banyak kesulitan.
Dengan berbagai skandal semacam ini,
keuskupan Amerika memerintahkan pemeriksaan 56 orang seminaris. Tugas itu
dipercayakan kepada uskup agung angkatan bersenjata, Edwin O'Brien dari Amerika.
Itu adalah pilihan yang tampaknya aneh bagi sebagian orang; karena uskup agung O'Brien
nantinya teridentifikasi sebagai bagian dari 'arus homoseksual' di dalam
kesaksian Mgr. Viganò ‘Testimonianza.'
Kasus simptomatik lain yang diketahui
dengan baik oleh kardinal Grocholewski adalah seminari-seminari di negara
kelahirannya: yang menyangkut Uskup Agung Poznan, dulu bernama Juliusz Paetz, yang
dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap para seminaris. Dia menyangkalnya
tetapi dia harus mengundurkan diri dari jabatannya. Kita juga mengutip adanya berbagai
urusan 'perilaku tidak tertib,' yang banyak dibicarakan di seminari-seminari
Yesuit di Jerman, Dominikan di Perancis, Benediktin di Italia dan Inggris ... Adapun
di Brazil, ada ratusan seminaris, pastor, dan bahkan uskup difilmkan sedang mengobrol
dengan seorang model top di webcam mereka, dan bahkan melakukan masturbasi di
depan kamera (yang akan menjadi film dokumenter terkenal Amores Santos, yang disutradarai oleh Dener Giovanini).
Semua skandal ini - dan banyak skandal
lain yang kurang terkenal, dimana Gereja menyatakan tidak berdaya untuk menanganinya
- membuat Vatikan mengambil berbagai langkah. Menurut para kardinal yang saya
wawancarai, tidak ada yang percaya pada kemanjuran langkah-langkah Vatikan ini,
karena tiga alasan. Yang pertama adalah bahwa Gereja pasti akan kehilangan hidup
panggilan, dimana pada saat itu Gereja sangat membutuhkan mereka, sedangkan
‘pasar’ homoseksualitas telah memasok basis rekrutmen selama beberapa dekade. Kita
dapat berspekulasi bahwa krisis panggilan di Eropa berhubungan dengan fenomena
ini: pembersihan terhadap gay hampir tidak bisa mendorong homoseksual untuk
menjadi imam, terutama ketika mereka merasa semakin ditolak oleh Gereja yang
telah menjadi homofobik sampai pada titik tertinggi.
Alasan kedua adalah bahwa
tindakan-tindakan tersebut memaksa para seminaris homoseksual yang telah
tinggal di lembaga-lembaga religius untuk menyembunyikan lebih banyak lagi:
mereka akan menjalani kehidupan ganda yang 'lebih tertutup' daripada
sebelumnya. Efek psikologis dari penindasan dan homofobia yang terinternalisasi
di seminari jelas menyebabkan kebingungan besar, yang dapat menyebabkan
kegelisahan eksistensial yang serius, bunuh diri dan penyimpangan perilaku di
masa depan. Maka surat edaran kardinal Grocholewski hanya membuat masalahnya menjadi
semakin buruk, bukan mengatasinya.
Alasan ketiga adalah alasan hukum:
melarang masuk ke seminari dengan alasan orientasi seksual seorang kandidat
telah dituduh bertindak diskriminatif. Tentu saja, diskriminasi semacam itu adalah
ilegal di banyak negara. Paus Francis mengatakan berikut ini pada bulan
Desember 2018, "Homoseksualitas di antara para klerus adalah masalah yang
sangat serius yang harus menjadi subjek penegasan di antara calon imam atau
kehidupan religius." Namun dia juga bersikeras: “Homoseksualitas adalah
kenyataan yang tidak mungkin disangkal. Inilah yang membuat saya sangat
khawatir.” Karena inilah paus Francis sangat dikritik.
Salah satu orang yang mengilhami teks
ini layak disebutkan di sini: dia adalah pastor psikoanalis Perancis, Tony
Anatrella, seorang penasihat dewan kepausan tentang keluarga dan kesehatan.
Seorang ahli teori yang dekat dengan Kardinal Ratzinger dan yang pengaruhnya di
Roma sangat penting pada saat itu, Tony Anatrella menyatakan pada tahun 2005: “Kita
harus membebaskan diri kita dari keyakinan bahwa sejauh seorang homoseksual
menghormati komitmennya untuk terus hidup dalam kesucian maka dia tidak akan
menimbulkan masalah, dan karena itu dapat ditahbiskan sebagai pastor.” Namun
Tony Anatrella juga berpendapat dengan bersikeras bahwa tidak hanya orang yang mempraktikkan
homoseksual yang harus disingkirkan, tetapi juga mereka yang memiliki
kecenderungan atau tendensi homosexual, meskipun belum bertindak melakukannya,
mereka juga perlu disingkirkan.”
Beberapa sumber mengindikasikan bahwa
Mgr. Tony Anatrella tidak hanya terinspirasi olehnya, tetapi juga terlibat
dalam penulisan surat edaran kardinal Grocholewski: Grocholewski dikatakan
telah berkonsultasi dengannya dan bertemu dengannya beberapa kali. Menurut para
pembantunya, kardinal Grocholewski terkesan dengan argumen pastor-psikoanalisis
ini (Tony Anatrella), dan penolakannya
pada 'tujuan narsis' dari para imam gay dan obsesi mereka dengan 'rayuan.'
Paus Benediktus XVI, yang akhirnya diyakinkan oleh analisis kesucian Anatrella,
dikatakan telah memberi tepuk tangan kepadanya, menjadikannya model yang harus
diikuti dan seorang intelektual Katolik yang harus didengarkan. Apa yang
sebenarnya diinginkan Mgr. Tony Anatrella? Dia telah menarik banyak perhatian
di Perancis.
Saya harus kembali sebentar kepada
pemikir ini. Seorang poster-boy untuk para demonstran yang menentang pernikahan
gay dan seorang kolega dekat Kardinal Ratzinger, Tony Anatrella ditunjuk
sebagai konsultan Vatikan untuk dewan kepausan yang bertanggung jawab atas
keluarga dan kesehatan. Berkat pengakuan dari Roma ini, dia kemudian menjadi
suara setengah-resmi dari Gereja tentang masalah gay, bahkan ketika dia semakin
menjadi seorang fundamentalis.
Sejak pertengahan 2000-an, Tony Anatrella
diberi tugas oleh Konferensi Waligereja Perancis untuk merancang dokumen
kebijakan mereka dalam menentang pernikahan gay. Catatan dan artikelnya dan,
segera, bukunya, menjadi semakin keras, tidak hanya menentang pernikahan gay,
tetapi juga lebih luas terhadap kaum homoseksual. Dengan segenap kekuatannya,
dan di setiap panggung media, imam-terapis ini bahkan menolak 'pengakuan hukum bagi
homoseksualitas' (meskipun homosex telah didekriminalisasi – dianggap sebagai
bukan kesalahan -- di Perancis sejak Napoleon). Dia mengecam homoseksualisasi
seminari dan karenanya menuntut agar individu dengan kecenderungan homoseksual
dikeluarkan dari seminari. Dengan halus, Tony Anatrella juga menunjuk dirinya
sendiri sebagai juru bicara 'terapi penyembuhan' yang dalam pandangannya
memberi para homoseksual solusi untuk berhenti menjadi homosex.
Karena pastor itu juga seorang
psikoanalis - walaupun dia tidak termasuk dalam asosiasi psikoanalitik mana pun
- dia menawarkan kursus sesi 'konversi' kepada para pasiennya, terutama pria,
dalam konsultasi spesialis. Di sana dia menerima ‘pasien’ para seminaris muda
yang dipenuhi dengan keraguan, dan anak-anak lelaki dari keluarga Katolik kelas
menengah yang memiliki masalah dengan identitas seksual mereka. Namun, Dr. Tony
Anatrella menyembunyikan niatnya, seperti yang kita pahami dari fakta bahwa untuk
memperbaiki 'kejahatan' ini, pasiennya harus menanggalkan pakaian dan dimasturbasi
olehnya! Penipu ini telah bekerja selama bertahun-tahun sampai tiga pasiennya
memutuskan untuk mengajukan keluhan terhadapnya karena agresi seksual dan
penganiayaan berulang. Skandal ini menjadi internasional, terutama ketika Tony Anatrella
dekat dengan Roma, dengan paus John Paul II dan Benedict XVI. (Mgr. Anatrella
telah membantah tuduhan-tuduhan ini. Sekalipun kasus itu akhirnya dibatalkan
karena batas periode pengaduan menurut undang-undang telah terlewati, namun tetap
saja fakta-fakta itu terbukti: Mgr. Anatrella ditangguhkan dari tugasnya dan
sebuah pengadilan kanonik diluncurkan oleh kardinal Paris. Pada bulan Juli
2018, pada akhir persidangan agama, imam itu dikenai sanksi dan ditangguhkan
sekali dan untuk selamanya dari semua praktik imamat secara publik oleh uskup
agung baru Paris, Mgr. Aupetit.)
Ydier dan Axel adalah dua seminaris
yang saya temui di pusat kebudayaan Mario Mieli (nama mereka telah diubah).
“Ada sekitar dua puluh orang seperti kami
di seminari saya. Tujuh orang jelas gay. Sekitar enam lainnya memiliki
kecenderungan gay. Hal itu sesuai dengan persentase yang biasa: antara 60 dan
70 persen dari para seminaris adalah gay. Terkadang saya pikir itu sebanyak 75
persen,” kata Axel memberi tahu saya.
Pria muda itu ingin bergabung dengan
Rota, salah satu dari tiga pengadilan di Tahta Suci dan menjadi alasan awal mengapa
dia masuk seminari. Sedangkan Ydier, dia ingin menjadi seorang guru. Dia
mengenakan salib putih di kemejanya, dan memiliki rambut pirang yang mempesona.
Saya menyebutkan ini.
“Blonde atau pirang palsu! Itu palsu!
Saya memiliki rambut asli cokelat," katanya kepada saya.
Sang seminaris melanjutkan: “Suasana
di seminari saya juga sangat homoseksual. Namun ada nuansa penting. Ada siswa-siswa
yang benar-benar menjalani homoseksualitas mereka; siswa-siswa yang lain,
tidak, atau belum. Ada para homosex yang ‘benar-benar suci,’ ada juga heterosex
yang berlatih homosex karena kekurangan perempuan, sekedar cari pengganti, bisa
dikatakan begitu. Dan ada orang lain yang hanya menjalani hidup homosex secara diam-diam.
Suasana yang sangat unik."
Kedua seminaris itu kurang lebih
memiliki analisis yang sama: dalam pandangan mereka, aturan selibat dan prospek
hidup bersama teman sejenis mendorong para pemuda yang ragu-ragu tentang
kecenderungan sexual mereka, untuk bergabung dengan lembaga-lembaga resmi Katolik.
Mereka jauh dari desa mereka untuk pertama kalinya, tanpa keluarga mereka, dan
dalam konteks yang sangat maskulin dan sangat homoseksual, maka mereka mulai
memahami keunikan mereka. Seringkali, tata cara - bahkan yang lebih tua - masih
‘perjaka’ ketika mereka sampai di seminari: dan dalam kontak dengan anak
laki-laki lain, kecenderungan mereka terungkap atau menjadi fokus. Kemudian
seminari-seminari menjadi konteks bagi para imam masa depan untuk 'muncul' dan
memiliki pengalaman pertama mereka. Itu adalah ritus peralihan atau perubahan
cara kehidupan yang nyata.
Kisah mantan seminaris Amerika,
Robert Mickens, meringkas jalan yang ditempuh oleh banyak orang.
“Apa solusinya ketika Anda mengetahui
bahwa Anda memiliki ‘kepekaan’ yang berbeda di kota Amerika seperti Toledo,
Ohio, dari mana saya berasal? Apa saja pilihannya? Bagi saya, masuk ke seminari
adalah cara berurusan dengan homoseksualitas saya. Saya bertentangan dengan
diri saya sendiri. Saya tidak ingin menghadapi pertanyaan itu di Amerika
Serikat. Saya berangkat ke Roma pada tahun 1986, dan saya belajar di Pontifical
North American College. Selama tahun ketiga saya di seminari, ketika saya
berusia 25 tahun, saya jatuh cinta pada seorang anak lelaki.” (Dengan
pilihannya sendiri, Robert Michens tidak pernah ditahbiskan sebagai seorang
imam: dia menjadi jurnalis di Radio Vatikan, di mana dia tinggal selama 11
tahun, dan kemudian bekerja di media The
Tablet, dan dia sekarang adalah pemimpin redaksi La Croix International. Dia tinggal di Roma, di mana saya bertemu
dengannya beberapa kali.)
Seorang seminaris lain, seorang
Portugis yang saya temui di Lisbon, menceritakan sebuah kisah yang sangat mirip
dengan kisah Robert Mickens. Dia memiliki keberanian untuk bertanya kepada orang
tuanya. Ibunya menjawab: “Setidaknya kami akan memiliki seorang imam di dalam
keluarga.” (Kemudian dia bergabung dengan seminari.)
Contoh lain: Lafcadio, seorang pastor
Amerika Latin sekitar tiga puluh tahun, yang kini mengajar di seminari Romawi
(namanya telah diubah). Saya bertemu dengannya di restoran Propaganda setelah
dia menjadi kekasih salah satu penerjemah saya. Tidak lagi dapat menyembunyikan
homoseksualitasnya, dia memilih untuk berbicara dengan saya secara jujur, dan
kami telah bertemu lagi untuk makan malam hingga lima kali selama penyelidikan untuk
buku ini.
Seperti Ydier, Axel, dan Robert,
Lafcadio, yang menghubungkan jalur kariernya dengan homoseksualitasnya. Setelah
masa remaja yang sulit di kedalaman Amerika Latin, tetapi tanpa keraguan awal
tentang seksualitasnya, dia memilih untuk bergabung dengan seminari 'karena
panggilan yang tulus', katanya kepada saya, meskipun kemalasan emosional dan
perasaan tak karuan - penyebab yang dia tidak tahu pada saat itu - mungkin
berperan dalam keputusannya. Lambat laun, dia berhasil memberikan sebuah nama
ke dalam perasaannya yang tidak enak: homoseksualitas. Dan kemudian, tiba-tiba,
dalam sebuah acara kebetulan: di bus, ada seorang anak laki-laki meletakkan
tangannya di pahanya. Lafcadio memberi tahu saya: “Tiba-tiba saya serasa membeku.
Saya tidak tahu harus berbuat apa. Begitu bus berhenti, saya melarikan diri.
Tapi malam itu saya terobsesi oleh sikap sepele itu. Saya memikirkannya
terus-menerus. Tampaknya sangat bagus, dan saya berharap peristiwa itu akan
terjadi lagi."
Secara perlahan dia menemukan dan
menerima homoseksualitasnya, dan pergi ke Italia, ‘karena seminari-seminari
Roma 'tradisional,' katanya kepada saya, adalah 'tempat anak-anak sensitif dari
Amerika Latin dikirim.' Di ibukota (Roma), dia mulai menjalani ‘kehidupan yang
terkotak‘ dengan baik, tanpa pernah membiarkan dirinya menghabiskan malam jauh
dari seminari tempat dia tinggal, dan di mana dia sekarang memiliki tanggung
jawab penting.
Bersama saya, dia adalah seorang 'gay
yang terbuka,' dan dia berbicara tentang obsesinya sebagai hasrat seksual yang
kuat. "Saya sering terangsang," katanya. "Begitu banyak malam
dihabiskan di tempat tidur acak-acakan - dan masih berjanji untuk kembali ke
seminari, sebelum jam malam, bahkan ketika ada begitu banyak hal yang harus
dilakukan!"
Dalam menerima homoseksualitasnya,
Lafcadio juga mulai memandang Gereja dengan cara lain.
“Sejak itu, saya menjadi lebih baik
dalam mengartikan berbagai hal atau kejadian. Kadang-kadang saya menemukan
monsignori, uskup agung, dan kardinal yang lewat dekat sekali di depan saya, di
Vatikan. Sebelumnya, saya tidak tahu apa yang mereka inginkan dari saya. Dan
sekarang saya sudah tahu maksud mereka!” (Lafcadio menjadi salah satu informan
saya yang berharga karena, muda dan tampan, dengan koneksi dekat di dalam Kuria
Roma, dia menjadi sasaran permintaan emosional yang berkelanjutan dan godaan
berulang dari beberapa kardinal, uskup, dan bahkan dari seorang 'ratu liturgi'
dalam rombongan paus yang ngotot berusaha ‘bertemu’ dengan dia, katanya
menjelaskan kepada saya.)
Seperti sejumlah seminaris yang telah
saya wawancarai, Lafcadio menjelaskan kepada saya fenomena lain yang sangat
tersebar luas di lingkungan Gereja, sedemikian rupa sehingga memiliki nama: crimen sollicitationis (permintaan di dalam
pengakuan dosa). Dalam mengakukan homoseksualitas mereka kepada imam atau
direktur spiritual mereka, para seminaris itu membiarkan diri mereka terbuka
untuk diperlakukan apa pun.
“Sejumlah imam tempat saya mengaku
dosa, dimana saya menyampaikan masalah sexualitas saya atau ketertarikan saya,
telah bertindak ‘lebih jauh’ terhadap saya,” katanya kepada saya.
Seringkali permintaan ini tidak
membuahkan hasil, dan di lain waktu mereka menerima persetujuan dan mengarah ke
suatu hubungan; terkadang dari sini pasangan yang menetap terbentuk. Di lain
waktu, pengakuan-pengakuan dosa ini - meskipun ini adalah sakramen – akan mengarah
pada berbagai tindakan sentuhan, pelecehan, pemerasan atau agresi seksual. Ketika
seorang seminaris mengaku memiliki ketertarikan atau kecenderungan, dia
mengambil risiko. Dalam beberapa kasus, pemuda itu dikecam oleh atasannya,
seperti yang dialami oleh mantan imam, Francesco Lepore, di Universitas
Kepausan Salib Suci.
“Dalam suatu pengakuan dosa, saya
menyebutkan konflik internal saya kepada salah seorang pastor Opus Dei. Saya bersikap
terbuka dan sedikit naif. Yang saya tidak tahu adalah kenyataan bahwa dia akan
mengkhianati saya dan memberi tahu semua orang di sekitarnya."
Para seminaris lain telah
terperangkap sedemikian rupa hingga pengakuan dosa mereka digunakan untuk menyingkirkan
mereka dari seminari; sesuatu yang benar-benar ilegal di bawah hukum kanon,
karena rahasia pengakuan dosa adalah mutlak, dan jika mengkhianati hal itu,
berarti imam itu harus menerima exkom.
“Di sini sekali lagi, Gereja memperlihatkan
standar ganda. Hal itu dilakukan karena pengaduan dari para seminaris homosex,
yang kecenderungan sexualnya disampaikan dalam pengakuan dosa. Tetapi para
pastor yang tahu adanya pelecehan seksual dalam pengakuan dosa, tetap dilarang untuk
mengkhianati rahasia itu,” kata salah seorang seminaris yang merasa menyesal
dengan perlakukan imamnya.
Menurut beberapa saksi, ‘pelayaran-nafsu’
dalam pengakuan dosa sangat sering terjadi selama beberapa bulan pertama pendidikan
seorang seminaris, selama tahun 'pengenalan atau persiapan' atau 'propaedeutic,'
dan lebih jarang pada level diakonat. Di antara para rohaniwan biasa,
Dominikan, Fransiskan, dan Benediktin telah mengkonfirmasi kepada saya bahwa
mereka menjalani 'ritus peralihan' ini sebagai novis. Perbuatan penyalahgunaan
sexual ini, apakah mereka saling setuju atau tidak, dibenarkan oleh semacam
alasan dalam Alkitab: dalam kitab Ayub, pihak yang bersalah adalah orang yang
menyerah pada pencobaan, bukan orang yang mencobai atau yang menggoda. Maka di
sebuah seminari, pihak yang bersalah pada akhirnya selalu si seminaris sendiri,
dan bukan atasan pemangsa - dan di sini kita menemukan seluruh pemutarbalikkan
nilai-nilai Baik dan Buruk yang terus dipertahankan oleh Gereja.
Untuk mencapai semacam pemahaman
tentang sistem Katolik, dimana seminari-seminari hanyalah ruang depan Gereja,
kita harus mengurai kode lain dari Lemari:
yaitu persahabatan, perlindungan dan pelindung. Sebagian besar kardinal dan
uskup yang saya wawancarai telah berbicara kepada saya tentang 'asisten' atau
'wakil' mereka - artinya: 'anak didik' mereka. Achille Silvestrini adalah anak
didik Kardinal Agostino Casaroli; Dino Boffo (orang awam) adalah anak didik dari
Stanisław Dziwisz; Paolo Romeo dan Giovanni Lajolo adalah anak didik dari
Kardinal Angelo Sodano; Gianpaolo Rizzotti adalah anak didik dari Cardinal Re; Don
Lech Piechota adalah anak didik dari Cardinal Tarcisio Bertone; Don Ermes Viale
adalah anak didik dari Kardinal Fernando Filoni; Uskup Agung Jean-Louis Bruguès
adalah anak didik dari Kardinal Jean-Louis Tauran; kardinal masa depan Pietro
Parolin dan Dominique Mamberti, juga anak didik Kardinal Tauran; nuncio Ettore
Balestrero adalah anak didik dari Kardinal Mauro Piacenza dan kemudian
Cresenzio Sepe; Fabrice Rivet adalah anak didik dari Cardinal Giovanni Angelo
Becciu, dll. Orang dapat mengambil ratusan contoh semacam ini, yang
mendramatisir gagasan 'malaikat pelindung' dan 'favorit' - dan kadang-kadang
'malaikat jahat.' 'Persahabatan spesial' ini dapat berubah menjadi hubungan
homoseksual, tetapi dalam kebanyakan kasus, tidak. Secara umum semua itu adalah
sebuah sistem aliansi hierarkis yang sangat terkotak, yang dapat menyebabkan munculnya
klan, faksi dan kadang-kadang para ‘penasihat.’ Dan seperti dalam tubuh yang
hidup, ada pembalikan, perputaran, dan kebalikan dari kesetiaan. Kadang-kadang
binomial ini, di mana kedua belah pihak 'terikat bersama,' menjadi asosiasi
asli dari para pelanggar hukum - dan kunci untuk memahami berbagai skandal
keuangan tertentu di Vatikan atau urusan VatiLeaks.
Model 'pelindung' dan 'anak didik'
ini, yang mengingatkan kita pada beberapa suku pribumi yang dipelajari oleh
Claude Lévi-Strauss, dapat ditemukan di semua tingkatan Gereja, dari seminari
hingga Kolese para Kardinal, dan umumnya hal itu memunculkan penunjukan dan
pengangkatan orang-orang, yang tidak dapat dipahami, serta hierarki yang sangat
kabur bagi orang luar yang tidak dapat memecahkan kode-kode mereka. Dibutuhkan
seorang antropolog untuk memahami kompleksitasnya!
Seorang rahib Benediktin, yang
merupakan salah satu direktur Universitas Saint Anselmus di Roma, menjelaskan
aturan implisit kepada saya. “Secara keseluruhan, Anda dapat melakukan apa saja
yang Anda suka di rumah-rumah religius selama Anda tidak diketahui. Dan bahkan
ketika Anda tertangkap basah, atasan akan menutup mata, terutama jika Anda membuat
mereka percaya bahwa Anda siap untuk memperbaiki diri. Di universitas kepausan
seperti St. Anselmus, Anda juga harus ingat bahwa mayoritas staf pengajar
adalah homoseksual!”
Dalam buku 'A Heart Beneath a Cassock,' penulis Rimbaud menjelaskan, dari pandangan
seorang yang berpengalaman selama 15 tahun, 'keintiman’ para seminaris, hasrat
seksual mereka yang diselimuti oleh kedok 'berpakaian jubah suci,' alat kelamin
mereka berdetak keras di bawah 'seragam seminari' mereka, kecerobohan dari
sebuah kepercayaan dikhianati, dan mungkin, pelanggaran oleh bapa superior mereka
yang 'matanya melotot dari balik timbunan lemak di pipinya.' Penyair meringkas
subjek ini dengan caranya sendiri: “Saya
masih sangat muda. Kristus menodai nafasku."
"Pengakuan dosa bukanlah ruang
penyiksaan," kata paus Francis. Bapa Suci menambahkan: "Dan tidak
seharusnya itu menjadi tempat pelecehan seksual."
Sebagian besar seminaris yang saya
wawancarai membantu saya untuk memahami sesuatu yang belum saya pahami, dan itu
disimpulkan dengan sangat baik oleh seorang pemuda Jerman yang saya temui
secara kebetulan di jalan-jalan kota Roma: “Saya tidak melihat itu sebagai
kehidupan ganda. Kehidupan ganda adalah sesuatu yang rahasia dan tersembunyi. Tetapi
homoseksualitas saya sudah terkenal di seminari. Hal itu tidak terlalu berisik,
tidak terlalu militan, tetapi telah banyak diketahui. Apa yang benar-benar
dilarang, bagaimanapun, adalah untuk mendukung secara militan, untuk menegaskan
dirinya sendiri. Tapi selama orang tetap diam, semuanya adalah baik-baik saja."
Aturan 'jangan tanya, jangan bilang' telah
berfungsi secara luar biasa, seperti halnya di tempat lain di Gereja. Praktik
homoseksual lebih baik ditoleransi di seminari ketika ia tidak ditampilkan
secara terbuka. Tapi celakalah dia yang menyebabkan skandal!
“Satu-satunya hal yang benar-benar
dilarang adalah menjadi heteroseksual. Memiliki seorang gadis, membawa seorang
gadis ke kamar, akan mendatangkan exkom secara langsung. Kesucian dan selibat
berlaku terutama untuk wanita," tambah seorang seminaris Jerman dengan
senyum lebar.
Seorang mantan seminaris yang tinggal
di Zurich menjelaskan sudut pandangnya. “Pada dasarnya, Gereja selalu lebih
memilih pastor gay daripada pastor heteroseksual. Dengan surat edaran
anti-gaynya, Gereja merasa telah sedikit mengubah banyak hal, tetapi Anda tidak
dapat mengubah kenyataan dengan membuat sebuah gambar lingkaran! Sementara
selibat para imam tetap ada, seorang imam gay akan selalu menerima sambutan
yang lebih baik di Gereja daripada seorang imam yang ‘berjalan lurus.’ Itu adalah
kenyataan, dan tidak ada yang bisa dilakukan Gereja tentang hal itu.”
Para seminaris yang saya wawancarai juga
sepakat tentang hal yang lain: seorang heteroseksual tidak dapat merasa
benar-benar nyaman di seminari Katolik, karena - dan saya mengutip ungkapan
yang mereka gunakan - dari 'penampilan,' 'persahabatan khusus,' 'kedekatan
dengan sesama pria,' ‘mengejar anak laki-laki,' dan 'sensitivitas,' 'fluiditas,'
'kelembutan' dan 'atmosfir homoerotik secara umum' yang berasal darinya. Siapa
pun yang bukan bujangan akan menjadi bingung.
“Semuanya adalah homoerotik. Liturgi adalah
homoerotik, kebiasaan adalah homoerotik, anak-anak lelaki juga homoerotik,
belum lagi Michelangelo!" kata mantan seminaris Robert Mickens kepada
saya.
Dan seorang seminaris lainnya
menambahkan, mengulangi mantra yang telah saya dengar beberapa kali: “Yesus
tidak pernah menyebut homoseksualitas. Jika itu adalah hal yang mengerikan,
mengapa Yesus tidak membicarakannya?”
Setelah jeda, dia berkata lagi: “Berada
di seminari sama seperti berada di Blade
Runner: tidak ada yang tahu siapa yang ‘manusia asli’ dan siapa yang hanya
‘manusia tiruan.’ Ini adalah ambiguitas yang biasanya dilihat oleh orang-orang
yang lurus.” Sang seminaris itu tiba-tiba melanjutkan, seolah memikirkan
nasibnya sendiri: “Jangan lupa bahwa banyak orang menyerah begitu saja!”
Wartawan Pasquale Quaranta adalah
salah satunya. Dia juga bercerita tentang saat ketika dia menjadi seorang
seminaris. Sekarang dia adalah seorang editor di La Repubblica, Pasquale Quaranta, bersama penerbit Carlo
Feltrinelli dan seorang penulis muda Italia, salah satu dari tiga orang yang mendorong
saya untuk mengerjakan proyek buku ini. Lebih dari beberapa lusin makan malam,
dan mengobrol malam hari di Roma, dan juga bepergian ke Perugia atau Ostia,
tempat kami menelusuri momen terakhir Pasolini, dia menceritakan sejarahnya
kepada saya.
Putra seorang biarawan Fransiskan
yang meninggalkan Gereja untuk menikahi ibunya, Pasquale Quaranta awalnya
memilih jalan untuk menjadi seorang imam. Dia menghabiskan delapan tahun di Stigmatines, sebuah kongregasi jemaat klerus
yang didedikasikan untuk mengajar dan belajar Katekismus.
“Harus saya katakan, saya memiliki
pendidikan yang baik. Saya sangat berterima kasih kepada orang tua saya karena mengirim
saya ke seminari. Mereka menyampaikan kesenangan mereka akan The
Divine Comedy!” (buku terkenal karya Dante
Alighieri)
Apakah homoseksualitas adalah salah
satu pendorong rahasia dari panggilannya? Pasquale Quaranta tidak berpikir
begitu: dia memasuki seminari dasar pada usia yang terlalu muda untuk memiliki
pengaruh. Tapi mungkin itu sebabnya dia meninggalkan panggilannya.
Ketika dia menyadari homoseksualitasnya,
dan membicarakannya dengan ayahnya, hubungan mereka yang sangat baik langsung menjadi
hancur. “Ayah saya tidak berbicara dengan saya lagi. Kami berhenti saling
bertemu. Dia trauma. Awalnya dia pikir masalahnya adalah saya; padahal masalahnya
adalah dia. Perlahan-lahan, selama periode dialog yang panjang, yang
berlangsung beberapa tahun, kami bisa berdamai. Sementara itu, saya telah
meninggalkan imamat dan, di ranjang kematiannya, ayah saya mengoreksi
bukti-bukti dari sebuah buku yang saya siapkan untuk diterbitkan tentang
homoseksualitas, yang saya tulis dengan seorang imam yang membantu saya
menerima diri saya lebih penuh."
Bukankah para seminaris gay yang tidak
menyangkal seksualitas mereka masih bisa bahagia dan berkembang? Ketika saya
bertanya kepada mereka tentang hal ini, wajah mereka cemberut, senyum mereka
memudar, keraguan nampak merayap masuk. Terlepas dari Lafcadio, dari Amerika
Selatan, yang mengatakan kepada saya bahwa dia 'mencintai hidupnya,' sementara yang
lain-lainnya bersikeras pada kegelisahan untuk selalu 'berada dalam wilayah
abu-abu,’ sedikit tersembunyi, sedikit sunyi, dan risiko yang mungkin mereka terima
bagi karier masa depan mereka di Gereja.
Bagi banyak orang, seminari adalah
kesempatan untuk 'muncul keluar,' tetapi juga merupakan tempat di mana mereka
menjadi sadar akan adanya kebuntuan dalam hidupnya. Sebagian besar berjuang
dengan homoseksualitas mereka, yang telah cukup menindas, dalam konteks ini. Seperti
yang ditulis si Penyair: ‘sarat dengan
kelemahanku, kelemahan yang telah menyebarkan akar penderitaan di sisiku sejak
usia penalaranku - yang naik ke angkasa, mengalahkan aku, memukulku, menyeretku
di sepanjang jalan.’
Mereka semua takut kehilangan
kehidupan mereka, menjadi fosil di antara orang-orang yang sangat mirip dengan
mereka. Di dalam seminari, kehidupan menjadi mendung: mereka membayangkan
seperti apa kehidupan mereka sebagai imam nanti, dikelilingi oleh kebohongan
dan fantasi, kehidupan keras seorang Jansenist yang kesepian dan tidak tulus,
kehidupan yang berkelap-kelip seperti nyala lilin. Sejauh mata memandang, hanya
ada penderitaan, keheningan, tindakan kelembutan yang dihapus segera setelah
mereka bayangkan, 'sentimen-sentimen yang palsu,’ 'kecantikan menawan' dan yang
terpenting, 'gurun cinta'; waktu berlalu, masa muda memudar, momok ‘menjadi tua
secara prematur’ berdatangan.
Para seminaris terobsesi dengan
gagasan yang melelahkan 'modal nokturnal' (nafsu sex) mereka sebelum mereka
bahkan memiliki akses ke sana. Dalam komunitas gay, orang umumnya berbicara
tentang 'kematian gay;' 'tanggal kedaluwarsa' untuk seorang homoseksual
dikatakan sudah pasti berusia 30, usia yang menandai akhir perjalanan nafsunya
yang mudah! Lebih baik dinikahkan sebelum kapak jatuh. Namun, karena tidak
mampu mengendalikan keinginan mereka sebelum ini, sering kali pada usia itu,
ketika 'nilai pasar seksual' mereka menurun, banyak imam yang mulai berkencan. Karenanya,
kecemasan obsesif para seminaris yang tetap merasa takut, adalah dalam hal menebus
waktunya hilang dalam kabut, pesta seks dan pesta tamparan. Tersembunyi di
seminari-seminari, apakah mereka harus menunggu hingga 30 tahun untuk tumbuh di
kamar belakang?
Dilema ini, yang telah sering digambarkan
kepada saya oleh para imam Katolik, telah meningkat sepuluh kali lipat. Sebelum
tahun 1970-an, Gereja adalah tempat perlindungan bagi mereka yang menderita
diskriminasi di luar. Namun sejak saat itu, Gereja telah menjadi penjara bagi
mereka yang datang dan mereka yang tetap tinggal - mereka semua merasa sempit
dan terkurung, sementara kaum gay di luar dibebaskan. Si Penyair berkata lagi: ‘Ya Kristus! pencuri energi yang
abadi."
Tidak seperti yang lainnya, para
seminaris yang lebih tua, yang telah berbicara kepada saya tentang penyiksaan
diri, hukuman diri sendiri atau penganiayaan fisik, Ydier, Axel dan Lafcadio
belum mengalami siksaan yang sedemikian ekstrem; tetapi mereka juga sering
menitikkan air mata. Mereka telah mengutuk kehidupan dan penderitaan yang
memakan dirinya sendiri sebagai hal yang dia setujui dan masokis. Mereka sangat
berharap agar diri mereka berbeda, pada akhirnya mengulangi seruan mengerikan dari
André Gide: ‘Aku tidak seperti yang lain! Aku tidak seperti yang lain!'
Dia telah meninggalkan kebiasaan
masturbasi, obsesi tentang Gereja pada dirinya telah mencapai puncaknya di
seminari masa kini, menurut orang yang saya wawancarai, ketika para imam sendiri
mengetahui dari pengalaman bahwa itu tidak membuat Anda menjadi buta. Tentu
saja, upaya berlebihan seperti itu untuk mengendalikan dan membatasi perilaku sexual
nyaris tidak berpengaruh akhir-akhir ini: kita masih jauh dari zaman ketika
para seminaris 'yang menyerah pada onanisme sementara' bisa merasa takut akan
kesehatan mereka dan 'dibujuk untuk mencium bau belerang' (dalam istilah dari Angelo
Rinaldi yang mudah diingat).
Masturbasi, yang dulunya merupakan
topik tabu di seminari, dan yang tidak pernah dibahas, sekarang menjadi subjek
utama yang sering disebut oleh para guru. Obsesi yang sia-sia ini tidak
ditujukan pada penolakan pada segala bentuk seksualitas tanpa tujuan prokreasi
(menghasilkan anak) -- (alasan resmi untuk pelarangan tindakan masturbasi),
tetapi, terutama, pada kontrol totaliter individu, merampas mereka dari
keluarga dan tubuh mereka; maka depersonalisasi sejati pasti akan mengikuti.
Sebagai sebuah gagasan yang sudah pasti, yang berulang-ulang begitu sering,
dengan sangat praktis dewasa ini, adalah bahwa onanisme menjadi semacam
'lemari' di dalam 'lemari,' sebuah bentuk identitas homoseksual yang dikunci
dua kali. Sementara para imam terlibat di dalamnya dengan marah, sambil memimpikan
'kobaran manis' dari kebebasan.
“Berpikir bahwa mereka masih mengajar
para seminaris bahwa masturbasi adalah dosa - itu adalah abad pertengahan! Dan
fakta bahwa mastrbasi ini kini lebih banyak dibicarakan dan ditargetkan,
daripada pedofilia, memberi tahu kita banyak hal tentang Gereja Katolik,"
kata Robert Mickens memberi tahu saya.
Suatu hari, ketika saya kembali dari
Vatikan, seorang pemuda menatap tajam ke arah saya di dekat stasiun Metro
Ottaviano. Mengenakan salib kayu besar di kausnya, dia ditemani oleh seorang imam
tua (seperti yang akan dia ceritakan nanti), dan setelah beberapa saat yang
canggung, dia mendatangi saya. Namanya Andrea, dan dia dengan malu-malu meminta
nomor telepon saya. Di bawah kepitan lengannya dia membawa salinan AsSaggi
biblici, sebuah manual teologis yang diedit oleh Franco Manzi - yang membuatnya
bersemangat dan juga membuatnya menarik di mata saya. Saya memulai percakapan.
Pada akhir malam itu, kami minum kopi
di sebuah bar di Roma, dan dia dengan cepat mengakui kepada saya bahwa dia
memberi saya nama palsu dan bahwa dia adalah seorang seminaris. Kami akan
berbicara lagi beberapa kali dan, seperti pastor lain di masa depan, Andrea
menjelaskan dunia-nya kepada saya.
Bertentangan dengan harapan, Andrea,
yang secara terbuka mengakui homoseksualnya kepada saya, dia adalah pemuja
Benediktus XVI. “Saya lebih suka Benedetto. Saya tidak suka Francis. Saya tidak
suka paus ini. Apa yang benar-benar ingin saya lakukan adalah membangun kembali
kontak dengan Gereja dari masa sebelum Vatikan II.”
Bagaimana dia menyatukan kehidupan
gay-nya dengan hidupnya sebagai seorang seminaris? Andrea menggelengkan
kepalanya, tampak tertekan dan menyesali ambivalensi itu. Antara kesombongan
dan keterasingan, dia ragu-ragu dalam jawabannya. "Anda tahu, saya bukan
orang Kristiani yang sebaik itu. Saya sudah mencoba. Namun saya tidak bisa
melakukannya. Dari sisi daging, Anda tahu. Dan saya meyakinkan diri saya dengan
menyadari bahwa sebagian besar seminaris yang saya kenal adalah seperti saya."
"Apakah Anda memilih seminari
karena Anda gay?"
“Saya tidak melihatnya seperti itu.
Seminari itu terutama solusi sementara. Saya ingin melihat apakah
homoseksualitas adalah hal yang abadi bagi saya. Setelah itu, seminari menjadi
solusi kompromi. Orang tua saya ingin percaya bahwa saya bukan homoseksual;
mereka menyukai kenyataan bahwa saya berada di seminari. Dan dengan cara itu
memungkinkan saya hidup sesuai dengan selera saya. Itu tidak mudah, tetapi
lebih baik seperti itu. Jika Anda memiliki keraguan tentang seksualitas Anda,
jika Anda tidak ingin orang-orang di sekitar Anda tahu Anda gay, jika Anda
tidak ingin menyakiti ibu Anda: maka Anda masuk ke seminari saja! Kembali ke
alasan saya sendiri, yang dominan jelas homoseksualitas, bahkan jika saya
awalnya tidak sepenuhnya menyadarinya. Saya hanya benar-benar mendapat
konfirmasi tentang homoseksualitas saya setelah saya memasuki seminari."
Dan Andrea menambahkan, dalam nada
sosiologis: "Saya pikir ini semacam aturan: sebagian besar imam telah
menemukan bahwa mereka tertarik oleh anak laki-laki setelah berada di dalam seminari
yang homoerotik dan sangat maskulin. Ketika Anda berada di sekolah Anda di
provinsi Italia, Anda hanya memiliki peluang sangat kecil untuk bertemu kaum
homoseksual yang Anda sukai. Itu selalu sangat berisiko. Dan kemudian Anda
sampai di Roma, ke seminari, dimana hampir hanya ada anak laki-laki, dan hampir
semua orang adalah homoseksual, muda, dan tampan, dan Anda memahami bahwa Anda
juga seperti mereka."
Selama diskusi kami, seminaris muda ini
memberi saya uraian terperinci tentang suasana di seminari. Dia memberi tahu
saya bahwa dia sering menggunakan dua aplikasi: Grindr dan ibreviary.com - alat
jejaring gay, dan breviary Katolik dalam lima bahasa tersedia gratis di ponsel
pintar. Sebuah ringkasan hidupnya yang sempurna!
Pada usia 20, Andrea sudah memiliki
banyak kekasih (pria), sekitar lima puluh. "Saya bertemu mereka di Grindr
atau di antara para seminaris."
Menyalahkan dirinya sendiri karena kehidupan
ganda ini, dan untuk meredakan kekecewaannya karena tidak menjadi orang suci, dia
telah membuat sedikit peraturan untuk memberikan dirinya hati nurani yang baik.
Jadi, misalnya, dia memberi tahu saya bahwa dia tidak akan membiarkan dirinya
melakukan hubungan seksual setelah pertemuan pertama di Grindr: dia selalu
menunggu setidaknya pertemuan yang ketiga!
"Itu metode saya, sisi Ratzinger
saya," katanya dengan ironis kepada saya.
Saya bertanya alasannya untuk terus
ingin menjadi seorang imam. Pria muda yang memikat itu, ragu-ragu. Dia tidak
benar-benar tahu. Dia berpikir sejenak, lalu berkata: "Hanya Tuhan yang
tahu."
Menurut banyak pernyataan yang telah
saya kumpulkan di universitas kepausan Roma, kehidupan ganda para seminaris
telah berkembang pesat selama beberapa tahun terakhir karena internet dan
telepon pintar. Sebagian besar dari mereka yang pergi keluar di tengah malam
mencari kesempatan pertemuan atau, di Roma, di klub-klub seperti Diabolo 23,
K-Men's Gay, Bunker atau Vicious Club, sekarang dapat berlayar mengarungi nafsu
diluar kenyamanan rumah mereka sendiri. Berkat aplikasi seperti Grindr, Tinder
atau Hornet, dan situs hook-up seperti GayRomeo (sekarang PlanetRomeo), Scruff
(untuk pria yang lebih dewasa dan 'beruang'), Daddyhunt (untuk mereka yang suka
'bapak-bapak'), atau Recon (untuk para fetisisme dan 'ekstrim' seksualitas),
mereka tidak perlu lagi pergi jauh, atau mengambil terlalu banyak risiko.
Bersama dengan para peneliti saya di
Roma, saya juga menemukan homoseksualitas dari beberapa seminaris, pastor, atau
uskup kuria berkat keajaiban internet. Seringkali mereka memberi kami alamat
email atau nomor ponsel mereka demi sopan-santun atau kebetulan, ketika kami
bertemu di Vatikan. Setelah kami terus merekam informasi, dengan sangat polos,
di buku alamat Gmail kami atau di ponsel pintar kami, berbagai akun dan nama
yang terkait dengannya muncul secara otomatis di WhatsApp, Google+, LinkedIn
atau Facebook. Seringkali memakai nama samaran! Dimulai dengan nama-nama
pinjaman ini, kehidupan ganda para seminaris, imam, atau uskup kuria ini -
tentu sangat bijaksana, tetapi tidak cukup aneh - muncul dari situs jejaring
ini, seolah-olah hal itu terjadi melalui campur tangan Roh Kudus! (Di sini saya
sedang memikirkan selusin kasus yang tepat, dan terutama beberapa monsignori
yang telah kami temui dalam perjalanan buku ini.)
Hari-hari ini, banyak dari mereka
menghabiskan malam mereka di GayRomeo, Tinder, Scruff atau Venerabilis - tetapi
kebanyakan di Grindr. Bagi saya, saya tidak pernah menyukai aplikasi yang tidak
manusiawi dan berulang-ulang ini, tetapi saya mengerti logikanya: menggunakan
geolokasi dan secara real time, itu mengarahkan Anda ke semua gay terdekat yang
tersedia. Itu adalah iblis!
Menurut beberapa imam, Grindr telah
menjadi fenomena yang sangat luas di seminari dan pertemuan para imam. Begitu
merepotkan penggunaan aplikasi ini bagi Gereja sehingga menyebabkan beberapa
skandal besar meletus (misalnya, di seminari Irlandia). Seringkali para pastor saling
melihat satu sama lain tanpa sengaja, setelah menemukan bahwa klerus gay lain hanya
berjarak beberapa meter dari dirinya. Dan tim saya dan saya juga telah berhasil
membuktikan bahwa Grindr melakukan tugasnya dengan baik setiap malam di dalam
Negara Vatikan.
Yang diperlukan hanyalah dua ponsel
pintar yang berada di kedua sisi negara Katolik kecil itu untuk menemukan bahwa
ada margin kesalahan yang sangat rendah dalam mengidentifikasi keberadaan gay.
Ketika kami melakukan percobaan, dua kali, tidak terlalu banyak yang terhubung
di Vatikan, tetapi menurut beberapa kontak internal, komunikasi sexual di Vatikan
melalui aplikasi Grindr sangat intens.
Situs Venerabilis layak mendapat cerita sendiri. Situs yang dibuat pada
2007 itu adalah platform online yang didedikasikan sepenuhnya untuk para pastor
'homoseksual,' untuk memposting iklan atau bertukar pesan di ruang obrolan. Sebagai
tempat pertukaran dan dukungan, ia mengarah pada penciptaan kelompok diskusi
kehidupan nyata: untuk sementara waktu, kelompok-kelompok ini bahkan bertemu di
kafe di toko buku Feltrinelli yang terkenal di Largo Torre Argentina, pada
waktu yang berbeda sesuai dengan jadwal universitas mereka. Salah satu
administrator situs itu, yang dekat dengan Tarcisio Bertone, Mgr. Tommaso
Stenico, dikenal di dalam Kuria sebagai seorang homoseksual, tetapi dia
mempraktikkannya di luar Vatikan (dia diberhentikan dari jabatannya di Vatikan
setelah dikeluarkan dari program televisi Italia). Seiring waktu, situs Venerabilis berkembang menjadi tempat
pelayaran nafsu orang-orang gerejawi dan, setelah dikecam oleh pers Katolik
yang konservatif, situs itu ditutup. Kami memiliki jejak di arsip web dan di
'web yang dalam,' tetapi tidak dapat diakses atau diindeks oleh mesin pencari.
Di Facebook, situs lain yang banyak
digunakan untuk ‘berlayar,’ karena keragaman anggotanya, mudah untuk menemukan pastor
gay atau seminaris gay. Ini benar, misalnya, dari beberapa wali gereja yang
kami ikuti di Roma: kebanyakan dari mereka tidak terbiasa dengan protokol
kerahasiaan jejaring sosial, hingga membuat daftar teman mereka bisa terlihat. Anda
hanya perlu melihat akun seorang gay di Roma yang terhubung dengan baik di
komunitas homoseksual kota, untuk menentukan dari 'teman yang sama' apakah
seorang pastor adalah gay atau bukan. Sebuah garis waktu tidak perlu mengandung
satu pesan gay: cara Facebook bekerja hampir selalu memberi kemudahan bagi gay.
Di Twitter, Instagram, Google+, atau
LinkedIn, dengan menghubungkan mereka secara silang dengan Facebook, Anda dapat
melakukan jenis pencarian yang sama secara legal. Berkat alat profesional
seperti Maltego, Brandwath, atau KB Crawl, orang dapat menganalisis semua
kontak sosial seorang pastor, teman-temannya, konten yang dia sukai, yang dia bagikan
atau posting, dan bahkan melihat berbagai akun yang terhubung dengannya
(seringkali dengan identitas berbeda). Saya memiliki kesempatan untuk
menggunakan perangkat lunak berperforma tinggi yang memungkinkan Anda memetakan
semua interaksi seseorang di jejaring sosial berdasarkan informasi publik yang
ditinggalkannya di web. Hasilnya sangat mengesankan, karena profil lengkap
orang tersebut muncul dari ribuan bit data yang dia komunikasikan sendiri di
jaringan-jaringan ini tanpa dia sendiri mengingat hal itu: dalam kebanyakan
kasus, jika orang itu homoseksual, informasi tersebut muncul dengan margin
ketidakpastian yang rendah. Untuk menghindari alat seperti ini, Anda perlu
mengelompokkan hidup Anda - menggunakan jaringan terpisah dan tidak pernah
membagikan informasi pribadi sekecil apa pun - sedemikian rupa sehingga hampir
mustahil orang lain bisa melacaknya.
Karena itu ponsel pintar dan internet
sibuk mengubah kehidupan para seminaris dan imam menjadi lebih baik atau lebih
buruk. Dalam perjalanan penyelidikan ini, saya juga telah menggunakan banyak
alat digital baru, menyewa flat di Airbnb, menggunakan Waze dan berkeliling di
Ubers, menghubungi para imam di LinkedIn atau Facebook, menyimpan dokumen atau
rekaman penting di Pocket, Wunderlist atau Voice Record, dan memiliki
pertukaran rahasia dengan banyak sumber di Skype, Signal, WhatsApp atau
Telegram. Sekarang jurnalis benar-benar digital dan saya memang seorang penulis
digital.
Dalam buku ini, saya tidak berusaha
mengabaikan kehidupan para seminaris dan pastor dari sisi homoseksualitas,
pesta pora, masturbasi, atau pornografi online. Ada, tentu saja, klerus tertentu yang mungkin disebut 'pertapa,' yang
tidak tertarik pada seks dan yang menjalani kesucian mereka dengan keseimbangan
batin yang mantap. Tetapi, menurut saksi, para imam yang setia pada kaul
selibat adalah minoritas.
Faktanya, pengungkapan tentang
homoseksualitas para pastor dan kehidupan ganda di Vatikan baru saja dimulai.
Dengan maraknya ponsel pintar, yang berarti bahwa segala sesuatu dapat
difilmkan dan direkam, dan dengan pertumbuhan jejaring sosial di mana segala
sesuatu bisa diketahui, maka rahasia Vatikan akan menjadi semakin sulit untuk
disimpan. Kata (rahasia) itu telah dibebaskan. Sekarang, jurnalis yang
pemberani di seluruh dunia sedang menyelidiki kemunafikan umum dari para
klerus, dan para saksi mulai berbicara. Beberapa kardinal yang saya ajak bicara
berpikir bahwa 'pertanyaan-pertanyaan ini tidak penting,' bahwa 'terlalu banyak
direkayasa atas mereka,' dan bahwa 'kontroversi seksual ada di belakang kita
(sudah lalu).' Nampaknya mereka ingin membalik halaman, untuk melihat halaman
berikutnya saja.
Namun saya berpikir justru
sebaliknya. Saya percaya kita hampir tidak pernah menyentuh subjeknya. Dan
semua yang saya bicarakan dalam buku ini hanyalah halaman pertama dari sebuah
cerita panjang yang sedang ditulis. Saya bahkan curiga bahwa saya kurang fakta.
Pengungkapan, pemaparan, narasi rahasia dan dunia Lemari Vatikan yang hampir tidak dijelajahi, baru saja dimulai.
No comments:
Post a Comment