SEORANG PASTOR SEHARUSNYA
BERBICARA KEPADA KAWANANNYA,
UNTUK MEMBELA SELIBAT
IMAMAT
Bunda Maria menyampaikan sebuah peringatan ilahi kepada St. Bridget (1303 – 1373), yang nampaknya saat ini, merupakan pesan langsung dari Surga
kepada Paus Francis:
“Ketahuilah hal ini: bahwa jika ada beberapa paus yang memberikan izin
kepada imam-imam untuk melakukan kontrak perkawinan duniawi, maka Allah akan
menghukumnya dengan hukuman yang sama besar, secara spiritual, seperti yang
dijatuhkan oleh hukum dengan adil, dalam cara jasmani, pada seseorang yang
telah melampaui batas begitu parah sehingga matanya harus dicungkil, lidah dan
bibirnya, hidung dan telinganya dipotong, tangan dan kakinya diamputasi, semua
darah dalam tubuhnya tumpah hingga menjadi sangat dingin, dan akhirnya, seluruh
mayatnya dalam keadaan tanpa darah, dibuang dan dimangsa oleh anjing –anjing dan
binatang buas lainnya [.]… Karena paus yang sama itu akan benar-benar dirampas
oleh Tuhan dari penglihatan dan pendengaran spiritualnya, dan dari kata-kata
dan perbuatan spiritualnya. Semua kebijaksanaan spiritualnya akan menjadi
sangat dingin; dan akhirnya, setelah kematiannya, jiwanya akan diusir untuk
disiksa selama-lamanya di dalam neraka, sehingga di sana dia menjadi makanan
iblis untuk selama-lamanya dan tanpa akhir.”
Bunda Maria memberi tahu orang kudus itu (St. Bridget), bahkan Paus St.
Gregorius Agung-pun tidak akan pernah menjadi seorang kudus dan pada
kenyataannya dia akan berakhir dengan kehilangan jiwanya, jika dia menjadi orang yang menghapuskan selibat.
Bapa Suci, apakah Anda membaca ini?
Bagi kami, yang bergabung di dalam 1P5 dan di seluruh dunia Katolik
tradisional, tindakan untuk melestarikan selibat klerus sekarang telah menjadi tugas
yang mendesak untuk menyelamatkan jiwa paus.
Sekarang, mari kita lihat beberapa hukum kanon Gereja awali yang
menyatakan bahwa norma selibat imam dan pantang episkopal dibuat oleh para
rasul dan dilaksanakan sejak zaman dulu dan oleh zaman itu sendiri.
Uskup Genethlius, menurut Konsili Kartago (AD 390), mengatakan:
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, sudah sepantasnya
bahwa para uskup dan para imam yang kudus dari Allah, serta orang-orang Lewi (artinya,
Diakon); yaitu, mereka yang berada dalam pelayanan sakramen-sakramen ilahi, melaksanakan dan mempertahankan tindakan
pantang yang sempurna, sehingga mereka dapat memperoleh, dalam semua
kesederhanaan, apa yang mereka minta dari Tuhan. Karena itu apa yang diajarkan
dan dilaksanakan oleh para rasul jaman dahulu, marilah kita sekarang juga
berusaha untuk mempertahankannya.
Beberapa tahun sebelumnya, kita memiliki Hukum Kanon 29 dari Konsili
pertama di Arles (314):
Selain itu, berkaitan dengan apa yang layak, murni, dan jujur, kami
menasihati saudara-saudara kita di keuskupan untuk memastikan bahwa para imam
dan diakon tidak melakukan hubungan (seksual) dengan istri mereka, karena mereka
melakukan pelayanan setiap hari. Siapa pun yang akan bertindak menentang
keputusan ini, akan disingkirkan dari kehormatan klerus.”
Dalam Konsili Elvira, (309), Kanon 33 berbunyi, “Tampaknya baik untuk benar-benar melarang para uskup, para
imam, dan diakon, yaitu, semua klerus yang melaksanakan pelayanan kudus, untuk
melakukan hubungan dengan istri mereka dan memiliki anak-anak keturunan; jika
ada yang melakukannya, biarlah dia dikeluarkan dari kehormatan klerus.
Karena itu, St Epifanius, memuji ketaatan yang ketat terhadap aturan
kanonik ini, dengan mengatakan:
Gereja Kudus menghormati martabat imamat sedemikian rupa hingga ia tidak mengakui diakon, imam atau uskup,
atau bahkan kepada sub-diakonat, siapa pun yang masih hidup dalam pernikahan
dan memiliki anak-anak. Gereja hanya menerima
dia, yang jika menikah, telah melepaskan istrinya atau telah kehilangan istrinya
melalui kematian, terutama di tempat-tempat di mana hukum kanon gerejawi
benar-benar dilaksanakan secara benar.
St Jerome mengatakan dalam suratnya kepada Pammachius,
“Orang-orang yang dipilih menjadi uskup, imam, dan diakon haruslah murni atau
duda; atau setidaknya, ketika mereka telah menerima imamat, mereka bersumpah
untuk melaksanakan kesucian abadi."
Sebuah penelitian yang cermat terhadap para Bapa Gereja awali menunjukkan betapa
mereka melaksanakan selibat yang sangat terpuji, karena hal itu (selibat) secara
khusus adalah cocok bagi para imam dalam pelayanan mereka di altar.
Gereja nyaris memiliki norma universal tentang selibat bahkan untuk imam-imam
biasa, bukan hanya bagi para uskup saja, yang disampaikan pada Konsili Nicea.
Pada Konsili Ekumenis Nicea I (325), Uskup Hosius dari Cordova mengusulkan
dekrit yang mewajibkan selibat klerus, termasuk bagi para rohaniwan yang sudah
menikah. Uskup Paphnutius dari Mesir, yang belum menikah, bangkit dan memprotes,
menyatakan bahwa persyaratan seperti itu akan terlalu ketat dan tidak
bijaksana. Sebaliknya, para anggota klerus yang sudah menikah harus terus setia
kepada istri mereka, dan mereka yang belum menikah harus secara pribadi
memutuskan apakah akan selibat atau tidak. Sebagai konsekuensinya, tidak ada
persyaratan di seluruh gereja bagi imam untuk selibat yang diwajibkan. Bagi Gereja
Barat, beberapa paus menetapkan selibat: Damasus I (384), Siricius (385),
Innocent I (404), dan Leo I (458). Dewan-dewan lokal mengeluarkan dekrit yang
memberlakukan selibat kepada klerus: di Afrika, Kartago (390, 401–19); di
Perancis, Orange (441) dan Tur (461); dan di Italia, Turin (398). Pada saat
Paus Leo I (wafat 461), tidak ada uskup, imam, diaken, atau subdiakon yang boleh
menikah. Namun demikian, aturan itu tidak selalu ditegakkan sebagaimana yang seharusnya
[.]
Di Gereja Timur, perbedaan dibuat antara uskup dan klerus lainnya, apakah
mereka harus selibat. Hukum Perdata dari Kaisar Justinianus melarang siapa pun
yang memiliki anak atau bahkan keponakan, untuk ditahbiskan sebagai uskup. Konsili
Trullo (692) mengamanatkan bahwa seorang uskup harus selibat, dan jika dia sudah
menikah, dia harus berpisah dari istrinya sebelum pentahbisannya. Para imam,
diakon, dan subdiakon dilarang menikah setelah pentahbisan, meskipun mereka
harus terus memenuhi sumpah perkawinan mereka jika telah menikah sebelum
penahbisan. Peraturan ini masih berlaku untuk sebagian besar Gereja Timur.
Namun, ternyata, diputuskan oleh tradisi universal (ini disimpan dalam
Ritus Latin dan ritus Katolik Timur) bahwa (1) uskup akan terikat pada pantang
abadi (2); Setelah ditahbiskan, seorang imam yang sudah menikah, setelah
kematian istrinya, tidak akan pernah bisa menikah lagi; dan (3) dalam ritus
Katolik Timur (dan jarang dalam ritus Latin Barat), seorang pria yang sudah menikah,
dengan dispensasi, dapat ditahbiskan. Pada prinsipnya, para uskup secara
eksklusif dipilih dari orang-orang yang berpantang secara kekal.
Untuk menyimpulkan, mari kita mengindahkan peringatan serius yang
diberikan Bunda Maria kepada St. Bridget berabad-abad yang lalu, yang tampaknya
secara khusus dimaksudkan untuk zaman kita, ketika tradisi yang mulia ini -
yang sangat dipuji oleh para Bapa Gereja - berada dalam bahaya besar, karena ia
akan menyerah kepada zaman hedonistik saat ini. Para Bapa Suci mengajarkan
kepada kita bahwa selibat klerus terkait erat dengan imam yang bertindak dalam
persona Christi, bahwa sebagai wali Gereja dan wali dari Mempelai Gereja, imam harus
memelihara kesucian yang sempurna, sehingga dapat menjadi bapa bagi kawanannya.
Bunda Maria menyimpulkan dengan memberi tahu St. Bridget bahwa bahkan Paus
St. Gregorius-pun akan kehilangan jiwanya – semoga mereka yang percaya bahwa
setiap perkataan Paus itu sempurna, juga memperhatikan hal ini - “Ya, bahkan
jika Paus, Santo Gregorius, telah membuat undang-undang ini, dalam kalimat di
atas dia tidak akan pernah mendapatkan belas kasihan dari Tuhan jika dia tidak dengan rendah hati
mencabut ketetapannya sebelum kematiannya.”(Revelations of St. Bridget, Buku
VII, Bab 10).
Marilah kita berdoa bagi paus Francis, agar dia tidak berakhir seperti
itu, dan sebagai gantinya, seperti Paus St. Gregorius, bahwa dia menjadi paus
yang baik dan suci yang hanya berfokus untuk melakukan Kehendak Tuhan bagi Bunda
Gereja yang kudus.
*****
Nishant Xavier is a traditional Catholic
from India due to begin seminary studies soon in Palyamkottai’s Priory of the
Sacred Heart. He completed an MBA in finance from the Indian Institute of
Management (IIM) Lucknow, but his passion has always been sacred theology and
Jesus and Mary. You can reach out of to him anytime for comments or questions
on the articles at nishantxavier2019@gmail.com.
* Di dalam Lemari Vatikan – 20. Bab 18 – Seminaris
* Uskup Belanda, Robert Mutsaerts:
Dokumen Terakhir (Sinode Amazon) Akan
Menjadi Cemoohan Terhadap Iman Kita,
No comments:
Post a Comment