DI DALAM LEMARI VATIKAN
Frếdếric Martel
KEKUASAAN
HOMOSEXUALITAS
KEMUNAFIKAN
DAFTAR ISI
CATATAN DARI
PENULIS DAN PENERBIT
|
|
|
|
Bab 1. Domus Sanctae Marthae
|
|
Bab 2. Teori Gender
|
|
Bab 3. Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?
|
|
Bab 4. Buenos Aires
|
|
Bab 5. Sinode
|
|
Bab 6. Roma Termini
|
|
BAGIAN II - PAULUS
|
Bab 7. Kode Maritain
|
Bab 8. Persahabatan
Yang Penuh Cinta
|
|
BAGIAN III – YOHANES PAULUS
|
Bab 9. Kolese Suci
|
Bab 10. Legiun
Kristus
|
|
Bab 11. Lingkaran
Nafsu
|
|
Bab 12. Garda Swiss
|
|
Bab 13. Perang Salib
Melawan Gay
|
|
Bab 14. Diplomasi Paus
|
BAGIAN III
Yohanes Paulus
Bab 14
Diplomasi Paus
"Oh, kamu seorang
jurnalis?" Mgr. Battista Ricca menatap saya dengan penasaran dan sedikit heran.
“Saya punya masalah dengan jurnalis," tambahnya, sambil menatap mata saya
dengan tajam.
"Dia seorang jurnalis Perancis,"
kata Uskup Agung François Bacqué, yang baru saja memperkenalkan kami.
"Oh iya," Ricca menghela
nafas, dengan kelegaan yang jelas. "Masalah saya," lanjutnya,
"dengan wartawan Italia. Mereka tidak memiliki apa-apa di kepala mereka.
Tidak ada! Mereka tidak memiliki kecerdasan. Tetapi jika Anda orang Perancis,
mungkin masih ada kemungkinan bahwa Anda berbeda! Ini pertanda baik!"
Di tengah investigasi saya, ketika
saya sudah mulai menulis buku ini, saya diundang untuk tinggal di Domus
Internationalis Paulus VI. Sebelumnya, saya pernah tinggal di Roma di apartemen
yang disewa di Airbnb, kebanyakan dari tempat itu berada di sekitar Roma
Termini.
Uskup Agung François Bacqué, seorang
pensiunan nuncio apostolik Perancis, suatu hari menyarankan agar dia boleh memesankan
saya kamar di Domus Internationalis Paulus VI, dan begitulah awalnya.
Rekomendasinya cukup bagi saya untuk akhirnya tinggal di tempat terkudus dari
segala diplomasi Vatikan.
Domus Internationalis Paulus VI
berada di 70 Via della Scrofa di Roma. Tempat tinggal resmi Tahta Suci ini
adalah tempat 'ekstrateritorial,' di luar kewenangan Italia: polisi tidak
diizinkan memasukinya, dan jika ada pencurian, pemerkosaan, atau kejahatan
lainnya dilakukan di sana, itu adalah urusan pasukan kepolisian Vatikan yang
kecil, dan sistem hukum Tahta Suci yang sangat tidak kompeten yang akan
bertanggung jawab.
Juga dikenal sebagai Casa del Clero
(rumah klerus), kediaman diplomatik ini berlokasi ideal di antara Piazza Navona
dan Pantheon: salah satu tempat paling indah di Roma; sebuah kuil berhala, jika
bukan yang sekuler; simbol luar biasa dari agama 'sipil' yang didedikasikan
untuk semua agama dan semua dewa, dan yang ditata ulang oleh kaisar Hadrian, seorang
LGBT, sebelum dijadikan objek agresif 'perampasan budaya' oleh Katolik Italia.
Domus Internationalis Paulus VI adalah
tempat yang sangat penting di Tahta Suci, karena ia tinggal di jantung mesin
Vatikan yang merupakan kesempatan besar bagi saya. Di sini saya diperlakukan
sebagai teman, tidak lagi sebagai orang luar. Pertama-tama, ini adalah hotel
untuk para diplomat Vatikan – para nuncio apostolik yang terkenal - ketika
mereka tinggal di Roma. Kadang-kadang para kardinal dan uskup asing juga
tinggal di sana, bukan di Santa Marta. Kardinal Jorge Bergoglio tinggal di sana
ketika dia melewati Roma: foto-foto yang menunjukkan dia memakai jubah putih,
membayar tagihan hotelnya sendiri, saat bepergian keliling dunia.
Terlepas dari para kardinal dan
diplomat yang melintas, Casa del Clero adalah tempat tinggal permanen bagi
beberapa pensiunan nuncio, uskup yang menganggur, atau monsignori yang memegang
posisi bergengsi di Tahta Suci. Banyak dari mereka yang bertugas penuh atau
hanya paruh waktu. Saat sarapan di ruang tamu di lantai pertama atau makan
siang yang diambil bersama di restoran besar, belum lagi antrean di mesin kopi
dan malam-malam yang panjang di depan televisi, saya akan mengenal para nuncio
ini, para diplomat kerasulan ini, asisten dari Sekretariat Negara atau
sekretaris Kongregasi Uskup ini. Para pelayan di Casa del Clero - salah satunya
adalah playboy yang layak menjadi cover dari majalah The Advocate – dia harus berdiri tegak: penampilan penuh makna dari
para nuncio dan monsignori di puncak kehidupan dan karir akan cukup untuk
membuat siapa pun merasa panik!
Kamar-kamar di Casa del Claro berada
di sisi yang sederhana: bola lampu redup yang melelahkan mata, menerangi tempat
tidur tunggal, umumnya diapit oleh salib. Tempat tidur sempit para imam, yang
sering saya lihat di apartemen Vatikan, menunjukkan sikap kesederhanaan konservativ,
berdasarkan ukurannya. Di laci meja samping tempat tidur kuno dan reyot
terletak sebuah Alkitab (yang segera saya ganti dengan buku A Season in Hell). Di kamar mandi, lampu
neon yang berasal dari zaman Pius XI mengeluarkan, secara kasar, cahaya seperti
oven microwave. Sabun dipinjamkan oleh petugas (dan Anda harus bertanggung-jawab
mengembalikannya). Siapa bilang agama Katolik itu kehidupan yang mengerikan?
Selama salah satu masa tinggal saya
di sana, tetangga saya di lantai empat lebih beruntung. Merupakan sebuah keuntungan
untuk tinggal di Casa sepanjang tahun. Dengan tidak sampai menabrak asisten
Sekretariat Negara yang terkemuka ini, suatu hari, ketika dia mengenakan celana
pendek boxer (siap untuk pergi ke konsernya artis Cher?), saya berkesempatan
untuk mengintip ke apartemen sudutnya yang besar. Bayangkan, betapa terkejutnya
saya melihat tempat tidur dobel berwarna merah terang yang tidak akan lolos dari
sorotan kamera dalam sebuah film Fellini. Tempat untuk pertemuan rahasia? Tidak
jauh dari sana ada kamar lain yang terkenal, kamar 424, yang dulunya milik
Angelo Roncalli, calon Paus Yohanes XXIII.
Sarapan juga sedikit. Saya datang
untuk menyenangkan para pastor yang mengundang saya dengan begitu ngotot.
Semuanya berlawanan: roti yang disilangkan, bukan yang dipanggang; yoghurt yang
biasa dibeli per selusin; kopi filter yang sangat ‘tidak bersemangat Italia’ dengan
sistem isi ulang; dan cornflake yang tidak bernuansa Katolik. Satu-satunya
pengecualian adalah buah kiwi, tersedia dalam jumlah besar setiap pagi: tetapi
mengapa kiwi? Dan apakah Anda mengupasnya seperti buah persik atau memotongnya
menjadi dua seperti alpukat? Pertanyaan ini menjadi penyebab banyak perdebatan
di Casa, kata François Bacqué kepada saya. Saya makan empat dari makanan itu.
Sarapan di Casa del Clero seperti sarapan di rumah jompo di mana para
penghuninya dengan sopan diminta untuk bergegas dan mati untuk memberi ruang
bagi para uskup yang sedikit pikun - dan orang seperti mereka tidak langka di tengah
rumah penginapan besar ini, yaitu Vatikan.
Di ruang baca Domus Internationalis
Paulus VI, di lantai pertama, saya berkenalan dengan Laurent Monsengwo Pasinya,
seorang kardinal terkemuka dari Kinshasa, anggota dewan kardinal Francis, yang
mengatakan kepada saya bahwa dia suka datang ke Casa del Clero karena kita memiliki
kebebasan yang lebih besar disana daripada di Vatikan, sebelum bertemu dengan
paus.
Direktur Casa dan semua kediaman
Vatikan, Mgr. Battista Ricca, juga tinggal di sana: kedap udara dan, menurut
saya, apartemennya besar di sisi kiri mezzanine, bernomor 100. Ricca secara
teratur makan siang di Casa, dengan segala kesederhanaan, bersama dua teman
dekatnya di meja yang agak jauh dari yang lain, semacam meja untuk keluarga. Dan
di salah satu pertemuan kami, suatu malam, di ruang tamu di lantai pertama, di
depan televisi, saya memberikan Ricca 'buku putih' saya yang terkenal, dan dia berterima
kasih kepada saya dari dalam lubuk hatinya.
Di sini Anda juga bisa bertemu Fabián
Pedacchio, sekretaris pribadi paus Francis, yang telah lama tinggal di Domus, yang
dikisahkan bahwa dia menyiapkan sebuah kamar khusus dimana dia dapat bekerja
dengan tenang bersama uskup Brasil, Ilson de Jesus Montanari, sekretaris
Kongregasi untuk Para Uskup, atau dengan Mgr. Fabio Fabene, salah satu arsitek
sinode. Mgr. Mauro Sobrino, juga tinggal di sana, dan kami telah bertukar
sejumlah rahasia. Sepasang anak laki-laki misterius, bergaya dinkies dan bio-queens, yang suka mendengarkan lagu Born This Way oleh Lady Gaga, tinggal di sini juga, dan saya telah
melakukan beberapa percakapan malam yang indah dengan mereka. Seorang pastor Basque
juga menikmati beberapa relasi yang menyenangkan dalam 'lingkaran sihir' ini, demikian
istilah yang dipakainya.
Uskup Agung François Bacqué telah
tinggal di sini juga, sejak menyelesaikan karier diplomatiknya: aristokrat yang
jatuh ini masih menunggu untuk diangkat menjadi kardinal. Dia diduga telah
bertanya kepada Kardinal Jean-Louis Tauran, seorang Perancis, yang juga berasal
dari Bordeaux, dan seperti kebanyakan orang lainnya: "Bagaimana mungkin
Anda bisa menjadi seorang kardinal padahal Anda bukan seorang aristokrat? Dan
mengapa saya tidak, meski saya berasal dari kaum bangsawan? '(Ini dilaporkan
kepada saya oleh asisten Louis Tauran.)
Beberapa contoh orang semacam ini
dapat ditemukan dalam kelompok-kelompok di Casa del Clero, tempat di mana para
pemuda yang ambisius memiliki harapan yang tinggi, dan di mana para pensiunan klerus
yang telah jatuh dari rahmat (berbuat salah) merawat ego mereka yang karut
marut. Dengan cabang-cabang terakhir dari penurunan semangat Katolisitas ini,
'Casa' secara misterius menyatukan aristokrasi spiritual yang meningkat dengan
aristokrasi yang sama dalam hal kemunduran.
Tiga kapel, di lantai kedua dan
ketiga Casa del Clero, yang dimaksudkan agar seseorang dapat menghadiri misa
pada waktu yang dipilihnya; kadang-kadang, ‘kantor-kantor suci’ diramaikan oleh
kelompok-kelompok gay (saya diberitahu oleh seorang imam, dalam pernyataan
tertulis). Adanya layanan binatu di dalam kamar berarti para nuncio tidak harus
mencuci sendiri. Semuanya murah, tetapi harus dibayar tunai. Ketika saya datang
untuk membayar tagihan saya, mesin kartu-bayar Domus Internationalis Paulus VI
'rusak.' Dan hal yang persis sama juga terjadi selama setiap masa tinggal saya
disana; pada akhirnya seorang penghuni lain akan menunjukkan kepada saya bahwa
mesin ini 'tidak berfungsi sepanjang waktu dan telah bertahun-tahun' (dan
kerusakan teknis yang sama akan terjadi beberapa kali ketika saya tinggal di
Domus Romana Sacerdotalis) - mungkin ini adalah cara memastikan adanya sirkulasi
uang tunai?
Di Casa del Clero orang cenderung
tidak begadang sampai malam, karena mereka bangun pagi - tetapi ada beberapa pengecualian.
Pada hari ketika saya mencoba untuk tidur, saya mengerti dari kegelisahan dan
ketidaksabaran para wanita pembersih, bahwa saya hampir melakukan sebuah dosa. Selain
itu, pintu-pintu Casa del Clero ditutup pada tengah malam, dan semua nuncio ‘burung
hantu malam’ dan para diplomat-jet lagged lainnya, biasa bertemu untuk
mengobrol di ruang baca sampai pagi. Ini adalah keuntungan paradoks dari
pemberlakuan jam malam kuno.
Saya terpesona dengan portal ‘pelatih
ganda.’ Ada sesuatu yang menggugah dari Gide tentang hal itu; penulis buku If It Die itu mengatakan bahwa pintu
semacam ini adalah tanda status sosial yang tinggi dan menjadi keharusan bagi
setiap keluarga kelas menengah yang baik. Di masa lalu, portal semacam itu
memungkinkan Anda membawa pelatih dan kuda ke pintu setinggi permukaan tanah,
dan karenanya untuk 'menjaga perlengkapan.' Dan hari ini, hal itu ada di Casa
del Clero, betapa lengkapnya itu!
Di Sant'Agostino no.19, gerbang
pelatih di bagian belakang Domus Internationalis Paulus VI ada pintu samping
yang tersembunyi dan anonim. Berwarna coklat, terdiri dari dua panel, tetapi
tidak ada anak tangga dan tidak ada pembatas. Di tengah: ada sebuah pintu kecil,
panel kecil dipotong dari panel yang lebih besar untuk memungkinkan pejalan
kaki masuk secara diam-diam di malam hari. Trotoar dalam posisi diturunkan, dan
bingkai diukir dari ashlar putih. Di gerbang pelatih: ada paku-paku yang
terlihat dan pegangan besi biasa, sudah usang sekarang oleh begitu banyak pintu
masuk harian dan begitu banyak pengunjung di malam hari. Oh portal kuno,
dongeng seperti itu bisa Anda ceritakan!
Saya telah menghabiskan banyak waktu
mempelajari pintu ganda ini, melihat kedatangan dan kemunculan orang-orang,
memotret teras yang indah. Pintunya memiliki kedalaman yang cukup. Ada semacam keinginan
untuk mengintip jika melihat pintu tertutup, portal kota asli, dan ketertarikan
itu mungkin menjelaskan mengapa seni memotret pintu telah menjadi fenomena yang
sangat populer di Instagram, di mana potret seperti itu dapat ditemukan di
bawah tagar #doortraits.
Setelah sebuah koridor, sebuah
kisi-kisi, lalu ada halaman dalam – sebuah urutan yang biasa. Melalui tangga bagian
dalam, yang sering saya lalui, seseorang bisa mencapai lift C, dan dari sana ada
kamar-kamar tempat tinggal, tanpa harus melewati pondok atau bagian penerima
tamu. Dan jika seseorang memiliki kunci yang cocok, seseorang dapat masuk dan
keluar melalui kisi-kisi dan kemudian lewat gerbang pelatih, sehingga dia bisa lolos
dari aturan jam malam di tengah malam. Sungguh sebuah berkah! Sudah cukup untuk
memuaskan sebuah keinginan yang didambakan untuk hari-hari yang penuh kesibukan!
Saya menduga pintu ganda itu menyimpan
sejumlah rahasia Vatikan. Apakah ini akan membuka rahasia-rahasia itu suatu
hari nanti? Sangat nyaman, tidak ada porter penjaga di sisi gedung itu. Sebuah
berkat yang lain! Suatu hari Minggu di bulan Agustus 2018, saya melihat seorang
monsignor dari Sekretariat Negara menunggu pengawalnya yang tampan di sana dengan
celana pendek merah dan atasan biru, dan segera saja dia memeluknya dengan mesra
di jalan dan di sebuah kafe, sebelum membawanya kembali ke Casa! Saya
membayangkan bahwa ada beberapa malam ketika seorang rahib, yang dipanggil oleh
suatu kebutuhan yang mendesak, harus mengambil bagian di kantor para petugas di
Gereja Sant'Agostino, tepat di seberang gerbang pelatih, atau bahwa beberapa
nuncio yang bepergian, merasakan dorongan tiba-tiba untuk melihat Madonna of the Pilgrims yang luar biasa
dari Caravaggio, dan kemudian ‘berimprovisasi’ pada tamasya malam hari. Arcadia,
yang sesuai dengan namanya, juga menghadap gerbang pelatih, seperti halnya
Biblioteca Angelica, salah satu perpustakaan paling indah di Roma, di mana
seorang klerus mungkin tiba-tiba perlu berkonsultasi dengan beberapa incunabula
atau halaman-halaman tertentu dari Codex Angelicus yang terkenal. Dan kemudian,
bersebelahan dengan Casa del Clero, di sisi barat laut, ada Università della
Santa Croce, yang lebih dikenal sebagai universitas Opus Dei. Suatu ketika ada seseorang
yang pergi ke sana langsung dari kediaman klerus melalui jalan di atas kepala,
sekarang dia dihukum. Sayang sekali: hari ini Anda harus berjalan melalui
gerbang pelatih di malam hari jika Anda ingin pergi ke sana untuk mengikuti kelas
bahasa Latin atau pertemuan ultramontana dengan seminaris muda dan garis keras dari
Opus Dei.
Keanehan Casa del Clero berada di sebelah
barat gedung besar, di Piazza delle Cinque Lune: McDonald. Vatikan, seperti
kita ketahui, terlalu miskin untuk mempertahankan propertinya; mereka harus
berkorban dan setuju untuk menerima simbol makanan sampah Amerika. Dan menurut
informasi yang saya terima, Mgr. Ricca menandatangani perjanjian sewa baru
tanpa ancaman pisau di tenggorokannya.
Ada banyak kontroversi besar tentang
McDonald's yang bertempat di dekat Vatikan di sebuah gedung yang bukan milik Tahta
Suci, tetapi tidak ada seorang pun yang mengendap-endap di restoran cepat saji
ini yang diizinkan oleh Vatikan bagi warganya sendiri.
"Mereka memindahkan sebuah altar
kecil yang didedikasikan untuk Perawan Suci, yang menjadi pintu masuk yang
digunakan saat ini oleh McDonald's, dan hanya perlu membawa altar itu dekat ke
portal Casa del Clero di Via della Scrofa," salah satu penyewa tempat
disitu memberitahu saya .
Bahkan saya bisa melihat semacam meja
altar biru, merah dan kuning, dimana patung Sang Perawan yang malang telah
dipaku diluar kehendaknya, dengan mudahnya digeser di bawah beranda pintu masuk
resmi. Apakah McDonald memberikan tekanan untuk memastikan bahwa Perawan Suci
dipindahkan dari sajian menu McNuggets-nya?
Kontrasnya luar biasa. Gerbang
pembatas selat, dengan jam malam dan Ave Maria, di depan; gerbang pelatih
berpanel dua yang luar biasa dengan banyak kunci di belakang: inilah realita umum
dari agama Katolik. Paus tahu semua celah dan lubang di Casa del Clero: dia telah
tinggal di sana terlalu lama untuk tidak mengetahuinya.
Pada hari-hari yang cerah, surga
misteri ini bergerak ke luar; dan itu menjadi lebih menarik. Kemudian, Domus
Internationalis Paulus VI menjadi sebuah resor liburan. Anda dapat melihat para
sekretaris muda dari para dubes, setelah melepas kerah anjing (kerah imam) mereka,
berbicara disamping kisi-kisi, sebelum jam malam, dengan kaos krem ketat dan
celana pendek merah, serta para dubes dari negara-negara berkembang dan meninggalkan
'YMCA' itu sebelum tengah malam, untuk mengadakan pesta DYMK (‘Does Your Mother
Know’). Mereka akan pulang pada dini hari setelah kehilangan suara mereka dengan
menggumam 'Aku akan bertahan' atau 'Aku adalah apa adanya,' menari dengan jari
telunjuk tangan kiri mereka menunjuk ke langit seperti St. John the Baptist, di
pesta ‘Desa Gay Festival Fantasia’ di distrik EUR Roma, tempat saya bertemu
mereka.
"Di zaman saya, seorang pastor
tidak akan pernah muncul dengan celana pendek merah seperti itu," kata
Uskup Agung François Bacqué yang ketakutan ketika kami berjalan dengan manusia warna-warni
itu, yang tampak seolah-olah mereka telah mengorganisir semacam Happy Hour di
luar Casa del Clero.
"Bepergian sendirian sama saja
bepergian dengan iblis!" tulis seorang penulis Katolik (dan homoseksual)
yang hebat, Julien Green. Itu mungkin salah satu aturan kehidupan para dubes apostolik,
yang rahasianya saya temukan secara bertahap.
Pada awal penyelidikan saya, seorang
duta besar untuk Tahta Suci memperingatkan saya: “Di Vatikan, seperti yang akan
Anda lihat, ada banyak kaum gay: 50 persen, 60 persen, 70 persen? Tidak ada
yang tahu. Tetapi Anda akan melihat bahwa di antara para dubes, jumlah gay
mereka mencapai angka yang memusingkan! Di semesta Vatikan yang mayoritas gay,
mereka adalah yang paling gay di antara semuanya!”
Dan, melihat keterkejutan saya atas fakta
ini, diplomat itu tertawa di depan wajah saya:
“Kamu tahu, ungkapan ‘dubes homoseksual’
adalah sejenis tautologi (pengulangan kata)!”
Untuk memahami paradoks ini, mari
kita pikirkan peluang yang muncul jika berada sendirian di sisi lain dunia ini.
Peluang itu akan sangat indah ketika seseorang jauh dari rumah: begitu banyak
di Maroko dan Tunisia; semudah di Bangkok dan seperti di Taipei. Asia dan Timur
Tengah adalah tanah misi dan, untuk para nuncio atau dubes yang sering
berpindah tempat, semua itu benar-benar tanah yang dijanjikan. Di semua negara
ini, saya telah melihat mereka beraksi, dikelilingi oleh para favorit mereka,
sopan atau terlalu bersemangat, menemukan kehidupan nyata yang jauh dari
Vatikan dan tak henti-hentinya terus mengulangi: Oh, anjing gembala itu! Oh, si
pembawa itu! Oh, pengemudi unta itu! Oh, itu becak-walla!
“Didorong oleh semangat jantan untuk
bepergian,” dalam istilah penyair Paul Verlaine, para nuncio itu juga
memanfaatkan cadangan alam mereka yang sudah tersedia: para seminaris, para mahasiswa
tahun pertama, biarawan muda, yang bahkan lebih mudah diakses di Dunia Ketiga
daripada di Roma.”
“Ketika saya bepergian ke luar
negeri, mereka meminjamkan saya tanda Legiun Kristus,” uskup agung lain memberi
tahu saya. (Dia tidak menyindir apa pun dengan istilah ini, tetapi hal itu
memberi gambaran sebenarnya tentang status di mana dia memegang jabatan legiuner
ketika dia pergi ke 'bekas koloni.')
“Kata ‘bar’dan ‘kamp liburan’ terdengar
bagus di telinga para pelancong Eropa. Tempat-tempat itu membakar banyak pastor!"
saya diberitahu dengan kejujuran yang tidak biasa oleh seorang pastor dengan tanda
‘Misi Luar Negeri,’ yang adalah seorang Perancis yang saya wawancarai beberapa
kali di Paris. (Selama penyelidikan ini saya bertemu banyak imam misionaris di
Asia, di Afrika, di Maghreb dan di Amerika Latin. Untuk diskusi ini saya
menggunakan pernyataan sekitar dua puluh orang nuncio dan diplomat yang telah
memberi tahu saya tentang kebiasaan dari teman-teman dan rekan seiman mereka.)
Sebenarnya, ini adalah rahasia
terbuka lainnya. Para imam telah meninggalkan jejak busuk mereka di mana-mana.
Para manajer bar khusus gay yang saya wawancarai di Taiwan, Hanoi atau Hue
penuh dengan pujian untuk pelanggan yang setia dan serius ini (imam-imam). Para
pelayan di bar-bar di daerah Shinjuku Ni-chōme Tokyo menunjukkan daftar pelanggan
tetap mereka kepada saya (imam-imam). Wartawan spesialis gay di Bangkok
menyelidiki beberapa insiden yang melibatkan 'moral' atau pertanyaan tentang visa
ketika ada seorang uskup ingin ‘mengajak’ seorang pemuda Asia yang tidak
berdokumen kembali ke Italia. Di mana-mana, kehadiran pastor, biarawan, dan klerus
Eropa telah terbukti.
Terlepas dari para nuncio, dimana bepergian
adalah menjadi basis dari perdagangan mereka, para imam Kuria juga menggunakan
liburan mereka untuk terlibat dalam eksplorasi seksual inovatif yang jauh dari
Vatikan. Tetapi, tentu saja, para monsignori ini jarang memamerkan status
profesional mereka ketika mereka berada di Manila atau Jakarta. Mereka tidak
berpakaian sebagai klerus.
"Karena mereka telah menganut
prinsip-prinsip dan ajaran yang lebih kuat dari pada sifat asli mereka, dan
karena mereka telah mensublimasikan hasrat mereka begitu lama, hingga mereka ‘meledak’
di luar negeri," kata imam dari Misi Luar Negeri kepada saya.
Vietnam, terutama, sangat dihargai saat
ini. Rezim komunis dan sensor pers melindungi semua petualangan kaum gerejawi
jika terjadi skandal, sedangkan di Thailand semuanya berakhir di meja pers.
"Turisme (wisata) seksual sedang
bermigrasi," kata Mr. Dong, manajer dua bar gay di Hue, Vietnam, kepada
saya. "Turisme Itu bergerak dari negara-negara yang menjadi sorotan,
seperti Thailand atau Manila, menuju negara-negara dengan liputan media yang
lebih sedikit, seperti Indonesia, Malaysia, Kamboja, Burma, atau Vietnam."
(Saya terhibur dengan nama salah satu perusahaan yang dimiliki oleh Tn. Dong,
yang saya kunjungi di Hue: namanya Ruby, seperti mantan gadis pendamping
Berlusconi di pesta bunga-bunga-nya.)
Asia bukan satu-satunya tujuan bagi
para imam ini; tetapi itu adalah salah satu yang paling berharga bagi semua
orang yang dikecualikan dari seksualitas standar: anonimitas dan pengecualian
yang ditawarkan tak ada bandingnya. Afrika, Amerika Selatan (misalnya, Republik
Dominika, di mana jaringan penting para imam gay telah dideskripsikan dalam sebuah
buku di Polandia) dan Eropa Timur, juga memiliki penggemar mereka, belum lagi
Amerika Serikat, contoh panutan untuk semua lelaki Stonewall. Anda dapat
melihat mereka berjemur di pantai Provincetown, menyewa sebuah bungalow di
'Pines' atau Airbnb di lingkungan gay di Hell's Kitchen, Boystown atau Fort
Lauderdale. Satu curé Prancis memberi tahu saya bahwa setelah secara metodis
mengunjungi distrik-distrik Amerika bohemian dan post-gay ini, dia menyesali
'kualitas campuran yang berlebihan' dan kurangnya 'gayitude' mereka.
Dia benar: hari ini persentase
homoseksual mungkin lebih tinggi di Vatikan yang tertutup, daripada di Cuba Castro
pasca-gay.
Pada akhirnya beberapa klerus lebih
suka tinggal di Eropa untuk melakukan sirkuit klub gay di Berlin, untuk
berpartisipasi dalam ‘malam SM’ di Gereja, di Amsterdam, atau tidak ketinggalan,
Pesta Penutupan di Ibiza, kemudian merayakan ulang tahun mereka, yang merayakan
'Birthweek' di Barcelona. (Di sini saya menggunakan contoh aktual tentang para nuncio
atau pastor yang wisata seksualnya digambarkan kepada saya di tanah aslinya.)
Maka aturan baru dari Lemari muncul, kesebelas: Kebanyakan
nuncio adalah homoseksual, tetapi diplomasi mereka pada dasarnya seolah homofobik
(tidak suka homosex). Mereka mengecam apa yang mereka lakukan sendiri. Adapun para
kardinal, uskup dan imam, semakin banyak mereka bepergian, semakin banyak dugaan
atas perbuatan busuk mereka!
Nuncio La Païva, yang telah saya
sebutkan sebelumnya, tidak terkecuali dalam aturan ini. Dia juga adalah
spesimen yang tampan. Dan dia memang dari spesies seperti itu! Sebagai uskup
agung, dia terus dipamerkan selamanya.
Dan dia juga mewartakan Injil. Dia adalah salah satu dari orang-orang yang, di
kompartemen kereta yang hampir sepi, atau deretan kursi bus kosong, akan pergi
dan duduk di sebelah seorang pemuda tampan yang bepergian sendiri, untuk
mencoba ‘membawanya kepada iman.’ Dia juga senang berlarian di sepanjang jalan,
seperti yang saya lihat dia lakukan, meskipun dia menyerupai nuncio terkenal yang
diukir oleh pematung Fernando Botero - gemuk, bundar dan sangat merah - jika hal
itu memungkinkan dia untuk terlibat dalam percakapan dengan seorang seminaris
yang kepadanya dia tiba-tiba mengembangkan keinginan nafsunya.
Pada saat yang sama, La Païva adalah suatu
karakter yang menang, terlepas dari temperamen reaksionernya. Ketika kami pergi
ke sebuah restoran di Roma, dia ingin saya mengenakan kemeja dan jaket,
meskipun suhu di luar 30 derajat. Pada suatu malam, dia bahkan membuat
keributan: dia sama sekali tidak menyukai penampilan brewok saya, dan saya
harus bercukur! La Païva memberitahu saya: “Saya tidak mengerti mengapa
anak-anak muda menumbuhkan janggut mereka akhir-akhir ini.” (Saya senang La
Païva merujuk saya seolah-olah saya seorang yang masih muda.)
"Saya tidak menumbuhkan jenggot,
Yang Mulia. Dan saya juga belum mencukur habis. Itulah yang Anda sebut jenggot
tiga hari.”
“Apakah hal itu hanya karena
kemalasan? Itu saja?”
"Saya hanya berpikir itu lebih
baik. Saya bercukur setiap tiga atau empat hari."
"Saya lebih suka Anda dicukur
bersih, Anda tahu."
"Tuhan juga punya jenggot,
bukan?"
Saya ingat potret Rembrandt tentang
Kristus (Christuskopf, sebuah lukisan kecil yang saya lihat di Gemäldegalerie
di Berlin), mungkin itu adalah lukisan yang terindah: wajah-Nya halus dan
lemah; Dia memiliki rambut panjang yang tidak rapi dan jenggot-Nya panjang. La
Païva, pada kenyataannya, adalah seorang peniru Kristus, hingga dia hampir bisa
merobekkan jeans! Rembrandt melukis Kristus dari seorang model hidup yang anonim
- sebuah ide yang baru dalam lukisan keagamaan waktu itu - mungkin seorang
pemuda dari komunitas Yahudi Amsterdam. Karena dari model itu kemanusiaan-Nya
dan kesederhanaan-Nya nampak. Kerentanan Kristus menyentuh hati saya, ketika saya
ingat akan François Mauriac, yang sangat menyukai potret ini sehingga, seperti
kita semua, dia jatuh cinta pada-Nya.
Para nuncio, diplomat, dan uskup
dengan siapa saya sering berjumpa di Domus Internationalis Paulus VI adalah para
tentara paus di seluruh dunia. Sejak pemilihan John Paul II, keterlibatan
internasional mereka semakin inovatif, sejalan dengan kebijakan negara-negara
utama, dan khususnya yang mendukung dan menguntungkan hak asasi manusia,
penghapusan hukuman mati, pelucutan senjata nuklir, dan proses perdamaian. Baru-baru
ini, Francis telah memprioritaskan pertahanan terhadap lingkungan, upaya untuk
mendekatkan Amerika Serikat dan Kuba, dan pengamanan FARC (Angkatan Bersenjata
Revolusioner Kolombia).
“Ini adalah diplomasi kesabaran.
Vatikan tidak pernah melepaskan upaya ini, terutama ketika kekuatan-kekuatan
lain melakukannya. Dan ketika semua orang meninggalkan suatu negara, karena
perang misalnya, para dubes atau nuncio tetap tinggal di negara itu meski
berada di bawah ancaman bom. Kami telah melihat hal ini bahwa di Irak, dan
baru-baru ini di Suriah,” kata Pierre Morel menekankan. Dia adalah mantan duta
besar Tahta Suci untuk Perancis.
Pierre Morel menjelaskan kepada saya secara
rinci, dalam beberapa wawancara di Paris, cara kerja para diplomat Vatikan ini,
dengan peran masing-masing nuncio, Sekretariat Negara, Kongregasi Gereja-Gereja
Oriental, peran paus 'merah' (kardinal yang bertanggung jawab atas
'evangelisasi rakyat,' yang dimaksud adalah di Dunia Ketiga), paus 'hitam'
(superior jenderal Yesuit), dan, yang terakhir, 'diplomasi paralel' Sekretariat
Negara mengoordinasikan jaringan keseluruhan dan menetapkan arah secara umum.
Aparat diplomatik yang efisien dan
disalahpahami ini juga telah melayani, di bawah John Paul II dan Benedict XVI, suatu
perang salib ultra-konservatif dan homofobik. Adalah mungkin untuk menceritakan
kisah ini melalui karier dua nuncio simbolik yang keduanya adalah pengamat
tetap Vatikan di PBB: Uskup Agung Renato Martino, sekarang menjadi kardinal,
dan nuncio Silvano Tomasi.
Ketika saya tiba di rumah Renato
Raffaele Martino di Via Pfeiffer di Roma, tidak jauh dari Vatikan, nampak seorang
Filipina - mungkin berusia dua puluhan, mungkin tiga puluh, sebagai intisari dari
keindahan Asia - membuka pintu bagi saya dengan senyum lebar. Dia membimbing
saya diam-diam ke ruang tamu kardinal, tempat wali gereja itu bergabung dengan
saya.
Tiba-tiba saya tidak menghadapi satu
Renato Martino saja, tetapi ada sekitar sepuluh Martino. Saya benar-benar
dikelilingi oleh potret-potret kardinal, dalam ukuran sebenarnya, dilukis
dengan berbagai jenis gaya, kadang-kadang menempati seluruh panel, yang diatur
oleh nuncio di setiap dinding dan di setiap sudut apartemennya.
Saya bisa mengerti bahwa, pada usia
86, kardinal itu merasa bangga dengan karirnya sejak penahbisan uskup Agostino
Casaroli yang agung, dan bahwa dia juga harus menghargai dirinya sendiri. Lagi
pula, dia berjuang seperti iblis untuk menghalangi pertempuran melawan AIDS di
lima benua, dengan tingkat keberhasilan tertentu, dan tidak semua orang bisa
mengatakan itu. Tapi saya tidak dapat menahan perasaan bahwa memiliki begitu
banyak potret diri secara bersamaan, begitu menonjol, begitu menarik, hampir
seperti banyak patung, adalah sebuah sikap yang berbatasan dengan sikap konyol.
Sisa pertemuan kami berjalan di jalur
yang sama. Pria tua itu tidak benar-benar menjawab pertanyaan saya, meskipun
seperti kebanyakan nuncio, dia mengekspresikan dirinya dalam bahasa Perancis yang
sempurna, tetapi dia malahan mengajak saya berkeliling rumah. Renato Raffaele
Martino mengatakan bahwa dirinya telah mengunjungi 195 negara selama kariernya
yang panjang sebagai nuncio: dia telah membawa kembali benda-benda yang tak
terhitung jumlahnya dari semua perjalanan itu, yang sekarang dia tunjukkan
kepada saya di ruang makannya, kapel pribadinya, koridornya yang tak
berkesudahan, sepuluh kamarnya, dan bahkan teras yang indah dengan pemandangan
indah ke kota Roma Katolik. Apartemennya setidaknya sepuluh kali lebih besar
dari milik Paus Francis.
Itu adalah sebuah museum, sebuah
lemari penuh keingintahuan - sebuah lemari pernak-pernik, mungkin. Kardinal itu
menunjukkan kepada saya, satu demi satu, 38 dekorasi, 200 medali yang terukir
namanya, 14 doktor honoris causa dan 16 potret dirinya. Saya juga melihat sapu
tangan bertuliskan lambang, pernak-pernik, gajah mini yang terkelupas, topi
panama kolonial yang bagus, dan di dinding, ada beberapa sertifikat yang dibuat
untuk memuji 'keagungannya yang paling terhormat,' dan dalam gambar itu saya
tidak tahu betapa aneh ordo ksatria ini (ordo dari St. Januarius, mungkin). Dan
ketika kami berjalan di sekitar semua peninggalan dan benda-benda lainnya ini,
saya perhatikan bahwa orang Filipina itu mengawasi kami dari kejauhan, dengan
ekspresi kekecewaan dan sikap apatis yang tertahan; dia pasti telah melihat
prosesi seperti ini berkali-kali.
Di karavan besar di apartemen, yang
sangat berantakan, saya sekarang menemukan foto-foto kardinal di atas punggung
gajah dengan seorang pemuda tampan; di sini dia berpose bersama seorang teman dari
Thailand, di sana bersama pemuda Laos, Malaysia, Filipina, Singapura atau
Thailand – semuanya merupakan representasi yang baik dari negara-negara di mana
dia telah menjadi wakil-nuncio, pro-nuncio atau nuncio. Jelas bahwa Raffaele
Martino menyukai Asia. Dan hasratnya terhadap gajah dipamerkan secara terbuka,
di setiap sudut apartemennya.
Menurut dua sumber diplomatik,
'penciptaan' Martino sebagai kardinal oleh John Paul II sangat panjang dan
penuh dengan perangkap. Apakah dia punya musuh? Kurangnya 'kejujuran'? Apakah
pengeluarannya terlalu boros? Apakah ada terlalu banyak rumor tentang
perilakunya? Apa pun masalahnya, dia tetap menunggu selama beberapa konsistori.
Setiap kali asapnya yang mengepul tidak berubah menjadi putih, Martino
mengalami kelelahan. Terlebih lagi karena dia telah membeli biretta, calotte,
mozzettas merah dan cincin safir, bahkan sebelum dia dijadikan kardinal. Komedi
manusia ini berlangsung selama beberapa tahun, dan syal sutra moiré dan damask
yang dililitkan dengan benang emas mulai tampak dikenakan dengan sedih, ketika
nuncio, pada usia hampir 71, akhirnya diangkat menjadi kardinal. (Dalam
‘Testimonianza’-nya, Mgr. Viganò, dikatakan bahwa Martino mencurigai dia
termasuk dalam arus homoseksual yang merongrong doktrin Katolik tentang
homoseksualitas di dalam Kuria, yang dengan cepat disangkal oleh teman-temannya
dalam sebuah komunike.)
Di kapelnya, kali ini, di
tengah-tengah berbagai potret Martino dan jimatnya, yang dengan hati-hati
dilindungi dari sengatan matahari oleh tirai-tirai dengan pinggiran bersulam,
saya menemukan lukisan Tritunggal Kudus karya seniman LGBT: Leonardo da Vinci,
Michelangelo dan Caravaggio. Masing-masing orang homosex terkenal ini diwakili
oleh salinan salah satu karyanya. Kami menghabiskan beberapa saat berbicara
tentang pembantu rumah tangganya dari Filipina, dan Martino, yang tampaknya
tidak memahami apa yang saya maksudkan, melayang dalam imajinasinya ketika dia
memberi saya potret indah tentang bocah lelaki itu, yang menyatakan bahwa
sebenarnya dia memiliki 'dua orang Filipina' yang melayani dia. Martino lebih
suka memilih mereka daripada biarawati yang lebih tradisional. Saya bisa mengerti
hal ini.
Perjanjian Lama, seperti semua orang
tahu, dipenuhi oleh karakter-karakter yang lebih berwarna, lebih berani dan
juga lebih mengerikan dari pada Perjanjian Baru. Kardinal Renato Martino, dengan
caranya sendiri, adalah sosok dari Kitab Perjanjian Lama. Bahkan saat ini dia adalah
presiden kehormatan Institut Dignitatis Humanae, salah satu asosiasi Katolik
sayap kanan dan lobi politik ultra-konservatif yang dijalankan oleh orang
Inggris, Benjamin Harnwell. Jika ada organisasi yang secara homofobia
terstruktur dalam buku ini, inilah: Renato Martino mewujudkan dan mewakili nilai-nilainya.
Di 195 negara yang telah dia
kunjungi, di kedutaan tempat dia menjadi nuncio, dan sebagai 'pengamat
permanen' untuk Tahta Suci di PBB selama 16 tahun, dari 1986 hingga 2002,
Renato Martino adalah pembela hak asasi manusia yang hebat, seorang anti-aborsi
militan dan penentang keras hak-hak gay dan pemakaian kondom.
Di PBB, Renato Martino adalah juru
bicara utama John Paul II, jadi dia harus menerapkan garis paus. Margin
manuvernya diakui terbatas, seperti halnya untuk semua diplomat. Tetapi menurut
lebih dari dua puluh pernyataan yang dikumpulkan di New York, Washington dan
Jenewa, termasuk dari tiga mantan duta besar untuk PBB, Martino menyampaikan
misi anti-gay-nya yang cukup bias, agak kabur, termasuk permusuhan pribadi
terhadap homoseksual, sehingga kebenciannya terhadap gay patut dipertanyakan.
"Tuan Martino bukanlah diplomat yang
normal," kata seorang duta besar yang menjadi sejawatnya di New York.
"Saya belum pernah melihat orang yang bersikap mendua seperti itu.
Sebagai pengamat tetap Tahta Suci di
PBB, dia memiliki dua wajah, dan garis politiknya jelas menggunakan standar
ganda pula. Dia memiliki pendekatan humanis terhadap hak asasi manusia, yang
merupakan ciri khas Tahta Suci, dan selalu sangat moderat. Dia adalah pembela
keadilan, perdamaian dan, saya terutama ingat, pembela hak-hak orang Palestina.
Dan kemudian, tiba-tiba, ketika pertanyaan tentang perang melawan AIDS, aborsi
atau dekriminalisasi atas homosex muncul, dia menjadi bersikap Manichean,
obsesif dan pendendam, seolah-olah hal itu menyentuh dirinya secara pribadi. Tentang
hak asasi manusia, dia mengekspresikan dirinya sedikit seperti Swiss atau
Kanada; dan tiba-tiba, tentang pertanyaan gay atau AIDS, dia berbicara seperti
Uganda atau Arab Saudi! Dan terlebih lagi, Vatikan kemudian melanjutkan untuk
membentuk aliansi yang tidak wajar, dalam pandangan kami, dengan Suriah dan
Arab Saudi, dalam hal pertanyaan tentang hak-hak kaum homoseksual. Martino
adalah laksana Dr. Jekyll dan Mr. Hyde!”
Seorang diplomat kedua di Vatikan,
Silvano Tomasi, memainkan peran yang sama di Swiss. Jika perwakilan permanen PBB
dan Dewan Keamanannya berada di New York, sebagian besar badan PBB yang campur
tangan dalam masalah hak asasi manusia dan perang melawan AIDS berada di
Jenewa: Komisi Hak Asasi Manusia, Organisasi Kesehatan Dunia, UNAIDS, Dana
Global untuk Memerangi AIDS dan, tentu saja, Dewan HAM PBB. Vatikan diwakili di
semua lembaga ini oleh hanya satu 'pengamat permanen' tanpa hak suara.
Ketika saya bertemu Silvano Tomasi di
Vatikan, di mana dia menerima saya pada malam pertemuan internasional yang
diadakan di Aula Audiensi Paul VI, wali gereja itu meminta maaf karena tidak
punya banyak waktu untuk berbicara dengan saya. Pada akhirnya, kami bisa berbicara
selama lebih dari satu jam, dan dia melepaskan sisa konferensi - yang
seharusnya dia ikuti – agar dia bisa berbicara dengan saya.
“Baru-baru ini paus Francis memberi
tahu kami, berbicara tentang nuncio apostolik, bahwa hidup kita harus menjadi
kehidupan para ‘gipsi,” kata Tomasi memberi tahu saya, dalam bahasa Inggris.
Jadi, sebagai penghibur, seorang nomaden,
dan mungkin seorang bohemian, Tomasi berkeliling dunia, seperti yang dilakukan
semua diplomat. Dia adalah duta besar Vatikan di Ethiopia, Eritrea, dan
Djibouti, sebelum menjadi penanggung jawab Dewan Kepausan untuk Pelayanan
Pastoral bagi Migran dan Orang-Orang yang terusir.
“Pengungsi, migran, adalah prioritas
paus Francis. Dia tertarik dengan kaum pinggiran, di pinggiran masyarakat, orang-orang
yang terusir. Dia ingin menjadi suara bagi mereka yang tidak memiliki
suara," kata Tomasi memberitahu saya.
Anehnya, nuncio itu memiliki tiga
kewarganegaraan: dia orang Italia, lahir di utara Venesia pada tahun 1940;
seorang warga Negara Vatikan dalam kapasitasnya sebagai nuncio; dan juga
sebagai orang Amerika.
"Saya mencapai New York pada
usia 18 tahun. Saya adalah seorang mahasiswa Katolik di Amerika Serikat, saya
menyampaikan tesis di the New School
di New York, dan untuk waktu yang lama saya adalah seorang imam di Greenwich
Village."
Silvano Tomasi muda ditahbiskan
sebagai imam dalam misi Santo Charles Borromeo, yang didirikan pada akhir abad
kesembilan belas, yang tujuan utamanya adalah mewartakan Injil kepada Dunia
Baru. Pada 1960-an, dia menjalankan pelayanannya di sebuah paroki yang
didedikasikan untuk imigran Italia yang tinggal di New York: Our Lady of Pompeii, sebuah gereja di the Village, di Bleecker Street dan
Sixth Avenue.
Itu adalah daerah yang saya kenal
dengan baik, karena saya telah tinggal di Manhattan selama beberapa tahun. Anda
berjarak lima menit berjalan kaki dari Stonewall Inn. Di sanalah, pada Juni
1969, ketika Silvano Tomasi muda pindah ke daerah itu, dimana gerakan
homoseksual Amerika lahir pada sebuah malam yang penuh kerusuhan. Setiap tahun,
di seluruh dunia, acara ini diperingati dengan nama Gay Pride. Selama tahun
1970-an, Greenwich Village menjadi tempat simbolis pembebasan homoseksual, dan
di sinilah wali gereja muda itu menjalankan misinya, di antara para hippi,
waria, dan aktivis gay yang berkerumun ke distrik itu.
Selama wawancara kami, kami berbicara
tentang 'Desa' dan fauna LGBT-nya. Mungil seperti tombol, Silvano Tomasi
mengekspresikan dirinya dengan kontrol diri yang hebat, ditambah dengan
pengendalian diri. Dia tidak bisa menahan tawa saat dia melakukannya.
"Kamu tahu: kita mengadakan
pembicaraan yang bersahabat - kamu akan membuatku mengatakan banyak hal, dan
kemudian kamu hanya akan menyimpan hal-hal yang telah kukatakan melawan Gereja,
seperti semua jurnalis," kata Tomasi kepada saya sambil tertawa, tapi dia
terus berbicara dengan gembira. (Wawancara diatur secara resmi melalui layanan
pers Vatikan, dan wali gereja itu tahu bahwa dia sedang direkam, karena saya
menggunakan alat Nagra yang sangat kasat mata.)
Setelah banyak bepergian, Tomasi
mengakhiri karirnya dengan menjadi 'pengamat permanen' untuk Tahta Suci di markas
PBB, Jenewa. Di sanalah, antara 2003 dan 2016, dia menerapkan diplomasi Paus John
Paul II dan Benediktus XVI.
Jadi selama lebih dari sepuluh tahun
menjadi kepala diplomat Vatikan, meskipun dia sangat akrab dengan Greenwich
Village, dia melakukan kebijakan yang sama anti-gaynya seperti yang diwakili di
New York oleh rekannya Renato Martino. Bersama-sama, kedua nuncio itu mengeluarkan
energi yang cukup besar dalam upaya memblokir inisiatif yang ditujukan untuk melakukan
dekriminalisasi homosex internasional dan penggunaan kondom. Mereka campur
tangan dalam berbagai kesempatan untuk menghalangi proyek-proyek seperti itu
oleh OMS, UNAIDS atau Global Fund untuk memerangi AIDS, seperti yang
dikonfirmasi oleh beberapa direktur badan-badan PBB di Jenewa kepada saya,
termasuk direktur jenderal ONUSIDA, Michel Sidibé.
Pada saat yang sama, kedua nuncio ini
selalu tetap sangat rahasia tentang kasus pelecehan seksual oleh para pastor,
yang jumlahnya mencapai ribuan kasus selama tahun-tahun itu. Singkatnya, itu
adalah sikap moral yang fleksibel.
“Seorang diplomat yang baik adalah
seorang diplomat yang mewakili pemerintahannya dengan baik. Dan seperti yang terjadi,
bagi Vatikan, nuncio apostolik yang baik adalah seseorang yang tetap setia
kepada paus dan prioritas yang dia pertahankan,” demikian Tomasi memberi tahu
saya dengan sederhana, untuk membenarkan tindakannya di Jenewa dan kepatuhannya
yang ketat terhadap garis yang dipaksakan oleh John Paul II.
Pada tahun 1989, untuk pertama
kalinya, paus menyampaikan pidato tentang masalah AIDS kepada majelis dokter
dan ilmuwan di Vatikan. Dia sudah pernah terlihat pada tahun 1987, di Los
Angeles, mencium seorang anak yang dihukum mati oleh virus AIDS atau, selama
pesan Natal 1988, menyerukan belas kasih bagi para korban epidemi AIDS, tetapi
dia belum pernah menyatakan dirinya di depan umum mengenai masalah itu. “Tampaknya
cukup menyakitkan bagi martabat manusia dan karenanya secara moral adalah terlarang,”
kata John Paul II kali ini, “untuk mengembangkan cara-cara pencegahan AIDS
berdasarkan pada cara dan solusi yang melanggar rasa seksualitas manusia yang
otentik, dan itu merupakan pengobatan paliatif bagi kecemasan mendalam di mana
tanggung jawab individu dan masyarakat menjadi masalah.”
Tentu saja paus tidak menyebut
'kondom' seperti itu (dia tidak akan pernah), tetapi deklarasi awal ini
membangkitkan emosi di seluruh dunia. Pada bulan September 1990 dan lagi pada bulan
Maret 1993, dia menyampaikan pidato seperti itu lagi, di tanah Afrika kali ini,
di Tanzania dan kemudian di Uganda, dua negara yang paling tersentuh oleh
pandemi AIDS, dan dia menambahkan 'bahwa pembatasan seksual yang diterapkan oleh
aturan kesucian adalah cara yang aman dan berbudi luhur untuk mengakhiri luka
tragis karena AIDS.' Paus tidak pernah mentolerir pengecualian terhadap
peraturannya, bahkan dalam kasus pasangan menikah tanpa gejala (salah satu dari
pasangannya adalah HIV positif), meskipun saat ini satu dari delapan orang
Uganda terkontaminasi oleh virus itu.
Sikap ini diperdebatkan tidak hanya
oleh komunitas ilmiah dan medis, tetapi juga oleh para kardinal berpengaruh
seperti Carlo Maria Martini dan Godfried Danneels (Uskup Agung Paris, Jean-Marie
Lustiger, dengan kasuistis yang tak ada bandingannya, mempertahankan posisi
John Paul II sementara dia mengusulkan bahwa ‘pengecualian atas hal ini’ sebagai
'kejahatan yang lebih rendah tingkatnya.')
Di PBB, Renato Martino melanjutkan
untuk meluncurkan kampanye keras melawan 'seks aman' dan penggunaan kondom. Pada
tahun 1987, ketika sebuah komite para uskup Amerika menerbitkan sebuah dokumen
yang mengatakan bahwa perlu menginformasikan kepada penduduk tentang cara-cara
melindungi diri mereka sendiri, Renato Martino melakukan intervensi pada
tingkat tinggi untuk melarang teks tersebut. Dia kemudian berusaha untuk
memastikan bahwa pencegahan AIDS tidak muncul dalam dokumen atau deklarasi PBB
apa pun. Beberapa saat kemudian, dia menggunakan artikel yang konon ilmiah,
yang didistribusikan secara besar-besaran oleh Kardinal López Trujillo, untuk
mengecam bahaya 'seks tanpa risiko' dan menyatakan adanya banyak infeksi yang menyebar
melalui hubungan seksual yang ‘aman.’ Pada tahun 2001, tepat sebelum akhir
misinya, ketika konferensi uskup di Afrika Selatan menerbitkan surat pastoral
yang membenarkan penggunaan kondom dalam kasus pasangan menikah tanpa gejala
AIDS, Martino sekali lagi gelisah dan berusaha mencoba membungkam para uskup
Afrika Selatan.
"Kondom akan memperburuk masalah
AIDS". Ungkapan itu adalah salah satu yang paling terkenal dari kepausan
Benediktus XVI. Memang, sering kali hal itu telah terdistorsi. Mari kita
mengingat secara singkat konteks dan kata-kata yang tepat. Pada 17 Maret 2009,
paus melakukan perjalanan ke Yaoundé di Kamerun, dalam perjalanan pertamanya ke
Afrika. Di pesawat Alitalia, dalam konferensi pers yang diselenggarakan secara
mendetail, dia berbicara. Pertanyaan itu, yang dipersiapkan sebelumnya,
diajukan oleh seorang jurnalis Perancis. Dalam jawabannya, setelah memuji karya
umat Katolik dalam perjuangan melawan AIDS di Afrika, Benediktus XVI
menambahkan bahwa penyakit itu tidak dapat dikalahkan hanya dengan uang:
"Jika tidak ada jiwa," katanya, "jika orang Afrika tidak membantu
satu sama lain, tidak mungkin mengalahkan momok ini hanya dengan membagikan
kondom; sebaliknya, itu (kondom) berisiko meningkatkan masalah."
“Jika kita jujur, kita harus mengakui
bahwa tanggapan paus, secara keseluruhan, cukup masuk akal. Apa yang menyebabkan
masalah hanyalah satu ungkapan: gagasan bahwa kondom adalah ‘lebih buruk,’
bahwa ia juga ‘memperburuk’ segala sesuatu. Hanya gagasan ‘lebih buruk’ inilah
yang salah," kata Federico Lombardi, juru bicara Benedict XVI, mengakui. (Lombardi,
yang bersama dengan paus di pesawat, menegaskan kepada saya bahwa pertanyaan
tentang AIDS telah dijelaskan dan dipersiapkan sebelumnya.)
Ungkapan itu segera menimbulkan
protes di lima benua: Benediktus XVI dikritik, diejek, bahkan dicerca. Presiden
banyak negara, perdana menteri, dan dokter yang tak terhitung jumlahnya dengan
reputasi global, banyak di antara mereka Katolik, mengecam 'kata-kata paus yang
tidak bertanggung jawab' untuk pertama kalinya. Beberapa kardinal menyebutnya
sebagai 'kesalahan besar' atau 'kesesatan.’ Yang lain, seperti asosiasi Act Up,
menuduh paus sebagai 'penjahat.'
“Para uskup dan imam yang sudah
menggunakan bahasa anti-kondom, melihat diri mereka dilegitimasi oleh kalimat Benediktus
XVI ini. Jadi mereka memberikan homili dalam jumlah besar di gereja-gereja
mereka melawan perjuangan anti-AIDS dan, tentu saja, beberapa dari mereka
bersikeras bahwa penyakit itu adalah hukuman dari Tuhan untuk menghukum kaum
homosex," demikian saya diberitahu oleh seorang pastor Afrika yang juga
seorang diplomat dari Tahta Suci (yang saya temui secara kebetulan di sebuah
kafe di Borgo di Roma).
Seringkali para uskup dan imam
Katolik ini menjadi alasan umum bagi para pastor, evangelis, atau imam Amerika
yang homofobia, yang menentang hak-hak gay dan kondom sebagai cara untuk memerangi
AIDS.
Menurut diplomat Vatikan ini, para
nuncio di lapangan terutama memiliki tugas untuk mengawasi para uskup Afrika
dan apa yang mereka katakan tentang homosex dan AIDS. Mereka harus melaporkan
'penyimpangan' terkecil sekali pun kepada Tahta Suci. Di bawah John Paul II dan
Benediktus XVI, seorang imam hanya perlu menyetujui distribusi kondom, atau
tampak mendukung homosex, agar dia segera kehilangan semua harapan untuk menjadi
seorang uskup.
Pengacara terkenal, Alice Nkom, menjelaskan
kepada saya bahwa di negaranya, Kamerun, tempat saya melakukan penyelidikan,
ada 'perburuan nyata terhadap kaum homoseksual.' Namun, dia bersikeras, uskup
Samuel Kéda mengambil posisi mendukung kriminalisasi atas homoseksualitas, dan
berupaya menghukum orang dengan AIDS. Di Uganda, di mana ada seorang aktivis
gay dibunuh, uskup agung Katolik Cyprian Lwanga menentang dekriminalisasi
terhadap homosex. Di Malawi, Kenya dan Nigeria, perwakilan Gereja Katolik
membedakan diri mereka dengan pidato-pidato homofobik dan anti-kondom
(sebagaimana dikonfirmasi oleh laporan terperinci oleh Human Rights Watch, yang
diteruskan ke pada paus Francis pada 2013).
Kebijakan yang tidak adil secara
moral dengan efek kontraproduktif, seperti yang saya katakan pada wawancara di
Jenewa, oleh Mali Michel Sidibé, direktur jenderal badan PBB UNAIDS: “Di Afrika
sub-Sahara, virus AIDS ditularkan terutama oleh hubungan heteroseksual. Karena
itu kami dapat menegaskan - dan kami memiliki angka untuk mendukung kesimpulan ini
- bahwa undang-undang homofobik, selain ia menjadi serangan terhadap hak asasi
manusia, ia juga sama sekali tidak berguna. Semakin banyak homoseks yang
bersembunyi, semakin rentan mereka. Pada akhirnya, dengan memperkuat
stigmatisasi, seseorang berisiko menghentikan pertempuran melawan AIDS, dan
meningkatkan infeksi di antara populasi yang rentan."
Di antara banyak wali gereja Afrika
yang homofobia, ada dua kardinal yang menonjol. Mereka telah menarik perhatian
selama beberapa tahun terakhir dengan pidato mereka menentang kondom dan
homoseksualitas: Wilfrid Napier dari Afrika Selatan, dan Robert Sarah dari Guinea,
yang diangkat menjadi kardinal oleh John Paul II dan Benedict XVI pada saat semangat
anti-gay merupakan nilai tambah bagi karir seorang klerus pada CV mereka.
Keduanya sejak itu dipinggirkan oleh Francis.
Sebelum menjadi homofobia, Wilfrid
Napier adalah pembela hak asasi manusia sejak lama. Kariernya berbicara untuk
dirinya sendiri: Uskup Agung Durban saat ini adalah seorang militan yang
mendukung perjuangan kulit hitam dan proses demokrasi di Afrika Selatan. Sebagai
kepala Konferensi Episkopal Afrika Selatan, dia memainkan peran utama pada saat
negosiasi untuk mengakhiri apartheid.
Namun Napier membantah kemajuan yang
disarankan oleh Nelson Mandela tentang dekriminalisasi homosex, pengenalan
gagasan 'orientasi seksual' dalam konstitusi negara dan, kemudian, pengesahan
pernikahan sesama jenis.
Beberapa pernyataan saksi yang saya
kumpulkan di Johannesburg, Soweto dan Pretoria mengidentifikasi Napier sebagai
'homofob asli' dan 'militan anti-kondom radikal.' Pada 2013, Uskup Agung Durban
itu mengecam usulan undang-undang yang mendukung pernikahan gay yang menyebar
di seluruh dunia: “Ini adalah bentuk perbudakan baru. Amerika Serikat memberi
tahu kami, Anda tidak akan punya uang sampai Anda membagikan kondom dan
melegalkan homosex.” (Jangan lupa bahwa pernikahan gay telah diadopsi di Afrika
Selatan sebelum Amerika Serikat.)
Intervensi ini memicu reaksi keras.
Uskup Agung Anglikan Desmond Tutu, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, menentang
Napier secara langsung (tanpa menyebut namanya), mengecam gereja-gereja yang
'terobsesi dengan homoseksualitas' ketika ada pandemi AIDS yang serius. Desmond
Tutu beberapa kali membandingkan homofobia dengan rasisme, bahkan mengatakan:
"Jika Tuhan itu homofobik, seperti yang dikatakan beberapa orang, saya
tidak akan berdoa kepada Tuhan itu."
Penulis Peter Machen, direktur
Festival Film Durban, juga mengkritik Cardinal Napier, dengan sindiran keras:
"Bukankah agak sulit untuk mengatakannya, Uskup Agung, siapa yang gay,
ketika sebagian besar rekan kerja Anda mengenakan gaun?"
Napier mengeluarkan semakin banyak
deklarasi anti-gay; misalnya, mencela ‘aktivitas homoseksual ’dalam Gereja -
penyebabnya, dalam pandangannya, tentang pelecehan seksual: “Mereka menjauh
dari hukum Allah dan selalu mengarah kepada ketidakbahagiaan,” katanya.
Homofobia obsesif Napier menghadapi
perlawanan bahkan di jajaran Gereja Afrika Selatan. Para Yesuit Johannesburg
mengkritik posisi kardinal Napier dalam pembicaraan pribadi mereka dengan
nuncio apostolik (menurut sumber tangan pertama), dan sejauh yang bisa saya katakan,
mereka menutup mata mereka dan secara diam-diam menerima distribusi kondom.
Hakim Edwin Cameron sama kritisnya.
Seorang teman Nelson Mandela (yang kehilangan putra karena AIDS). Cameron
adalah salah satu tokoh paling dihormati di Afrika Selatan. Seorang militan bagi
orang kulit hitam, dia bergabung dengan ANC di bawah apartheid, yang jarang
dilakukan oleh orang kulit putih. Sekarang menjadi anggota mahkamah agung
Afrika Selatan, dia secara terbuka mengumumkan bahwa dia positif HIV. Saya
mewawancarainya beberapa kali di Johannesburg, tempat Cameron menyampaikan
penilaiannya, menimbang perkataannya dengan sangat hati-hati, dan kemudian
membandingkannya dengan kalimat Wilfrid Napier.
“Mereka yang mencoba mengecilkan
tragedi AIDS di Afrika, atau untuk melindungi orang LGBTI di benua ini,
mendapati diri mereka menghadapi lawan yang keras kepala dalam sosok Kardinal
Wilfrid Napier. Mendengarkan dia, seseorang akan ragu antara kesusahan dan
keputusasaan. Dia menggunakan kekuatannya yang besar sebagai wali Gereja
Katolik Roma untuk menentang hak-hak perempuan, mengutuk penggunaan kondom dan
menolak semua perlindungan hukum bagi kaum homoseksual. Dia melakukan
perlawanan terhadap dekriminalisasi hubungan seksual antara sesama laki-laki
atau sesama perempuan, dan tentu saja, terhadap perkawinan sesama jenis.
Terlepas dari obsesi ini, dia mengaku tidak mengenal homoseksual. Jadi dia
membuat kita menjadi kecil dan tidak terlihat dan menghakimi kita pada saat
yang sama! Kisah menyedihkan dalam sejarah negara kita, dan halaman hitam ini
untuk Gereja Katolik di Afrika, akan segera berakhir, kami harap, dengan
kepausan Francis.”
Marilah kita tambahkan informasi
disini bahwa Kardinal Wilfrid Napier tidak berbuat banyak untuk melawan
pelecehan seksual di dalam Gereja Katolik, yang melibatkan puluhan imam di
Afrika Selatan. Uskup Agung Durban bahkan menyatakan, dalam sebuah wawancara
dengan BBC, bahwa para pedofil dalam Gereja ini tidak boleh 'dihukum' karena mereka
itu 'sakit’ dan ‘bukan kriminal.' Menanggapi skandal yang dipicu oleh perkataannya
ini, kardinal meminta maaf, mengklaim bahwa dirinya telah disalahpahami. "Saya
tidak bisa dituduh homofobia," katanya agak merendah, "karena saya tidak
tahu tentang homoseks."
Robert Sarah adalah homofobia dari
jenis yang berbeda. Saya berbicara dengannya secara informal setelah sebuah ceramah,
tetapi saya belum dapat mewawancarainya secara resmi, meski saya telah memintanya.
Di sisi lain, saya dapat berbicara beberapa kali dengan rekan-rekannya,
terutama Nicolas Diat, rekan penulis buku-bukunya. Kardinal Fernando Filoni,
yang bertanggung jawab atas masalah Afrika di Vatikan, dan seorang imam yang
tinggal bersama Sarah ketika Sarah menjadi sekretaris Kongregasi Evangelisasi,
juga berbicara kepada saya.
Robert Sarah bukan terlahir sebagai
Katolik; dia menjadi Katolik setelah besar. Tumbuh di sebuah suku Coniagui, 15
jam dengan taksi hutan dari ibu kota Guinea, Conakry, dia ikut berbagi
prasangka, ritus dan kesukaan sukunya pada ilmu sihir dan dukun. Keluarganya adalah
animis, rumahnya terbuat dari tanah yang diolah dan dia tidur di tanah. Legenda
Sarah, kepala suku, telah lahir.
Ide untuk menjadi Katolik dan
kemudian menjadi seorang imam datang dari hubungannya dengan para Misionaris Roh Kudus. Dia memasuki seminari kecil
di Pantai Gading, sebelum ditahbiskan sebagai imam di Conakry pada tahun 1969,
pada saat diktator yang berkuasa di Guinea, Sékou Touré, mengorganisasi perburuan
terhadap umat Katolik. Ketika uskup agung kota itu dipenjara pada 1979, Roma
mengangkat Sarah sebagai penggantinya, menjadikannya uskup termuda di dunia.
Kebuntuan dimulai dan uskup itu berdiri di hadapan diktator baru, yang
menempatkan dia dalam daftar orang-orang ... untuk diracun…
Sebagian besar saksi yang saya tanya berkata
tentang keberanian yang ditunjukkan Sarah di bawah kediktatoran saat itu, dan
pemahamannya tentang hubungan antar kekuasaan.
Mendemonstrasikan kerendahan hati
yang menyembunyikan ego yang berlebihan, uskup Sarah dapat membuat dirinya
terlihat oleh para anggota rombongan reaksioner dan homofil dari John Paul II,
yang mengagumi kedua penentangannya terhadap kediktatoran pro-komunis dan
posisi kaku pada moralitas seksual, selibat imamat, homoseksualitas dan kondom.
Pada tahun 2001 John Paul II
memanggil Sarah, yang meninggalkan Afrika dan menjadi 'orang Roma.' Itu adalah
titik balik. Dia menjadi sekretaris Kongregasi penting untuk Evangelisasi, sebuah
perutusan di Vatikan yang berhubungan dengan Afrika.
“Saya kenal Robert Sarah ketika dia
tiba di Roma. Dia adalah seorang sarjana Alkitab. Dia rendah hati dan
bijaksana, tetapi juga menjilat dan menyanjung prefek kardinal pada saat itu,
Crescenzio Sepe. Dia bekerja sangat keras," demikian saya diberitahu oleh
seorang pastor, seorang spesialis Afrika, yang dekat dengan Sarah di 'Palazzo
di propaganda.'
Beberapa pengamat juga terkejut
dengan tim yang tidak biasa yang dibentuk oleh Crescenzio Sepe dan Robert
Sarah, pasangan yang aneh. Tanpa mengedipkan mata, uskup muda itu melayani
seorang kardinal, yang dikenal sebagai 'paus merah,' yang menikmati kehidupan
yang penuh warna dan yang akan ditugaskan jauh dari Roma oleh Paus Benediktus
XVI.
“Sarah adalah seorang mistikus yang
hebat. Dia berdoa terus-menerus, seolah-olah dia berada di bawah semacam
mantra. Dia menakutkan. Dia benar-benar menakutkan,” kata seorang imam.
Ada banyak warna kelabu dalam karier
Robert Sarah, yang agak terlalu brilian untuk menjadi kenyataan. Misalnya,
hubungannya dengan ide sayap kanan Mgr. Lefebvre, yang dikucilkan oleh Paus
pada tahun 1988, dan muncul lagi berkali-kali: Sarah mendirikan sekolah
misionaris dimana Lefebvre adalah kepala titulernya, dan dia kemudian
membenamkan dirinya di Perancis, dalam lingkungan fundamentalis. Apakah
kedekatan Sarah dengan ‘Katolik ultra kanan’ adalah sebuah dosa ringan dari
masa mudanya, atau apakah hal itu akhirnya membentuk ide-idenya?
Area abu-abu lainnya adalah menyangkut
kemampuan liturgi dan teologis kardinal, yang melayani Misa dalam bahasa Latin
ad orientem, tetapi dikatakan tidak memiliki tingkat pemahaman linguistik yang
diperlukan. Ultra-elitis (karena sering berbicara bahasa Latin, meski agak buruk,
berarti memisahkan diri dari orang biasa) dan filistin. Tulisannya tentang St.
Augustine dan St. Thomas Aquinas telah mendapat kritikan. Adapun kata-kata
kasarnya terhadap para filsuf abad Pencerahan itu, mereka mengungkapkan 'sebuah
archaism (perkataan kuno) yang menempatkan takhayul di atas akal,' demikian
menurut seorang teolog, yang kemudian menambahkan: "Mengapa kembali ke zaman
sebelum Vatikan II jika Anda bisa pergi jauh ke Abad Pertengahan!"
Seorang akademisi dan teolog Perancis
lainnya yang tinggal di Roma, dan yang telah menerbitkan banyak buku penting
tentang Katolik, memberi tahu saya, selama tiga wawancara: “Sarah adalah
seorang teolog paling bawah. Teologinya sangat kekanak-kanakan: ‘Saya berdoa,
oleh karena itu saya ada.’ Dia menyalahgunakan argumen-argumen otoritas. Tidak
ada teolog yang menyebut nama Sarah dengan serius."
Wartawan Perancis,, Nicolas Diat,
dekat dengan kubu reaksioner kanan, yang telah menulis beberapa buku bersama Sarah,
selalu membela kardinal Sarah selama tiga kali makan siang yang kami lakukan
bersamanya di Paris.
“Kardinal Sarah bukanlah ‘tradisionalis’
seperti yang diduga orang-orang tentang dia. Dia seorang yang konservatif.
Awalnya dia adalah seorang kepala suku, kita tidak boleh melupakan itu. Bagi
saya, dia orang suci dengan kesalehan yang luar biasa."
Seorang suci yang dikritik oleh
beberapa orang karena keterampilan interpersonalnya, cara hidupnya dan koneksi
Afrika-nya. Seorang pembela tanpa syarat dari benua itu, dalam pernyataan
publiknya, Sarah tetap diam tentang perilaku para klerus Afrika tertentu,
seperti yang terungkap di konferensi uskup di Mali, atau sejumlah besar yang
ditempatkan secara diam-diam oleh Uskup Agung Kardinal Bamako di Swiss (dan
yang terungkap oleh skandal SwissLeaks).
Untuk ini, kita harus menambahkan
misteri penerbitan aneh yang saya temukan. Penjualan di toko dari buku buku
yang ditulis oleh Kardinal Sarah nyaris tidak sesuai dengan angka-angka yang
dikutip. Tentu saja, tidak jarang bagi seorang penulis untuk 'mengembangkan'
angka penjualannya karena kesombongan. Tetapi dalam keadaan itu, ‘250.000 eksemplar’
yang diumumkan di media hampir sepuluh kali lebih tinggi daripada penjualan di toko
buku yang sebenarnya. 'Keberhasilan’ yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh kardinal
lain, tidak lebih dari sekadar ungkapan yang berlebihan. Penjualan buku-buku
Kardinal Sarah hanya rata-rata di Perancis: pada akhir 2018, Dieu ou rien (God or Nothing) terjual
9.926 eksemplar dalam edisi format besar asli, dan La Force du silence (Kekuatan-kekuatan Diam) terjual 16.325,
terlepas dari kata pengantar yang penasaran oleh Paus Benediktus XVI yang sudah
pensiun (angka-angka ini sesuai dengan basis data penerbitan Perancis Edistat). Penjualan di Amazon juga sama
buruknya. Dan bahkan jika kita menambahkan distribusi di antara paroki dan
seminari, yang tidak selalu diperhitungkan dalam penerbitan statistik, dan
versi format paperback (hanya 4.608 eksemplar La Force du silence yang terjual), kita masih jauh dari angka ‘ratusan
ribu copy.’ Di luar negeri, ada kelemahan yang sama, terutama karena jumlah
terjemahan itu sendiri lebih rendah daripada yang mungkin diklaim beberapa
wartawan.
Bagaimana kami bisa menjelaskan 'lubang'
ini? Dengan melakukan penyelidikan di dalam rumah penerbitan Sarah, saya
akhirnya membiarkan ‘kucing itu keluar sendiri dari dalam karung.’ Menurut dua
orang yang akrab dengan negosiasi halus ini, puluhan, mungkin ratusan ribu
salinan bukunya dikatakan telah dibeli 'secara massal' oleh sponsor dan
yayasan, kemudian didistribusikan secara gratis, khususnya di Afrika. 'Penjualan
massal' ini sepenuhnya legal. Secara artifisial digunakan untuk 'mengembangkan'
angka penjualan, mereka menyenangkan penerbit dan penulis, mereka memberi
keuntungan yang signifikan, karena mereka memotong jalur distributor dan toko
buku, penulis mendapat manfaat lebih banyak karena mereka dibayar dalam
persentase (dalam beberapa kasus, para pengantar dapat ditambahkan ke kontak
penerbitan untuk menegosiasikan kembali haknya, jika penjualan paralel tersebut
pada awalnya tidak dipertimbangkan). Buku Sarah versi bahasa Inggris diterbitkan,
mungkin dengan cara yang serupa, oleh penerbit konservatif Katolik, yang
sejalan dengan kampanye anti-pernikahan-gay: Ignatius Press di San Francisco.
Sumber-sumber diplomatik juga
mengkonfirmasi bahwa salinan buku-buku Sarah telah didistribusikan secara
gratis di Afrika; di Benin, misalnya. Saya sendiri pernah melihat, di pusat
kebudayaan diplomatik Perancis, ada tumpukan ratusan buku kardinal Sarah, di dalam
bungkus plastik.
Siapa yang mendukung dana kampanye
Kardinal Sarah ini, dan jika perlu, distribusi buku-bukunya? Apakah dia mendapat
dukungan finansial dari Eropa atau Amerika? Satu hal yang pasti: Robert Sarah
memelihara kontak dengan asosiasi Katolik ultra-konservatif, khususnya Institut
Dignitatis Humanae (seperti yang dikonfirmasikan kepada saya oleh direkturnya,
Benjamin Harnwell). Di Amerika Serikat, Sarah memiliki hubungan dengan tiga
yayasan, Dana Becket untuk Kebebasan Beragama, Ksatria Columbus dan Sarapan Doa
Katolik Nasional, kepada siapa dia menyampaikan ceramahnya. Di Eropa, Robert Sarah
juga dapat mengandalkan dukungan dari Ksatria Columbus, khususnya di Perancis,
serta dukungan seorang miliarder yang telah kita kunjungi dan ceritakan dalam
buku ini: Puteri Gloria von Thurn und Taxis, seorang yang sangat kaya dari Jerman.
‘Gloria TNT’ memberi konfirmasi kepada saya selama percakapan di istananya di
Regensburg di Bavaria: “Kami selalu mengundang klerus ke sini: itu adalah
bagian dari warisan Katolik kami. Saya menerima para pembicara yang datang dari
Roma. Saya sangat terlibat dalam Gereja Katolik, dan saya suka mengundang para pembicara
seperti Kardinal Robert Sarah. Dia menyerahkan bukunya di Regensburg dan saya
mengundang pers: kami menikmati malam yang indah. Itu semua adalah bagian dari
kehidupan sosial saya."
Dalam foto-foto pesta masyarakat klas
tinggi ini, kita dapat melihat Puteri 'Gloria TNT,' dikelilingi oleh Robert
Sarah dan pengikutnya, Nicolas Diat, serta Kardinal Ludwig Müller, pastor Wilhelm
Imkamp dan Georg Ratzinger, saudara lelaki paus (edisi bahasa Jerman dari buku Sarah
memiliki kata pengantar dari Georg Gänswein). Singkatnya: ini adalah arsitek
utama dari apa yang disebut 'das Regensburger Netzwerk' ('jaringan
Regensburg').
Robert Sarah juga memiliki koneksi
dengan organisasi Marguerite Peeters, seorang ekstrimis militan Belgia,
homofobia dan anti-feminis. Sarah menulis kata pengantar untuk pamflet kecil
oleh Peeters dalam melawan teori gender, yang diterbitkan hampir seluruhnya
dengan biaya penulis. Di dalamnya dia menulis: “Homoseksualitas adalah omong
kosong dalam hal kehidupan suami istri dan keluarga. Setidaknya, adalah berbahaya
untuk merekomendasikannya atas nama Hak Asasi Manusia. Menerapkannya adalah
kejahatan terhadap kemanusiaan. Dan itu tidak dapat diterima bagi negara-negara
barat dan badan-badan PBB untuk memaksakan homoseksualitas negara-negara
non-barat dan semua penyimpangan moralnya ... Untuk mempromosikan keragaman
‘orientasi seksual’ bahkan di wilayah Afrika, Asia, Oseania atau Amerika
Selatan berarti menuntun dunia menuju kerusakan total antropologis dan moral:
menuju dekadensi dan penghancuran umat manusia!”
Dukungan finansial apa saja yang dinikmati
Sarah? Kami tidak tahu. Bagaimanapun, paus Francis, dengan kardinal-kardinal
tertentu di Kuria Roma, berpikir: "Ada Tuhan Allah dan ada Tuhan-uang."
Satu misteri terakhir: rombongan kardinal tidak pernah berhenti mengejutkan
pengamat: Sarah bepergian dan bekerja dengan kaum gay. Salah satu kolaborator
dekatnya adalah seorang gay sayap kanan, dengan reputasi kuat untuk terus maju
dalam petualangannya. Dan ketika Sarah menjadi sekretaris Kongregasi
Evangelisasi, pesta-pesta homoseksual yang modis diorganisir di salah satu
apartemen di dicastery. Di dalam Vatikan, orang-orang masih bercanda tentang
masa yang tidak biasa ini, ketika 'penari pribadi,' 'pesta pora kimia' dan
'pesta-pesta seks' terjadi di dalam pelayanan 'paus merah.' Apakah Sarah tahu?
Tidak ada bukti bahwa dia tahu.
"Mungkinkah Sarah tidak
menyadari kehancuran kehidupan para pastor tertentu di Kongregasi, dan
pesta-pesta kecil yang diadakan di gedung tempat dia tinggal dan bekerja?"
tanya seorang pastor yang sangat terkejut, yang tinggal dan bekerja bersamanya,
di bangunan yang sama pada waktu itu (dan yang saya wawancarai dia di Belgia).
Saat ini, orang-orang yang akrab
dengan Kuria juga memperhatikan kedekatan profesional Sarah dengan monsignore
yang terjebak dalam skandal korupsi yang melibatkan pengadaan para pelacur
pria. Wali gereja ini diejek oleh pers dan kemudian dituduh memiliki jaringan
prostitusi gay. Dihukum oleh paus, monsignore ini menghilang sebelum secara
ajaib muncul kembali dalam tim Sarah di Vatikan (namanya masih muncul di
Annuario Pontifico).
“Kardinal paling anti-gay di Kuria
Romawi dikelilingi oleh kaum homoseksual. Dia muncul bersama mereka di media
sosial. Di Roma atau Perancis, yang sering dia datangi, dia terlihat ditemani
kaum gay yang sibuk dan sepenuhnya sebagai gay aktiv," kata seorang
jurnalis Perancis yang mengenalnya dengan baik memberi tahu saya dengan suara
tercekat.
Paus Francis juga mengenal Sarah. Karena
sementara kardinal secara terbuka menyuarakan kekaguman terhadap paus, dia juga
mengkritiknya dengan keras secara pribadi. Ketika dia menyampaikan ceramah,
rombongannya - untuk menarik publik dan menjual buku-bukunya – memperkenalkannya
sebagai 'salah satu penasihat terdekat paus,' tetapi sebenarnya dia adalah
salah satu musuh yang paling keras kepala. Francis, yang tidak pernah tunduk
kepada para bawahannya atau orang-orang lain yang dianggapnya munafik, secara
teratur menghukumnya dengan keras. Untuk waktu yang lama hingga kini, Sarah
telah kehilangan aroma kesuciannya di Vatikan.
“Teknik paus melawan Sarah adalah apa
yang saya sebut sebagai tehnik ‘penyiksaan air Cina’: Anda tidak memecatnya
sekaligus, Anda mempermalukannya sedikit demi sedikit, merampas uangnya dan
mengambil kolaboratornya, meminggirkannya, menyangkal gagasannya atau menolak
dia untuk audiensi ...dan kemudian suatu hari Anda akan membuatnya melakukan
hara-kiri. Teknik ini disempurnakan terhadap (Raymond) Burke dan (Ludwig)
Müller. Giliran Sarah akan tiba pada waktunya,” kata seorang imam Kuria dalam rombongan
Kardinal Filoni kepada saya.
‘Penyiksaan Cina’ ini sudah mulai
bekerja. Diangkat sebagai kardinal oleh Benediktus XVI pada tahun 2010, Robert
Sarah menjadi ketua dewan kepausan yang kuat, Cor Unum, yang menangani organisasi-organisasi amal Katolik. Dia terbukti
sektarian, dan lebih mementingkan evangelisasi daripada filantropi. Setelah
pemilihannya, paus Francis memindahkan dia dari jabatannya, karena melaksanakan
misi amalnya dengan cara yang kurang amal. Fase I dari ‘penyiksaan Cina’:
daripada mengabaikannya, paus mereorganisasi Kuria dan sepenuhnya membubarkan
dewan kepausan Cor Unum, sehingga Sarah kehilangan posnya. Sebagai hadiah
hiburan, menggunakan teknik terkenal 'promoveatur ut amoveatur' (mempromosikan
untuk menghapus), kardinal Sarah diangkat menjadi kepala Kongregasi untuk
Ibadah Ilahi dan Disiplin Sakramen. Di sana, lagi, dia membuat kecerobohan demi
kecerobohan dan menyatakan dirinya sebagai seorang militan tanpa syarat yang
mendukung ritus Latin dan misa ad orientem: pastor harus merayakan misa dengan
membelakangi jemaat, menghadap ke timur. Paus memanggilnya untuk memesan: tahap
kedua dari penyiksaan Cina. Tahap ketiga: secara bersamaan Francis memindahkan
27 dari 30 kardinal tim yang menasihati Robert Sarah, dan tanpa kesulitan untuk
berkonsultasi dengan Sarah, Francis menunjuk orang-orangnya sendiri untuk
menggantikan tempat mereka. Tahap empat: Francis mencabut dia dari asistennya.
Dalam penampilan, sedikit yang berubah: Sarah masih di tempat; tetapi kardinal Sarah
telah dipinggirkan dari pusat jantung pelayanannya.
Berada dalam bayang-bayang untuk
waktu yang lama, dengan Sinode tentang Keluarga yang diprakarsai oeh Francis,
Sarah menunjukkan wajah aslinya: Sarah tidak ragu-ragu menyebut bahwa perceraian
dan menikah lagi adalah sebagai perzinaan. Pada 2015 dia bahkan menyampaikan
pidato histeris di mana dia mencela, seolah-olah dia masih berada di desanya
yang animis, tentang 'binatang dari Apokalips,' seekor binatang dengan tujuh
kepala dan sepuluh tanduk yang dikirim Setan untuk menghancurkan Gereja. Dan
apakah binatang yang mengancam Gereja ini? Pidato Sarah tahun 2015 secara
eksplisit tentang hal ini: ini adalah ideologi gender, perkawinan homosex dan
lobi gay. Dan sang kardinal melangkah lebih jauh, membandingkan lobi LGBT
dengan terorisme Islam: dalam pandangannya, mereka adalah dua sisi dari mata
uang yang sama, 'dua binatang dari Apokalips.' (Saya mengutip dari transkrip
resmi, yang sudah saya dapatkan.)
Dalam membandingkan kaum homoseksual
dengan Daesh, Sarah mencapai sebuah titik yang tidak bisa kembali. "Kita
sedang berhadapan dengan seorang fanatik," kata seorang kardinal yang
dekat dengan Paus, tidak direkam. Dan seorang pastor yang ikut dalam sinode memberi
tahu saya: "Ini bukan lagi tentang agama: ini adalah pidato yang khas dari
sayap kanan. Itu adalah Monseigneur Lefebvre: kita tidak perlu mencari
sumbernya lebih jauh. Sarah adalah Lefebvre yang ‘dijadikan’ Afrika sekali
lagi.”
Yang aneh di sini adalah obsesi Sarah
terhadap homoseksualitas. Sebuah ide yang menetap! Sebuah psikosis tentang
'kiamat'! Dalam lusinan wawancara yang tidak senonoh, kardinal mengutuk perbuatan
homoseksual atau meminta agar mereka tetap hidup suci. Dengan semangat, Sarah bahkan
menyarankan kepada yang paling berat dari mereka untuk melakukan 'terapi
penyembuhan' – hal ini sering dibela oleh pastor-psikoanalis, Tony Anatrella, serta
berbagai penjual jamu minyak ular – yang dikatakan akan 'menyembuhkan' mereka
dan memungkinkan mereka menjadi heteroseksual! Jika seorang homoseks tidak bisa
melakukan pantang sex, maka terapi penyembuhan dapat membantu mereka: 'dalam
banyak kasus, ketika praktik tindakan homoseksual belum terlalu dominan, maka
orang (homoseksual ini) dapat bereaksi positif terhadap terapi yang tepat.’
Terhadap latar belakang ini, posisi
kardinal Sarah bukannya tanpa kontradiksi. Di Perancis, dia menjadi salah satu
tokoh pengawas gerakan 'Manif pour tous,' tanpa melihat bahwa beberapa
pendukung 'anti-gendernya' juga rasis murni, yang mengadvokasi pemungutan suara
untuk Marine Le Pen dari kubu paling kanan, dalam pemilihan presiden 2017. Dengan
demikian seorang kardinal yang membela visi absolut tentang keluarga muncul di
samping orang-orang yang berusaha untuk mendapatkan tunjangan keluarga hanya
untuk 'orang Prancis kelahiran asli,' dan menentang penyatuan kembali keluarga
orang tua Afrika dengan anak-anak mereka.
Tidak hati-hati atau provokasi?
Robert Sarah bahkan menulis kata pengantar untuk sebuah buku karya Daniel
Mattson, Why I Don't Call Myself Gay.
Buku ini, dengan judul yang cukup memusingkan, adalah penting karena apa yang
penulis usulkan untuk kaum homoseksual bukanlah tindakan 'amal' atau 'belas
kasihan' tetapi pantang sex secara total. Sarah berpendapat bahwa menjadi
homoseksual bukanlah dosa selama seseorang tetap berpantang: “Ketika berhadapan
dengan seorang wanita yang berzina, bukankah Yesus berkata, ‘Aku tidak
menghukummu; pergilah dan jangan berbuat dosa lagi’?” Ini adalah pesan kardinal
Sarah, yang anehnya membawanya ke pada posisi dari banyak penulis dan pemikir
Katolik yang homosex, yang telah memberi nilai pada kesucian agar tidak
mengikuti kecenderungan sex mereka.
Dengan pernyataan seperti ini, Sarah
mendekati, entah secara sadar atau tidak, kepada sikap homofil yang paling
karikatur, yang telah menekan kecenderungan mereka kepada asketisme atau
mistisisme. Wali gereja itu mengakui bahwa dia telah membaca banyak hal tentang
'penyakit' ini, dan menghadiri ceramah-ceramah di Roma yang membahas pertanyaan
soal homosex, khususnya yang ada di universitas kepausan Santo Thomas (ketika dia
mengungkapkan dalam kata pengantar bukunya Why
I Don't Call Myself Gay):
“(Mendengarkan kaum homosex) Saya
merasakan kesepian, rasa sakit, dan ketidakbahagiaan yang mereka alami sebagai
akibat dari mengejar kehidupan yang bertentangan dengan identitas mereka yang
sebenarnya sebagai anak-anak Allah,” tulisnya. "Hanya ketika mereka hidup
sesuai dengan ajaran Kristus, mereka dapat menemukan kedamaian dan sukacita
yang selama ini mereka cari."
Padahal, dunia Robert Sarah adalah
fiksi. Kritiknya terhadap modernitas Barat yang bertentangan dengan cita-cita
Afrika hanya cocok bagi mereka yang tidak mengenal Afrika.
"Realitas Afrika tidak sesuai
dengan apa pun yang dikatakan Sarah, berdasarkan ideologi murni," kata
diplomat Afrika di Vatikan, yang telah bekerja dengannya, kepada saya.
Ilusi ini terutama terasa pada tiga
masalah: selibat imamat, AIDS dan dugaan homofobia di Afrika. Ekonom Kanada,
Robert Calderisi, mantan juru bicara Bank Dunia di Afrika, menjelaskan kepada
saya ketika saya mewawancarainya bahwa sebagian besar imam di benua itu secara diam-diam
hidup bersama seorang wanita; imam-imam yang lain umumnya homoseksual dan
berusaha mengasingkan diri ke Eropa. “Orang Afrika ingin para imam menjadi
seperti mereka. Mereka ingin imam-imam menikah dan punya anak," tambah
Calderisi.
Semua nuncio dan diplomat yang saya
wawancarai bagi penelitian ini, dan semua kontak saya di negara-negara Afrika -
Kamerun, Kenya dan Afrika Selatan - yang telah saya kunjungi, mengkonfirmasi
frekuensi kehidupan ganda para imam Katolik di Afrika, apakah mereka
heteroseksual atau pun homoseksual.
“Sarah tahu betul: sejumlah besar
pastor Katolik Afrika tinggal bersama seorang wanita. Selain itu, mereka akan
kehilangan semua legitimasi di desa mereka jika mereka tidak menunjukkan
praktik heteroseksual mereka! Jauh dari Roma, kadang-kadang mereka bahkan bisa
menikah di gereja di desa mereka. Wacana Sarah saat ini tentang kesucian dan
pantang sex adalah sebuah dongeng besar, ketika kita mengetahui kehidupan para
imam di Afrika. Ini adalah fatamorgana,” menurut seorang imam yang
berspesialisasi di Afrika dan yang mengenal kardinal Sarah dengan baik.
Imam ini juga menegaskan bahwa homosex
adalah salah satu ritus tradisional perjalanan di Afrika Barat, khususnya di
Guinea. Ini adalah ciri kehidupan Afrika di mana kardinal Sarah tidak bisa
tidak tahu hal ini.
Saat ini, seminari-seminari di Afrika
juga, dalam citra seminari-seminari Italia pada 1950-an, merupakan tempat
homoseksual dan ruang perlindungan yang aman bagi kaum gay. Di sini sekali
lagi, ini adalah hukum sosiologis atau, jika seseorang berani mengatakan
demikian, semacam 'seleksi alam' dalam pengertian Darwinian: dengan menganggap
buruk homoseksual di Afrika, berarti Gereja memaksa mereka untuk bersembunyi. Mereka
berlindung di seminari-seminari untuk melindungi diri mereka sendiri dan tidak
harus menikah. Jika mereka bisa, mereka melarikan diri ke Eropa, di mana
keuskupan-keuskupan Italia, Prancis, dan Spanyol meminta mereka untuk mengisi
kembali paroki-paroki mereka di Eropa. Dan dengan begitu segala sesuatunya
menjadi lingkaran yang penuh. Saling mengisi.
Wacana Robert Sarah menjadi lebih
keras sejak dia meninggalkan Afrika. Uskup lebih ortodoks daripada imam, dan
kardinal lebih ortodoks daripada uskup. Sementara dia menutup mata terhadap
banyak rahasia Afrika, di Roma dia lebih keras kepala dari sebelumnya. Homoseksual
kemudian menjadi kambing hitam, bersama dengan semua hal yang, di matanya,
sejalan dengan itu: AIDS, teori gender dan lobi gay.
Robert Sarah adalah salah satu
kardinal yang paling vokal menentang penggunaan kondom di Afrika. Dia menolak
bantuan pembangunan internasional, yang dia anggap berkontribusi terhadap
'propaganda' ini, dan menolak misi sosial apa pun dari Gereja serta memberi
sanksi berbagai asosiasi, seperti jaringan Caritas, yang mendistribusikan
kondom.
“Ada kesenjangan besar di Afrika
antara wacana ideologis karya Gereja di lapangan, yang seringkali sangat
pragmatis. Saya telah melihat para biarawati membagikan kondom di mana-mana,"
saya diberitahu oleh ekonom Kanada Robert Calderisi, mantan kepala misi dan
juru bicara Bank Dunia di Afrika Barat.
Sarah melakukan kesalahan historis
lain pada soal homoseksualitas. Kerangka kerjanya di sini adalah
neo-Dunia-Ketiga: orang Barat, katanya berkali-kali, ingin memaksakan
nilai-nilai mereka melalui hak asasi manusia; dalam mengaitkan hak-hak dengan
homoseksual, mereka ingin menyangkal 'ke-Afrika-an,' dari orang-orang di benua
itu. Oleh karena itu, Sarah berdiri, atas nama Afrika - yang telah dia tinggalkan
sejak lama, kata para penentangnya – untuk menentang Barat yang sakit. Bagi
Sarah, hak LGBT tidak bisa menjadi hak universal.
Bahkan, seperti yang saya temukan di
India, hampir semua undang-undang homofobik (yang menolak homosex) yang saat
ini diberlakukan sebagai bagian dari hukum pidana di negara-negara di Asia dan
Afrika dilembagakan sekitar tahun 1860 oleh Victorian England pada koloni-koloni
yang berada dibawah perlindungan Persemakmuran (pasal 377 India KUHP, templat
awal, dan kemudian diulangi, dengan nomor yang sama, di Botswana, Gambia,
Kenya, Lesotho, Malawi, Mauritania, Nigeria, Somalia, Swaziland, Sudan,
Tanzania, Zambia ...). Lebih jauh, sebuah fenomena yang sebanding juga ada di
Afrika Utara dan Barat, kali ini merupakan sisa dari kolonialisme Perancis.
Oleh karena itu hukuman terhadap homosex tidak ada hubungannya dengan Afrika -
itu adalah sisa dari kolonialisme. Kualitas yang dianggap unik dari 'ke-Afrika-an'
adalah perintah penjajah untuk mencoba dan 'membudayakan' penduduk asli Afrika,
untuk mengajar mereka model-model Eropa ‘yang baik’ dan mengutuk praktik homosex
yang banyak terjadi di Afrika.
Dengan mempertimbangkan dimensi
homofobik dari sejarah kolonial ini, kita dapat mengetahui sampai sejauh mana
wacana Kardinal Sarah diterima. Ketika dia mengklaim bahwa 'Afrika dan Asia
harus benar-benar melindungi budaya dan nilai-nilai mereka sendiri,' atau
menegaskan bahwa Gereja tidak boleh membiarkan dirinya memiliki 'visi barat tentang
keluarga' yang dipaksakan padanya, maka kardinal Sarah menyalahgunakan
orang-orang beriman, dengan dibutakan oleh berbagai prasangka dan minatnya.
Pidatonya di sini adalah dekat dengan diktator Afrika, Robert Mugabe, mantan
Presiden Zimbabwe, yang menurutnya homosex adalah 'praktik barat yang anti-Afrika,'
atau seperti yang dilakukan oleh presiden otokratis Kenya dan Uganda, yang
mengulangi dengan berkata bahwa homosex adalah 'bertentangan' dengan tradisi
Afrika.
Pada akhirnya, jika para kardinal
seperti Robert Sarah atau Wilfrid Napier koheren dengan diri mereka sendiri,
mereka akan menyerukan dekriminalisasi homosex di Afrika atas nama
anti-kolonialisme, dengan tujuan untuk kembali kepada tradisi Afrika yang asli.
Sampai saatnya ketika paus Francis berkata
bahwa posisi Gereja atas pemakaian kondom melunak, atau setidaknya menjadi
lebih bernuansa. Dalam perjalanannya ke Afrika pada tahun 2015, Paus secara
eksplisit mengakui bahwa kondom adalah 'salah satu metode (yang layak)' dalam
pertempuran melawan AIDS. Bukannya berbicara tentang pencegahan, Francis lebih
menekankan peran utama yang dimainkan oleh Gereja dalam perawatan epidemi AIDS:
ribuan rumah sakit, apotik dan panti asuhan, serta jaringan Katolik Caritas
Internationalis, merawat orang-orang yang sakit dan menemukan terapi
anti-retroviral untuk mereka. Sementara itu, AIDS telah menyebabkan, di seluruh
dunia dan di Afrika khususnya, lebih dari 35 juta kematian.
Permisi Ya Admin Numpang Promo | www.fanspoker.com | Agen Poker Online Di Indonesia |Player vs Player NO ROBOT!!! |
ReplyDeleteKesempatan Menang Lebih Besar,
|| WA : +855964283802 || LINE : +855964283802