Peter
Kwasniewski
BlogsCatholic Church
Wed Oct 3, 2018 - 7:30 am EST
SEORANG PROFESOR KATOLIK
BERKATA:
MENGAPA SAYA TAK AKAN PERNAH
MENGAJARKAN KEPADA MAHASISWA SAYA, AJARAN BARU DARI PAUS FRANCIS SOAL HUKUMAN
MATI.
3 Oktober 2018 (LifeSiteNews) - Sulit dipercaya bahwa perubahan atas ajaran Katekismus,
yang menyebabkan badai seperti itu pada saat itu, terjadi hanya dua bulan yang
lalu. Berbagai peristiwa yang tak dapat ditawar-tawar di bawah kepausan ini
telah mengubur pokok bahasan penting dalam siklus berita dan dalam pikiran
orang banyak. Itu hanya satu lagi tonggak dalam perjalanan panjang yang dipaksakan
menuju Gereja Masa Depan. Tetapi janganlah kita membuat kesalahan dengan
membiarkan kepentingan kita didominasi oleh berita terbaru ini, sehingga kita
berhenti dan tidak mau merenungkan “metode menuju kegilaan” ini.
Coba renungkan perbedaan antara teks Katekismus baru dan
pidato paus 11 Oktober 2017 lalu, yang menjadi dasar dan yang menjadi acuan
(sebagai satu-satunya sumber yang dikutip untuk melakukan revisi). Dalam
pidatonya itu paus berbicara dengan bebas jelas:
Harus dengan tegas dikatakan bahwa hukuman mati adalah
tindakan yang tidak manusiawi yang, terlepas dari bagaimana hukuman itu
dilakukan, merendahkan martabat manusia. Hal ini sangat bertentangan dengan
Injil, karena hal itu melibatkan penindasan yang disengaja terhadap kehidupan
manusia yang selalu bersifat sakral di mata Penciptanya dan yang pada akhirnya
— hanya Tuhanlah yang menjadi hakim dan penjamin sejati.
Di sini, Paus mengklaim bahwa hukuman mati, pada prinsipnya, adalah
bertentangan dengan Injil, yang berarti ia bertentangan dengan hukum Ilahi atau
hukum alam atau keduanya, dan karena itu pada dasarnya hukuman mati adalah tidak
bermoral. Ini adalah ajaran yang sesat
secara formal, dan kita yakin bahwa Paus tahu hal ini — tetapi dia juga
tahu betapa sedikit umat Katolik yang cukup tahu soal teologi untuk bisa mengidentifikasi
adanya ajaran sesat, bahkan ajaran itu muncul dan memukul wajah mereka
sendiri. Selain itu, paus seharusnya tahu bahwa sebagian besar pejabat yang
mengelilinginya adalah para pengecut atau pencari popularitas, jadi dia tidak
akan mendapatkan tantangan dari kelompoknya itu.
Teks Katekismus yang baru (versi paus Francis), bagaimanapun juga,
menampilkan bahasa yang dibuat secara cerdik dan licik: “Gereja mengajarkan,
dalam terang Injil, bahwa 'hukuman mati tidak
dapat diterima,’ karena itu adalah serangan terhadap hak pribadi dan
martabat seseorang yang tidak dapat diganggu gugat” (mengutip pidato paus). Tidak dapat diterima. Kata yang tidak
jelas, kabur, dan berputar-putar, yang tidak memiliki silsilah dalam teologi
moral, yang berbicara tentang apa yang bermoral atau tidak bermoral, benar atau
salah, atau benar dalam beberapa keadaan dan salah dalam keadaan lain.
Karena pengarangnya tahu bahwa kalimat itu akan, ‘mau tidak
mau’, mendorong umat Katolik untuk bergerak ke segala arah untuk mencoba
mencari tahu apa maknanya. Apakah perubahan ini merupakan klaim yang praktis
atau hanya teoretis? Keterbatasan yang hati-hati atau pengecualian yang berprinsip?
Dan jaringan kaum apologis mulai mengeluarkan "penjelasan" yang dapat
diprediksi akan menunjukkan bahwa, sekali lagi, terlepas dari semua kalimat yang
bertentangan, meskipun ada kontradiksi yang dapat diketahui oleh semua orang, tetapi
tidak ada yang benar-benar berubah dan semuanya tetap baik-baik saja! Semakin banyak
orang yang bersungguh-sungguh akan terus menggaruk-garuk kepala mereka,
menuntut klarifikasi tanpa akhir dan menandatangani petisi tanpa henti dan menyampaikan
komentar yang tak ada habisnya untuk menunjukkan bagaimana mengatakan bahwa lingkaran adalah segi-empat.
Dr.
Joseph Shaw menjelaskannya masalah ini dengan baik: “Dalam kasus ini,
lubang-tikus ambiguitas yang harus ditempuh oleh umat Katolik konservatif, yang
harus merayap untuk melihat adanya kesinambungan antara dua edisi Katekismus itu
(lama dan baru), yang amat memalukan. Dan ketika mereka telah merangkak
melewatinya, mereka akan diabaikan.”
Sementara itu, terlepas dari upaya-upaya tersebut, tujuan utama
dari Paus – adalah mau mengirimkan sinyal bahwa doktrin Katolik harus terus diperdebatkan dan dapat dikembangkan
menjadi bentuk-bentuk evolusi baru dan tidak beradab, lunak, flexibel dan dapat
disesuaikan dengan Zeitgeist – agar hal ini bisa diterima dalam pikiran
mayoritas umat Katolik dan non-Katolik. (Zeitgeist: merupakan
pemikiran dominan pada suatu masa yang menggambarkan dan mempengaruhi sebuah
budaya dalam masa itu sendiri.)
Pastor
Hugh Somerville Knapman menunjukkan bahaya dari cara berpikir seperti ini:
Melihat hal ini secara lebih kontekstual, mungkin perhatian
yang lebih besar adalah fenomena perubahan itu sendiri. Sejak pertengahan abad
ke-20 Gereja telah mengalami serangkaian perubahan pengajaran dan liturgi yang
konstan, dan sering kali sangat tidak perlu. Perubahan skala besar mengarah kepada
harapan yang lebih banyak. Dan lebih banyak lagi. Semuanya diartikan, secara salah,
adalah terbuka bagi berubah. Ketika perubahan ditujukan demi perubahan itu sendiri,
maka semuanya tidak ada yang aman. Baru-baru ini Profesor Stephen Bullivant dan
para komentator lainnya, telah mencatat bagaimana reaksi negatif terhadap Humanae Vitae pada tahun 1968 yang dikondisikan
oleh harapan yang luas tentang adanya perubahan dalam ajaran Gereja mengenai kontrasepsi
buatan, sebuah harapan yang dipupuk dan diperburuk oleh perubahan-perubahan
memusingkan yang dikeluarkan pada Gereja di tahun 1960an. Dengan demikian,
perubahan pada teks Katekismus sekarang ini muncul sebagai perluasan, yang patut
disesalkan, dari sebuah budaya perubahan. Ini bukanlah apa yang kita butuhkan
saat ini.
Tetapi itulah yang dengan sengaja diberikan kepada kita.
Pertanyaan retorik dari Tuhan— “Adakah seorang
dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan?”(Mat 7: 9–10) — sayangnya, hal itu telah dijawab
dengan cara yang tidak retoris oleh paus kita. Kita sungguh diberi batu dan ular!
Saya ingin memperjelas hal ini: Saya tidak akan pernah
mengajarkan kepada siapa pun — kepada anak-anak saya, teman-teman saya, para
mahasiswa saya, pembaca saya, audiens saya — hal-hal yang telah diperintahkan
oleh Francis untuk dimasukkan ke dalam Katekismus. Saya akan dengan senang hati
mengajarkan bahwa hukuman mati seringkali bukanlah solusi terbaik. Saya
bersedia mengakui bahwa itu mungkin layak dibatasi dalam demokrasi Barat
modern.
Dengan hati nurani yang baik, saya tidak dapat menyatakan
bahwa hukuman mati adalah "bertentangan dengan martabat manusia" atau
dilarang oleh "terang Injil." Saya tidak dapat melakukan ini tanpa
menolak wahyu dan iman Katolik. Ini adalah atas nama kepatuhan kepada Tuhan yang
berkuasa atas hidup dan mati, pencipta ilahi dari Negara dan sumber otoritas
hukumannya (lih. Rom 13), bahwa saya tidak bersedia memberikan persetujuan
bagi ajaran palsu ini, dan saya dengan tulus berharap bahwa penolakan seperti ini
akan menjadi norma, daripada sekedar pengecualian.
Sekarang bukanlah saatnya untuk bersikap ultramontanisme,
yang kalau diterapkan saat ini akan seperti menuangkan bensin kepada api.
Sekarang adalah saatnya untuk mengatakan “Cukup! Cukuplah sudah!.” Seperti halnya
bagi saya dan rumah tangga saya, kami akan melayani Tuhan dalam Iman Katolik di
mana ada ribuan kalimat katekismus telah melahirkan kesaksian yang tak
terbantahkan selama berabad-abad ini.
(Ultramontanism: ide bahwa kekuasaan mutlak Gereja berada di tangan
paus)
+++++++++++++++++++++
Beberapa
kutipan hukuman mati dalam Kitab Suci:
Kel
21:12 "Siapa yang memukul seseorang, sehingga mati, pastilah
ia dihukum mati.
Kel
21:16 Siapa yang menculik seorang manusia, baik ia telah
menjualnya, baik orang itu masih terdapat padanya, ia pasti dihukum mati.
Kel
22:19 Siapapun yang tidur dengan seekor binatang, pastilah ia
dihukum mati.
Im 20:10 Bila
seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan
isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang berzinah itu.
Im 20:13 Bila
seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan
perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati
dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.
Ul 13:5 Nabi atau pemimpi itu haruslah
dihukum mati, karena ia telah mengajak murtad terhadap TUHAN, Allahmu, yang
telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir dan yang menebus engkau dari rumah
perbudakan--dengan maksud untuk menyesatkan engkau dari jalan yang
diperintahkan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk dijalani. Demikianlah harus
kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.
Rm 6:23 Sebab upah
dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus
Yesus, Tuhan kita.
Kita harus mengenali bahwa Allah telah memberi pemerintah
otoritas untuk menentukan kapan hukuman mati pantas dijatuhkan (Kejadian 9:6,
Roma 13:1-7). Justru tidak alkitabiah
mengklaim bahwa Allah menentang hukuman mati dalam segala hal.
No comments:
Post a Comment