GEMBALA
YANG SESAT
BAGAIMANA
PAUS FRANCIS SEDANG MENYESATKAN KAWANANNYA
BAB
TIGA
Reformasi
Yang Terhenti
Kolese para Kardinal
memilih paus Francis dengan mandat untuk mereformasi administrasi Tahta Suci.
Mereka ingin mengakhiri "Vatileaks" yang telah mengganggu kepausan
sebelumnya dan kontrol yang lebih ketat terhadap para administratur Vatikan. Mereka juga menginginkan
paus baru untuk memajukan reformasi, dimana paus Benedict - bukan seorang administrator
yang kuat, seperti yang dia akui sendiri - telah memulainya pada dua bidang
penting: urusan keuangan Vatikan dan penanganan atas keluhan pelecehan seksual.
Benediktus XVI telah menugaskan tiga kardinal senior untuk
menyelidiki skandal Vatileaks, dan laporan mereka tentang masalah-masalah di
dalam Kuria Roma adalah subjek spekulasi yang intens sebelum diadakannya konklaf
kepausan. Apakah itu mengkonfirmasi pengaruh "lobi gay" di dalam
Vatikan? Atau keberadaan komplotan rahasia yang menghalangi reformasi Benediktus?
Atau kesalahan keuangan yang ingin dijaga kerahasiaannya oleh para uskup yang
berkuasa? Apakah laporan itu cukup mengecewakan untuk meyakinkan paus yang semakin
tua itu bahwa dia tidak memiliki stamina untuk mengatasi masalah yang ada?
Semua teori itu diangkat dan didiskusikan setelah pengunduran diri Benediktus.
Anehnya, pokok pembicaraan itu sepenuhnya hilang dari diskusi publik setelah
Francis terpilih.
Adalah Benediktus yang memulai reformasi keuangan yang sulit
tetapi perlu, membentuk sebuah tim manajemen baru di bank Vatikan yang
bermasalah, yang secara resmi dikenal sebagai Institute for Religious Works,
dan membentuk Otoritas Informasi Keuangan untuk mengawasi semua transaksi
Vatikan. Menghadapi perlawanan keras dari birokrasi Vatikan, dia mengizinkan agen
anti-pencucian uang dari Dewan Eropa untuk meneliti transaksi keuangan Tahta
Suci — sebuah keputusan yang oleh John Allen dari Amerika, sebagai pengamat
Vatikan terkemuka, dipuji: “…mungkin ini adalah sebuah tindakan tunggal yang paling
penting dalam hal reformasi keuangan dari kepausannya.”
Dan dalam masalah pelecehan seksual, Benediktus membuat
langkah yang paling pasti. Tidak puas dengan tindakan disiplin yang diambil
(atau dalam banyak kasus, tidak diambil) oleh berbagai divisi di Vatikan, dia
telah berhasil selama tahun-tahun terakhir masa pemerintahan Yohanes Paulus II
dalam mendapatkan tanggung jawab untuk berurusan dengan para imam yang dituduh
melakukan pelecehan seksual untuk digeser menuju divisinya sendiri, Kongregasi
untuk Ajaran Iman. Dalam sebuah pernyataan yang tak terlupakan di hadapan
konklaf yang memilihnya sebagai paus, Kardinal Ratzinger menyesalkan bagaimana
wajah Gereja telah dirubah bentuknya oleh ‘kebusukan’ dari kesalahan para
klerus.
Setelah pemilihannya, Benediktus meningkatkan kampanyenya
melawan klerus yang bersalah. Dia menginstruksikan bawahannya bahwa dirinya
tidak boleh difoto bersama pendiri berpengaruh dari Legiun Kristus, Pastor
Marcial Maciel Degollado, yang telah dituduh menganiaya para seminarisnya, dan
memerintahkan penyelidikan tingkat tinggi atas berbagai keluhan yang telah diabaikan
selama bertahun-tahun oleh teman-teman dekat dan berkuasa dari imam Meksiko itu di Kuria Romawi. Ketika bukti-bukti
yang merusak terus menumpuk, Maciel diturunkan dari kepala Legiun, dan pada
tahun 2006 dia dijatuhi hukuman dengan cara menghabiskan sisa hidupnya di dalam
‘doa dan silih.’ Benediktus kemudian memerintahkan penyelidikan pada ordo
religius yang didirikan oleh Maciel untuk menentukan seberapa besar integritas
ordo itu telah rusak oleh kehidupan bejat pendirinya.
Kasus Maciel hanyalah satu dari ratusan kasus yang diputuskan
oleh Vatikan selama masa kepausan Benediktus XVI. Memang benar bahwa keluhan
tentang kesalahan para klerus terus mengalir ke Vatikan ketika skandal yang
meletus di Amerika Serikat pada tahun 2002 kini melanda Eropa. Tetapi sebagian
besar dari pengaduan tersebut melibatkan insiden yang telah terjadi sejak lama
sebelumnya. Dan ketika kasus-kasus merembes melalui sistem peradilan Vatikan,
Benediktus tidak tergoyahkan dalam tekadnya untuk membersihkan ‘kecemaran’ itu dari
imamat. Pada tahun 2011 dan 2012 saja, dia melimpahkan (dalam bahasa
jurnalistik, ‘dipecat’) hampir empat ratus orang imam.
Reformasi Yang
Keluar Jalur
Perlunya reformasi di Vatikan – bagi terbentuknya birokrasi
yang lebih responsif, bagi transparansi keuangan, dan demi disiplin yang
efektif dari kesalahan administrasi – bukanlah bertujuan untuk mengadu antara liberal
melawan kaum konservatif. Benediktus, tampaknya menyimpulkan bahwa dia tidak
lagi memiliki kekuatan untuk memimpin reformasi besar yang dibutuhkan, dan
kemudian dia mundur untuk melapangkan jalan bagi seseorang yang lebih energik. Dan
Francis mengemban kepausan dengan masalah ini, terutama dalam benaknya, dan
sampai hari ini dia pada umumnya dianggap sebagai seorang pembaharu.
Namun sayangnya, lebih dari empat tahun kepausannya, Francis
gagal memajukan program reformasi. Sebaliknya, setelah melewati awal yang
menjanjikan, dia telah menggagalkan reformasi itu sendiri yang telah dimulai di
bawah Benediktus, dan bahkan reformasi yang dia mulai sendiri. Rasa jijiknya
pada organisasi dan kegemarannya mengambil keputusan cepat, telah memicu
beberapa pembalikan kebijakan dan meningkatkan kebingungan dalam Kuria Roma.
Yang paling penting, Francis telah membatalkan dua reformasi
paling kritis. Dia mendirikan Sekretariat Ekonomi, memberinya kekuasaan yang
luas, dan kemudian membatalkan kekuasaan itu, membiarkannya tidak mampu membawa
transparansi yang diinginkan bagi keuangan Vatikan. Dia membentuk sebuah panel
khusus untuk memberi nasihat kepada Gereja universal tentang penanganan
pelecehan seksual, tetapi rekomendasi panel itu belum dilaksanakan, dan para
anggota yang frustrasi telah mengundurkan diri — mengungkapkan apa yang mereka
lakukan hingga selama tiga tahun setelah paus membentuk panel itu, ternyata paus
sema sekali tidak pernah bertemu dengan anggotanya. Francis sendiri telah menutup
mata terhadap beberapa uskup favoritnya dalam menghadapi klerus yang melakukan
tindak pelecehan. Berbagai inisiatif reformasi dramatisnya sekarang nampak
seperti isyarat kosong, dan sikap klerus yang tidak baik yang telah dipromosikan
oleh Francis sendiri dengan penuh semangat, telah memperkuat isyarat kosong itu.
‘Penyakit’ Kuria
Romawi
Coba pertimbangkan lebih dulu reformasi Kuria Roma: “barang
berharga besar” berada dalam mandat paus yang baru. Selama lebih dari setahun
setelah pemilihannya, Francis membakar hangus reputasinya sebagai seorang
reformator ‘Perang Salib,’ terutama dengan filosofi yang memukau terhadap
kegagalan para birokrat Vatikan.
Pidato tahunan paus kepada Kuria Roma, yang disampaikan
sebelum Natal, biasanya dipahami sebagai pertukaran salam liburan dan
kesempatan bagi paus untuk berbagi prioritas utamanya dengan rekan terdekatnya.
Pada tahun 2005, misalnya, Benediktus XVI menggunakan kesempatan itu untuk
memberikan ceramahnya yang terkenal menentang ‘hermeneutik diskontinuitas dan
pecah’ dalam penafsiran menurut Vatikan II, sebuah pesan yang menjadi tema
utama kepausannya.
Pada Desember 2014, Francis menyampaikan kritik pedas
terhadap ‘penyakit’ di dalam Kuria, hingga menyentak para pengamat Vatikan
(belum lagi Kuria) dan menghilangkan kemungkinan kebingungan tentang prioritas
pastoralnya. Bahwa reformasi Kuria Roma akan menjadi tujuannya nomor satu —
untuk tahun 2015 dan mungkin untuk seluruh kepausannya.
Pertanda tahun sebelumnya, yang mencakup peringatan yang
relatif ringan terhadap gosip dan intrik. Kali ini dia kembali kepada topik itu
lagi tetapi kemudian mengesampingkannya ketika dia merobek-robek kejahatan birokrasi
yang sudah dikenalnya: pendekatan yang memandang ke dalam dan mementingkan
diri, karierisme, kacamata hitam, faksionalisme, dan kurangnya selera humor.
Dia berbicara tentang ‘skizofrenia eksistensial’ dari para pejabat Vatikan yang
mungkin memimpin ‘kehidupan yang tersembunyi dan seringkali terputus-putus.’
Dan dia membuat sangat jelas bahwa dia tidak berbicara dalam istilah yang murni
abstrak - bahwa dia percaya semua kegagalan ini dapat ditemukan di dalam
koridor Vatikan.
Di akhir pidatonya, paus mengangguk kepada para pelayan
Gereja yang setia, menyebutkan bahwa para klerus, seperti pesawat terbang,
“hanya membuat berita ketika mereka jatuh.” Tetapi kata pujian cepat itu datang
terlambat untuk melunakkan pesan keseluruhan. Foto-foto pertemuan menunjukkan ruangan
yang penuh dengan uskup berwajah cemberut. Laporan-laporan menunjukkan bahwa
paus hanya menerima tepuk tangan yang sangat jarang. Suasana pertemuan sebelum
Natal sama sekali tidak menyenangkan.
"Saya harus mengatakan bahwa saya tidak merasa bangga berjalan
keluar dari ruangan itu hari ini," kata seorang pejabat Vatikan kepada
John Allen, yang mengatakan bahwa pendekatan konfrontatif paus mungkin
merupakan pendekatan yang berisiko. Dia mungkin ingin mengubah cara kerja
Vatikan, tetapi dia tidak mampu mengasingkan seluruh stafnya atau menghancurkan
moral mereka. Dia membutuhkan seseorang untuk membantunya melaksanakan rencana-rencananya
— bahkan rencananya bagi reformasi Kuria Roma.
Kesediaan Francis untuk mengambil risiko kemarahan stafnya,
kembali ke topik teguran lembut tahun sebelumnya dan meningkatkan retorikanya
secara dramatis, menunjukkan bahwa gada besi telah memasuki jiwanya: bahwa dia
telah menemukan perlawanan dan dia bertekad untuk mengatasinya.
Kantor-Kantor
Baru Dengan Kekuasaan Tidak Jelas
Hanya beberapa hari sebelum pidato Natal yang memukau itu,
Jean-Marie Guénois yang telah melaporkan sebelumnya di Le Figaro (dalam sebuah artikel yang berjudul "Perang Rahasia di Vatikan: Bagaimana Paus Fransiskus Mengguncang
Gereja") tentang pergulatan antara seorang paus yang bertekad untuk
mengubah cara Vatikan menjalankan bisnis dan para pejabat yang berurat berakar
untuk menolak perubahan itu. Dalam arti tertentu, Bapa Suci tidak hanya
berbicara kepada staf Vatikan tetapi juga kepada Gereja pada umumnya,
menjelaskan kepada semua orang mengapa begitu penting untuk mereformasi Kuria
Roma.
Untuk membantunya dalam ‘perang salib’ ini, Francis membentuk
Dewan Kardinal baru, yang terdiri dari sembilan wali gereja dari seluruh dunia,
untuk mempelajari struktur Vatikan yang ada dan memeriksa proposal bagi reformasi.
Pada saat penulisan ini, lebih dari empat tahun dari kepausannya, Dewan
Kardinal itu telah bertemu sembilan belas kali, biasanya duduk dalam sesi tiga
hari, meneliti laporan dan rekomendasi yang tak terhitung jumlahnya, namun
perubahan aktual dalam bagan organisasi Vatikan tetaplah sangat minim.
Francis telah membentuk dua badan baru — Dikasteri bagi Umat Awam, Keluarga, dan Kehidupan dan Dikasteri untuk Mempromosikan Pengembangan
Manusia secara Integral — tetapi tidak ada dari kedua dikasteri itu yang
awalnya diusulkan oleh Dewan Kardinal. Sebenarnya kedua dikasteri itu telah
muncul sejak jauh sebelumnya, atas saran beberapa orang kardinal di sidang umum
sebelum konklaf 2013 dan dibentuk dengan menggabungkan tugas dan staf dari
dewan kepausan dan komisi kepausan yang ada. Perhatikan bahwa kedua bagian atau
divisi itu ditetapkan sebagai "dicasteries" – ‘istilah topeng’ untuk
kantor Takhta Suci. Dikasteri itu tidak memiliki posisi yang jelas dalam bagan
organisasi Vatikan, tanggung jawab mereka belum diperbaiki, dan staf mereka
belum sepenuhnya terintegrasi.
Dalam dunia bisnis, perusahaan multinasional dapat
menggabungkan, melepaskan divisi, dan merestrukturisasi operasi mereka dalam
semalam. Di Vatikan, empat tahun semangat perang hanya menghasilkan beberapa
perubahan sementara, tanpa perubahan mendasar dalam cara bisnis dijalankan.
Belum ada saran untuk perubahan dalam struktur keseluruhan Kuria Romawi, di
mana Sekretariat Negara adalah yang utama.
Bertentangan dengan apa yang mungkin diasumsikan oleh umat
Katolik Amerika, Sekretariat Negara Vatikan tidak setara dengan Departemen Luar
Negeri AS. Karena di Vatikan, itu adalah departemen super, yang memiliki
pengaruh besar terhadap semua dikaster Vatikan lainnya, kecuali Kongregasi
untuk Ajaran Iman. Sekretariat Negara memiliki dua divisi utama: satu berurusan
dengan diplomasi, yang lain dengan urusan internal Gereja. Yang terakhir
menangani dokumen harian Kuria. Jadi, administrasi rutin Vatikan dilakukan oleh
kantor yang sama yang menangani hubungan dengan pemerintah asing.
Sekretaris negara adalah orang yang paling kuat di Vatikan
setelah paus, mengungguli para Prefek kongregasi dan presiden dewan kepausan.
Dia menetapkan agenda untuk diplomasi Vatikan sambil secara bersamaan
mengendalikan aliran dokumen internal dan mengelola mekanisme hubungan
masyarakat Vatikan. Semua bisnis penting Vatikan mengalir melalui kantor
sekretaris negara ini. Struktur organisasi yang aneh ini memiliki dua kelemahan
penting.
Pertama, konsentrasi kekuasaan di satu divisi akan menghambat
kerja tim dan kreativitas di antara para pemimpin Kuria Romawi lainnya, dan hal
ini membatasi aliran informasi kepada paus. Adalah paus, bukan sekretaris
negaranya, yang harus membuat keputusan kebijakan yang krusial. Dan seperti
pembuat kebijakan lainnya, dia dapat mengambil manfaat dari konsultasi luas
dengan pejabat yang memiliki pengetahuan langsung di bidangnya. Dalam sidang-sidang
umum 2013, beberapa kardinal menyarankan sebuah divisi baru, Moderator Kuria —
seorang kepala staf kepausan yang mengoordinasikan arahan dari semua bagian lainnya.Proposal
itu tampaknya tidak pernah mendapatkan perhatian dari Dewan Kardinal.
Kedua, gabungan diplomasi dan urusan internal menghasilkan
suasana yang tidak sehat bagi administrasi Tahta Suci. Karena para klerus yang
terlatih dalam seni diplomasi adalah yang paling mungkin dipengaruhi oleh perhatian
duniawi, dan mereka harus dipisahkan dari administrasi internal Gereja. Para
diplomat Vatikan harus memahami bahwa tugas mereka adalah mewakili Gereja
kepada dunia, bukan sebaliknya.
Revolusi Komunikasi
Konsolidasi operasi media Vatikan merupakan upaya reformasi
lainnya. Pada 2014 paus membentuk komisi ahli untuk mempelajari kebutuhan
komunikasi Tahta Suci serta memberikan saran-saran. Menurut kantor pers
Vatikan, ketika Dewan Kardinal meninjau laporan komisi pertama, dewan itu
“mengusulkan kepada paus adanya lembaga komisi untuk mempelajari laporan akhir
ini dan menyarankan pendekatan yang layak untuk implementasinya.” Ternyata
usulan itu memberikan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Apakah komisi
pertama tidak menawarkan rencana-rencana untuk mengimplementasikan
rekomendasinya? Jika tujuan akhir dari reformasi operasi media Vatikan adalah
untuk mendorong keterbukaan dan kejelasan, jelas bahwa reformasi tersebut belum
berlaku.
Namun ada alasan yang lebih penting untuk merasa khawatir
tentang pengumuman panel kedua. Komisi semula terdiri dari para pakar yang
diakui dari seluruh dunia di bidang media dan komunikasi. Komisi yang baru
terdiri dari para klerus yang bekerja pada operasi media Vatikan dan satu
eksekutif surat kabar yang dimiliki oleh konferensi uskup Italia. Dengan kata
lain, setelah Vatikan menyadari perlunya perombakan menyeluruh atas operasi
media yang ketinggalan jaman, tidak terkoordinasi, dan tidak efektif, maka tugas
melaksanakan proposal tersebut diberikan kepada sekelompok orang dalam dari
operasi yang telah ketinggalan zaman, tidak terkoordinasi, dan tidak efektif.
Namun demikian upaya reformasi terus berlanjut, dan akhirnya
menghasilkan Sekretariat Komunikasi yang baru. Tetapi sekretariat baru itu
menghadapi tantangan besar. Msgr. Dario Vigano, ditunjuk untuk memimpin
sekretariat, melaporkan pada 2015 bahwa dibutuhkan waktu setidaknya tiga tahun
untuk menyatukan semua kantor yang tersebar menjadi satu kesatuan
terkoordinasi. Dalam pidatonya yang tidak biasa kepada staf sekretariat pada
Mei 2017, Francis mengakui bahwa konsolidasi banyak kantor yang terlibat dalam
proyek akan membutuhkan "sedikit kekerasan." Hal itu akan menjadi
"kekerasan yang baik," kata paus buru-buru meyakinkan hadirin, sejauh
menanggapi kebutuhan Gereja dalam era baru dari komunikasi publik.
Membawa strategi komunikasi Vatikan ke era Internet dan media
sosial, adalah cukup sederhana dibandingkan dengan tantangan untuk mencari pejabat-pejabat
Vatikan yang mampu menghargai peran hubungan masyarakat. Kantor Vatikan yang
terlibat dalam komunikasi publik termasuk surat kabar L'Osservatore Romano, pusat televisi Vatikan, kantor pers, Radio
Vatikan, Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, dan setengah lusin kantor
lainnya — semuanya beroperasi secara mandiri, tanpa strategi utama apa pun.
Masing-masing memiliki stafnya sendiri, memiliki sejarahnya sendiri yang membanggakan,
kepentingannya sendiri untuk dilindungi. Chris Patten, politisi Inggris yang
mengetuai komisi ahli pertama yang mempelajari masalah itu, tidak harus menjadi
seorang nabi untuk meramalkan bahwa akan ada oposisi yang mengakar terhadap
reformasi yang diusulkan ini.
Terlepas dari pertempuran tingkat bawah yang tak
terhindarkan, upaya reformasi itu menghadapi masalah anggaran dan personil.
Dalam kedua kategori itu, perhatian yang dominan adalah Radio Vatikan, operasi
yang sangat mahal dengan staf tiga ratus orang. Para karyawannya umumnya pandai
dalam apa yang mereka lakukan, tetapi apa yang mereka lakukan - apa yang telah
mereka lakukan - adalah menghasilkan program-program radio. Dalam strategi baru
Vatikan bagi era digital, sesungguhnya siaran radio memainkan peran yang jauh
berkurang.
Tetapi bahkan jika semua perlawanan dapat diatasi dan semua
pertempuran tingkat bawah diselesaikan, bahkan jika staf Radio Vatikan dapat
dengan senang hati beradaptasi dengan tanggung jawab baru dan uang dapat ditemukan
untuk membayar semuanya, barulah proses reformasi akan dimulai. Hambatan nyata
untuk komunikasi yang efektif di Vatikan tidak, dan tidak akan, terletak di
dalam Sekretariat Komunikasi yang direorganisasi. Upaya ini terhambat oleh
kebijakan dan kebiasaan kantor-kantor Vatikan lainnya yang menjadi dasar bagi sekretariat.
Charles Collins menyampaikan salah satu kesulitan yang paling
menonjol dalam analisisnya, kepada layanan berita Katolik Crux:
Terkadang pidato kepausan dapat diterjemahkan secara mandiri,
seluruhnya atau sebagian, hingga 3 atau 4 kali oleh kantor yang berbeda. Namun sebuah
kantor penerjemahan pusat belum juga didirikan, dan akan membutuhkan koordinasi
antara kantor komunikasi baru, Sekretariat Negara yang kuat, dan Rumah Tangga
Kepausan, yang mengendalikan jadwal paus.
Kontrol atas jadwal kepausan adalah pertanyaan menjengkelkan
lainnya. Sebelum pensiun dari jabatannya sebagai direktur kantor pers Vatikan,
Pastor Federico Lombardi mengakui bahwa dia sering tidak tahu di mana paus
berada atau apa yang sedang dilakukan paus. Jika kepala juru bicara paus tidak
tahu apa yang dilakukan paus, bagaimana bisa dia diharapkan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan media?
Tetapi sering kali ketika paus sendiri berbicara, maka masalah
komunikasi benar-benar baru dimulai.
Collins menjelaskan bahwa “setiap kali paus berbicara dengan spontan - atau
mengatakan sesuatu yang kontroversial - Sekretariat Negara mengatakan kepada
semua orang di Vatikan untuk menunggu, sampai 'versi resmi' keluar, tidak
peduli bahwa versi 'tidak resmi' tetapi otentik, telah beredar di seluruh
televisi dan media-media kabel.” Masalah ini semakin rumit, tentu saja, ketika
paus menyisihkan teks yang sudah disiapkan dan berbicara tanpa persiapan,
seperti yang sering dilakukannya. Para reporter akan langsung mendengar
kata-katanya, tetapi berjam-jam mungkin berlalu sebelum kantor pers memiliki
versi "resmi", yang diperiksa oleh Sekretariat Negara — dan versi resmi
itu mungkin tidak cocok dengan pernyataan paus yang sudah disiarkan di seluruh
dunia.
Dan mengapa Sekretariat Negara terlibat dalam proses ini?
Sekali lagi, sekretaris negara mengungguli semua orang di Vatikan kecuali paus
sendiri. Tentu saja Kardinal Parolin (sekretaris negara) mengungguli Msgr.
Vigano (yang menurut Collins, "pejabat Vatikan berperingkat tertinggi hingga
tidak menjadi uskup"). Sekretariat Negara mengawasi setiap kantor Kuria
Romawi lainnya, dan itu termasuk Sekretariat untuk Komunikasi. Maka, setiap
saat, strategi yang dirancang oleh para pakar media di Sekretariat untuk
Komunikasi dapat digagalkan oleh para pejabat di Sekretariat Negara, yang jelas-jelas
bukanlah pakar media.
Skandal Vatileaks —
Terulang
Selama masa kepausan Benediktus XVI, salah satu masalah
hubungan masyarakat terberat yang dihadapi Vatikan adalah kebocoran dokumen
rahasia, dan masalahnya terus berlanjut di bawah Francis, yang mengungkapkan
adanya berbagai pertikaian dan inefisiensi — jika bukan ketidakjujuran langsung
— di kantor Tahta Suci. Pengadilan Vatileaks pertama, di bawah Benedict,
menghasilkan vonis bersalah pada pelayannya dengan menyisakan rasa kecurigaan
tentang konspirasi yang lebih luas. Skandal kedua, dijuluki "Vatileaks
II," membenarkan kesan bahwa staf Vatikan bermasalah dengan mengadu domba
persaingan, transaksi di kalangan orang dalam, dan penyalahgunaan dana secara
terang-terangan terkait dengan pemanfaatan Tahta Suci.
Skandal Vatileaks II pecah pada 2015 ketika jurnalis Italia
Emiliano Fittipaldi dan Gianluigi Nuzzi menerbitkan buku berdasarkan dokumen
rahasia yang diperoleh dari sumber-sumber di dalam Vatikan yang menyingkapkan
penyalahgunaan kepercayaan yang jelas. Misalnya, Kongregasi bagi pemberian
gelar orang kudus — kantor yang menyelidiki calon-calon untuk memperoleh beatifikasi
dan kanonisasi — ternyata tidak memiliki kendali yang efektif atas pengeluarannya.
Administrasi Patrimony dari
Takhta Apostolik (APSA), kantor yang mengelola kepemilikan real estate Vatikan
yang luas, secara teratur melibatkan beberapa kontraktor tanpa meminta
penawaran yang kompetitif dan memberikan harga khusus hanya untuk penyewa yang
disukai. Beberapa keluhan ini mengejutkan bagi siapa pun yang meliput Vatikan.
Tetapi bukti spesifik yang disodorkan oleh kedua jurnalis, yang diambil dari
dokumen rahasia, adalah bukti dari masalah yang lain.
Kebocoran itu ditelusuri, dan anehnya, menuju ke sebuah
komite yang dibentuk oleh Francis sendiri untuk mempelajari urusan keuangan
Vatikan. Pada November 2015, seorang jaksa penuntut Vatikan mengajukan tuntutan
pidana terhadap tiga staf Vatikan — Mgr. Lucio Ángel Vallejo Balda, Francesca
Immacolata Chaouqui, dan Nicola Maio — karena membocorkan dokumen internal.
Wartawan Fittipaldi dan Nuzzi juga didakwa dengan tuduhan "meminta dan
memberikan tekanan" kepada staf Vatikan untuk melengkapi dokumen-dokumen
itu.
Pengadilan itu, di hadapan pengadilan Vatikan, memberikan
lebih banyak masukan tabloid daripada dokumen-dokumen curian itu. Msgr. Vallejo
Balda bersaksi bahwa Chaouqui telah merayunya dan kemudian mengancam untuk
memberi tahu semua orang jika dia tidak mengeluarkan dokumen yang dimaksud.
Chaouqui yang bergaya flamboyan — yang kehadirannya di panel keuangan sulit
dijelaskan, karena dia adalah seorang yang menyukai publisitas dan bukan
seorang ahli di bidang keuangan — menjadi berita utama karena secara beruntun
memprotes ketidakbersalahannya dan mengklaim memiliki rahasia yang lebih
merusak tentang keuangan Vatikan. Muncul kesaksian dalam persidangan bahwa
suaminya, Corrado Lanino, mengendalikan komputer tempat dokumen-dokumen curian
itu disimpan. Dalam kesaksian aneh lainnya, komputer itu dilaporkan disimpan di
barak Pengawal Swiss, bukannya di kantor komisi keuangan, dimana hal ini tampaknya
karena kekhawatiran bahwa kantor komisi keuangan tidak aman secara fisik.
Pada Juli 2016, pengadilan Vatikan mengumumkan putusannya.
Msgr. Vallejo Balda, mantan sekretaris Prefektur untuk Urusan
Ekonomi Tahta Suci, dihukum karena membocorkan dokumen rahasia kepada wartawan.
Pengadilan menghukumnya delapan belas bulan penjara. (Pada bulan Desember dia
akan diberikan pengampunan kepausan dan dibebaskan.)
Francesca Chaouqui, yang telah dideskripsikan oleh jaksa
penuntut sebagai pemicu kebocoran, dinyatakan bersalah atas perbuatan konspirasi.
Tetapi karena pengadilan tidak menemukan bukti konklusif bahwa dia telah
benar-benar memberikan dokumen kepada wartawan, dia hanya menerima hukuman
sepuluh bulan — dengan masa percobaan selama lima tahun. Maka Chaouqui, yang
baru saja melahirkan seorang putra, bisa menghindari hidup dalam penjara.
Nicola Maio, yang pernah menjadi asisten Msgr. Vallejo Balda,
ditemukan tidak bersalah atas keterlibatannya dalam konspirasi.
Nuzzi dan Fittipaldi, jurnalis yang menerbitkan buku
berdasarkan dokumen yang bocor, dibebaskan dengan alasan bahwa karena mereka
warga negara Italia yang bertindak di luar Vatikan, pengadilan tidak memiliki
yurisdiksi atas mereka.
Di awal 2017, Chaouqui merilis bukunya sendiri tentang urusan
Vatileaks II. Tidak ada yang mengherankan, akunnya hanya berfungsi untuk melayani
diri sendiri dan menawarkan sedikit informasi baru, dengan mengulangi cerita
lama tentang salah urus keuangan. Namun, yang membingungkan adalah tekadnya
yang jelas untuk membuat Kardinal Australia George Pell menjadi penjahat dalam
cerita tersebut. Sekarang prefek dari Sekretariat Ekonomi, yang akan lebih
banyak diceritakan di bawah ini, Kardinal Pell, telah menjadi ‘raja’ dalam hal pertanggungjawaban
keuangan Vatikan, hanya setelah dibukanya ekses-ekses yang dicatat oleh
Chaouqui, dimana perannya adalah untuk mengurangi kesalahan keuangan. Jadi
mengapa Chaouqui mengacungkan jari telunjuk kepadanya?
Perlawanan dari
Penjaga Lama
Dalam novel ‘Shoes of
the Fisherman’ karya Morris West, tangan lama Vatikan memberikan saran ini
kepada seorang paus yang baru terpilih dari negara yang jauh dari Roma: “Jangan
mencoba mengubah Roma, Yang Mulia. Jangan mencoba melawan atau mengubahnya.
Mereka telah mengelola Paus selama seribu sembilan ratus tahun terakhir dan
mereka akan mematahkan leher Anda sebelum Anda menekuknya."
Kesalahan keuangan hanyalah salah satu aspek dari masalah
dalam Kuria Romawi. Dalam diskusi mereka menjelang konklaf 2013, para kardinal
menyuarakan ketidakpuasan mereka dengan budaya umum dalam birokrasi Vatikan:
kombinasi disfungsional dari kerahasiaan, karirisme, persaingan intramural, dan
politisasi divisi-divisi di Vatikan. Dua tahun kemudian, kebocoran baru dokumen
rahasia telah menunjukkan bahwa budaya buruk itu tetap bertahan.
Memang masuk akal untuk mengatasi sistem keuangan Vatikan
yang kacau terlebih dahulu, karena uang selalu menjadi darah kehidupan dari
setiap sistem yang korup. Sekretariat baru untuk Ekonomi, dipimpin oleh
Kardinal Pell, yang mengesankan dirancang untuk membuat semua pejabat Vatikan
bertanggung jawab atas pengeluaran mereka. Tetapi tidak semua orang senang dengan
reformasi keuangan ini; Kardinal Pell mengacak-acak bulu. Jadi, tidak
mengherankan bahwa ketika skandal Vatileaks II pecah, Andrea Tornielli, salah
satu jurnalis Vatikan yang mendapat informasi terbaik, telah mengidentifikasi
Pell sebagai target gosip terbaru.
Sekali lagi, berita paling menarik dalam ‘skandal’ baru ini
melibatkan insiden yang terjadi sebelum penunjukan Pell — insiden yang
sebenarnya merupakan salah satu alasan utama pengangkatannya. Ya, satu buku
baru melaporkan pengeluaran besar di Sekretariat Ekonomi. Tetapi ini adalah
kantor yang sepenuhnya baru, dengan tanggung jawab luas, membutuhkan peralatan
kantor dan staf penuh, termasuk beberapa karyawan dengan keahlian di bidang
akuntansi dan keuangan; itu tidak akan pernah menjadi proposisi yang murah.
Mungkin lebih tepatnya, orang-orang yang terutama bertanggung jawab atas
kebocoran itu — Vallejo Balda dan Chaouqui — jelas berharap untuk memainkan
peran utama dalam struktur keuangan baru, dan kebocoran itu dimulai setelah
harapan mereka untuk mendapat kemajuan, gagal.
Beberapa laporan menyatakan bahwa Vatileaks II menunjukkan
perlawanan “penjaga lama” terhadap semangat reformasi Francis. Contoh yang
terbaik adalah berupa penyederhanaan yang berlebihan. Dua orang yang dinyatakan
bersalah atas kebocoran tersebut telah ditunjuk oleh Francis sendiri untuk
komisi yang dimaksudkan untuk mengusulkan reformasi keuangan. Vallejo Balda dan
Chaouqui tidak bisa hanya dicirikan sebagai musuh Francis atau reformasi
ekonomi. Selain itu, setidaknya ada beberapa bukti bahwa orang-orang yang sama
mungkin telah terlibat dalam Vatileaks I, jauh sebelum Francis tiba di tempat
kejadian.
Sebuah pandangan yang menarik tentang Vatileaks II datang
dari jurnalis Vatikan, Andrea Gagliarducci, yang percaya bahwa skandal itu
melibatkan berbagai jenis perebutan kekuasaan di dalam Kuria. Selama
bertahun-tahun, orang-orang kuat di dalam Vatikan saling bertukar bantuan kecil
dengan rekan sekuler Italia mereka, demikian Gagliarducci menjelaskan. Beberapa
dari bantuan itu melibatkan transaksi keuangan — penggunaan bank Vatikan untuk
akun pribadi, mungkin, atau transfer real estate dengan syarat yang ‘bersahabat.’
Sebagian besar kesepakatan kecil ini tidak berbahaya, tetapi beberapa secara
teknis adalah ilegal, dan beberapa mungkin melibatkan orang-orang yang tersembunyi.
Untuk para pemodal Italia, transaksi tanpa pengawasan melalui
Vatikan menjadi lebih menarik setelah peristiwa 9/11 (robohnya menara kembar
Amerika Serikat), ketika otoritas perbankan Eropa mulai memberlakukan peraturan
baru yang ketat pada bank-bank Italia untuk menangkal pencucian uang dan
pendanaan terorisme. Beberapa pejabat Vatikan — Gagliarducci menyebut mereka
sebagai “orang-orang yang berkompromi” — tetap bersedia membantu teman-teman
mereka, dan pengaruhnya bertambah ketika kesehatan John Paul II memburuk.
Segalanya berjalan menuju puncak ketika pejabat perbankan Italia mulai
memutuskan hubungan dengan lembaga Vatikan, mengingat risiko transaksi yang
tidak bertanggung jawab. Paus Benediktus XVI merespons dengan memulai proses
reformasi keuangan. Gagliarducci menulis: “Singkat cerita, di bawah Benedict
XVI, 'orang-orang yang berkompromi' yang bermain game melintasi perbatasan
finansial Vatikan-Italia, kehilangan pengaruh.”
Reformasi keuangan yang dimulai di bawah Benediktus XVI
dipercepat di bawah Francis. Prefek dari Sekretariat Ekonomi, Kardinal Pell,
terus meningkatkan tekanan untuk membuat semua transaksi keuangan Vatikan
transparan. Perubahan-perubahan ini tidak disambut hangat oleh
"orang-orang yang berkompromi," yang berusaha untuk merusak reformasi
secara umum dan pribadi Pell pada khususnya.
Dilihat dari sudut ini, kebocoran dapat dimaknai sebagai
upaya untuk mempermalukan Tahta Suci, untuk memberi tekanan publik pada
sekretariat baru, dan untuk membuat reformasi terlihat salah arah. Penting
kemudian, bahwa kebocoran terbaru mengungkapkan transaksi yang dipertanyakan
sebelum reformasi diberlakukan. Tujuan para pembocor itu bukanlah untuk
mengekspos kesalahan dan dengan demikian membuka jalan bagi reformasi; masalah
telah diidentifikasi dan solusinya sedang dilaksanakan. Tujuannya, sebaliknya,
adalah untuk menciptakan kesan kekacauan. "Pada akhirnya," tulis
Gagliarducci, "kebocoran itu tampaknya merupakan upaya terbaru untuk
memberi kesan pada Vatikan untuk menggagalkan reformasi Vatikan dan memberikan
pengaruh pada proyek-proyek Vatikan."
Pengeluaran Yang Tak
Terkendali, Anggaran Yang Tak Terkoordinasi
Guna menghargai pentingnya reformasi ekonomi, orang harus
memahami bahwa sampai Sekretariat Ekonomi mulai memberlakukan aturan baru, dikasteri-dikasteri
Vatikan tidak mengikuti prosedur akuntansi standar. Setiap kantor membuat
keputusan pengeluaran sendiri dengan sedikit atau tanpa pengawasan. Jadi,
Sekretariat Ekonomi yang baru tidak hanya mengubah aturan yang ada; ia memberlakukan
aturan-aturan yang sebelumnya tidak ada.
Francis mengisyaratkan niatnya untuk membawa reformasi kedalam
manajemen Kuria Roma ketika dia menempatkan Kardinal Pell yang bertanggung
jawab atas sekretariat. Mantan uskup agung Sydney itu, di masa mudanya, seorang
bintang dalam sepak bola Australia, dan dia tidak pernah kehilangan semangat
tempurnya. Dari semua anggota College of Cardinals, dia mungkin yang paling
tidak merasa khawatir untuk menginjak kaki lawan atau tentang menyatakan
ketidaksetujuannya yang terus terang dengan wali gereja lainnya — termasuk paus
sendiri.
Secara teori, setiap pejabat Kuria Roma melayani Bapa Suci dengan
senang hati dan tidak memiliki wewenang kecuali sebagai wakil dari keinginan paus.
Namun dalam praktiknya, beberapa generasi pejabat Vatikan telah mampu membangun
wilayah kekuasaan mereka sendiri dalam birokrasi. Orang Amerika, yang terbiasa
dengan anggapan bahwa pejabat mana pun harus dimintai pertanggungjawaban atas
tindakan dan keputusannya, seringkali sulit memahami bahwa Vatikan beroperasi
pada sistem Eropa yang jauh lebih tua dan lebih personal. Sama seperti raja
yang memungkinkan para bangsawan memiliki kebebasan yang luas untuk melakukan
urusan di dalam tanah milik mereka sendiri, maka di Vatikan paus memberi
kebijaksanaan kardinal curial atas kantor mereka. Dianggap tidak pantas untuk
meminta seorang bangsawan, atau seorang kardinal Gereja, untuk membenarkan
keputusannya — apalagi untuk mempertanggungjawabkan pengeluarannya.
Di masa lalu sistem pemerintahan Vatikan seperti ini
menghasilkan korupsi besar-besaran: nepotisme, menjajakan pengaruh, dan simoni
(pembelian atau penjualan hak istimewa gerejawi, misalnya pengampunan atau
manfaat tertentu). Di era modern, skandal terang-terangan seperti ini sudah
jarang terjadi. Tetapi potensi kesalahan dari jenis yang lebih halus sangatlah
besar. Pejabat Vatikan secara rutin melakukan pertolongan bagi teman-teman
mereka. Ada makan malam mewah, kontrak proyek tanpa penawaran, dan perjalanan
mahal ke luar negeri. Dalam kasus-kasus ekstrem, pendekatan ini dapat
menimbulkan penampilan, setidaknya, ketidakwajaran keuangan yang serius.
Dalam kasus-kasus lain, potensi korupsi bisa berupa perlindungan.
Uang — kekuatan untuk membelanjakan — menjiwai birokrasi apa pun. Pejabat dapat
menggunakan pengeluaran ‘pengecualian’ untuk mencapai tujuan mereka sendiri dan
juga untuk institusi. Seorang kardinal kurial yang kuat dapat memupuk basis
dukungan di antara para uskup dan ordo religius yang dia sukai.
Kuasa untuk membelanjakan uang bukanlah satu-satunya sumber
godaan. Kesempatan untuk menerima bantuan atau dana — hadiah dari individu atau
lembaga kaya — juga dapat mempengaruhi penilaian seorang wali gereja. Mungkin
terlalu banyak untuk menyarankan bahwa kardinal-kardinal di Vatikan cukup
berani untuk menerima suap, tetapi beberapa hadiah gratisan lainnya pasti lebih
tidak bersalah daripada yang lain. Pastor Maciel bisa bertahan selama
bertahun-tahun di pucuk pimpinan Legiun Kristus ketika penyelidikan atas kesalahannya
dihalangi oleh para wali gereja yang telah mendapat manfaat dari penggalangan
dana legendarisnya.
Transparansi adalah musuh korupsi, nyata atau yang
dibayangkan. Jadi dengan menerapkan prosedur akuntansi standar pada setiap
kantor Vatikan, Sekretariat Ekonomi berharap untuk membawa Kuria Romawi ke era
akuntabilitas.
Pada 2015, ketika Kardinal Pell memulai kampanyenya untuk
transparansi, bank Vatikan baru mulai muncul dari bulan-bulan penuh gejolak
yang dipicu oleh keluhan bahwa lembaga tersebut memberikan peluang untuk
pencucian uang. Kerentanan bank yang jelas — karena kurangnya standar keuangan
yang jelas — sudah cukup membuat khawatir para regulator perbankan dan keuangan
Italia.
"Monsinyur
€ 500"
Pada 2014 skandal keuangan terbuka di front lain ketika Msgr.
Nunzio Scarano, mantan direktur akuntansi untuk APSA yang telah diskors selama
investigasi pencucian uang, ditangkap atas tuduhan pencucian uang tambahan yang
melibatkan rencana dugaan untuk membawa dua puluh juta euro tunai ke Italia secara
ilegal. Ketika kasus ini berkembang, jaksa penuntut mengatakan bahwa Scarano
telah menawarkan layanan keuangan untuk teman-temannya yang kaya:
"kegiatan yang benar-benar pribadi, ilegal, yang juga ditujukan untuk
melayani orang luar." Dia juga dilaporkan mengumpulkan dana untuk alasan amal
dari para donatur yang tidak menaruh curiga dan menggunakan dana itu untuk
membeli kondominium pribadi yang mewah.
Polisi sudah menaruh kecurigaan pada apa yang mereka sebut
sebagai aset finansial "luar biasa" Scarano. Dia memprovokasi
kecurigaan polisi dengan menarik € 560.000 (lebih dari $ 600.000) dari rekening
pribadinya di bank Vatikan dan karena dia meminta teman-temannya untuk menerima
uang tunai dan membayar kepadanya dengan dana yang dapat dia setor di bank
Italia. Transaksi-transaksi tersebut telah memicu penyelidikan awal terhadap
kemungkinan pelanggaran peraturan pencucian uang di Italia.
Scarano beralasan bahwa kegiatannya itu — termasuk bantuan
khusus untuk kpara lien kaya — semuanya telah disetujui oleh atasannya di Vatikan.
"Saya tidak pernah mencuci uang kotor, saya tidak pernah mencuri," kata
klerus yang menjadi tertuduh itu bersikeras dalam surat kepada Bapa Suci.
"Saya mencoba membantu seseorang yang meminta bantuan." Scarano
menegaskan bahwa dia memiliki cukup dokumentasi untuk membuktikan bahwa dirinya
tidak bersalah.
Yang lebih dramatis lagi, monsignor itu dituduh bahwa ketika
bekerja sebagai seorang akuntan di APSA, dia telah berusaha untuk menyembunyikan
kesalahan keuangan oleh atasannya sendiri di kantor itu. Usahanya digagalkan, katanya,
karena beberapa kardinal "diperas" dan menutupi pelanggaran itu.
Scarano mengatakan bahwa dia telah membawa kasus
penyalahgunaan keuangan itu menjadi perhatian Kardinal Stanisław Dziwisz, uskup
agung Krakow dan mantan sekretaris Paus Yohanes Paulus II. Dia juga mengatakan
bahwa dirinya telah menghubungi Kardinal Angelo Sodano, dekan College of
Cardinals dan mantan menteri luar negeri. Tetapi tidak ada uskup yang bersedia menolongnya,
katanya.
Berbagai klaim ini, meskipun jelas mementingkan diri sendiri,
tidak sepenuhnya tidak masuk akal. Bagaimana para pejabat APSA gagal
memperhatikan kegiatan di luar dari Scarano atau pengeluarannya yang mewah? Di
antara teman-teman dia dikenal sebagai "Monsinyur € 500" karena
kebiasaannya membawa gumpalan uang kertas pecahan besar. Bagaimana dia bisa
mendapatkan julukan itu tanpa menimbulkan kecurigaan di antara rekan-rekannya
di Vatikan? Sebelum dia diskors, Scarano memegang jabatan kunci yang mengawasi
rekening keuangan Vatikan. Jika kepala akuntan di perusahaan mana pun mulai
menunjukkan tanda-tanda kekayaan luar biasa, bukankah eksekutif lain akan mulai
mengajukan pertanyaan? Sebuah laporan majalah Forbes tentang kasusnya membuat
poin yang jelas: "Tentu, itu mungkin dia adalah seorang klerus yang nakal.
Tetapi Monsinyur Scarano telah bekerja selama dua dekade sebagai akuntan senior
di Vatikan, yang telah mengalami beberapa kali badai baru-baru ini.” Mungkin tidak
benar bahwa atasannya menyetujui kegiatan ‘ekstrakurikulernya.’ Tetapi
tampaknya jelas bahwa atasannya sangat lalai atau bahwa dia menikmati semacam
perlindungan dari Scarano.
Audit Ditangguhkan
Penentangan terhadap program Cardinal Pell untuk reformasi
keuangan menjadi jelas pada Februari 2015 ketika para kardinal dunia bertemu
dalam sebuah konsistori untuk membahas rencana tersebut. “Argumen-argumen yang panas”
dilaporkan meletus setelah Australia menguraikan usulannya bagi tugas-tugas
kantor baru, dan beberapa kardinal berpengaruh segera menyarankan
langkah-langkah untuk mengurangi otoritas sekretariat. Penentangan menjadi semakin
tidak menyenangkan ketika dokumen Vatileaks II pertama kali dipublikasikan, yang
jelas dirancang untuk mempermalukan Pell dan merusak kedudukannya. Tetapi
kebocoran itu juga menempatkan Francis pada posisi yang canggung. Jika dia
ragu-ragu sekarang dalam dukungannya untuk Pell, dia mungkin memberikan alasan
bagi para pembuat kebijakan untuk percaya bahwa seluruh program reformasinya
dapat digagalkan.
Dengan menyetujui undang-undang kantor baru pada bulan Maret
tahun itu, dengan hanya beberapa modifikasi kecil, paus mengisyaratkan
dukungannya untuk Pell. Tetapi bahkan ketika rencana itu bergerak maju,
beberapa pejabat Vatikan, yang berbicara secara anonim, dengan diam-diam mengingatkan
para wartawan bahwa paus tidak memberikan Pell segala sesuatu yang dia inginkan.
Sekretariat tidak akan mengawasi kepemilikan real estate Vatikan, misalnya, dan
akan ada tiga auditor, bukannya satu. Tetapi ini adalah detail kecil dalam
konteks kewenangan yang diberikan kepada sekretariat. Secara seimbang,
keputusan paus adalah kemenangan yang jelas bagi Pell.
Tetapi kemenangan itu dipertanyakan setahun kemudian ketika
Vatikan tiba-tiba mengumumkan bahwa audit menyeluruh oleh PricewaterhouseCoopers — audit luar pertama pada keuangan Vatikan
dalam sejarah — telah ditangguhkan. Secara signifikan, pengumuman itu datang
bukan dari Sekretariat Ekonomi tetapi dari Sekretariat Negara. Audit telah dimulai
pada bulan Desember 2015 setelah penyelidikan awal mengungkap adanya pengurangan
aset yang serius, pengeluaran tanpa pengawasan, dan suasana salah urus serta korupsi.
Dengan penuh semangat Pell mengusulkan adanya audit rutin dan kontrol keuangan
yang seragam, namun dia menghadapi perlawanan dari kantor Kuria Romawi lainnya,
dan dengan penangguhan audit PricewaterhouseCoopers
dia tampak mengalami kemunduran serius.
Awalnya tidak ada penjelasan sema sekali atas keputusan untuk
menunda audit. Untuk hal itu tidak ada pengumuman resmi dari keputusan
tersebut, yang terungkap hanya ketika media National Catholic Register
melaporkan adanya sebuah memorandum yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara
pada 10 Juni 2016, yang ditujukan kepada kantor-kantor Kuria Romawi. Bahkan
Pell, yang (paling tidak, secara teoritis) menjadi pejabat keuangan top
Vatikan, mengatakan kepada National Catholic Register
bahwa dia “sedikit terkejut” dengan keputusan itu. Dia mengharapkan audit untuk
"dilanjutkan segera," katanya, tetapi dia tidak bisa membuat prediksi
itu dengan tingkat kepercayaan yang besar, karena dia belum tahu mengapa hal itu
telah ditangguhkan.
Setelah audit diblokir, Sekretariat Negara menawarkan
penjelasan yang kabur, menyarankan bahwa klausul tertentu dalam kontrak auditor
memerlukan klarifikasi lebih lanjut dan mengisyaratkan bahwa setelah rincian
ini diselesaikan, audit dapat dilanjutkan. Tetapi audit itu tidak pernah
dilanjutkan.
Pada tahun 2016 bank Vatikan berada di bawah manajemen yang
sepenuhnya baru dan sedang dalam perjalanan untuk mematuhi peraturan perbankan
Eropa. Lusinan akun yang dipertanyakan telah ditutup, kontrol baru telah
dilembagakan, dan staf profesional awamnya tampaknya berkomitmen penuh terhadap
transparansi. Sayangnya kantor Kuria Romawi tidak siap untuk membuat komitmen
yang sama. Francis, yang awalnya mendukung Sekretariat Ekonomi, kini mundur.
Ketika mengunjungi kantor sekretariat baru, dia menyarankan kepada stafnya
untuk berhati-hati: “akuntabilitas penuh, ya; tetapi mari kita selesaikan
masalah kita."
Sekretariat Negara sekarang mengumumkan bahwa audit internal
akan bergerak maju, sementara layanan PricewaterhouseCoopers
"juga akan tersedia bagi mereka yang ingin memanfaatkan layanan dukungan
dan konsultasi mereka." Dengan kata lain, mereka yang diaudit akan
menentukan seberapa jauh auditor eksternal boleh menyelidiki catatan mereka.
Sekretariat Negara tampaknya menangguhkan audit eksternal
karena takut mengkompromikan kedaulatan negara-kota Vatikan — ketakutan yang
sama yang membentuk tanggapannya terhadap skandal pelecehan seksual. Selama
beberapa tahun terakhir, pengacara Amerika yang cakap, Jeffrey Lena, telah
menentang tuntutan hukum terhadap Tahta Suci oleh korban pelecehan seksual
dengan memohon “kekebalan berdaulat.” Sebuah negara berdaulat tidak harus
menanggapi penggugat pribadi di pengadilan. Dan negara yang berdaulat - seperti
yang diingatkan oleh pengumuman 10 Juni - tidak harus membuka buku catatannya
kepada auditor eksternal.
Tapi ada harga yang harus dibayar untuk kekebalan berdaulat
ini. Apakah Tahta Suci ingin dilihat oleh dunia terutama sebagai negara
berdaulat atau sebagai benteng spiritual? Sementara Francis sering berbicara
tentang "Gereja yang miskin," tentang mereformasi Kuria dan
membongkar wilayah kekuasaannya, dan tentang kesediaannya untuk "membuat
kekacauan," akankah hak prerogatif institusional dari birokrasi Vatikan lebih
didahulukan daripada misi penginjilan Gereja?
Pertempuran Wilayah
Antara Agen-agen Keuangan
Oleh motu proprio
(perintah eksekutif paus "atas inisiatifnya sendiri") kemudian pada
tahun itu, paus mengembalikan tanggung jawab atas aset keuangan Vatikan kepada
Administrasi Patrimoni Tahta Suci.
Sekretariat Ekonomi akan melakukan pengawasan: menetapkan prosedur untuk
transaksi keuangan dan memastikan bahwa prosedur tersebut diikuti. Francis
menjelaskan bahwa dia ingin memisahkan administrasi dari pengawasan keuangan.
"Adalah sangat penting bahwa badan-badan yang bertanggung jawab atas
kewaspadaan dipisahkan dari mereka yang diawasi," tulisnya. Tetapi motu proprio mengembalikan manajemen
keuangan ke tangan agen yang akuntan utamanya adalah "Monsinyur €
500." Itu adalah kemenangan besar bagi para pejabat yang berpendapat bahwa
Cardinal Pell terlalu banyak mengendalikan melalui upayanya untuk memastikan
akuntabilitas keuangan.
Pertempuran wilayah antara Sekretariat Ekonomi dan APSA akan terus
berlanjut. APSA dengan jelas memutuskan untuk melanjutkan audit dengan memakai persyaratannya
sendiri, secara efektif menolak peran pengawasan Sekretariat Ekonomi. Msgr.
Mauro Rivella, sekretaris APSA, menginstruksikan dikasteri-dikasteri untuk
memberikan data kepada PricewaterhouseCoopers,
dengan mengatakan bahwa perusahaan akuntansi sedang melakukan audit keuangan
Vatikan.
Pada bulan Mei 2017, Pell mengeluh bahwa APSA telah melampaui
kewenangannya, dan dia dengan cepat menulis ke semua kantor yang sama, memberi
tahu mereka bahwa APSA tidak memiliki "otoritas, atau hak
prerogatif," untuk mengeluarkan instruksi tersebut. Surat kardinal Pell itu
- juga ditandatangani oleh Libero Milone, auditor jenderal Vatikan – dan mengatakan
kepada para pejabat Vatikan "dengan penyesalan yang mendalam" bahwa
mereka tidak harus mematuhi arahan APSA. Pell menunjukkan bahwa audit eksternal
oleh PricewaterhouseCoopers telah
ditangguhkan lebih dari setahun sebelumnya, dan "tidak ada audit yang
sedang berlangsung" oleh akuntan luar.
Beberapa ketegangan antara APSA dan Sekretariat Ekonomi telah
diperburuk, Edward Pentin dari National
Catholic Register melaporkan, karena APSA belum memenuhi permintaan
informasi dari sekretariat. Pell mengatakan bahwa konflik ini telah
memprovokasi munculnya sebuah "momen kebenaran" bagi reformasi
ekonomi Vatikan. Kampanye untuk transparansi telah kehilangan momentum, dan
dalam suasana yang masih ditandai oleh pertempuran intramural dan wilayah
kekuasaan pribadi yang tidak dapat disangkal, tampaknya hanya masalah waktu saja
sebelum beberapa skandal keuangan baru akan muncul.
Ada kemunduran lain dalam masalah reformasi keuangan, dimana auditor
jenderal Vatikan, Libero Milone, mengundurkan diri pada bulan Juni, hanya
beberapa minggu setelah perjuangan antara APSA dan Sekretariat Ekonomi menjadi terbuka
di hadapan publik. Pengumuman singkat atas pengunduran dirinya tanpa ada penjelasan
yang diberikan, dan pemberitahuan bahwa pencarian pengganti Milone akan dimulai
"sesegera mungkin" menunjukkan bahwa pengunduran dirinya tidak
direncanakan sebelumnya. Media Italia melaporkan bahwa baru-baru ini dia ditawari
jabatan sebagai direktur jaringan penyiaran Italia, tetapi dia menolaknya, dengan
mengatakan bahwa dia ingin fokus pada tanggung jawabnya di Vatikan.
Beberapa minggu setelah kepergian Milone, pada bulan
September 2017, dia mengungkapkan kepada wartawan bahwa dia telah dipaksa untuk
mengundurkan diri setelah dia menyelidiki bukti kesalahan keuangan oleh pejabat
Vatikan yang penting, dimana Milone terikat oleh perjanjian kerahasiaan, dan
dia menolak untuk mengidentifikasi pelakunya. Asisten menteri luar negeri,
Uskup Agung Giovanni Becciu, menyebut dakwaan ini "salah dan tidak dapat
dibenarkan," namun uskup agung itu membenarkan bahwa dia telah memberi
Milone pilihan antara mengundurkan diri secara diam-diam atau menghadapi
dakwaan pidana karena "memata-matai kehidupan pribadi atasan dan stafnya.”
Jika Milone "memata-matai" pejabat Vatikan lainnya,
dia mungkin punya alasan kuat untuk melakukannya. Karena curiga kantornya
disadap dan komputernya diretas, dia membawa kontraktor luar untuk menyelidiki.
Ketika kontraktor mengkonfirmasi bahwa komputer di kantor auditor telah ‘dikompromikan,’
Milone menginstruksikannya untuk memperluas penyelidikan dan mengidentifikasi
pelakunya. Dengan kata lain, setelah mengetahui bahwa dia di bawah pengawasan, maka
dia menuruti pengawasan-balik yang dilakukan.
Menanggapi pengungkapan Milone ini, pernyataan resmi Vatikan
menuduh bahwa auditor jenderal telah “secara ilegal melibatkan perusahaan
eksternal untuk melakukan kegiatan investigasi pada kehidupan pribadi personel
Tahta Suci." Kata kuncinya di sini adalah "secara ilegal." Apakah
Milone melebihi wewenangnya, melanggar undang-undang yang mengatur perannya?
Laporan Reuters menyampaikan pengamatan yang menarik:
Tidak jelas undang-undang mana yang dikatakan dilanggar.
Pasal dua undang-undang mengatakan bahwa auditor jenderal memiliki
"otonomi penuh dan kemandirian," termasuk untuk "menerima dan
menyelidiki laporan apa pun tentang kegiatan tidak wajar" dari pos-pos di Vatikan.
Saat saya menulis, tiga bulan setelah kepergian Milone,
kantor auditor jenderal tetap kosong. Secara teori, auditor jenderal akan
bekerja di bawah prefek dari Sekretariat Ekonomi. Tetapi cuti Kardinal Pell
yang tidak terbatas untuk membela diri di pengadilan, karena tuduhan pelecehan
seksual di Australia, membuat kantor itu kosong juga. Jika tidak ada seorang
pun di level tertinggi Vatikan merasakan adanya kebutuhan mendesak untuk
mengisi posisi-posisi ini, bahkan dengan administrator sementara, maka kampanye
untuk akuntabilitas keuangan tampaknya telah ditangguhkan.
Mengatasi Skandal
Pelecehan Seks
Orang dalam Vatikan mungkin melihat transparansi keuangan
sebagai kunci bagi pelaksanaan pelayanan yang lebih bertanggung jawab dalam
Kuria Romawi. Tetapi dari luar, tampaknya reformasi yang paling dibutuhkan
adalah reformasi penanganan pelecehan seksual.
Pengetatan prosedur disipliner bagi para klerus yang dituduh
melakukan pelanggaran seksual dimulai dengan hierarki Gereja di Amerika pada
tahun 2002 dan dipercepat melalui kepausan Benediktus XVI. Tetapi dua masalah
terkait masih belum terselesaikan. Pertama, Vatikan belum memastikan bahwa
kebijakan “toleransi nol” yang sama akan berlaku, dan bahwa pengaduan pelecehan
akan segera ditangani, di setiap yurisdiksi gerejawi di seluruh dunia. Beberapa
uskup telah ketinggalan dalam tanggapan mereka terhadap krisis yang sedang
melanda.
Kedua, dan yang lebih penting, Vatikan belum menetapkan
kebijakan yang efektif untuk berurusan dengan para uskup yang mengabaikan
tanggung jawab mereka untuk menangani kasus para imam predator seksual. Seperti
yang saya jelaskan dalam buku saya The
Faithful Departed, kelalaian banyak uskup — dan lebih buruk lagi, upaya
sengaja dari mereka untuk menyesatkan umat beriman dengan menutupi bukti
pelecehan — adalah lebih merusak kredibilitas Gereja daripada pelecehan itu
sendiri. Pelecehan seksual terhadap kaum muda adalah kejahatan dan dosa yang
mengerikan, tetapi Gereja memiliki ‘pertemanan’ yang panjang dengan dosa-dosa
individu. Para pemimpin Gereja berpihak pada para pemangsa sexual ini dengan
mengorbankan para korban mereka dan berbohong untuk melindungi para penjahat
yang mengguncang kepercayaan terhadap seluruh institusi. Jika para uskup
berbohong tentang hal-hal seperti itu, bagaimana mereka dapat dipercaya dalam
masalah yang lain? Dan jika para uskup tidak dapat dipercaya, bagaimana kita
bisa tahu bahwa kita menerima Iman yang benar, yang diturunkan dari para rasul?
Selama masa kepausan Francis, Vatikan telah dihadapkan dengan
banyak tuduhan pelecehan seksual kepada dua wali gereja terkemuka. Namun tidak
ada kasus yang membuahkan hasil penyelidikan yang jelas — termasuk yang bukan
disebabkan oleh kelambanan dari pihak Vatikan.
Kasus pertama melibatkan Józef Wesołowski, seorang uskup
agung Polandia dan diplomat Vatikan yang pada tahun 2013 dituduh menganiaya
anak laki-laki saat dia menjabat sebagai nuncio (duta besar) kepausan ke
Republik Dominika. Dia dipanggil kembali ke Vatikan, dan Wesołowski dilepaskan
dari imamatnya pada proses pengadilan kanonik tahap pertama. Jaksa penuntut di
Republik Dominika dan Polandia telah menyatakan niatnya untuk mengajukan
tuntutan pidana terhadapnya, tetapi Takhta Suci memilih untuk melanjutkan prosesnya
sendiri melalui pengadilan pidana, dengan alasan bahwa mantan nuncio itu berada
dibawah hukum Vatikan. Namun, pengadilan kriminal ditunda, ketika Wesołowski —
yang berada di bawah tahanan rumah di Vatikan — jatuh sakit. Dia meninggal pada
Agustus 2015 sebelum persidangan dilanjutkan. Kasus kedua adalah kasus Uskup
Agung Anthony Apuron dari Agaña, di Guam. Dia juga dituduh menganiaya anak
laki-laki dan pada Juni 2016 dibebaskan dari tugas administrasi dan dipanggil
ke Roma. Ketika keluhan terhadap Apuron berlipat ganda, Uskup Agung Savio Hon
Tai Fai, diangkat sebagai pengurus sementara Gereja di Guam, mengumumkan bahwa dia
mendesak Tahta Suci untuk memecat Apuron secara permanen dari jabatannya dan
menunjuk seorang pengganti. Mengambil langkah ke arah itu pada bulan Oktober,
Vatikan menunjuk Michael Byrnes, uskup auksilier Detroit, uskup agung Agaña
“dengan tugas khusus,” yang mengindikasikan bahwa dia akan mengambil alih
administrasi keuskupan agung Guam segera dan menggantikan Apuron jika Uskup
Agung secara resmi dipecat dari jabatannya. Sementara itu penyelidikan Vatikan
tentang perilaku Apuron masih sedang berlangsung hingga tulisan ini dibuat.
Dalam dua kasus ini Vatikan menunjukkan tekad yang keras
untuk mendisiplinkan uskup-uskup yang melakukan tindak pencabulan. Namun masih
ada pertanyaan: apakah Tahta Suci akan sama tegasnya dalam mengambil tindakan
terhadap para uskup yang tidak menyalahgunakan anak-anak muda, tetapi telah
lalai dalam mengatasi pelecehan sexual oleh para imam di bawah yurisdiksi
mereka?
Meminta Para Uskup
Bertanggung Jawab Atas Keluhan Pencabulan
Catatan tentang Francis sendiri tidak mengesankan dalam hal
ini. Pada 2015 dia mempromosikan seorang uskup Chili, Uskup Juan Barros, tanpa
menghiraukan protes keras bahwa Barros telah mengabaikan pengaduan pelecehan sexual
oleh seorang imam, yang ternyata adalah teman Francis sendiri. Umat Katolik
yang marah berdemonstrasi di katedral di Osorno, tempat Barros akan ditugaskan,
dan delegasi uskup Chili lainnya mengunjungi Vatikan untuk mempertanyakan
penunjukan itu. Tetapi Francis tetap teguh, bersikeras bahwa Barros tidak
bersalah atas kesalahannya. Dia tertangkap dalam film yang mengatakan bahwa
umat Katolik Chili “bodoh” karena mempercayai keluhan terhadap Barros.
Belakangan tahun itu juga, paus Francis menunjuk sekutunya,
Kardinal Godfried Danneels, untuk berpartisipasi dalam Sinode para Uskup. Tidak
ada alasan jelas bagi uskup agung Belgia yang sudah pensiun itu untuk diberikan
peran aktif dalam sinode. Memang, ada alasan kuat untuk mengeluarkannya dari
diskusi tentang kehidupan keluarga. Karena beberapa tahun sebelumnya, Danneels
menjadi objek penyelidikan polisi Belgia terhadap pelecehan seksual yang
berujung pada penggerebekan kantor keuskupan agung dan penggeledahan tempat tinggal
kardinal Danneels. Tidak ada tuntutan pidana yang diajukan, tetapi polisi jelas
curiga bahwa kardinal Danneels menyembunyikan bukti pelecehan. Memang, surat
kabar Belgia menerbitkan transkrip percakapan, yang direkam secara diam-diam,
di mana kardinal Danneels mendesak seorang pria untuk tetap diam tentang
pelecehan yang dideritanya yang dilakukan oleh uskup Belgia lainnya. Dihadapkan
dengan bukti itu, kantor kardinal hanya dapat menawarkan pengakuan lemah
Danneel bahwa "seluruh pendekatan (penyelidikan polisi) ini ... bukanlah
hal yang tepat."
Pada tahun 2014, Francis turun tangan dalam kasus Mauro
Inzoli, seorang imam Italia yang telah dilepaskan status imamatnya oleh
Kongregasi untuk Doktrin Iman (CDF) setelah dia dinyatakan bersalah menganiaya beberapa
anak remaja. Paus, menanggapi permohonan dari beberapa penasihat dekatnya,
menolak keputusan itu, meskipun dia dipaksa untuk membalikkan keputusannya
sendiri dan mencopot imamat Inzoli setelah pengadilan Italia mendapati Inzoli
bersalah atas sejumlah tuduhan pelecehan seksual.
Jadi, apakah Francis akan menyetujui kebijakan yang meminta
pertanggungjawaban uskup atas kelalaian mereka? Dia tampaknya menjawab
pertanyaan itu pada Juni 2015 dengan norma-norma disiplin baru bagi para uskup
yang gagal menindaklanjuti keluhan pelecehan seksual. Direkomendasikan oleh
komisi kepausan khusus yang dipimpin oleh Kardinal Sean O'Malley dari Boston,
disahkan oleh Dewan Kardinal, dan disetujui secara kondisional oleh paus selama
lima tahun, norma-norma tersebut akan membuat para uskup tersebut tunduk pada
yurisdiksi pengadilan baru berdasarkan CDF. Francis juga menyetujui alokasi
"sumber daya yang memadai" untuk staf pengadilan baru, yang juga akan
membantu CDF dalam kasus-kasus yang melibatkan pelecehan seksual oleh klerus lain,
yang sudah menjadi tanggung jawab CDF.
Kemudian sesuatu yang aneh terjadi — karena tidak ada apapun
yang terjadi. Tidak ada pengadilan yang dibentuk, tidak ada staf yang
ditugaskan, tidak ada ruang kantor yang disisihkan. Tidak ada langkah apa pun
yang diambil guna melaksanakan kebijakan yang disetujui Francis.
Setahun berlalu dengan tenang, dan akhirnya Francis
mengeluarkan kebijakan baru. Seperti yang telah dia lakukan sebelumnya dengan
Sekretariat Ekonomi — memberinya kekuatan besar yang kemudian dia batalkan
sendiri karena adanya perlawanan internal — paus membatalkan persetujuannya
terhadap norma-norma baru. Dalam motu proprio Juni 2016, paus menyatakan bahwa
tidak perlu pengadilan baru untuk menangani kasus-kasus disipliner terhadap
para uskup yang lalai karena Kode Hukum Kanon sudah menyediakan solusi yang
memadai. Apa yang diperlukan, oleh karena itu, adalah klarifikasi bahwa
prosedur yang ada untuk mendisiplinkan uskup “untuk tujuan yang serius” dapat
diterapkan pada uskup yang gagal untuk membatasi pelecehan sexual pada anak di
bawah umur oleh para klerus. Dalam mengumumkan kebijakan baru ini, paus bahkan
tidak menyebutkan kebijakan yang lama. Namun pengadilan yang diumumkan pada
Juni 2015 jelas merupakan surat ketetapan pada Juni 2016.
Kebijakan baru ini menimbulkan dua pertanyaan yang jelas.
Pertama, jika hukum kanon sudah memungkinkan tindakan disipliner terhadap
uskup, mengapa pengadilan baru didirikan? Kedua, jika mekanisme disiplin telah
ada selama ini, mengapa tidak ada uskup yang dihukum? Seperti yang ditulis oleh
Pastor Alexander Lucie-Smith, di Catholic
Herald London, dimana dia menyimpulkan, “Jadi, hukuman itu bisa
dilakukan. Yang dibutuhkan adalah keinginan untuk melakukannya.”
Jika kesimpulan Pastor Lucie-Smith ini agak sinis, Kardinal
O'Malley secara tidak sengaja membenarkan sinisme seperti itu ketika dia
mengatakan bahwa motu proprio menyampaikan “rasa urgensi dan kejelasan yang
tidak ada sebelumnya.” Benarkah? Apakah butuh lima belas tahun bencana untuk
membangkitkan "rasa urgensi" yang cukup untuk melakukan sebuah klarifikasi
atas pedoman kanonik? Jika Cardinal O'Malley bermaksud untuk meyakinkan, maka dia
gagal total.
Sebuah Komisi Tanpa
Dukungan
Pada bulan Februari 2017, Associated
Press melaporkan hasil kerja komisi O'Malley. Berita itu mengecilkan hati.
Dalam sebuah paragraf yang terkubur di bagian bawah artikel, cerita
mengungkapkan bahwa pekerjaan komisi itu diabaikan:
Francis membatalkan pengadilan yang diusulkan komisi bagi
para uskup yang melakukan pencabulan setelah keberatan hukum dari kongregasi.
Inisiatif utama komisi lainnya — sebuah pedoman jiplakan untuk membantu
keuskupan mengembangkan kebijakan untuk memerangi tindakan pelecehan dan
melindungi anak-anak — mulai terkumpul. Vatikan tidak pernah mengirim pedoman
itu kepada konferensi para uskup, seperti yang dicari oleh komisi, atau bahkan
menautkannya ke situs web mereka.
Laporan yang mengejutkan ini menyusul setelah adanya berbagai
pengaduan, yang disiarkan oleh dua anggota komisi kepausan, bahwa kelompok atau
komisi itu telah bekerja terlalu banyak dan kekurangan dana dan bahwa pertemuan
tidak diadakan secara teratur. Tetapi laporan Associated Press jauh lebih mengejutkan lagi, dimana laporan itu menunjukkan
bahwa komisi itu telah meluncurkan dua proyek penting, dan tidak ada yang
dilaksanakan.
Sungguh mengejutkan bahwa para uskup yang lalai masih tidak
dimintai pertanggungjawaban, meskipun rekomendasi untuk mendisiplinkan para
uskup pasti akan menghadapi tentangan keras. Tetapi sekarang terungkap bahwa
komisi kepausan bahkan belum berhasil memposting rekomendasinya sendiri di
situs webnya sendiri.
Beberapa minggu kemudian Marie Collins, anggota komisi yang
juga menjadi korban pelecehan sexual, mengundurkan diri, mengeluh bahwa
pekerjaan kelompok itu telah digagalkan dari dalam Kuria Roma. Beberapa hari
setelah pengumumannya di depan umum, Kardinal Gerhard Müller, prefek Kongregasi
untuk Ajaran Iman — yang merupakan sasaran utama kritik Collins — membela CDF
dan membantah tidak terlibat dalam masalah pelecehan. Collins dengan cepat
membalas, membantah argumen kardinal.
Ingatlah bahwa pengunduran diri Collins bukanlah sebuah
‘sekrup utama dari sebuah mesin.’ Dia sering menunjukkan tanda-tanda
ketidaksabaran. Dia juga bukan anggota komisi pertama yang mundur. Peter
Saunders — yang seperti Collins, adalah korban pelecehan juga — telah diminta
untuk mengundurkan diri pada 2016 setelah dia mengeluarkan serangkaian komentar
bernada marah. Menolak mengundurkan diri, dia ditempatkan ‘secara tidak rela’
pada posisi ‘cuti absen.’ Anggota lain, Claudio Papale, mengundurkan diri pada
September 2016 tanpa penjelasan publik.
Dalam pengumuman pengunduran dirinya, Collins mengutip
tindakan pengadilan yang cepat untuk para uskup yang lalai dan gagal untuk
menerapkan pedoman di seluruh dunia, sebagai sumber frustrasi. Tetapi
"jeruji terakhir," katanya, adalah penolakan CDF untuk menerapkan
rekomendasi dari komisi bahwa setiap korban pelecehan yang menghubungi Vatikan
menerima balasan pribadi dari Roma. Tanggapan yang wajar dari Kardinal Müller
adalah bahwa kontak pribadi dengan korban pelecehan harus menjadi tanggung
jawab uskup setempat, bukan pejabat di Roma. CDF telah mendengar ratusan kasus
pelecehan yang berasal dari keuskupan di seluruh dunia. Tampaknya tidak realistis
untuk mengharapkan bahwa CDF menjadi akrab dengan setiap orang yang terlibat.
Seorang Amerika yang mengajukan kasusnya ke Mahkamah Agung mengharapkan
persidangan yang adil, bukan catatan pribadi dari salah satu hakim.
Namun, dalam menanggapi keluhan-keluhan lain, Müller tidak
terlalu memaksa. Dia mengatakan bahwa pengadilan untuk para uskup sebagai
proposal belaka dan bukan fakta yang sudah mapan. Namun Radio Vatikan telah
mengumumkan pada bulan Juni 2015, “Paus Francis telah menciptakan bagian
pengadilan Vatikan baru untuk mendengarkan kasus-kasus uskup yang gagal
melindungi anak-anak dari para pastor yang melakukan pelecehan seksual,” dan
kantor pers Vatikan melaporkan, “Dewan Kardinal setuju dengan suara bulat
tentang proposal-proposal ini dan memutuskan untuk menyerahkannya kepada Bapa
Suci, Paus Francis, yang menyetujui proposal-proposal itu dan mengizinkan
penyediaan sumber daya yang cukup untuk tujuan ini."
Tetapi tentu saja pengadilan belum dibentuk, dan sekarang,
berbulan-bulan kemudian, Müller menjelaskan urutan kejadian yang aneh. Setelah
paus menyetujui pengadilan, para pejabat Vatikan membahas rencana itu dan
menyimpulkan bahwa tugas disiplin dapat ditangani oleh Kongregasi untuk Para
Uskup (dan Kongregasi Gereja-Gereja Timur untuk para uskup dari ritus-ritus
Timur, atau Kongregasi untuk Evangelisasi bagi mereka yang berada di wilayah
misi). Jadi keluhan Collins setidaknya sebagian benar — bahwa Kuria
Roma memang memblokir implementasi dari rencana komisi O'Malley.
Tetap saja Müller dapat berargumen bahwa tujuan mendasar dari
komisi kepausan - pembentukan sarana untuk mendisiplin uskup yang lalai - telah
tercapai. Jelaslah bahwa Francis yakin bahwa pendekatan yang direkomendasikan
oleh Kuria Roma lebih unggul daripada pendekatan yang telah dia setujui setahun
sebelumnya. Anehnya, bagaimanapun, bahwa Kuria rupanya membahas pendekatan itu
hanya setelah proposal awal disetujui. Dalam tampilan lain dari gaya
administrasi yang kacau yang menjadi ciri dari kepausan ini, komisi O'Malley,
Dewan Kardinal, dan paus, telah menetapkan kebijakan baru yang penting tanpa
berkonsultasi dengan para pejabat yang paling dekat terlibat.
Dalam jawabannya kepada Müller, Marie Collins memberikan bukti
lain bahwa komisi O'Malley tidak bekerja sama dengan kantor Vatikan lainnya.
Dia mengeluh bahwa pejabat CDF tidak menghadiri pertemuan-pertemuan komisi atau
menanggapi undangan untuk berdiskusi. Gambaran yang muncul adalah bahwa komisi
kepausan terpisah dari kantor Vatikan: sebuah komisi yang tidak dapat membujuk
pejabat Vatikan lainnya untuk bekerja sama atau bahkan untuk memposting rekomendasinya
di situs web Tahta Suci.
Marie Collins menuduh bahwa Kuria Roma tidak bersimpati
dengan komisi kepausan, dan dalam jawabannya, Müller secara tidak langsung
mempercayai keluhan itu dengan menyiratkan bahwa komisi tersebut tidak mengenal
realitas pekerjaan di Vatikan. Jadi apakah komisi itu tidak masuk akal, atau
apakah CDF bersikap keras kepala? Dalam arti yang penting, hal itu tidak
masalah. Dengan satu atau lain cara, dua badan Vatikan yang penting tidak
bekerja sama. Dan kegagalan dari siapa pun untuk membuat mereka bekerja sama,
dengan arahan yang jelas dari atas, menunjukkan bahwa mengakhiri skandal
pelecehan seksual masih bukan menjadi prioritas utama kepausan.
Pada bulan September 2017, Francis akhirnya bertemu dengan
komisi yang telah didirikannya pada tahun 2014. Dia mengakui bahwa Gereja telah
“terlambat” dalam menanggapi masalah pelecehan seksual dan bahwa komisi
tersebut dipaksa untuk “berenang melawan arus.” Paus membuat pengakuan luar biasa
bahwa dia sendiri "belajar di tempat kerja" —belajar, misalnya, untuk
menerima kebijakan "toleransi nol" lima belas tahun setelah skandal
pelecehan seksual meledak. Tetapi sementara dia mendorong komisi dalam tugasnya
dan merasa senang bahwa beberapa konferensi uskup telah menerima rekomendasi
komisi, paus tidak menawarkan janji-janji baru. Marie Collins menanggapi
pernyataan paus dengan mengatakan, "Toleransi nol adalah cara untuk lepas
tangan, tetapi itu hanyalah ompong belaka jika tidak ada sanksi bagi siapa pun
yang tidak melaksanakannya."
Bermain-Main Dengan
Hal Yang Menyenangkan
Adalah cukup mengganggu karena kampanye untuk reformasi telah
macet, dan masih lebih mengganggu lagi karena Francis telah menunjukkan
kecenderungan yang jelas untuk membebaskan sekutu-sekutunya sendiri dari
reformasi seperti yang telah dia usulkan, sehingga menjadikan reformasi
tersebut tidak efektif. Vatikan memiliki sejarah panjang dan tidak menyenangkan
yang memungkinkan para wali gereja lolos dari konsekuensi salah langkah mereka
sendiri; setiap reformasi Vatikan yang berhasil harus dimulai dengan tekad
untuk meminta pertanggungjawaban pejabat Gereja. Tingginya biaya untuk ‘bermain-main
dengan hal yang menyenangkan’ diilustrasikan oleh dua insiden merusak yang
menjadi tontonan publik pada musim panas 2017, tepat sebelum buku ini dicetak.
Pertama, Vatikan mendakwa dua mantan pejabat Rumah Sakit
Bambino Gesù (yang dimiliki dan dioperasikan oleh Tahta Suci) atas tuduhan penggelapan.
Dakwaan ini adalah tindakan pertama yang dibawa oleh jaksa Vatikan berdasarkan
aturan baru yang dirancang untuk mempromosikan transparansi dan akuntabilitas
dalam transaksi keuangan. Vatikan telah mendapat tekanan dari otoritas
perbankan Eropa untuk menuntut pelanggaran terhadap aturan-aturan ini.
Giuseppe Profiti dan Massimo Spina — presiden dan
bendaharawan, dari Bambino Gesù Foundation — didakwa secara tidak layak
membelanjakan lebih dari empat ratus ribu euro dalam dana yayasan untuk
renovasi apartemen yang dimiliki oleh Cardinal Tarcisio Bertone. Penyelidik
menggali serangkaian transaksi keuangan yang menyatakan bahwa seorang
kontraktor dibayar oleh dua kantor Vatikan yang berbeda untuk pekerjaannya
dalam kasus yang menimbulkan dakwaan pertama Vatikan atas pelanggaran keuangan.
Kontraktor, Gianantonio Bandera — yang direkomendasikan untuk pekerjaan itu
oleh Cardinal Bertone — akhirnya mengajukan kebangkrutan dan tidak
menyelesaikan renovasi itu. Baik Bandera maupun Kardinal Bertone tidak disebut
sebagai terdakwa dalam kasus ini.
Dakwaan datang hanya seminggu setelah sebuah laporan Associated Press mengungkap bukti
kesalahan manajemen yang serius di Rumah Sakit Bambino Gesù di masa lalu:
kesalahan manajemen yang telah mengganggu kualitas perawatan pasien. Para
pejabat Vatikan mengatakan bahwa laporan itu dilebih-lebihkan dan bahwa masalah
yang ada telah ditangani oleh administrator yang baru dari rumah sakit itu.
Dalam skandal kedua, polisi Vatikan membubarkan pesta
homoseksual dan narkoba di apartemen sekretaris pribadi Kardinal Francesco
Coccopalmerio, presiden Dewan Kepausan untuk Teks-teks Legislatif. Tidak jelas
bagaimana sekretarisnya, Mgr. Luigi Capozzi, telah membangun sebuah apartemen
di sebuah tempat tinggal yang diperuntukkan bagi pejabat Vatikan berperingkat
tertinggi. Rupanya dia berhasil memiliki teman-teman yang berpengaruh, dan ada
laporan bahwa dia akan diangkat menjadi uskup.
Capozzi memiliki akses untuk memakai mobil dengan plat nomor
Vatikan, tanda lain dari teman-teman Francis yang berpengaruh, yang membuat Capozzi
bebas dari pemeriksaan oleh polisi Italia dan bisa memfasilitasi transportasi
obat-obat terlarang di dalam mobil itu. Lokasi kediamannya — di sebuah gedung
dengan satu pintu mengarah ke wilayah Vatikan, yang lain ke jalan-jalan di Roma
— juga ideal bagi seseorang yang berusaha menghindari pengawasan polisi. Dia
akhirnya bergerak terlalu jauh. Warga yang tinggal di bangunan lain di dekatnya
(mungkin termasuk beberapa pejabat Vatikan) mengeluh tentang banyaknya pengunjung
laki-laki muda dan suara bising dari pesta di apartemen Capozzi.
Keluhan-keluhan itu mendorong penggerebekan oleh polisi.
Dua kasus ini — satu skandal keuangan, satu skandal seksual —
menarik perhatian orang banyak pada urusan reformasi Vatikan yang belum
selesai. Bisakah umat Katolik yakin bahwa urusan keuangan Rumah Sakit Bambino
Gesù sudah beres? Atau bahwa tidak ada figur Vatikan yang lebih kuat yang dilindungi
dari penuntutan? Apakah karier yang buruk dari Mgr. Capozzi memberi sinyal adanya
kekuatan abadi dari "lobi gay" di Vatikan? Reformasi Vatikan yang
efektif mungkin akan memberikan jawaban yang memuaskan untuk
pertanyaan-pertanyaan ini.
KABAR BAIK!!!
ReplyDeleteNama saya Lady Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman agar sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu kepada Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran di muka, tetapi mereka adalah penipu , karena mereka kemudian akan meminta pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, jadi berhati-hatilah terhadap Perusahaan Pinjaman yang curang itu.
Perusahaan pinjaman yang nyata dan sah, tidak akan menuntut pembayaran konstan dan mereka tidak akan menunda pemrosesan transfer pinjaman, jadi harap bijak.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang secara finansial dan putus asa, saya telah ditipu oleh beberapa pemberi pinjaman online, saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman yang sangat andal bernama Ms. Cynthia, yang meminjamkan saya pinjaman tanpa jaminan sebesar Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa konstan pembayaran atau tekanan dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya terapkan dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik jika dia membantu saya dengan pinjaman, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa stres atau penipuan
Jadi, jika Anda memerlukan pinjaman apa pun, silakan hubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan atas karunia Allah, ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan memberi tahu saya tentang Ibu Cynthia, ini emailnya: arissetymin@gmail.com
Yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran cicilan pinjaman saya yang akan saya kirim langsung ke rekening perusahaan setiap bulan.
Sepatah kata cukup untuk orang bijak.