Monsignor Nicola Bux (Teolog)
By Diane Montagna
SEORANG TEOLOG BERKATA:
SINODE AMAZON BERUSAHA UNTUK MENGHANCURKAN
GEREJA DARI DALAM
ROMA, 17 Juli 2019 (LifeSiteNews) – Seorang teolog terkenal lainnya, menyampaikan ‘alarm’ atas Sinode Amazon
mendatang, dengan mengatakan bahwa itu adalah upaya untuk "menciptakan
gereja lain" dengan "menghancurkan" Gereja yang benar, dari
dalam.
Monsignor Nicola Bux, seorang teolog dan mantan konsultan pada
Kongregasi untuk Ajaran Iman selama masa kepausan Benediktus XVI, mengatakan
dalam wawancara baru-baru ini bahwa "apa yang kita hadapi adalah upaya
untuk memodifikasi Gereja secara genetika."
Ditanya mengapa dokumen kerja [Instrumentum laboris] untuk
sinode mendatang telah begitu banyak dikritik, Msgr. Bux, yang sekarang
melayani sebagai teolog konsultan pada Kongregasi untuk penentuan Orang Kudus,
mengatakan “…dalam arti tertentu, jawaban itu baru-baru ini telah diberikan
oleh Paus Benediktus (dalam sebuah esai yang diterbitkan setelah pertemuan
puncak di Vatikan yang membahas soal pelecehan seksual): itu adalah upaya lain
untuk 'membuat Gereja yang lain, percobaan yang sudah dicoba dan gagal.' ”
"Para klerus itu tidak mengajukan pertanyaan penting pada
diri mereka sendiri, atas dasar ajaran kristiani: apa yang sebenarnya dibawa Yesus
kepada kita jika Dia tidak membawa perdamaian dunia, kesejahteraan untuk semua,
dan dunia yang lebih baik?," demikian Msgr. Bux berkata.
“Yesus Kristus datang untuk membawa Allah ke dunia, agar manusia
dapat menemukan jalan ke surga: itulah sebabnya Dia mendirikan Gereja,” kata
Monsignor Italia itu. "Sebaliknya, para
klerus itu, saat ini, merawat bumi seolah-olah itu adalah rumah yang permanen
dan abadi bagi manusia. Apa gejalanya? Mereka tidak mau berbicara tentang jiwa,
dan karena itu, juga tidak mau berbicara soal keselamatan jiwa.”
Msgr. Bux lebih lanjut mencatat bahwa gagasan-gagasan yang
pernah "dikecam" oleh Joseph Ratzinger (sebagai prefek Kongregasi
untuk Ajaran Iman) sekarang "mulai terjadi" di dalam Sinode Amazon.
“Gereja tidak lagi dianggap sebagai Tubuh Mistik Kristus dan
Umat Allah tidak berorientasi pada keselamatan, tetapi mereka memperhatikan sebuah
fenomena sosiologis; karena itu manusia harus berurusan dengan ekonomi,
ekologi, dan politik, di mana paling banyak manusia hanya dapat melakukan intervensi
untuk penilaian moral saja,” demikian kata Msgr. Bux.
Dia menambahkan bahwa, di bawah pengaruh modernisme, para
pendukung gagasan ini mengklaim bahwa “zaman telah berubah” dan bersama hal itu,
“dogma baru” diperlukan. Namun dia menunjukkan “ini tidak menjawab pertanyaan:
siapa yang memutuskan bahwa zaman telah berubah? Dan apakah perubahan itu selalu
baik?”
Dalam wawancara itu, yang diterbitkan ulang di Pan-Amazon Synod Watch, Msgr. Bux juga
menyatakan keprihatinannya atas dokumen sinode yang meremehkan perlunya iman kepada
Kristus agar bisa diselamatkan.
"Keraguan bahwa Tuhan Yesus adalah satu-satunya
Juruselamat umat manusia telah menyebar di Gereja sejak periode
pasca-konsili," Msgr. Bux menjelaskan. “Untuk beberapa sektor Gereja,
evangelisasi telah dibalik menjadi 'diinjili,'” mendorong banyak “paroki dan
seminari” untuk mengundang “para pemikir atheistik atau yang masih ragu-ragu”
untuk berbicara, bukannya umat Katolik yang saleh dan teguh imannya.
Msgr. Bux mengatakan "Hal ini telah menyebabkan
kebingungan dan disorientasi," terutama mengingat katekese yang lemah yang
diterima banyak umat Katolik dalam beberapa dekade terakhir.
Jika bukan itu masalahnya, dia mencatat, “…seseorang tidak
dapat menjelaskan tontonan kejahatan dan kebusukan yang mencekam masyarakat
Italia dan Eropa.” Juga tidak seorang pun dapat menjelaskan bagaimana setiap
orang diundang untuk menerima Komuni di dalam Misa, terlepas dari apakah mereka
dalam keadaan rahmat atau tidak, apakah mereka Katolik atau bukan.
“Para pastor harus mengajarkan doktrin sesuai dengan bentuk
kerasulan yang dipercayakan kepada mereka (Rm. 6:17),” kata teolog itu.
“Sebagaimana Monsignor Carlo Maria Viganò baru-baru ini menjawab dalam sebuah
wawancara [dengan Washington Post]: ‘Pemberontak yang tidak terhormat adalah
mereka yang berniat untuk menghancurkan atau mengubah tradisi Gereja yang
abadi.’ “
Berbicara tentang dokumen kerja sinode yang menggunakan
istilah ‘inkulturasi,’ Msgr. Bux mengatakan “Itu disajikan dengan cara yang terbalik:
tujuannya adalah mengembalikan Gereja di Amazon kepada animisme dan
spiritualisme, membuatnya menarik diri dari Firman Allah yang disampaikan kepada
mereka melalui evangelisasi. Sebuah agama alami dengan topeng Kristen, seperti
yang dikatakan Cardinal Brandmüller dalam pernyataannya baru-baru ini."
Ditanya tentang pujian dokumen kerja itu kepada "cosmovision"
dari masyarakat adat, Msgr. Bux mengatakan bahwa hal itu mewakili "sebuah
penalaran yang kabur" dan sebuah perjalanan kembali kepada "agama
alami" dan "spiritualisme."
Namun alam memang memiliki pelajaran berharga yang mengajar
kita tentang Gereja, kata teolog Italia itu.
“Perkembangan alami, yang terjadi secara organik (sehingga
apa yang salah kemarin tidak mungkin benar hari ini) hendaknya membantu kita
untuk memahami bahwa ajaran Gereja adalah sebuah kumpulan doktrin yang
organik,” katanya.
“Sebaliknya,” dia mengamati, “para klerus dicemari oleh
semacam Darwinisme yang menghasilkan evolusionisme doktrinal dan moral -
seperti yang ditulis Kardinal Brandmüller; yang merupakan kebalikan dari
pengembangan organik dari subjek yang tetap setia pada identitasnya
sendiri."
“Hanya badan inilah yang bisa disebut Gereja, setidaknya
berdasarkan konstitusi Vatikan I dan II, Dei Filius, Lumen Gentium dan Dei
Verbum,” katanya.
Msgr. Bux, yang juga seorang ahli liturgi, mengatakan bahwa tanda-tanda
infeksi ajaran Darwin ini dapat dilihat dalam sikap dokumen kerja sinode
terhadap sakramen-sakramen, khususnya Imamat.
“Setelah semua perdebatan pra-konsiliar dan pasca-konflik
tentang tidak terpisahnya kuasa untuk memerintah dan kuasa yurisdiksi,”
katanya, “Instrumentum Laboris mengusulkan yang sebaliknya untuk membenarkan adanya
perutusan yang ditahbiskan bagi perempuan. Karena itu, kita semakin menjauh
dari Gereja-Gereja Timur.”
“Identitas episkopal, imamat, dan diakon harus dipahami bahwa
itu adalah Allah yang memanggil dan Gereja menegaskannya dengan penahbisan;
bukan dari komunitas (manusia), seolah-olah Gereja adalah sebuah demokrasi."
Menolak proposal dokumen untuk menahbiskan pria yang sudah
menikah, atau viri probati, Msgr. Bux
mengatakan “Sejarah Gereja mengajarkan bahwa krisis panggilan imamat
diselesaikan melalui iman yang hidup: di mana iman itu hidup, panggilan
misionaris akan lahir, sampai munculnya lembaga-lembaga untuk pembentukan klerus
pribumi. Tuhan selalu memanggil manusia untuk mengikuti Dia!”
Mengenai proposal dokumen kerja bahwa ritual Misa hendaknya disesuaikan
dengan adat Amazon lokal, Msgr. Bux mengamati bahwa Ritus Romawi telah
ditransmisikan ke berbagai bangsa di seluruh dunia dan merupakan "ekspresi
persekutuan semua umat beriman dalam Kristus di luar batas-batas bahasa,
bangsa, dan ras."
“Sambil menghormati budaya, liturgi mengundang mereka untuk
menyucikan dan menguduskan diri mereka sendiri,” katanya.
"Sebenarnya," katanya, perlakuan dokumen kerja terhadap liturgi
"adalah pertanyaan tentang penentangan yang tersembunyi terhadap Gereja
Roma."
Msgr. Bux mengatakan, “Adalah ‘aneh’ yang ingin mereka
lakukan setelah berabad-abad evangelisasi benua Amerika, dan adopsi Ritus
Romawi.“ Siapa yang memberi tahu penduduk asli Amazon bahwa 'mereka telanjang,'
jika tanpa ritual mereka sendiri?,” dia bertanya.
Dia mengatakan usulan adopsi kebiasaan non-Kristiani ke dalam
liturgi adalah "tidak sesuai" dan "bertentangan" dengan
Ritus Roma, kecuali jika seseorang ingin terlibat dalam "hibridisasi dan
sinkretisme yang menuntun umat beriman kepada kesesatan."
"Kita dihadapkan dengan upaya untuk memodifikasi Gereja
secara genetis, mempertanyakan iman dan kesatuan ritus Roma yang
mengungkapkannya (lih. Sacrosanctum Concilium nn 37-38)," kata Msgr. Bux.
Dalam wawancara, Msgr. Bux juga mengatakan dia merasa
"luar biasa" bahwa Amazon dianggap sebagai "tempat
teologis," yaitu sumber wahyu yang khusus.
Atas kritik Kardinal
Walter Brandmüller terhadap Instrumentum laboris, Mgr. Bux mengatakan bahwa
dengan mempertanyakan Wahyu Ilahi, dokumen itu “melepaskan diri dari kebenaran
iman Katolik,” dan hal itu berarti “murtad.”
Msgr. Bux mencatat bahwa memang “penting” jika Instrumentum
laboris telah menerima “persetujuan yang antusias - dan mungkin saran - dari Leonardo Boff, seorang mantan imam Fransiskan, seorang pembela historis dari teologi pembebasan
yang, pada tahun 1970-an, diperingatkan dan ditegur oleh Kongregasi untuk
Ajaran Iman.”
Msgr. Bux mengakhiri wawancara dengan mengatakan:
Tidak ada pembebasan tanpa
pertobatan kepada Kristus. Instrumentum Laboris tidak pernah menyebutkan kata
ini, yang merupakan awal dari Injil Yesus Kristus, tetapi, seperti yang telah
diamati oleh para kardinal, imam, dan umat beriman, Instrumentum Laboris bertentangan
dengan poin-poin yang menentukan ajaran Gereja yang mengikat - yaitu, di mana
setiap umat Katolik terikat kepadanya – dan dokumen itu dapat dikualifikasikan
sebagai bidaah. Sebuah serangan terhadap fondasi iman, yang mereduksi agama
Katolik menjadi subjektivisme murni. Sepertinya Yesus Kristuslah yang harus
bertobat kepada ‘keilahian’ Amazon yang baru. Inikah “iman Katolik yang disampaikan
oleh para Rasul,” ketika kita berdoa dalam Kanon Romawi?
No comments:
Post a Comment