Cardinal Gerhard
Müller.
by Diane Montagna
KARDINAL
MÜLLER: SINODE AMAZON ADALAH 'SEBUAH ALASAN UNTUK MENGUBAH GEREJA'
ROMA, 15 Juli 2019 (LifeSiteNews) - Dalam sebuah wawancara baru yang penuh semangat, Kardinal
Gerhard Müller mengatakan bahwa sinode para uskup yang akan datang di Amazon
adalah "sebuah alasan untuk mengubah Gereja."
"Fakta bahwa sinode itu diadakan di Roma dimaksudkan
untuk menitikberatkan permulaan dari sebuah gereja baru," tambahnya.
Dalam wawancara 11 Juli lalu dengan
La Nuova Bussola Quotidiana (lihat
teks lengkap di bawah), mantan prefek Kongregasi untuk Ajaran Iman ini juga
telah mendukung kritik Kardinal Walter Brandmuller tentang dokumen kerja Sinode
Amazon sebagai “sesat,” dan dia menambahkan bahwa “ dokumen itu juga tidak
memiliki refleksi teologis."
“Kaum bidaah tahu tentang doktrin Katolik namun mereka
menolaknya. Namun di sini, hanya ada kebingungan yang besar," katanya,
seraya menambahkan bahwa "pusat dari semua itu bukannya Yesus
Kristus" tetapi berpusat pada penulis dan para pendukungnya, serta
berpusat pada "gagasan manusiawi mereka untuk menyelamatkan dunia."
"Pendekatan dari Instrumentum Laboris (dokumen kerja
sinode) adalah visi ideologis," yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan
dasar-dasar agama Katolik, kata Kardinal Gerhard Müller tegas.
Mengomentari substansi dokumen kerja, Kardinal Müller
mengatakan "cosmovision" yang diusulkannya adalah bersifat "pan-naturalistik"
dan "sangat mirip dengan Marxisme."
Dia juga mengatakan bahwa kita harus benar-benar menolak
ungkapan-ungkapan seperti "pertobatan ekologis," sambil menekankan
bahwa "hanya ada pertobatan kepada Tuhan saja."
Mengenai penekanan dokumen kerja sinode tentang “Ibu
Pertiwi,” mantan kepala CDF itu mengatakan: “Ibu kita adalah manusia, bukan bumi.
Dan ibu kita di dalam iman adalah Maria.”
Kardinal Müller menyebut desakan dokumen itu untuk menciptakan
sebuah “liturgi yang berinkulturasi” sebagai suatu langkah “untuk merubah bukan
hanya apa yang menjadi hak gerejawi, tetapi juga apa yang menjadi hak Ilahi.”
Ditanya apakah dia khawatir akan dicap sebagai "musuh
Paus" karena menyampaikan kritik semacam ini, Kardinal Müller mengatakan:
"Ini hanya sebuah dokumen kerja yang tidak memiliki nilai magisterial,
sehingga hanya orang yang bodoh saja yang dapat mengatakan bahwa mereka yang
mengkritiknya adalah seorang musuh Paus."
“Sayangnya,” kardinal Müller menambahkan, “ini adalah trik
mereka untuk menghindari dialog kritis; jika Anda mencoba untuk mengajukan
keberatan, Anda akan langsung dicap sebagai musuh Paus."
Tergoda oleh ilusi bahwa "segala sesuatu harus dirubah dengan
keyakinan bahwa, dengan cara ini, akan ada musim semi baru bagi Gereja," hingga
mereka "memandang rendah" tradisi dan memperlakukan Paus Yohanes
Paulus II dan Paus Benediktus XVI sebagai "ketinggalan zaman," kata kardinal
bersikeras.
Tetapi “mereka tidak melihat bahwa justru sebaliknya, mereka
menghancurkan Gereja. Mereka seperti orang buta yang jatuh ke dalam lubang.”
Di bawah ini adalah terjemahan bahasa Inggris dari wawancara
penuh dengan Cardinal Gerhard Müller, dengan izin dari La Nuova Bussola.
LA NUOVA BUSSOLA: Yang Mulia, Anda mengatakan “mereka ingin
mengubah Gereja,” tetapi apakah tanda-tanda yang jelas dari niat ini?
CARDINAL MÜLLER: Pendekatan Instrumentum
Laboris adalah visi ideologis yang tidak ada hubungannya dengan pendekatan
teologis terhadap pewahyuan diri Allah dalam Yesus Kristus, yang adalah Sabda yang
berinkarnasi, sungguh Allah dan sungguh manusia. Mereka ingin menyelamatkan
dunia sesuai dengan ide mereka sendiri,
mungkin menggunakan beberapa elemen dari Kitab Suci dan Tradisi Kerasulan.
Bukan kebetulan bahwa, meskipun mereka berbicara tentang Wahyu, Penciptaan,
sakramen-sakramen, dan hubungan dengan dunia, tetapi hampir tidak ada referensi
substansial terhadap teks-teks Konsili Vatikan II yang mendefinisikan
aspek-aspek ini: Dei Verbum, Lumen
Gentium, dan Gaudium et Spes. Tidak
disebutkan juga tentang akar martabat manusia, universalitas keselamatan,
Gereja sebagai sakramen universal dari keselamatan dunia. Dokumen itu hanya berisi
ide-ide duniawi, yang juga bisa diperdebatkan, dan tidak ada hubungannya sema
sekali dengan Wahyu Ilahi.
Dalam hal ini, menurut saya, penting untuk menyebutkan Instrumentum
Laboris no.39, di mana ia berbicara tentang “arena dialog yang luas dan penting
antara kerohanian, kepercayaan, dan agama Amazon yang membutuhkan pendekatan dari
dalam hati terhadap budaya-budaya yang berbeda.” Ia juga mengatakan: “Tidak mau
bersikap terbuka terhadap pihak lain, seperti halnya sikap orang yang mau
bekerjasama, yang secara khusus mengakui bahwa keselamatan hanya pada
keyakinannya sendiri, akan merusak keyakinan kita.” Mereka menganggap kredo
kita seolah-olah itu adalah pendapat dan ciptaan bangsa Eropa. Tetapi Pengakuan
Iman (credo) adalah tanggapan kita, yang diterangi oleh Roh Kudus, terhadap
Wahyu Allah dalam Yesus Kristus yang hidup di dalam Gereja. Tidak ada credo yang
lain.
Sebaliknya, ada berbagai keyakinan filosofis lain atau berbagai
ekspresi mitologis, tetapi tidak ada yang berani mengatakan, misalnya, bahwa
Kebijaksanaan Plato adalah sebuah bentuk Wahyu Allah.
Dalam penciptaan dunia, Allah hanya memanifestasikan
keberadaan-Nya, Dia menjadi titik rujukan bagi hati nurani dan hukum alam,
tetapi tidak ada pewahyuan lain di luar Yesus Kristus.
Konsep Lógos spermatikòs ("benih-benih Firman"), yang diambil dari
Konsili Vatikan II, tidak berarti bahwa wahyu dalam Yesus Kristus yang ada di
semua budaya adalah terpisah dari Yesus Kristus - seolah-olah Yesus hanyalah
salah satu unsur dari wahyu. Santo Justin Martir menolak semua mitologi kafir
dan mengatakan bahwa unsur-unsur kebenaran dalam filsafat adalah milik Kristus
(II. Apol. 13), "dimana di dalamnya ada harta hikmat dan pengetahuan"
(Kol. 2: 3).
Jadi, Anda setuju dengan Cardinal Brandmüller ketika dia menyebut
“bidaah” atas dokumen ini.
Bidaah? Bukan hanya bidaah, ia juga tidak memiliki refleksi
teologis. Orang bidaah tahu tentang doktrin Katolik, tetapi mereka menolaknya.
Tetapi di sini hanya ada kebingungan besar, dan pusat dari semua itu bukanlah Yesus Kristus, tetapi diri mereka
sendiri, gagasan manusiawi mereka untuk menyelamatkan dunia.
Dalam dokumen tersebut, “cosmovision” masyarakat adat
disajikan sebagai model ekologi integral. Menurut konsep ini, roh-roh dan dewa-dewa
bertindak "dengan dan di wilayah mereka, dengan dan dalam kaitannya dengan
alam." Dan cosmovision ini dikaitkan dengan "mantra" Francis:
'semuanya terhubung' "(lihat IL no. 25) .
"Cosmovision" adalah pan-naturalis atau - dalam
konteks Eropa modern - konsepsi materialistis, mirip dengan Marxisme; pada
akhirnya, kita dapat melakukan apa yang kita inginkan. Tuhan bukanlah alam,
seperti yang dirumuskan oleh Baruch de Spinoza (1632-1677).
Kita percaya kepada Tuhan, Pencipta alam semesta. Ciptaan adalah
demi kemuliaan Tuhan, tetapi ia juga merupakan tantangan bagi kita, yang
dipanggil untuk bekerjasama dengan kehendak Tuhan yang menyelamatkan seluruh
umat manusia. Tugas kita bukan untuk melestarikan alam sebagaimana adanya; kita
bertanggung jawab atas kemajuan umat manusia di dalam pendidikan, keadilan
sosial, dan untuk perdamaian di antara orang-orang. Itulah sebabnya umat
Katolik membangun sekolah dan rumah sakit; ini juga merupakan bagian dari misi
Gereja. Seseorang tidak dapat memuji-muji alam seolah-olah Amazon adalah
lingkungan surga, karena alam tidak selalu mencintai manusia. Di Amazon ada
predator, ada infeksi dan penyakit. Dan juga anak-anak ini, anak-anak muda di
Amazon ini, memiliki hak atas pendidikan yang baik, untuk mendapat manfaat dari
pengobatan modern. Seseorang tidak dapat mengidealkan hanya obat tradisional
saja yang baik, seperti yang dikatakan oleh dokumen sinode. Misalnya, ada satu obat
disana untuk mengobati sakit kepala, tetapi adalah hal yang lain ketika ada
penyakit serius atau membutuhkan operasi yang rumit. Manusia tidak hanya
memiliki hak, tetapi juga kewajiban untuk melakukan segalanya untuk menjaga
atau memulihkan kesehatan. Konsili juga menghargai sains modern, karena dari
hal itu kita telah mengalahkan begitu banyak penyakit; kita telah menurunkan
angka kematian bayi dan juga risiko bagi ibu. Teknologi modern itu sendiri
bukanlah iblis, tetapi harus berfungsi untuk memecahkan banyak masalah
eksistensi manusia.
Umat Kristiani memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan
kebaikan bersama (Gaudium et Spes, 34.), tanpa mengacaukannya dengan
keselamatan jiwa yang kekal.
Namun, budaya dan agama tradisional masyarakat adat Amazon
digambarkan sebagai model harmoni dengan alam.
Tidak ada harmoni dengan alam setelah dosa asal. Berkali-kali
(alam) menjadi musuh manusia, tetapi bagaimanapun, hal itu bersifat mendua. Ingatlah
akan empat elemen: bumi, api, air, udara. Gempa bumi, kebakaran, banjir, badai,
semua adalah manifestasi dari alam dan berbahaya bagi manusia. Dan manusia
menjadi musuh saudaranya, bukannya teman (melalui perzinahan, perampokan,
kebohongan, pembunuhan, perang). “Kita tahu bahwa seluruh ciptaan telah
mengeluh bersama sampai sekarang; dan bukan hanya ciptaan, tetapi kita sendiri
yang memiliki buah sulung dari Roh mengeluh di dalam hati ketika kita menunggu diadopsi
sebagai anak laki-laki, yaitu penebusan atas tubuh kita ”(lht.Rm. 8: 22-23).
Semuanya dibaca melalui kunci: sebuah "pertobatan
ekologis" yang dibutuhkan…
Kita harus benar-benar menolak ungkapan seperti “pertobatan
ekologis.” Karena hanya ada pertobatan kepada Tuhan saja, dan sebagai
konsekuensinya juga ada kebaikan alam. Kita tidak bisa menjadikan ekologi sebagai
agama baru, ini adalah konsep panteistik yang harus ditolak. Panteisme bukan
hanya teori tentang Tuhan; ia juga merupakan bentuk penghinaan bagi manusia.
Tuhan yang mengidentifikasi dirinya dengan alam bukanlah suatu pribadi.
Sebaliknya, Allah Pencipta menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya. Dalam
doa kita memiliki hubungan dengan Tuhan yang mendengarkan kita, yang mengerti
apa yang ingin kita katakan, bukan sebuah mistisisme di mana kita dapat meniadakan
identitas pribadi kita. “Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu
menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak
Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!" (Lht. Rm. 8:15).
... dan orang menganggap Bumi sebagai ibu.
Ibu kita adalah suatu pribadi, bukan bumi. Dan ibu kita di dalam
iman adalah Maria. Gereja juga digambarkan sebagai seorang ibu, sebagai
mempelai wanita Yesus Kristus. Kata-kata ini (tentang Ibu Pertiwi) tidak boleh
diperluas. Adalah satu hal untuk menghormati semua elemen di dunia ini, namun adalah
hal yang lain untuk mengidealkan atau medewakannya. Identifikasi Tuhan dengan
alam ini adalah bentuk atheisme, karena Tuhan tidak tergantung pada alam.
Mereka (para pendukung agenda sinode) benar-benar mengabaikan Penciptaan.
Sejak di awal tahun 1980-an, Kardinal Ratzinger saat itu
melihat bahwa tidak ada lagi khotbah di gereja-gereja tentang Penciptaan, dan dia
meramalkan konsekuensi dramatisnya.
Memang, semua kesalahan ini muncul dari kebingungan antara
Pencipta dan ciptaan, dari identifikasi alam dengan Tuhan, yang antara lain
menghasilkan politeisme, karena setiap elemen alam dikaitkan dengan keilahian. Esensi
dari monoteisme alkitabiah adalah perbedaan ontologis antara Pencipta dan ciptaan.
Tuhan bukanlah bagian dari karya-Nya, Dia berdaulat atas semua ciptaan. Ini bukanlah
penghinaan, melainkan menonjolkan alam. Sebuah aksioma mendasar dari teologi
Katolik mengatakan: Gratia non tollit
naturam sed perficit eam ["Kasih karunia tidak menggantikan alam
tetapi menyempurnakannya"] (St Thomas of Aquinas, Summa theologiae I, q. 1
a.8). Dan manusia tidak lagi menjadi budak terhadap unsur-unsur; manusia tidak
lagi harus menyembah dewa api atau berkorban kepada dewa api untuk menenangkan
kita dengan unsur yang menakutkan kita. Manusia akhirnya terbebas.
Visi panteistik yang dianut oleh Instrumentum Laboris juga
menyiratkan kritik terhadap antroposentrisme yang harus dikoreksi oleh Gereja
sendiri.
Adalah gagasan yang absurd untuk berpura-pura mengira bahwa
Tuhan bukanlah antroposentris. Manusia adalah pusat dari Penciptaan, dan Yesus
menjadi manusia, Dia tidak menjadi tanaman. Gagasan seperti itu adalah bidaah
terhadap martabat manusia. Sebaliknya, Gereja harus menekankan
antroposentrisme, karena Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya.
Kehidupan manusia jauh lebih berharga daripada kehidupan binatang apa pun. Saat
ini ada kebalikan dari prinsip ini: jika seekor singa terbunuh di Afrika itu
menjadi tragedi dunia, tetapi di sini lain ada anak-anak yang dibunuh di dalam
rahim ibu mereka dan semuanya baik-baik saja. Stalin juga berpendapat bahwa
sentralitas martabat manusia harus dihilangkan; dengan cara ini, dia bisa
memanggil banyak orang untuk membangun saluran dan membiarkan mereka mati demi
kebaikan generasi mendatang. Ideologi ini memastikan bahwa beberapa orang mendominasi
semua yang lain. Tetapi Tuhan adalah antroposentris, Inkarnasi adalah
antroposentris. Penolakan terhadap antroposentrisme hanya datang dari kebencian
terhadap diri sendiri dan orang lain. Manusia di dalam Kristus sebagai Putra
Bapa adalah teosentris dan tidak pernah kosmo-sentris. Kasih kepada Tuhan di
atas segalanya dan kasih kepada sesama, ini adalah medan gravitasi bagi keberadaan
manusia.
Kata ajaib lain dalam Instrumentum Laboris adalah
inkulturasi, yang sering dikaitkan dengan Inkarnasi.
Menggunakan kata Inkarnasi hampir sebagai sinonim untuk inkulturasi
adalah mistifikasi pertama. Inkarnasi adalah peristiwa unik dan tidak dapat
diulang. Adalah Firman Allah yang menjadi manusia di dalam diri Yesus Kristus.
Tuhan tidak menjelma dalam agama Yahudi; Dia juga tidak menjelma di Yerusalem. Jadi,
Yesus Kristus itu unik. Ini adalah poin mendasar, karena semua sakramen bergantung
pada Inkarnasi, itu adalah kehadiran Sabda yang berinkarnasi. Seseorang tidak
dapat menyalahgunakan istilah-istilah tertentu yang penting bagi agama Kristianitas.
Gereja mengekspresikan dirinya dalam bentuk-bentuk budaya tertentu melalui
simbol-simbol dalam katekese dan liturgi. Tetapi tanda sakramental (kata dan
tanda) mempengaruhi rahmat supernatural Kristus, yang sungguh hadir. Dengan
demikian orang tidak boleh memandang rendah liturgi sebagai “benda museum” atau
“milik beberapa orang pilihan” (lihat IL no. 124). “Substansi sakramen-sakramen”
adalah lebih penting daripada ritus sekunder (bahasa, musik, dll.) Dan itu tidak
dapat diubah oleh otoritas gerejawi (Council of Trent, 21. sess. 1562: DH
1728).
Marilah kita kembali kepada inkulturasi: sudah jelas dari
dokumen sinode Amazon bahwa semua kepercayaan masyarakat adat, ritual dan adat
mereka harus diadopsi. Ada juga referensi tentang bagaimana agama Kristen awal
diinkulturasikan di dunia Yunani. Dan dikatakan bahwa, seperti yang dilakukan
pada saat itu, hal itu juga harus dilakukan juga saat ini terhadap orang-orang
Amazon.
Tetapi Gereja Katolik tidak pernah menerima mitos Yunani dan
Romawi. Sebaliknya, ia menolak peradaban yang merendahkan manusia melalui
perbudakan. Ia menolak budaya imperialis Roma atau pederasty khas Yunani. Referensi
Gereja adalah pemikiran tentang budaya Yunani, yang telah mengenal unsur-unsur
yang membuka jalan bagi Kekristenan melalui akal. Hubungan antara iman yang diwahyukan
dan kecerdasan manusia adalah dasar dari hubungan kita dengan Tuhan, awal dan
akhir dari semua ciptaan. Aristoteles tidak menciptakan sepuluh kategori: karena
itu sudah ada sejak sebelumnya; dia hanya menemukan hal itu. Ini juga terjadi
dalam sains modern: itu bukan sesuatu yang hanya menyangkut Barat, melainkan
penemuan struktur dan mekanisme yang ada di alam. Hal yang sama berlaku juga untuk
hukum Romawi, yang bukan sembarang sistem yang seenaknya. Tetapi itu adalah
penemuan prinsip-prinsip hukum tertentu, yang ditemukan orang-orang Romawi
dalam sifat suatu komunitas. Tentu saja, budaya lain belum memiliki kedalaman seperti
ini. Tetapi kita tidaklah hidup di dalam budaya Yunani, Romawi, Gothic,
Lombard, Frank. Kekristenan secara total mengubah budaya Yunani dan Romawi.
Mitos-mitos pagan tertentu mungkin memiliki dimensi pedagogis dalam kaitannya
dengan Kekristenan, tetapi semua itu bukanlah elemen-elemen yang terletak pada
fondasi Kekristenan.
Dalam proses inkulturasi ini, Instrumentum Laboris juga
“menafsirkan kembali” sakramen-sakramen, terutama yang berkaitan dengan Imamat,
dengan dalih bahwa hanya ada sedikit imam di wilayah yang begitu luas.
Hal ini lebih lanjut menunjukkan bahwa pendekatan yang
digunakan adalah bersifat sosiologis dan bukan teologis. Wahyu Allah dalam
Kristus sungguh hadir di dalam sakramen-sakramen, dan Gereja tidak memiliki
otoritas apa pun untuk mengubah substansi sakramen-sakramen. Ini bukanlah
sekadar ritual yang kita sukai, dan imamat bukanlah kategori sosiologis untuk
menciptakan hubungan dalam komunitas. Setiap sistem budaya memiliki ritus dan
simbolnya sendiri, tetapi sakramen-sakramen adalah sarana rahmat ilahi bagi
semua manusia di setiap waktu dan tempat, sehingga kita tidak dapat mengubah
konten atau substansinya. Kita juga tidak dapat mengubah ritus, ketika ritus
ini ditetapkan oleh Kristus sendiri. Kita tidak dapat melakukan baptisan dengan
cairan apa pun; pembaptisan itu dilakukan dengan air alami. Pada saat Perjamuan
Terakhir, Yesus Kristus tidak mengambil minuman atau makanan sembarangan saja; Dia
mengambil air buah anggur dan roti dari gandum. Beberapa orang mengatakan,
"tetapi tanaman gandum tidak tumbuh di Amazon, mari kita gunakan sesuatu yang
lain saja." Tapi ini bukan inkulturasi. Mereka ingin mengubah tidak hanya
apa yang merupakan hak gerejawi, tetapi juga apa yang menjadi hak Ilahi.
Yang Mulia, satu hal terakhir: Anda sering menyebut
"mereka," bagi orang-orang yang ingin mengubah Gereja. Tapi siapakah
"mereka"?
Ini tidak mengacu pada satu orang atau sekelompok orang
tertentu. Ini adalah sistem rujukan-diri, yang kebal dari argumen kritis apa
pun, sebuah cara berpikir yang cuma mendiskualifikasi umat beragama Katolik dan
teolog lainnya, dengan menuduh mereka secara moral sebagai orang Parisi, doktor
hukum, kaku, dan konservatif.
Mereka (para pendukung sinode Amazon) berbicara tentang
hikmat para leluhur di Amazon dengan penuh hormat, tetapi tradisi panjang
Gereja dihina, dan Paus Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI dituduh sebagai orang
yang ketinggalan zaman. Mereka ingin menyesuaikan (segalanya) dengan dunia: masalah
pernikahan yang tak terceraikan, selibat, imam wanita, dan otoritas kerasulan,
seolah-olah itu adalah masalah politik. Segala sesuatu harus diubah dalam
keyakinan bahwa, dengan cara ini, akan ada musim semi baru bagi Gereja, sebuah Pentakosta
baru. Ini adalah ide yang aneh, karena pencurahan Roh Kudus adalah peristiwa
yang unik, eskatologis, dan berlaku selamanya. Seolah-olah teladan Protestan
tidak cukup untuk membantah ilusi ini. Mereka tidak melihat bahwa alih-alih
mereka bisa menghancurkan Gereja, justru mereka seperti orang buta yang jatuh
ke dalam lubang. Gereja harus berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip teologi
Katolik dan bukan sosiologi atau naturalisme dan positivisme (lht. Dei Verbum, 8-10). “Teologi sakral
bertumpu pada firman Allah yang tertulis, bersama dengan tradisi sakral,
sebagai fondasi utama dan abadi.” Dengan meneliti dalam terang iman, semua
kebenaran yang tersimpan dalam misteri Kristus, maka teologi paling akan sangat
diperkuat dan terus diremajakan oleh kalimat itu (Dei Verbum, 24).
*******
Translation from the Italian by Diane
Montagna of LifeSiteNews.
No comments:
Post a Comment