GEMBALA
YANG SESAT
BAGAIMANA
PAUS FRANCIS SEDANG MENYESATKAN KAWANANNYA
Oleh
Philip F. Lawler
Copyright © 2018 by Philip F. Lawler
All rights reserved. No part of this
publication may be reproduced or transmitted in any
form or by any means electronic or mechanical, including photocopy, recording, or any information storage and retrieval system now known
or to be invented, without permission in writing from the publisher,
except by a reviewer who wishes
to quote brief passages in connection with a
review written for inclusion in a magazine,
newspaper, website, or broadcast.
Regnery Gateway™ is a
trademark of Salem Communications Holding Corporation
Regnery® is a registered trademark of Salem Communications Holding Corporation.
Cataloging-in-Publication data on file with the Library of Congress
e-book ISBN 978-1-62157-753-9
Published in the United States by Regnery Gateway An imprint
of Regnery Publishing
A Division of Salem Media Group 300 New Jersey Ave NW
Washington, DC 20001
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
Books are available in quantity for promotional
or premium use.
PENGANTAR
Setiap hari saya selalu berdoa untuk Paus
Fransiskus. Namun (hampir) setiap hari, Paus Fransiskus mengeluarkan pernyataan-pernyataan baru bahwa dia
tidak menyetujui umat Katolik seperti saya ini.
Jika Bapa Suci sampai memarahi saya
karena dosa-dosa saya, saya tidak akan punya alasan untuk mengeluh. Tetapi,
setelah hari-hari yang melelahkan, dalam berbagai homili Misa pagi di kediamannya St.
Martha, Vatikan, paus mencela saya — serta ribuan umat Katolik lainnya yang setia —
karena kami berpegang teguh pada, dan kadang-kadang menderita, demi kebenaran
yang selalu diajarkan oleh Gereja selama ini. Kami dituduh keras kepala, begitu tuduhnya kepada
kami. Kami adalah seperti ‘para ahli taurat, orang-orang Farisi,’ yang hanya ingin ‘merasa nyaman’ dengan Iman kami.
Pada masa-masa awal
kepausannya, Francis telah mempesona khayalan publik dengan seruannya untuk
melakukan misi yang baru, penuh semangat, dan mendunia. Saya adalah salah satu
dari jutaan orang yang terjebak dalam ‘efek Francis,’ ini, saya merasa
sangat antusias dengan visinya. Saya
mendapati bahwa teman-teman dan tetangga-tetangga, yang terinspirasi oleh apa
yang mereka baca dan dengar tentang paus, ingin berbicara dengan saya tentang
Iman Katolik: bukan tentang politik Vatikan atau skandal para klerus, tetapi
tentang pesan mendasar dari Injil.
Namun seiring waktu berlalu, nada dan
bahkan isi pernyataan publik paus membuat saya bingung, lalu membuat saya
sedih. Selama berbulan-bulan, dalam pekerjaan saya melaporkan berita harian
dari Vatikan, saya berusaha melakukan yang terbaik untuk memberikan jaminan –
bagi para pembaca saya dan kadang-kadang bagi diri saya sendiri - bahwa
meskipun komentar-komentar paus kadang-kadang mengkhawatirkan, tetapi
Fransiskus tidak bersifat radikal, tidak membawa Gereja menjauh dari
sumber-sumber kuno dari Iman. Tetapi secara bertahap, perlahan, namun
menyakitkan, saya sampai pada kesimpulan bahwa dia adalah seperti itu, seperti
yang saya duga dan saya khawatirkan.
Paus Roma seharusnya menjadi pusat persatuan di dalam Gereja. Tetapi
Francis, sayangnya, telah menjadi sumber perpecahan. Ada dua alasan bagi
perkembangan yang tidak menyenangkan ini: gaya pemerintahan otokratis dari paus
dan sifat radikal dari program-programnya yang tak berhenti dan terus
berkembang.
Gaya bertindaknya
yang otokratis, yang sangat kontras dengan janji-janjinya tentang pemerintahan kolegial dan sinodal, tidak
pernah begitu jelas seperti pada Januari 2017, ketika dia mengesampingkan
status independen dan berdaulat dari sebuah ordo persaudaraan Katolik kuno, the Knights of Malta (Kesatria Malta).
Menulis tentang kudeta yang luar biasa itu di Wall Street Journal, Sohrab
Ahmari mengamati bahwa tindakan paus itu “telah memecah belah gereja di
sepanjang garis yang telah dikenal banyak orang.” Ahmari, seorang yang baru
masuk Katolik, melanjutkan:
Seperti halnya dengan masalah-masalah baru lainnya, misalnya:
soal pemberian Komuni kepada umat yang bercerai dan yang menikah lagi; status
dari Misa Latin; Keterlibatan Vatikan dengan rezim Komunis China — maka nampak
jelas bahwa kaum konservatif berada di satu pihak dan Paus Fransiskus berada di
pihak lain.
Tetapi seorang paus seharusnya tidak
boleh berada di ‘satu pihak’ dari perselisihan di dalam Gereja. Tentu saja Paus
Roma harus membuat keputusan dan menetapkan kebijakan. Tetapi tidak seperti seorang
pemimpin politik, dia tidak diharapkan untuk membawa agenda khususnya kepada
jabatannya sebagai paus, untuk mempromosikan sekutu-sekutunya dan menghantam
serta menghukum lawan-lawannya. Seperti halnya kita mengharapkan Presiden Trump
untuk membalikkan kebijakan Presiden Obama — sama seperti Obama membalikkan
kebijakan Presiden Bush — kita juga mengharapkan seorang paus untuk
mempertahankan keputusan para pendahulunya. Karena Gereja tidak, atau tidak
seharusnya, dibagi-bagi menjadi partai yang saling bersaingan.
Setiap paus bisa
membuat keputusan yang kontroversial, dan setiap keputusan yang kontroversial bisa membuat beberapa orang
merasa tidak senang. Tetapi seorang paus yang berhati-hati akan berusaha
menghindari penampilannya yang sewenang-wenang. Sadar bahwa dia melayani
sebagai kepala dari sekumpulan para uskup — bukan sebagai raja tunggal — maka
dia harus melakukan yang terbaik untuk mengusulkan,
bukannya memaksakan solusi-solusi bagi masalah-masalah pastoral.
Meskipun dia
menjalankan otoritas yang sangat besar di dalam Gereja, tetapi seorang paus juga harus bertindak di bawah kendali yang besar. Dia didorong untuk
berbicara bagi Gereja universal, tetapi dalam arti bahwa dia musti mengurangi
atau bahkan menghilangkan pembicaraan demi kepentingan dirinya sendiri. Paus
tidak bisa bersikap memihak. Dia diharapkan untuk menyelesaikan argumen, bukan
untuk memulai. Pada saat Konsili Yerusalem, Santo Petrus
menetapkan standar bagi para penerusnya: mendengarkan argumen dari kedua belah
pihak dan kemudian membuat penilaian (meski dia harus memutuskan sesuatu yang
bertentangan dengan posisi sebelumnya yang dia pegang sendiri).
Sesuai dengan sifatnya, peran paus
adalah bersifat konservatif, dalam arti yang terbaik. Dia bertugas melestarikan
kemurnian dan kejelasan Iman kita, suatu Iman yang tidak berubah. Karena
keyakinan fundamental kita ditetapkan oleh Yesus Kristus, maka tidak ada uskup
yang dapat mempertanyakannya tanpa meruntuhkan otoritas Gereja yang didirikan
oleh Tuhan kita — Gereja yang sama yang memberinya satu-satunya klaim atas
otoritasnya. Sementara paus adalah guru tertinggi dari Iman Katolik, maka paus
hanya bisa mengajarkan apa yang Gereja selalu ajarkan: Deposit Iman yang telah
diwariskan kepadanya dari para rasul. Dia dapat berbicara tanpa salah
(infallible), tetapi hanya saat ketika dia memproklamasikan dan mendefinisikan
apa yang dipercaya umat beriman Katolik “selalu dan di mana saja”.
Singkatnya, paus tidak dapat mengajarkan
sesuatu yang baru. Dia dapat mengungkapkan kebenaran lama dengan cara-cara
baru, tetapi jika dia memperkenalkan pembaharuan yang nyata, maka dia telah
menyalahgunakan otoritasnya. Dan terlebih lagi jika ajaran-ajarannya yang
"baru" itu bertentangan dengan
doktrin Gereja yang mapan, maka dia telah merusak otoritasnya sendiri.
Banyak umat Katolik yang setia percaya
bahwa dengan Amoris Laetitia, Francis
telah mendorong keyakinan dan praktek yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja
sebelumnya. Jika keluhan itu dibenarkan, maka dia telah melanggar kepercayaan
suci yang diberikan kepada penerus Petrus. Jika keluhan itu tidak dibenarkan,
maka Bapa Suci setidaknya telah berhutang (untuk memberikan) penjelasan kepada
kita, bukannya memberikan tuduhan dan penghinaan.
Sesuatu telah menyentak di dalam diri
saya pada 24 Februari 2017, ketika Francis mengubah bacaan Injil hari itu
(Mark. 10: 1–12) menjadi satu kesempatan lagi untuk mempromosikan pandangannya
sendiri tentang perceraian dan pernikahan kembali. Dia mengutuk kemunafikan dan
"logika kasuisme," Paus mengatakan bahwa Yesus menolak pendekatan
para ahli hukum. Cukup sudah. Tetapi dalam teguran-Nya kepada orang-orang
Farisi, apa yang Yesus katakan tentang pernikahan?
Maka, mereka bukan lagi dua, melainkan
satu daging. Apa yang telah disatukan Allah, janganlah manusia memisahkannya,
dan siapa pun yang menceraikan istrinya dan menikahi yang lain, dia melakukan
perzinahan terhadapnya; dan jika dia menceraikan suaminya dan menikahi yang
lain, dia melakukan perzinahan.
Kadang-kadang, dalam homilinya,
penafsiran Paus terhadap Kitab Suci terasa dipaksakan; seringkali penyebutannya
terhadap umat Katolik yang berpikiran tradisionil bernada menghina. Tetapi
dalam kasus ini, paus telah membalikkan bacaan Injil sepenuhnya. Dari laporan
Radio Vatikan tentang homili yang mengejutkan itu, saya mendapati bahwa saya
tidak dapat lagi berpura-pura dan menganggap bahwa Francis hanya menawarkan
penafsiran baru terhadap doktrin Katolik. Tidak, itu lebih dari itu. Dia
terlibat dalam upaya yang disengaja untuk mengubah apa yang diajarkan oleh
Gereja.
Selama lebih dari dua puluh tahun saya
menulis setiap hari tentang berita-berita dari Vatikan. Saya telah berusaha
jujur dalam penilaian saya terhadap setiap pernyataan dan isyarat dari paus.
Saya telah mengkritik paus St. Yohanes Paulus II dan paus Benediktus XVI ketika
saya berpikir bahwa tindakan mereka tidak bijaksana. Tetapi tidak pernah
terlintas dalam pikiran saya bahwa ada satu paus yang menimbulkan bahaya
terhadap integritas Iman Katolik. Melihat kembali lebih jauh di sepanjang
sejarah Gereja, saya menyadari bahwa ada paus-paus yang buruk, yaitu
orang-orang yang tindakan pribadinya dimotivasi oleh keserakahan dan
kecemburuan serta nafsu akan kekuasaan dan oleh nafsu birahi. Tetapi pernahkah
sebelumnya ada seorang Paus Roma yang mengabaikan begitu mudahnya apa yang
selalu diajarkan dan diyakini oleh Gereja selama ini, dan yang serta merta
diterapkan pada isu-isu mendasar seperti perkawinan dan Ekaristi?
Paus Fransiskus telah memicu kontroversi
sejak dia terpilih sebagai pengganti St. Petrus. Tetapi kontroversi itu
akhirnya menjadi begitu kuatnya, hingga menimbulkan kebingungan di kalangan
umat beriman, mempengaruhi sistem pemerintahan di Vatikan dengan begitu
sewenang-wenang — dan celaan-celaan paus terhadap musuh-musuhnya (yang nyata
atau hanya dibayangkan) begitu maniak — hingga saat ini Gereja universal sedang
bergegas menuju krisis terbesar.
Dalam sebuah keluarga besar, bagaimana
seharusnya seorang putera bersikap ketika dia menyadari bahwa perilaku ayahnya
mengancam kesejahteraan seluruh keluarga? Dia pasti harus terus menunjukkan
rasa hormat kepada ayahnya, tetapi dia tidak bisa tanpa batas menyangkal
bahayanya. Akhirnya, keluarga yang disfungsional itu terpaksa harus membutuhkan
intervensi.
Dalam ‘keluarga dunia,’ yaitu Gereja
Katolik, cara terbaik untuk melakukan intervensi adalah dengan selalu berdoa.
Tetapi intervensi juga membutuhkan
kejujuran — pengakuan yang jujur bahwa kita memiliki masalah serius.
Mengenali masalah juga bisa memberikan
semacam keringanan, sebuah relaksasi atas ketegangan yang terakumulasi. Ketika
saya memberi tahu teman-teman saya, bahwa saya menganggap kepausan ini sebagai
bencana, lebih sering daripada tidak, mereka merasa aneh dan sulit untuk
diyakinkan mengenai hal ini. Mereka dapat sedikit mereda, jika menyadari bahwa
kekhawatiran mereka sendiri bukanlah khayalan saja, bahwa ada orang lain yang
ikut merasakan ketakutan mereka tentang masa depan Iman, bahwa mereka tidak
perlu melanjutkan pencarian tanpa hasil bagi cara-cara untuk mendamaikan
sesuatu yang tidak dapat didamaikan. Selain itu, setelah menyebutkan masalahnya
secara tepat, mereka dapat mengenali apa krisis Katolikisme saat ini dan
mengesampingkan penjelasan yang ditawarkan oleh beberapa tradisionalis radikal.
Menurut mereka Fransiskus bukanlah antipaus, apalagi Antikristus. Tahta Petrus
tidaklah kosong, dan Benediktus bukanlah paus yang "sejati".
Francis adalah paus kita, baik atau
buruk, mau atau tidak mau. Dan jika kenyataannya lebih buruk - seperti yang
saya simpulkan dengan sedih – maka sebenarnya Gereja telah bertahan dalam
mengahadapi beberapa paus yang bermasalah di masa lalu. Kita umat Katolik telah
dimanjakan selama beberapa dekade, dengan menikmati suksesi para paus yang luar
biasa yang merupakan guru berbakat dan orang-orang suci. Kita telah terbiasa
untuk menoleh ke Roma untuk mencari bimbingan. Tetapi sekarang kita tidak bisa
lagi seperti itu.
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa
Francis telah kehilangan kharisma infalibilitasnya. Jika dia mengeluarkan
pernyataan ex cathedra, di dalam
persekutuan dengan uskup-uskup di dunia, maka kita yakin bahwa dia memenuhi
kewajibannya untuk meneruskan apa yang Tuhan berikan kepada St. Peter: Deposit
Iman. Tetapi paus ini, secara karakteristik, memilih untuk tidak berbicara
dengan otoritas kepausan; sebaliknya, dia telah menolak untuk memberikan
klarifikasi atas dokumen pengajarannya yang paling provokatif (Amoris
Laetitia).
Tetapi jika kita tidak dapat
mengandalkan arahan yang jelas dari Roma, ke manakah kita bisa menoleh?
Pertama, umat Katolik dapat mengandalkan ajaran Gereja yang konstan,
doktrin-doktrin yang sekarang terlalu sering dipertanyakan. Jika paus bertindak
membingungkan, maka Katekismus Gereja Katolik tidak. Kedua, kita dapat dan
harus meminta uskup di keuskupan kita sendiri untuk maju dan memikul tanggung
jawab mereka. Para uskup, juga telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk
merujuk pertanyaan-pertanyaan sulit ke Roma. Dan sekarang, karena kebutuhan
yang mendesak, mereka harus memberikan penegasan mereka sendiri yang jelas dan
tegas tentang doktrin Katolik.
Mungkin Francis akan membuktikan bahwa
saya salah dan dia muncul sebagai seorang guru Katolik yang hebat. Saya
berharap dan berdoa agar dia melakukan hal itu. Mungkin seluruh argumen saya
adalah salah arah. Saya pernah berbuat salah sebelumnya dan tidak diragukan
lagi bahwa saya akan salah lagi; namun satu lagi pandangan saya yang salah
tidak akan mendatangkan konsekuensi yang besar. Tetapi jika saya benar, dan
kepemimpinan paus saat ini telah menjadi bahaya besar bagi Iman, maka umat
Katolik lainnya, dan terutama pemimpin Gereja yang ditahbiskan, harus
memutuskan bagaimana menanggapi hal ini. Dan jika saya benar bahwa kebingungan
tentang ajaran-ajaran Gereja yang fundamental telah meluas, maka para uskup,
sebagai guru utama iman, tidak dapat mengabaikan tugas mereka untuk segera
campur tangan. Sejarah Gereja Katolik menunjukkan bahwa para uskup akan
menanggapi keributan dari umat beriman, dan uskup Roma (Paus), yang tugasnya
adalah menyatukan umat, tidak dapat mengabaikan uskup-uskupnya.
No comments:
Post a Comment