krisis terburuk dalam 2000 tahun
sejarah gereja
by
Antonio Socci •
ChurchMilitant.com • July 9, 2019
Antonio
Socci bicara soal sinode
Pan-Amazon dan kepausan Francis
Dengan membaca dokumen Vatikan untuk Sinode Amazon,
maka kepausan Bergoglian kini memiliki
manifesto resmi yang berhaluan kiri ekstrem, berdasarkan “sosialisme surealis.”
Selain Trump dan Salvini, Presiden Brasil
Bolsonaro sekarang berada di antara musuh-musuhnya, karena ketiganya merupakan
lambang peradaban Barat yang dibenci oleh orang-orang dari tradisi Yahudi-Kristiani
yang tidak menyangkal akar-akar dan identitasnya.
Instrumentum Laboris Vatikan ini, demikian tulis
José Antonio Ureta, "telah mewakili pembukaan total pintu Magisterium bagi
'teologi Indian' dan 'eko-teologi,' dua turunan teologi pembebasan di Amerika
Latin, yang pemandu soraknya, setelah keruntuhan Uni Soviet dan kegagalan
'sosialisme nyata,' sekarang menghubungkan peran historis kekuatan revolusioner
dengan masyarakat adat dan alam, dalam sebuah kunci Marxis."
Di antara umat Katolik terjadi sebuah kebingungan
besar. Tampaknya ‘Gereja yang padam’ seperti
yang diinginkan oleh Bergoglio benar-benar berhasil: keluar dari agama Katolik. Kardinal Walter
Brandmüller — teman pribadi Benediktus XVI - adalah sejarawan terkemuka Gereja,
namun dia tidak ragu-ragu menggunakan istilah paling keras untuk bersuara
menentang Instrumentum Laboris ini: "sesat"
dan "murtad."
Brandmüller berbicara tentang Sinode Amason sebagai
“perembesan agresif ke dalam urusan Negara dan masyarakat yang murni sekuler di
Brasil." Dia kemudian mengutuk absurditas teologis dari dokumen tersebut
(berbeda dengan teks-teks Konsili Vatikan II) dan "penolakan anti-rasional
terhadap budaya 'Barat' yang menekankan pentingnya penalaran." Instrumentum laboris dari Vatikan yang seperti
itu, seru kardinal, "menjadikan sinode para uskup dan akhirnya Paus harus bertanggung
jawab atas pelanggaran berat terhadap depositum
fidei (deposit iman), yang memiliki konsekuensi pada penghancuran diri
Gereja atau pergantian Corpus Christi
mysticum menjadi sebuah LSM sekuler dengan tujuan
ekologis-sosial-psikologis."
Kardinal Walter Brandmüller menyimpulkan dengan
tegas bahwa dokumen Vatikan itu ‘sangat bertentangan
dengan ajaran Gereja yang mengikat tentang hal-hal yang menentukan dan
karenanya ia telah memenuhi syarat untuk dianggap sebagai bidaah. Mengingat
bahwa di dalam dokumen itu bahkan fakta wahyu ilahi dipertanyakan, atau
disalahpahami, maka kita harus juga berbicara tentang kemurtadan." Dokumen
itu merupakan serangan terhadap dasar-dasar iman ... dan karenanya ia harus
ditolak dengan keteguhan hati sepenuhnya."
Posisi kardinal Brandmüller, yang merupakan teman
dekat Benediktus XVI, adalah posisi umat Katolik. Dan orang juga dapat
berasumsi bahwa posisi ini telah diwartakan di atas segalanya oleh Ratzinger,
yang selama bertahun-tahun teguh membela Iman Gereja dari serangan teologi
pembebasan dan dari semua turunannya yang dewasa ini mengisi penuh dokumen
Vatikan untuk sinode mendatang.
Meskipun ada ribuan tekanan yang diberikan kepada
paus Francis untuk menanggapi, tetapi pihak Francis tidak pernah mau menanggapi
pertanyaan dari empat kardinal Dubia (salah satunya adalah Brandmüller
sendiri). Juga paus Francis tidak pernah memberikan bantahan resmi terhadap tuduhan
uskup agung Carlo Maria Viganò, penulis kesaksian bersejarah tentang skandal
Vatikan.
Sebaliknya, pada bulan April lalu, Benediktus menerbitkan
kesaksiannya sendiri - secara khusus dalam kaitannya dengan skandal sexual dalam
Gereja - yang menawarkan refleksi sejalan dengan sudut pandang para kardinal
dubia yang disebutkan di atas, dan juga menawarkan solusi Benediktus sendiri.
Dan kita juga dapat mengatakan bahwa dokumen Benediktus
itu sudah mengantisipasi munculnya dokumen Vatikan tentang sinode Amazon.
Bahkan, dia mengutuk setiap upaya untuk menggantikan Gereja Kristus dengan
menciptakan "Gereja lain, yang diciptakan oleh kita," karena itu
adalah sebuah gereja yang – bukannya memusatkan perhatiannya pada keselamatan jiwa
manusia – tetapi justru memusatkan perhatiannya kepada urusan politik, ekonomi,
dan ekologi (menurut ideologi duniawi), padahal itu adalah sebuah "percobaan
yang telah dicoba dan terbukti gagal."
Dokumen dari Benediktus ini sekarang telah
diterbitkan dalam sebuah volume oleh Cantagalli bersama-sama dengan teks-teks
Bergoglio lainnya tentang masalah skandal dalam Gereja, dan para klerus sekarang
banyak yang menyampaikan pujian atas karya Benediktus ini sebagai sebuah tanda keharmonisan
yang konon ada di antara dua paus itu.
Tetapi keharmonisan macam apa? Bagian-bagian
tertentu dari kubu Bergoglio bereaksi dengan keras April lalu ketika Benediktus
mengumumkan publikasi "catatan-catatan"-nya. Ada orang-orang yang
mengatakan bahwa tulisan itu bukanlah milik Benediktus. Lebih jauh, pihak Bergoglio
sangat berhati-hati untuk tidak menyebarkan dokumen Benediktus itu, yang telah
diberikan kepadanya oleh Benediktus sendiri pada saat KTT Vatikan (Februari
lalu) tentang skandal sexual dalam Gereja.
Sebagai gantinya, Francis menambahkan kepada buku
itu dengan tulisan-tulisannya sendiri untuk membuat orang melupakan dan mengabaikan
kegagalannya dalam masalah ini (ini juga disoroti oleh Uskup Agung Viganò). Nampak
bahwa Bergoglio berlindung di balik otoritas Benediktus. Tetapi hendaknya kita membaca
kedua teks yang ada untuk memahami dua posisi yang berseberangan.
Benediktus pada tahun-tahun ini memiliki tugas
yang cukup dramatis. Di satu sisi dia harus menangkis semua tarikan Bergoglio
yang akan membawa Gereja ke luar batas-batas doktrin Katolik (dan kehadiran
Benediktus sendiri adalah menjadi pencegah, yang memperingatkan dan menegur
Francis). Di sisi lain, dia harus mendorong orang-orang Katolik yang kebingungan
oleh bencana dan krisis saat ini (termasuk para uskup dan kardinal) dan dia
harus mengajak mereka untuk mempertahankan iman Gereja sambil menghindari timbulnya
perpecahan yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Sinyal-sinyal yang diberikan Benediktus selalu
bijaksana, jelas dan menghibur. Tidak hanya melalui intervensi yang kuat seperti
dokumen yang dikeluarkannya April lalu, tetapi juga dengan mengingat bahwa dia –
tetap sebagai paus - ada di sana dan umat Katolik seharusnya tidak merasa bahwa
diri mereka adalah anak yatim. Buku terbarunya (benar-benar indah) yang
diterbitkan Benediktus, "Per Amore,"
tidak menulisi sampulnya dengan judul "Paus Emeritus" tetapi hanya
berupa tanda tangan yang tegas "Benedetto PP XVI." Inisial
"PP" ini singkatan dari "Pastor Pastorum" (atau Pater
Patrum), yang merupakan judul dan hak prerogatif paus yang memerintah.
Ini adalah tanda kecil yang kesekian kalinya dalam
situasi dramatis yang terjadi pada Tahta Apostolik, yang tidak dapat (belum)
diklarifikasi, tetapi menegaskan apa yang dikatakan oleh Benediktus XVI dalam
audiensi terakhirnya pada 27 Februari 2013: Bahwa “yang selalu” adalah juga
merupakan “untuk selamanya” - tidak akan ada lagi istilah kembali ke ruang
privat. Keputusan saya untuk mengundurkan diri dari kegiatan aktif tugas perutusan
saya tidaklah membatalkan tugas pengajaran ini.”
Dalam beberapa surat terakhirnya - seperti surat 23
November 2017, kepada Cardinal Brandmuller, di mana dia menunjukkan bahwa dia
sangat prihatin dengan situasi Gereja saat ini - Benediktus menyimpulkan dengan
menulis: "Dengan berkat kerasulan saya." Hanya paus yang berkuasa
yang dapat memberikan berkat kerasulan (secara langsung atau dengan
mendelegasikan kepada orang lain). Jika Benediktus tidak lagi menjadi paus, dan
dia memberikan berkat itu, maka hal itu berarti melakukan pelecehan.
Selain itu, banyak tanda-tanda lain yang diberikan
Benediktus yang membuat orang harus berhenti sejenak dan berefleksi. Bukan
hanya pakaiannya, namanya, gelarnya, lambangnya. Bergoglio sendiri memanggilnya
"Yang Mulia" (karena dia secara resmi masih disebut sebagai "Yang
Mulia Benediktus XVI.")
Selama enam tahun terakhir - dalam lingkaran
Bergoglian - mereka ingin mendapatkan sebuah deklarasi dari Benediktus di mana
dia mengatakan bahwa dia tidak lagi berhubungan dengan kepausan, dan bahwa dia
hanya seorang uskup biasa. Tetapi Benediktus tidak pernqah mengucapkan kata-kata
ini.
Seorang jurnalis dari Corriere della Sera telah
menulis bahwa orang yang tak mau disebutkan namanya (dalam keadaan yang tidak
ditentukan) dikatakan telah mendengar Benediktus berkata, "Paus adalah
satu, Francis." Tetapi jurnalis yang sama ini baru-baru ini berkesempatan
untuk bertemu dengan Benediktus dan mengajukan pertanyaan kepadanya, dan
Benediktus XVI berkata kepadanya bahwa dirinya tidak pernah mengucapkan kalimat
itu.
Pikiran Benediktus XVI dengan baik diungkapkan
oleh perkataan dari orang kepercayaannya, Uskup Agung Georg Gaenswein, yang
mengatakan pada konferensi bersejarah di Universitas Gregorian: “Sebelum dan
sesudah pengunduran dirinya, Benediktus memahami dan menyadari tugasnya sebagai
partisipasi dalam "pelayanan Petrus." Dia telah meninggalkan tahta
kepausan namun, dengan langkah yang dibuat pada tanggal 11 Februari 2013, dia
sama sekali tidak membatasi pelayanan ini. Sebaliknya, dia telah melengkapi jabatan
pribadinya dengan dimensi kolegial dan sinodal, sebagai pelayanan yang dilakukan
bersama. Inilah sebabnya mengapa Benediktus XVI tidak melepaskan nama kepausannya,
atau jubah putihnya. Inilah sebabnya mengapa nama yang tepat untuk memanggil
dirinya bahkan sampai hari ini adalah "Yang Mulia"; ... Dia tidak
meninggalkan jabatan Petrus - sesuatu yang sama sekali mustahil baginya untuk
dilakukan setelah penerimaannya yang tidak dapat dibatalkan terhadap jabatan itu
pada bulan April 2005.
Disini Gaenswein berbicara tentang sebuah "kepausan
pengecualian."
Ada orang-orang yang percaya bahwa dengan
rancangan misterius dari Penyelenggaraan Ilahi, Gereja sedang dihadapkan kepada
cobaan yang sangat keras, Jumat Agungnya sendiri, tetapi kehadiran Benediktus
menjamin bahwa Gereja tidak akan karam. Tentu saja Benediktus adalah pusat
dalam Gereja dewasa ini. Dan suatu hari nanti, semuanya akan menjadi lebih
jelas.
********
First published in Libero on July 1, 2019.
Antonio Socci is the author of The Secret of Benedict
XVI (Angelico Press, 2019). For more information click here.
Translated by Giuseppe Pellegrino
No comments:
Post a Comment