GEMBALA
YANG SESAT
BAGAIMANA
PAUS FRANCIS SEDANG MENYESATKAN KAWANANNYA
BAB
EMPAT
Memanipulasi Sinode
Kekhawatiran tentang berbagai pernyataan paus Francis yang provokatif
dan tentang komitmennya untuk menegakkan doktrin Gereja, muncul dengan
diadakannya sebuah pertemuan dalam Sinode luar biasa pada tahun 2014 dan pertemuan
dalam Sinode biasa pada tahun 2015. Sampai saat itu dia telah mengeluarkan
beberapa dokumen otoritatif, tetapi dokumen kepausan yang mengikuti kedua pertemuan
itu akan menjadi sebuah pernyataan resmi yang tidak dapat dihentikan: sebuah
pernyataan resmi Magisterium Gereja.
Sinode adalah merupakan sebuah badan penasehat dari para
uskup seluruh dunia — beberapa peserta dipilih oleh paus, dan yang lain dipilih
oleh rekan-rekan mereka di berbagai konferensi episkopal nasional — yang didirikan
(atau dihidupkan kembali) oleh Paus Paulus VI setelah Konsili Vatikan II. Para
peserta itu bertemu dalam pertemuan "biasa" setiap tiga atau empat
tahun untuk mempertimbangkan berbagai masalah penting dalam kehidupan Gereja, dan
mengeluarkan pernyataan akhir setelah beberapa minggu pembahasan. Meskipun
tidak memiliki kuasa yang menentukan dalam dirinya sendiri, tetapi pernyataan mereka
menjadi dasar bagi "anjuran atau desakan apostolik pasca-sinode" oleh
paus, sebuah dokumen pengajaran yang membawa otoritas pengajaran tingkat
tinggi.
Majelis Sinode didahului oleh bulan-bulan persiapan
sebelumnya. Sebuah topik dipilih dan kantor Sinode Vatikan menyiapkan
serangkaian pertanyaan untuk dibahas. Pertanyaan-pertanyaan ini diedarkan di
antara para uskup dunia untuk dikomentari, dan saran mereka dimasukkan ke dalam
sebuah dokumen kerja kedua, yang berfungsi sebagai dasar untuk diskusi Sinode.
Pertemuan biasa Sinode dijadwalkan pada Oktober 2015,
topiknya adalah pernikahan dan kehidupan keluarga. Francis memutuskan untuk
mengadakan sesi "luar biasa" untuk bertemu pada bulan Oktober 2014
itu, dengan memberikan topik yang banyak bagi diskusi yang sangat penting ini.
Keputusan itu tampak sangat masuk akal, mengingat serangan luar biasa terhadap
kehidupan keluarga di awal abad ke-21: tingginya tingkat kehancuran dan
perceraian keluarga, meningkatnya kasus kumpul kebo dan pergaulan bebas, tindakan
aborsi dan kontrasepsi yang semakin banyak diterima di masyarakat, dorongan
untuk mengesahkan ‘perkawinan’ sesama jenis.
Ketika persiapan dimulai, bagaimanapun, menjadi jelas bahwa
Francis memiliki prioritas yang berbeda untuk Sinode ini. Dia telah mengadakan sebuah
konsistori - sebuah pertemuan dari Dewan Kardinal - bulan Februari 2014, di
mana dia akan menunjuk beberapa anggota baru bagi Dewan kardinal. Seperti yang
sudah biasa, para kardinal telah berkumpul di Roma sehari sebelum konsistori
untuk melakukan diskusi umum. Francis telah meminta seorang uskup Jerman,
Kardinal Walter Kasper, pensiunan presiden Dewan Kepausan untuk Persatuan Kristiani,
untuk memimpin mereka.
"Proposal
Kasper" Menjadi Agenda Utama
Saran ini, yang kemudian dikenal sebagai "usulan
Kasper," telah menyerang jantung dari dua ajaran penting Katolik. Pertama,
sejak masa-masa awal Kekristenan, Gereja telah mengajarkan bahwa siapa pun yang
menerima Ekaristi dalam keadaan dosa berat, dia melakukan dosa berat lainnya
yang berupa dosa sakrilegi. Santo Paulus menulis dalam surat pertamanya kepada
jemaat di Korintus, “Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti
atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena
itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia
makan roti dan minum dari cawan itu.” (1Kor 11:27-28)
Kedua, Gereja selalu mengajarkan bahwa siapa pun yang menikah
kembali sementara pasangannya dari pernikahan yang sah masih hidup hidup, dia
berada dalam keadaan dosa berat.(1) Disiplin ini tidak didasarkan pada aturan
yang sewenang-wenang, tetapi berdasarkan Sabda Yesus yang jelas: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya
kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin
dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.” (Mat. 5:32)
Francis membuka konsistori Februari 2014 - pertemuan
pertamanya dengan seluruh anggota Dewan Kardinal sejak pemilihannya, hampir
setahun sebelumnya - dengan menggarisbawahi ajaran Gereja bahwa keluarga,
berdasarkan pernikahan, adalah "sel dasar dari masyarakat manusia." Mengamati
bahwa dalam zaman kita, keluarga “dipandang dengan jijik dan diperlakukan
dengan buruk,” maka paus Francis mendesak para pemimpin Gereja untuk berusaha
memulihkan “pengakuan betapa indah, benar, dan baiknya membentuk sebuah
keluarga.” Kemudian paus Francis juga memperkenalkan Kardinal Kasper, yang
berbicara dalam kesempatan itu hampir selama dua jam, menghabiskan hampir
seluruh sesi pagi.
Pastor Federico Lombardi, direktur kantor pers Vatikan,
mengatakan kepada wartawan bahwa pernyataan Kasper ditujukan untuk para
kardinal dan tidak akan dipublikasikan, tetapi dia memberikan ringkasan singkat
dari pidato Kasper. Pikiran Kasper sangat "selaras" dengan pemikiran
Francis, kata Lombardi, dan dia menekankan peran keluarga sebagai gereja
domestik dan sebagai instrumen untuk evangelisasi. Kasper telah berbicara
tentang pengertian pernikahan dan keluarga dalam teologi Kristen: didirikan
pada saat penciptaan, dirusak oleh dosa, tetapi diangkat ke tingkat sakramen
dan ditebus dengan rahmat. Lombardi membenarkan bahwa Kardinal Kasper melakukan
pembicaraan tentang subjek yang telah menarik banyak perhatian media: status
umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi. Tanpa memberikan rincian tentang
pemikiran kardinal Kasper, Lombardi mengatakan bahwa Kasper telah meminta kepada
Benediktus XVI, yang telah mendesak adanya pendampingan pastoral yang lebih
besar untuk umat Katolik yang berada dalam situasi ini, dan Francis, yang telah
mengatakan bahwa masalah pendampingan pastoral tidak harus dilihat sebagai penentangan
terhadap pertanyaan kanonik tentang validitas suatu pernikahan. Kasper menutup
pidatonya, kata Lombardi, dengan berbicara tentang "hukum bertahap," yang
mengeksplorasi bagaimana pasangan-pasangan yang menikah akhirnya bisa memahami
ikatan sakramental mereka dan penghargaan yang lebih baik untuk kehidupan
keluarga mereka.
Andrea Tornielli memberikan pendapat yang lebih rinci tentang
pidato Kasper. Berdasarkan laporan dari para kardinal yang hadir, Tornielli
mengatakan bahwa Kasper telah menantang para uskup untuk mengatasi masalah umat
Katolik yang bercerai dan menikah lagi. Gereja tidak dapat mengubah doktrinnya
mengenai tidakterceraikannya pernikahan, kata kardinal. Tetapi para pastor dapat
dan harus menemukan cara untuk menjangkau umat Katolik yang berada dalam
pernikahan yang tidak beres. Dia menekankan bahwa tidak ada situasi yang
terlalu sulit bagi belas kasihan Tuhan.
Tornielli juga melaporkan bahwa Kasper telah menyatakan
keraguannya tentang proposal untuk memudahkan akses kepada pengadilan Gereja
yang mengeluarkan pembatalan perkawinan (anulasi), dan dia kuatir jika proses
pembatalan perkawinan akan mengarah pada keluhan-keluhan baru bahwa Gereja telah
mengakomodasi semacam “perceraian Katolik” yang munafik. Tetapi dia bertanya
apakah mungkin untuk mengijinkan semacam proses penyesalan yang dengan hal itu
umat Katolik yang bercerai dan menikah kembali dapat direkonsiliasi dengan
Gereja, sama seperti Gereja awali yang menyediakan proses penyesalan untuk
memungkinkan orang-orang yang telah melepaskan keyakinan mereka untuk masuk
kembali kedalam Gereja Katolik untuk menghindari adanya penganiayaan.
Seorang Jerman lainnya, Kardinal Reinhard Marx, uskup agung
Munich dan Freising, dengan cepat menyarankan agar proposal Kasper harus
diumumkan kepada publik. Dia mencatat bahwa Francis memuji presentasi Kasper, dan
mengatakan bahwa Kasper telah mengangkat masalah yang “mendalam”. Selain itu,
sekitar dua ratus salinan pidato Kasper sudah beredar, telah dibagikan kepada
para kardinal dalam konsistori, sehingga tidak dapat dihindari bahwa isinya
harus dipublikasikan.
Pada awal Maret, Kasper mengumumkan dalam wawancara dengan Radio
Vatikan bahwa dia memang akan membuat buah pikirannya dipublikasikan dalam
sebuah buku yang akan diterbitkan dalam bahasa Jerman dan Italia. Proyek ini
mendapat persetujuan paus, katanya, yang “ingin diskusi terbuka tentang masalah
yang mendesak ini.” “Saya mempertahankan pengajaran penuh Gereja,” dia meyakinkan
pewawancara, “tetapi pengajaran itu harus diterapkan pada situasi-situasi
konkrit." Gereja harus menemukan cara "untuk membantu, mendukung, dan
mendorong" orang Katolik yang bercerai dan menikah kembali, dan saran
Kasper sendiri adalah berupa upaya untuk melakukannya sambil menghindari
‘kekakuan’ dan ‘kelemahan’."
Apa Yang Perlu Didengar
Oleh Dunia
Ketika menjadi jelas bahwa proposal Kasper akan menjadi topik
utama bagi pertemuan Sinode luar biasa pada bulan Oktober, para pembela ajaran
Gereja tradisional tergerak untuk bersikap. Di Amerika Serikat, Ignatius Press mengeluarkan tiga buku,
termasuk sejumlah esai oleh para ilmuwan Katolik terkemuka dan para uskup yang
secara langsung menyanggah proposal Kasper. (Penerbitan buku ini menimbulkan
perselisihan singkat dan terbuka pada pertemuan Sinode, seperti yang saya
jelaskan di bawah ini.) Kardinal Raymond Burke, seorang Amerika yang kemudian
menjabat sebagai prefek untuk Signatura Apostolik, pengadilan kanonik
tertinggi, memimpin dalam mengkritisi proposal Kasper, dengan mengatakan kepada
seorang audiens Irlandia bahwa penerimaan usulan Kasper itu akan “merupakan sebuah
perubahan dalam ajaran Gereja, yang tidak mungkin boleh dilakukan.” Dia
kemudian mengatakan bahwa usulan itu “keterlaluan” dan menunjukkan bahwa kritik
terhadap proposal Kasper adalah sekaligus merupakan kritik terhadap paus
Francis.
Marah atau tidak, outlet media dunia menyebarkan kabar bahwa
Francis berusaha melakukan perubahan dalam ajaran Gereja — atau setidaknya,
perubahan dramatis dalam disiplin — sementara pertemuan Oktober mendekat. Pada
saat para uskup berkumpul di Roma, proposal Kasper telah mendominasi diskusi
publik.
Perhatian yang tidak proporsional diarahkan kepada proposal
yang satu ini, terlepas dari manfaatnya, sekaligus mengungkapkan adanya ketidakseimbangan
yang serius yang terjadi dalam pendekatan Sinode. Pada saat ketika pernikahan
dan keluarga diserang sedemikian rupa yang belum pernah terjadi sebelumnya — maka
sebuah krisis sedang mengancam seluruh peradaban kita — para uskup di dunia
Katolik nampak terpaku pada kebaikan hukum Gereja. Lebih buruk lagi, dengan berkonsentrasi pada debat ini,
mereka menyia-nyiakan kesempatan untuk menyampaikan satu pesan yang sangat
perlu didengar oleh masyarakat kita.
Ketika para bapa sinode memulai acara diskusi mereka di Roma,
Mahkamah Agung A.S. mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengabulkan upaya banding
atas keputusan pengadilan yang lebih rendah yang telah membatalkan hukum
pernikahan negara bagian. Hasil dari keputusan itu adalah bahwa istilah
‘perkawinan’ memiliki makna hukum yang sama sekali baru pada tiga puluh negara
bagian, sementara dua puluh negara bagian lainnya (untuk saat ini) tetap berpegang
pada definisi tradisional. Jadi, saat ini masyarakat Amerika tidak lagi memiliki
pemahaman yang sama tentang apa pernikahan itu.
Orang Amerika tidak sendirian dalam kebingungan mereka. Di
seluruh dunia Barat, para politisi dan ahli hukum mengarahkan masyarakat untuk
menerima ‘perkawinan’ sesama jenis, sama seperti perkawinan pria-wanita – dimana
pada satu atau dua dekade yang lalu ‘perkawinan’ semacam itu secara universal
dianggap sebagai hal yang tidak wajar.
Setiap gagasan memiliki konsekuensinya sendiri, dan karenanya
tidak mengherankan bahwa ketika kita kehilangan pemahaman teoretis kita tentang
apa yang merupakan pernikahan sejati, maka kita juga kehilangan kemampuan
praktis kita untuk mempertahankan keutuhan pernikahan. Diterimanya perceraian
yang semakin meluas — yang kemudian dianggap sebagai kejadian yang biasa, bukan
sebagai pilihan terakhir dalam keadaan yang luar biasa — adalah tanda pertama dari
kegagalan itu. Tetapi masalahnya tumbuh secara dramatis dengan penerapan hukum
perceraian ‘yang tidak salah’, yang memungkinkan satu pihak untuk memutuskan
kontrak pernikahan. Seperti yang diamati oleh ilmuwan politik Stephen
Baskerville, "Saat ini sudah tidak mungkin untuk membentuk perjanjian yang
mengikat untuk menciptakan sebuah keluarga." Dengan membuat kontrak
pernikahan yang permanen dapat diakhiri sesuka hati, maka negara sebenarnya telah
mendefinisikan ulang makna pernikahan yang telah diterima sekitar lima puluh
tahun yang lalu.
Baskerville telah dengan tepat mengeluhkan bahwa
“gereja-gereja tidak pernah mengangkat suara mereka menentang perebutan
kekuasaan gereja oleh negara” dalam mendefinisikan kembali makna pernikahan
melalui undang-undang perceraian, dan sinode para uskup tidak melakukan apa pun
juga untuk mengubah hal itu ketika mereka bertemu pada sinode 2014 dan 2015.
Masalah tentang begitu mudahnya melakukan perceraian tidak pernah muncul dalam
sinode itu.
Pernikahan sejati membutuhkan komitmen yang sejati. Selama
generasi yang lalu, dunia Barat telah melihat peningkatan spektakuler dalam
jumlah pasangan yang lebih memilih untuk hidup bersama tanpa menikah: mereka bertingkah
seperti pasangan resmi, tetapi menolak untuk membuat komitmen pernikahan. Ini
adalah ‘pernikahan’ yang tidak stabil, dan dengan sengaja hal itu dilakukan demikian
karena salah satu pasangan dapat saja pergi kapan saja untuk membentuk hubungan
yang lain. Pada saat yang sama, tingkat kelahiran di luar nikah telah meroket.
Saat ini tingkat ilegalitas (anak haram) di antara semua bayi Amerika yang baru
lahir adalah lebih dari 40 persen.
Perceraian dan anak haram telah menghasilkan situasi dalam
masyarakat dan keluarga yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana sebagian
besar anak-anak, di Amerika Serikat dan di banyak negara Eropa, tidak tinggal di
dalam sebuah rumah tangga yang dikepalai oleh orang tua mereka yang sudah
menikah. Anak-anak ini akan menghadapi banyak kendala dalam hidup mereka kelak,
termasuk kurangnya contoh yang bisa membantu mereka membangun pernikahan mereka
sendiri yang stabil dan langgeng. Tidak ada resep yang lebih mujarab untuk
masyarakat yang disfungsional seperti ini, dimana populasi didominasi oleh
anak-anak dari keluarga yang hancur berantakan. Dan itulah yang sekarang kita
miliki.
Namun bagi beberapa pemikir revolusioner, hal itu masih tidak
cukup. ‘Ideologi gender’ - gagasan bahwa identitas seksual seseorang sepenuhnya
merupakan masalah pilihan pribadi, - dengan cepat mendapatkan pengaruh di
sekolah-sekolah. Ideologi aneh ini, yang sekarang memasuki sekolah-sekolah
dasar, merongrong pemahaman bahwa pria dan wanita, ayah dan ibu, dapat
dibedakan — sebuah gagasan yang dianggap penting bagi keluarga.
Menilai gawatnya krisis saat ini, Mgr. Cormac Burke menulis:
Meskipun tidak bersikap pesimis secara alami, saya harus
mengatakan bahwa kita tidak boleh berkedip melihat kenyataan yang ada, ketika kita
tidak pernah menghadapi kenyataan seperti ini di tahun 1950-an, dimana pernikahan
dan keluarga, di luar dan di dalam Gereja, telah terjerumus ke dalam krisis
yang terus bertumbuh — karena dari sifat dan keberadaan krisis ini, maka
struktur sosial kita sedang terancam oleh keruntuhan total.
Seorang hakim senior dari Rota Roma, pengadilan banding
tertinggi Gereja, Mgr. Burke, memiliki banyak pengalaman mengevaluasi
pernikahan yang hancur seperti yang lain-lainnya. “Jika saya harus meringkas
penyebab dari krisis ini dalam satu faktor,” tulisnya, “mungkin adalah ini:
pernikahan tidak lagi dipahami sebagai usaha keluarga. Hal ini pada dasarnya
menjadi urusan 'kamu-dan-aku' ”.
Pernikahan sejati memiliki tiga karakteristik penting:
pernikahan itu setia, berbuah, dan demi kehidupan. Analisis Burke mengarahkan
kita kepada karakteristik kedua. Jika pasangan masuk ke dalam ‘perkawinan’
hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka sendiri, mereka keluarga
itu kehilangan unsur penting: orientasi terhadap anak-anak. Jadi kita sampai
pada rahasia besar pengajaran Katolik tentang perkawinan: kebutuhan untuk bersikap
terbuka terhadap kehidupan baru (punya anak).
Dalam ledakan protes yang menyambut terbitnya Humanae Vitae, ensiklik Paus Paulus VI
1968 yang menegaskan kembali kecaman tradisional Gereja terhadap kontrasepsi
buatan, sebagian besar pemimpin Katolik berlarian mencari perlindungan, mengabaikan
pembelaan publik atas hubungan antara pernikahan dan anak-anak. Berbicara
kepada Wall Street Journal hanya
beberapa bulan sebelum Sinode diselenggarakan pada 2014, Kardinal New York,
Timothy Dolan, mengakui bahwa hierarki Gereja Katolik telah melewatkan
kesempatan penting dengan tidak bersedia menerima pesan Humanae Vitae: “Kami kehilangan kesempatan untuk menjadi suara
moral yang tegas ketika menghadapi salah satu masalah yang lebih menyengat saat
ini."
Saat ini masalahnya adalah: Apa yang dimaksud dengan
pernikahan? Jika pertanyaan itu dijawab dengan tidak benar, maka kehidupan
keluarga yang sehat menjadi pengecualian dan bukan menjadi aturan yang harus
dipatuhi. Tanpa keluarga yang sehat, peradaban kita akan hancur.
Satu-satunya lembaga yang dapat memimpin pemulihan pemahaman
yang tepat tentang pernikahan dan keluarga adalah Gereja. Tetapi sinode para uskup
2014 & 2015 memilih untuk fokus pada bagaimana mengakomodasi umat Katolik
yang bercerai dan menikah kembali daripada membahas mengapa ada begitu banyak
umat Katolik tidak lagi memahami tidakterceraikannya pernikahan atau bahkan
otoritas Sepuluh Perintah Allah.
Sama pentingnya dengan mempertahankan integritas keluarga, maka
Gereja Katolik melangkah lebih jauh dalam mengajarkan bahwa pernikahan
sakramental adalah cerminan dari kasih Allah bagi umat-Nya; Gereja adalah
Mempelai Wanita Kristus. Seperti Katekismus Gereja Katolik mengatakan,
“Sakramen perkawinan menandakan persatuan Kristus dan Gereja-Nya.” Oleh karena
itu, setiap saran, yang mengatakan bahwa ikatan perkawinan dapat diputuskan
atau bisa memudar, hal ini menyiratkan bahwa kasih Kristus kepada Gereja
mungkin juga bisa berhenti.
Transparansi Dalam
Teori, Manipulasi Fakta
Bahkan sebelum para peserta sinode tiba di Roma pada awal
Oktober 2014, semua orang sudah tahu bahwa persidangan akan berputar di sekitar
satu pertanyaan sentral: Apakah paus dan teolog favoritnya dapat mengatasi
perlawanan dari penjaga lama Vatikan dan mendorong perubahan dalam praktik
Gereja mengenai pernikahan dan perceraian? Masih harus dilihat apakah kontes
ini akan berlangsung di lapangan yang sama.
Dalam pidatonya kepada para uskup pada hari pertama diskusi
mereka, paus Francis tampak mengindikasikan hal itu. Dia mendesak para peserta Sinode
untuk berbicara dengan berani, “tanpa rasa sungkan, tanpa rasa takut.”
Sekretaris jenderal sinode, Kardinal Lorenzo Baldisseri, menggemakan pesan itu,
dan mengatakan bahwa “diskusi di dalam sinode harus terbuka.” Kenyataannya, secara
dramatis berbeda. Pertemuan sinode Oktober 2014 jauh kurang transparan dari
sesi-sesi sebelumnya.
Di masa lalu, para wartawan diizinkan untuk menghadiri sesi rapat-rapat
kerja. Pidato para uskup diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dan
dipublikasikan. Pembicaraan itu mungkin panjang dan kering; diskusi mungkin
terputus-putus. Tetapi siapa pun yang ingin tahu apa yang sedang terjadi di
dalam sinode dapat dengan mudah menemukan catatan lengkap dari persidangan.
Namun, untuk sesi ini, kantor pers Vatikan hanya memberikan
ringkasan singkat tentang proses persidangan hari itu. Argumen yang memakan
waktu beberapa jam diringkas menjadi beberapa paragraf. Beberapa kutipan
langsung dapat dimasukkan dalam ringkasan, tetapi nama pembicaranya tidak disebutkan.
Uskup mana yang menunjukkan poin mana? Pengamat hanya bisa menebak-nebak saja.
Ringkasan-ringkasan ini memastikan bahwa dunia luar tidak bisa
mengetahui apa pun tentang sinode yang tidak disaring melalui kantor pers
Vatikan. Jika para pejabat yang menyiapkan ringkasan tidak menemukan argumen
yang layak disebutkan, tidak ada yang bisa mengetahuinya. Alih-alih
diinstruksikan oleh para peserta sinode sendiri, para jurnalis pun diperintah
dan didikte oleh kantor pers Vatikan.
Sensor semacam itu hampir selalu menjadi bumerang. Selalu ada
kebocoran berita atau fakta. Selalu ada wartawan yang giat mencari informasi dari
orang dalam dan sumber-sumber yang siap memasoknya. Ketika semuanya ada dalam
catatan, wartawan yang jujur dapat memilah-milah argumen dan bantahan,
mencatat identitas peserta kunci dalam debat, dan mencapai kesimpulan logis
tentang tren diskusi. Namun, ketika informasi sangat berharga, maka orang dalam
dapat memajukan agenda khusus mereka dengan memainkan argumen mereka sendiri
dan melemparkan lawan-lawan mereka dengan cara yang tidak bisa dibilang sopan.
Para pejabat sinode mengatakan bahwa pembatasan itu
dimaksudkan untuk mendorong keterbukaan. Jika sesi-sesi bersifat tertutup,
mereka beralasan, supaya para uskup tidak akan merasa terhambat untuk berbicara
dengan jelas. Dengan tidak adanya wartawan di antara peserta rapat, mereka bisa
bersikap blak-blakan, karena yakin bahwa perselisihan mereka tidak akan menjadi
berita utama di hari berikutnya.
Tapi apa salahnya bagi dunia jika bisa melihat para uskup
Katolik sedang dalam perdebatan sengit? Mengapa tidak membiarkan saja perbedaan
pendapat itu diketahui semua orang — dan menjadi masalah publik?
Kardinal Gerhard Müller dari Kongregasi untuk Ajaran Iman
telah menganjurkan pendekatan yang lebih terbuka. "Semua orang Kristiani memiliki
hak untuk mendapat informasi tentang intervensi oleh para uskup mereka,"
katanya. Mereka yang mengikuti debat dalam sinode itu dapat belajar dari
perselisihan para uskup, mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang
masalah-masalah tersebut.
Terlepas dari kerahasiaan resmi, laporan-laporan yang sangat
beragam dari persidangan mulai muncul di media massa. Ketika para peserta sinode
bertanya-tanya: yang mana dari rekan-rekan mereka yang mungkin merupakan sumber
berita, atmosfer kepercayaan mulai memburuk. Robert Royal, seorang penulis dan
komentator Katolik Amerika yang telah meliput beberapa pertemuan sinode
sebelumnya, melaporkan bahwa suasana di Roma luar biasa tegang,
komentar-komentar yang terdengar di kafe-kafe sering kali sangat pahit,
kadang-kadang sangat tidak menyenangkan.
Ketegangan dan bahkan kepahitan semakin diperparah,
setidaknya di kalangan yang lebih bersikap konservatif, oleh penerapan standar ganda
yang mencolok dalam seruan untuk melakukan diskusi terbuka dan tidak terkekang.
Kardinal Burke, sebagai contoh dalam berbicara tegas "tanpa rasa sungkan,
tanpa rasa takut," adalah objek atau sasaran desas-desus - yang terbukti
akurat - bahwa paus Francis memberikan sinyal ketidaksukaannya kepada
Kard.Burke dengan memindahkannya dari jabatannya yang berpengaruh, sebagai
kepala Apostolik Signatura, dan mengirimnya ke posisi yang kurang penting. Sementara
itu Kardinal Kasper ada di mana-mana di media, mempromosikan argumennya bahwa
Gereja harus mengizinkan umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi untuk
menerima Komuni. Sumber-sumber yang dapat dipercaya mengungkapkan bahwa
Kardinal Müller, yang tugasnya adalah melindungi doktrin Katolik, telah
diberitahu bahwa dia tidak boleh mempromosikan buku yang isinya mengkritik
proposal Kasper.
Misteri Dokumen-Dokumen
Dipotong Isinya
Kard.Müller adalah salah satu dari lima kardinal yang
menyumbang beberapa bab pada buku Remaining in the Truth of Christ,
di mana sejumlah sarjana berpendapat bahwa proposal Kasper tidak sesuai dengan
pengajaran dan praktik pastoral Gereja. Pastor Robert Dodaro, seorang sarjana
patristik Amerika di Roma, yang sangat akrab dengan Kardinal Burke dalam
mengumpulkan bahan-bahan bagi buku itu, yang diterbitkan oleh Ignatius Press di
San Francisco, yang dipimpin oleh imam Yesuit Joseph Fessio.
Berharap untuk menjelaskan diskusi sinode pada bulan Oktober,
Pastor Fessio berusaha untuk memberikan salinan buku itu ke tangan para peserta
sinode. Banyak dari mereka yang menginap di St. Martha di Vatikan, sedangkan
yang lain telah mencari akomodasi mereka sendiri, dan mereka yang merupakan penduduk
Roma akan pergi ke pertemuan-pertemuan dengan berangkat dari apartemen mereka
sendiri. Kantor pusat sinode memiliki alamat lokal untuk semua peserta tetapi
menolak untuk merilis daftar itu kepada wartawan.
Dengan alamat-alamat yang dapat ditemukannya sendiri, Ignatius Press mengirimkan salinan buku Remaining
in the Truth of Christ kepada sebanyak mungkin peserta sinode.
Beberapa salinan diserahkan secara langsung kepada para uskup yang tinggal di
kediaman St. Martha, sementara yang lain dikirimkan ke apartemen di Roma atau
ke seminari-seminari dan tempat tinggal lainnya di mana para pesertanya
diketahui menginap. Tetapi masih ada sejumlah uskup yang alamatnya sementara,
tidak dapat ditemukan oleh penerbit.
Tim Pastor Fessio akhirnya memutuskan untuk mengirim buku itu
ke setiap uskup yang berpartisipasi dalam pengelolaan kantor pusat sinode. Buku
itu diserahkan di kantor pos Italia di Roma, paket-paket dikirimkan (tetapi tidak
cukup cepat, seperti yang biasanya dilakukan oleh pihak pos Italia) ke kantor
pos Vatikan sendiri. Beberapa amplop besar masuk ke kotak surat sementara yang
telah disiapkan untuk para peserta sinode. Tetapi kemudian, secara misterius, surat-surat
itu menghilang.
Dalam bukunya The Rigging of a Vatican Synod,
Edward Pentin melakukan upaya terbaik untuk memberikan penjelasan tentang ‘larinya’
buku-buku itu dari kotak pos Vatikan. Rincian yang muncul terbukti sulit untuk dipahami,
tetapi dua fakta muncul. Pertama, ketika banjir buku tiba, kantor pos Vatikan
mengirimkan banyak — mungkin semuanya — dari buku-buku dan surat-surat mereka
tanpa membubuhkan cap pos yang resmi. Kedua, sekretaris jenderal kantor pusat sinode,
Kardinal Baldisseri, telah mengetahui isi dari amplop-amplop itu dan dilaporkan
dia sangat marah. Paket-paket itu tampaknya telah dikembalikan ke kantor pos
Vatikan untuk dicap dengan benar, dan beberapa dari amplop itu mungkin telah
menemukan jalan mereka kembali ke kotak-kotak surat Vatikan bagi para uskup
lebih dari seminggu kemudian, ketika diskusi sinode sudah selesai. Namun,
banyak uskup melaporkan bahwa mereka tidak pernah menerima salinannya. Orang-orang
yang menaruh curiga, berteori bahwa jika buku-buku itu akhirnya dikirimkan, maka
buku-buku itu kemudian secara sengaja dikeluarkan dari kotak surat para uskup.
Pastor Federico Lombardi menolak cara-cara konspirasi semacam
itu. Buku-buku itu telah dikirimkan, katanya kepada wartawan; memang beberapa
uskup melaporkan telah menerima lebih dari satu salinan. (Hal itu tidak
diragukan lagi, adalah benar. Dalam semangat mereka untuk memastikan bahwa
buku-buku itu mencapai para peserta sinode, tim penerbit telah menggunakan semua
alamat yang tersedia dan dalam beberapa kasus memiliki lebih dari satu alamat
untuk seorang uskup tertentu.) Kardinal Baldisseri, sambil mengeluh bahwa
distribusi buku itu adalah upaya untuk mempengaruhi diskusi sinode, membantah
bahwa kantornya telah melakukan upaya jahat untuk menghalangi buku-buku agar
tidak sampai kepada alamat yang dituju. Yang pasti, buku Remaining
in the Truth of Christ diterbitkan dengan tujuan untuk mengaktivkan
perdebatan. Tetapi redaktur dan penerbit buku itu berharap untuk mempengaruhi
debat dengan menghadirkan argumen-argumen persuasif, bukan membatasi arus
informasi kepada para peserta sinode.
Keluhan bahwa penyelenggara sinode terlibat dalam upaya
mereka sendiri untuk mempengaruhi hasil sinode, menjadi lebih sering muncul seiring
hari-hari persidangan berlalu. Dalam satu diskusi yang sangat kontroversial,
Kardinal George Pell yang dilaporkan telah menggebrakkan tangannya ke atas meja
dan berseru, "Anda harus berhenti memanipulasi sinode ini!"
Laporan Sementara Sinode
Memicu Reaksi Marah
Kontroversi di dalam sinode semakin meningkat pada tanggal 13
Oktober 2014 dengan dirilisnya laporan sementara - relatio post disceptationem - yang seharusnya meringkas hasil diskusi
pada minggu pertama sinode, dan berfungsi sebagai dasar untuk musyawarah pada minggu
kedua. Namun, banyak peserta yang menganggap bahwa laporan sementara itu salah
mengartikan pandangan dan pendapat mereka. Keesokan harinya, kantor pers
Vatikan mengumumkan dengan nada membela diri, dan mengatakan bahwa "suatu
nilai tertentu telah dikait-kaitkan dengan dokumen, dimana keduanya tidak ada
hubungannya sama sekali," dan menekankan bahwa itu hanyalah sebagai
"dokumen kerja."
Pada konferensi pers yang mendahului dirilisnya laporan
sementara (relatio), para wartawan
secara terbuka memperlihatkan sikap skeptis mereka tentang beberapa bagian dari
dokumen yang lebih kontroversial. Ketika ditanya tentang pernyataan bahwa kaum
homoseksual "memiliki karunia dan kualitas yang layak dibagikan kepada komunitas
Kristiani," Uskup Agung Bruno Forte, yang merancang bagian kalimat itu,
memberikan jawaban yang terkesan "bermain-main dengan bermacam-macam ulasan,
baik di dalam maupun di luar aula Sinode," demikian lapor wartawan John
Allen dari media Crux.
Kardinal Burke menuduh bahwa laporan sementara (relatio) itu “telah memajukan agenda-agenda
yang tidak bisa diterima oleh banyak peserta sinode dan, dan saya bisa
mengatakan bahwa para gembala yang setia, tidak akan dapat menerimanya,” dan
Kardinal Pell menggambarkan relatio
itu sebagai laporan yang “tendensius dan memihak”. Di antara para uskup dengan
siapa Pell telah membahas relatio itu, katanya, tiga perempat dari mereka sepenuhnya
tidak merasa puas dengan isinya.
Ketika kardinal Wilfrid Napier, dari Afrika Selatan, ditanya
apakah para uskup menyetujui relatio
itu, dia mengatakan bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk melakukannya.
Dokumen itu telah dirilis kepada pers sebelum diserahkan kepada para peserta sinode.
Ini adalah poin taktis yang penting, karena kesan pertama akan berlangsung lama.
Para reporter yang meliput sinode, yang merasa cemas menunggu berita-berita
solid tentang jalannya musyawarah, akan menelan saja dokumen pertama ini dan
menyiarkannya ke seluruh dunia. Setiap pernyataan berikutnya dari sinode akan dibaca
berdasarkan laporan sementara ini. Jadi, pihak staf sinode telah berhasil
menetapkan syarat-syarat mereka bagi perdebatan publik, termasuk diskusi para
uskup.
Kardinal Péter Erdő dari Hungaria, yang bertindak sebagai
kepala dalam pembuatan laporan sementara sinode, bertanggung jawab (di atas
kertas) untuk persiapan pembuatan relatio,
tetapi ternyata dia tidak menyembunyikan fakta bahwa sebagian besar dokumen relatio
itu telah disiapkan sebelumnya tanpa keterlibatan dirinya. Paus Francis
sendiri, yang sering berbicara tentang pentingnya pemerintahan sinode di dalam Gereja,
adalah sebagai salah satu pelaku dalam subversi prosedur persidangan dalam
sinode ini, setelah dia menunjuk para pejabat yang bertugas dan menjalankan
kantor sinode dan dia telah menyetujui keputusan mereka untuk mengeluarkan
laporan sementara (relatio) kepada pers sebelum hal itu disajikan kepada para peserta
sinode.
Uskup Agung Stanisław Gadecki, presiden konferensi para uskup
Polandia, mengatakan kepada Radio Vatikan bahwa relatio itu gagal memberikan
dukungan yang kuat bagi "keluarga yang baik, normal, biasa" yang
berusaha untuk memenuhi idealisme pernikahan Kristiani. “Bukannya apa yang disebutkan
dalam dokumen itu, tetapi apa yang tidak disebutkan, yang justru diperhatikan,”
demikian keluh uskup agung itu. "Dokumen ini berfokus pada berbagai macam pengecualian,
tetapi apa yang sebenarnya dibutuhkan adalah pernyataan tentang kebenaran."
Banyak uskup yang mengamati bahwa dirilisnya relatio sejak dini, telah memicu liputan
besar di media massa, banyak di antaranya tidak akurat, menyampaikan kesan
bahwa Gereja akan mengubah ajarannya. BBC, misalnya, mengumumkan bahwa Francis
“mencetak kemenangan pertama dengan tenang,” dan meyakinkan bahwa “banyak
pemimpin Gereja Katolik melunakkan bahasa mereka yang sebelumnya sangat kritis
tentang ‘perkawinan’ gay.”
Sebuah Sikap "Yang
Pada Hakekatnya Tidak Dapat Dirubah"
"Kami sekarang bekerja dari posisi yang hampir tidak
dapat dirubah," kata Kardinal Napier, merujuk pada liputan media.
“Pesannya adalah bahwa inilah yang dikehendaki oleh sinode para uskup, dan bahwa
inilah yang dikatakan oleh Gereja Katolik,” katanya. "Apa pun yang kita
katakan selanjutnya akan tampak atau terkesan seperti kita melakukan
pengendalian yang merusak."
Di antara banyak keberatan mereka terhadap relatio, para kritikus sering mengutip
kegagalan dokumen itu untuk memasukkan pemikiran St. John Paul II, dimana "teologi
tubuh" adalah salah satu perkembangan magisterial yang paling penting sejak
Konsili Vatikan II. Dan nampaknya seolah-olah sudah tepat jika suatu pernyataan
baru dalam sinode itu yang berkata ‘membangun di atas fondasi (teologi tubuh) itu.’
Sebaliknya, dokumen itu sebagian besar justru mengabaikan karya dan upaya St. John Paul II.
Proposal Kasper, khususnya, secara langsung bertentangan
dengan pengajaran St.Yohanes Paulus II. Dalam bagian 84 dari nasihat
apostoliknya, tentang perkawinan dan kehidupan keluarga, Familiaris Consortio, yang dikeluarkan pada tahun 1981, St.Yohanes
Paulus II telah menulis bahwa Gereja menegaskan kembali praktiknya, yang
didasarkan pada Kitab Suci, bahwa Gereja tidak mengijinkan pemberian Komuni Kudus
kepada orang yang bercerai yang telah menikah kembali. Mereka tidak dapat
mengakui hal itu dari kenyataan bahwa keadaan dan kondisi kehidupan pasangan
yang bermasalah itu secara objektif bertentangan dengan persatuan kasih antara
Kristus dan Gereja yang ditandai dan dipengaruhi oleh Ekaristi. Selain itu, ada
alasan pastoral khusus lainnya: jika pasangan seperti itu diijinkan untuk
menerima Ekaristi Kudus, maka umat beriman akan dituntun ke dalam kesesatan dan
kebingungan sehubungan dengan ajaran Gereja tentang tidakterceraikannya perkawinan.
Rekonsiliasi dalam sakramen Tobat, yang akan membuka jalan
bagi penerimaan Ekaristi, hanya dapat diberikan kepada mereka yang sungguh bertobat
karena telah melanggar tanda Perjanjian dan kesetiaan kepada Kristus, dan dengan
tulus mereka siap untuk menjalani cara hidup yang tidak lagi bertentangan
dengan ajaran Gereja tentang tidakterceraikannya perkawinan.
Dengan waktu satu minggu yang tersisa dalam sesi rapat sinode,
para kritikus relatio (laporan
sementara sinode) mengorganisir kampanye yang kuat untuk memastikan bahwa
dokumen akhir sinode akan sangat berbeda dari laporan sementara itu. Setelah sebuah
pekan pembukaan, di mana setiap uskup memiliki kesempatan untuk berbicara
kepada seluruh majelis, para peserta dibagi menjadi sepuluh kelompok kerja,
yang diorganisasikan berdasarkan bahasa. Kardinal Baldisseri awalnya
mengumumkan bahwa laporan-laporan kelompok kerja tidak akan dipublikasikan.
Menurut Marco Tosatti dari media La
Stampa, pengumuman itu memancing protes keras oleh Kardinal Erdő. Namun ketika
para wali gereja lainnya bergabung dengannya, maka keputusan itu dibalik.
Kelompok-kelompok kerja tersebut menyatakan keterkejutan
mereka ketika laporan awal telah dipublikasikan, dan kebanyakan dari mereka mencatat
adanya masalah yang serius tentang isinya. Berbicara untuk salah satu kelompok
berbahasa Perancis, Kardinal Robert Sarah mengatakan bahwa dia merasa
berkewajiban untuk menyuarakan adanya “emosi dan kebingungan yang dipicu oleh
penerbitan dokumen yang kami anggap sebagai dokumen kerja yang sederhana
(meskipun cukup berguna), dan karenanya, dokumen itu bersifat sementara."
Kardinal George Pell mengatakan kepada jurnal Katolik Inggris
The Tablet bahwa sekitar tiga
perempat dari para peserta sinode telah mengkritik isi dari relatio, yang dia sendiri gambarkan
sebagai "tendensius dan tidak lengkap." Seperti juga banyak uskup lainnya,
dia menemukan bahwa relatio itu "…aneh,
karena sangat sedikit dalam dokumen itu yang berbicara tentang ajaran Kitab
Suci serta ajaran magisterium tentang pernikahan, seksualitas, keluarga."
Kardinal Müller mengatakan dokumen itu "sepenuhnya salah" dalam
penggambarannya tentang diskusi para peserta sinode, dan dia mengatakan bahwa
dokumen itu "sangat memalukan" karena dokumen itu telah menghilangkan
pandangan dari beberapa peserta sinode sambil mempromosikan pandangan
peserta-peserta yang lain.
Secara khusus, kelompok-kelompok kerja dalam sinode mengeluh
bahwa relatio telah gagal untuk
mengekspresikan visi positif tentang pemahaman Kristiani soal pernikahan dan
kehidupan keluarga dan mereka menyerukan penegasan yang lebih kuat dari ajaran
Gereja tentang pernikahan dan seksualitas. Mereka mengamati bahwa relatio berfokus pada situasi
problematis, seperti pasangan kumpul kebo, ‘perkawinan’ sesama jenis, dan perceraian.
Tanpa mengabaikan masalah-masalah itu, mereka menyarankan agar pernyataan akhir
sinode hendaknya “mengandung pesan yang kuat tentang dorongan dan dukungan bagi
Gereja dan bagi pasangan menikah yang setia.”
Kelompok-kelompok memuji upaya dalam relatio untuk menggambarkan Gereja sebagai tempat yang menyambut
semua orang, apapun dari kesulitan mereka. Tetapi para peserta sinode, demikian
kantor pers Vatikan melaporkan, merasa takut jika dokumen itu “dapat memberi
kesan kesediaan pihak Gereja untuk melegitimasi situasi keluarga yang tidak wajar,”
dan sebagian besar kelompok kerja sinode mempertanyakan kebijaksanaan
“gradualisme atau secara bertahap” sebagai bentuk pendekatan pastoral kepada orang-orang
yang ‘perkawinannya’ tidak wajar. Sebuah kelompok berbahasa Italia, yang
dipimpin oleh Kardinal Angelo Bagnasco, uskup agung Genoa, bersikap lebih
kritis lagi dengan mengatakan bahwa laporan pendahuluan itu "tampaknya
takut untuk mengungkapkan adanya pendapat tentang beberapa masalah yang
sekarang merupakan ekspresi budaya yang dominan."
Laporan-laporan kelompok kerja sinode tidak mengungkapkan
konsensus yang mendukung diijinkannya umat Katolik yang bercerai dan menikah
kembali untuk menerima Komuni. Namun, sebagian besar kelompok memang menemukan
kesepakatan umum bahwa jika memungkinkan, prosedur untuk memperoleh anulasi
perkawinan musti disederhanakan.
Sejauh yang bisa diketahui orang luar, sepuluh hari pertama
pertemuan sinode berbicara soal perceraian dan pernikahan kembali. Jauh lebih
sedikit pembicaraan tentang keluarga sehat, dan lebih sedikit lagi tentang
perlunya mempromosikan ajaran Gereja Katolik tentang kesucian dan tidakterceraikannya
pernikahan. Agar adil, relatio post disceptationem memang mencurahkan perhatian
pada tantangan penginjilan bagi mereka yang hidupnya bertentangan dengan visi Kristiani
tentang pernikahan dan kehidupan keluarga — untuk secara perlahan menarik
mereka, membantu mereka memahami kebenaran. Tapi dokumen sementara itu masih berfokus
pada masalah, bukannya solusi.
Yang sama pentingnya untuk diamati, relatio itu memberi kesan
kepada masyarakat umum bahwa Gereja Katolik sedang bersiap-siap untuk menerima keadaan
kehidupan (perkawinan) yang tidak wajar, yang sampai sekarang masih dianggap
sebagai dosa. Ketika pesan itu menyebar, akan semakin sulit untuk mengajarkan kebenaran
tentang seksualitas manusia. Karena itu, kata pertama yang tepat bagi sari sinode
ini adalah: kemunduran dalam evangelisasi.
Pengaruh Besar Dari Gereja Jerman Yang Sedang Menurun
Moralnya
Dua orang paus sebelumnya, Yohanes Paulus II dan Benediktus
XVI, sering berbicara tentang "evangelisasi baru" – suatu upaya untuk
menghidupkan kembali Iman di dalam masyarakat-masyarakat di mana kekristenan pernah
dominan di tempat itu, tetapi kini telah memudar. Sebagian besar, hal itu
berarti Eropa dan Amerika Utara, di mana Gereja disana telah mengalami
penurunan tajam dalam kehadiran umat di dalam Misa, dalam panggilan imamat dan
kehidupan keagamaan, dalam pernikahan gereja, dan dalam hal baptisan.
Tetapi jika Anda mau mengidentifikasi satu negara di Barat,
di mana penurunan Gereja Katolik paling jelas, Anda mungkin akan menunjuk kepada
Jerman, di mana eksodus besar-besaran telah menjadi bukti dari tidurnya Gereja Jerman
dalam pewartaan Injil. Setiap tahun lebih dari seratus ribu orang Jerman secara
resmi membatalkan pendaftaran mereka di Gereja Katolik — hal ini untuk
mengatakan bahwa tidak ada orang yang menghadiri Misa Kudus. Lebih dari tiga
ribu paroki telah ditutup dalam dekade terakhir, sementara jumlah pembaptisan
tahunan telah turun sekitar seratus ribu.
Mengapa, kemudian, bahwa agenda dari sesi luar biasa dari sinode
para Uskup — temanya adalah tentang keluarga dalam konteks evangelisasi
—didominasi oleh orang Jerman? Kardinal Kasper telah memperkenalkan proposalnya
untuk memungkinkan umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi, untuk menerima
Komuni. Kardinal Marx, presiden konferensi para uskup Jerman, telah bersaksi
bahwa proposal Kasper itu mendapat dukungan penuh dari para uskup Jerman
lainnya. Komentator Katolik Amerika, Amy Welborn, mengajukan pertanyaan yang
tepat:
Ya, pertama-tama Anda (Kardinal Marx) harus bertanya mengapa seorang
kepala sebuah gereja nasional yang sedang sekarat (Jerman) harus memiliki
mikrofon yang terus dihidupkan bagi masalah ini. Mengapa kita mendengarkannya?
Bukankah kita seharusnya mendengarkan Gereja di tempat-tempat di mana gereja
itu sungguh hidup dan berkembang?
Di manakah Gereja bertumbuh? Paling mencolok di Afrika. Orang
bahkan dapat mengatakan bahwa pada awal abad ke-21, Afrika sendiri adalah
“konteks penginjilan.” Jadi, sebuah sinode yang didedikasikan bagi masalah keluarga,
mungkin akan lebih bermanfaat jika membahas kesulitan-kesulitan yang dihadapi
keluarga-keluarga Kristiani di Afrika. Dan ada banyak hal yang bisa dibahas:
pengaruh yang kuat dari adat istiadat berhala, poligami, pernikahan paksa dan bisa
diceraikan, kemiskinan, kurangnya akses kepada perawatan kesehatan dan
pendidikan, perang saudara, bantuan asing yang sering terkait dengan ideologi
anti-keluarga, dan, terakhir tapi tidak kalah pentingnya, ekstremisme kelompok
agama tertentu dan penganiayaan agama. Ini adalah masalah nyata, menyentuh
kehidupan jutaan orang. Tetapi semua masalah itu hampir tidak disebutkan dalam
diskusi publik tentang agenda sinode. Justru dunia Barat berkonsentrasi pada
masalah favoritnya sendiri: ketidaknyamanan orang-orang Katolik yang relatif
sedikit jumlahnya, orang yang bercerai dan menikah lagi, dan sekarang mereka ingin
menerima Komuni. Pada saat ketika ada ratusan ribu orang tua berjuang untuk
menyelamatkan anak-anak mereka dari kelaparan atau untuk menemukan rumah baru
di mana mereka akan aman dari kekerasan, bagaimana bisa orang membenarkan
menempatkan proposal Kasper di bagian atas agenda? Dan pertanyaan yang lebih
sulit lagi adalah bagaimana menyelesaikan situasi orang-orang Katolik yang
bercerai dan menikah kembali ini, bisa mendorong ledakan baru dari evangelisasi?
Ironisnya, Gereja Afrika memang menjadi fokus perhatian
publik selama minggu kedua pertemuan sinode, tetapi bukan karena para uskup sinode
membahas masalah keluarga-keluarga Afrika. Kardinal Kasper kedapatan meremehkan
para uskup Afrika, yang menolak usulnya. "Mereka seharusnya tidak memberi
tahu kami terlalu banyak tentang apa yang harus kami lakukan," keluhnya
kepada sekelompok wartawan. Dia menambahkan bahwa orang-orang Afrika juga
memblokir diskusi tentang bagaimana Gereja dapat meraih pasangan sesama jenis.
Homoseksualitas bahkan tidak disebutkan dalam masyarakat Afrika, menurut
pengamatan orang Jerman ‘yang tercerahkan’ itu. "Itu adalah tabu."
Pada awalnya Kasper membantah telah membuat pernyataan yang
meremehkan ini, yang nadanya menggurui dan mengisyaratkan nada rasial. Kemudian
wartawan Inggris yang telah mengungkapkan komentar-komentarnya, Edward Pentin,
merilis rekaman wawancaranya dengan kardinal Kasper. Kasper menjawab bahwa
wawancara itu tidak sah, tetapi dalam rekaman itu Pentin dengan jelas memperkenalkan
dirinya sebagai seorang reporter, dia sebelum mengajukan pertanyaan. Akhirnya
Kasper mengeluh bahwa seharusnya dia berbicara di luar rekaman (off the record).
Garis pertahanan terakhir dari Kasper itu segera hancur juga, karena terbukti
bahwa dia berkata seperti itu. Dia telah berbicara dengan tiga orang wartawan
lainnya, dan dia tidak pernah mengatakan bahwa pernyataannya tidak usah direkam.
Kasper bukanlah orang baru dalam permainan ini; karena dia telah sering berurusan
dengan media, dengan cukup terampil, selama bertahun-tahun. Dia tentu tahu
bahwa komentar-komentar yang dibuatnya kepada para wartawan telah masuk kedalam
rekaman, kecuali dia memerintahkan yang sebaliknya.
Jadi, mengapa kardinal Kasper membuat komentar-komentar yang
sangat tidak sopan seperti itu? Dan mengapa dia membayangkan bahwa omongannya tidak
akan terungkap? Tampaknya dia telah berkenalan dengan dua wartawan lainnya,
tetapi tidak dengan Pentin. Rupanya dia yakin (dan ternyata benar) bahwa dua
wartawan yang dia kenal itu menerima pandangannya dan tidak mempublikasikan
komentarnya yang meremehkan para uskup Afrika. Dengan kata lain, Kasper mengira
bahwa dirinya sedang berbicara dengan wartawan sekutunya, bukan dengan pengamat
yang netral.
Politisi yang mahir akan tahu bagaimana cara berhubungan
dengan media, menawarkan wartawan wawancara eksklusif di sini, sedikit
informasi tentang orang dalam di sana, pengarahan tentang latar belakang
sekarang dan nanti. Tetapi Kasper telah melakukan upayanya selama
berbulan-bulan, untuk mencari dukungan atas inisiatifnya. Dia telah berusaha
memperlakukan orang pers dengan baik; dan bukan kebetulan bahwa liputan media tentang
proposalnya sangat menguntungkan. Tetapi sekarang dia adalah korban dari
kesuksesannya sendiri. Dia sangat malu karena dia membuat asumsi bahwa wartawan
Edward Pentin, seperti banyak reporter lainnya, bermain untuk timnya.
Akhirnya, bahkan jika kardinal Kasper mengatakan bahwa dia
berbicara di luar rekaman (off the record – tetapi sebenarnya hal ini tidak dia
perintahkan kepada Pentin), dan bahkan jika Pentin bertindak tidak etis ketika
dia merekam percakapan Kasper, tetapi faktanya adalah tetap: bahwa Kasper
memang membuat komentar-komentar yang meremehkan tentang keprihatinan beberapa
rekan uskup. Tidak diragukan lagi bahwa Kasper memandang sinode ini sebagai
kesempatan untuk mengatasi masalah-masalah Dunia Pertama (Barat dan Eropa) dan
melihat para uskup Afrika sebagai penghalang.
Tawaran Awal Bagi Penerimaan
Homoseksualitas
Dalam komentar yang tidak terkontrol itu, Kardinal Kasper
mengemukakan soal homoseksualitas, dan menyatakan ketidakpuasannya bahwa sinode
tidak meluangkan lebih banyak waktu untuk topik itu. Sebenarnya, sangat sedikit
yang dikatakan tentang homoseksualitas selama musyawarah para uskup. Pastor
Lombardi mengatakan kepada wartawan bahwa dari 250 atau lebih pembicaraan
selama sesi pleno, hanya satu pidato yang berfokus pada homoseksualitas.
Namun demikian, tidak kurang dari empat paragraf tentang pendampingan
pastoral untuk homoseksual muncul dalam laporan sementara sinode. Kantor berita
Associated
Press melaporkan bahwa paragraf-paragraf ini telah dirancang oleh Uskup
Agung Bruno Forte, sekretaris komite yang ditunjuk oleh Paus untuk menyusun
relatio, dan pada saat konferensi pers yang memperkenalkan relatio itu,
Kardinal Erdő tampaknya mengkonfirmasi kewenangan Forte atas isi paragraf-paragraf
itu dengan merujuk semua pertanyaan tentang homoseksualitas kepadanya.
Forte dengan jelas memperkenalkan pemikirannya sendiri ke
dalam sebuah laporan yang dimaksudkan untuk merangkum ide-ide yang diungkapkan
oleh para peserta sinode. Ketika relatio itu dibacakan dengan lantang, Forte
dan seorang Jesuit Italia, Antonio Spadaro, saling mengacungkan jempol tangan
tanda setuju. Robert Royal mengamati, “Ini sepertinya menunjukkan bahwa mereka
bahkan tidak yakin. . . bahwa kalimat-kalimat itu akan bertahan sampai masuk ke
dalam dokumen sementara (relatio)."
Beberapa orang dalam, kemudian, dapat menyelipkan ide-ide
pribadi mereka ke dalam sebuah dokumen yang dimaksudkan untuk merangkum
pemikiran para peserta sinode. Referensi serampangan untuk homoseksualitas
adalah satu lagi bukti bahwa para penyelenggara sinode itu melakukan yang terbaik untuk mengendalikan
pertemuan serta pesan yang dihasilkannya.
Kardinal Sarah, prefek Kongregasi untuk Ibadat Ilahi,
membocorkan komentarnya yang mengecam manipulasi pesan sinode ini. Dalam
briefing kepada wartawan, dia mengatakan bahwa “…apa yang telah dipublikasikan
oleh media tentang ‘perkawinan’ homoseksual adalah upaya untuk mendorong Gereja
untuk mengubah doktrinnya.” Laporan semacam itu tidak akurat, dia mengatakan:
“Gereja tidak pernah menghakimi orang homoseks. tetapi perilaku homoseksual dan
‘perkawinan’ homoseksual adalah penyimpangan besar dari seksualitas yang sejati."
Kardinal Sarah juga meminta perhatian pada pernyataan kuat
dalam laporan sementara sinode bahwa Gereja Katolik tidak dapat menerima “teori
gender.” Sebagai penduduk asli Guinea, Sarah menceritakan bahwa beberapa uskup
Afrika mengecam praktik dunia Barat yang sudah jamak dilakukan untuk mengaitkan
bantuan asing kepada negara berkembang dengan syarat negara-negara itu mau
menerima teori gender dan berbagai ideologi lain yang bersifat anti-keluarga.
Masalah ini, kata Sarah, perlu mendapat perhatian lebih luas.
Kardinal Pell juga ingin menghilangkan kesan bahwa sinode akan
mendukung perubahan radikal dalam pengajaran Gereja tentang pernikahan. “Kami
tidak menyerah pada agenda sekuler; kami tidak akan ambruk," tegasnya.
"Kami tidak punya niat untuk mengikuti unsur-unsur radikal di semua
gereja-gereja Kristiani, menuruti gereja-gereja Katolik di satu atau dua negara,
dan berlari keluar dari masalah ini." Kardinal dari Australia itu menambahkan
sebuah pengamatan tajam tentang motif mereka yang mendorong perubahan dalam
ajaran Gereja:
Pemberian Komuni kepada orang yang bercerai dan menikah
kembali, bagi beberapa peserta sinode — sangat sedikit, tentu saja bukan
mayoritas peserta sinode — itu hanyalah puncak gunung es, itu adalah kuda
penguntit. Karena mereka menginginkan perubahan yang lebih luas, pengakuan pernikahan
sipil, pengakuan ‘pernikahan’ homoseksual.
Sebuah Dokumen
Final Yang Tidak Mengena
Setelah badai relatio dan keluhan-keluhan yang panas tentang
manipulasi pesan sinode, pertemuan Oktober 2014 bergerak ke arah kesimpulan
yang relatif tenang, para uskup menyetujui pesan akhir yang menyatakan
penghargaan kepada keluarga dan menyoroti perjuangan yang mereka hadapi.
Kehidupan keluarga, pesan tersebut menyatakan, adalah “perjalanan melalui pegunungan
dengan kesulitan dan kejatuhan. Tuhan selalu ada untuk menemani kita.” Tidak
seperti relatio yang kontroversial itu, laporan akhir sinode mencakup banyak
referensi kepada Kitab Suci dan dokumen-dokumen Magisterium.
Para peserta sinode memiliki kesempatan untuk memberikan
suara pada masing-masing dari enam puluh dua paragraf laporan, dan kantor pers sinode
menerbitkan penghitungan suara untuk setiap paragraf. Misalnya, paragraf 56,
yang menyatakan bahwa "sama sekali tidak dapat diterima" bahwa
bantuan untuk negara-negara miskin bergantung pada legalisasi pernikahan sesama
jenis, yang disahkan dengan selisih suara mencolok : 159-21.
Setiap paragraf dalam laporan akhir menerima suara mayoritas,
tetapi tiga paragraf gagal untuk menerima supermajoritas dua pertiga yang
diperlukan. Paragraf 52 dan 53 yang menyatakan bahwa para peserta sinode tidak
setuju untuk mengijinkan orang-orang yang menikah kembali menerima Komuni, dan
bahwa masalah ini memerlukan studi lebih lanjut. Paragraf 55 menyatakan bahwa
beberapa keluarga memiliki orang-orang dengan orientasi homoseksual, bahwa
mereka harus diterima dengan rasa hormat dan sensitivitas, dan bahwa ‘perkawinan’
sesama jenis adalah jauh tidak mirip dengan pernikahan sejati.
Kardinal Burke menyebut dokumen terakhir itu sebagai sebuah "perbaikan
yang signifikan" atas laporan sementara. “Saya bisa mengatakan bahwa itu
memberikan ringkasan diskusi yang akurat, meski tidak lengkap, atas apa yang
terjadi di Aula Sinode dan dalam kelompok-kelompok kecil,” katanya kepada Catholic World Report. “Ini merupakan
pukulan bagi mereka yang menulis materi yang tidak mencerminkan ajaran Gereja
mengenai kondisi homoseksual dan tindakan homoseksual, yang menyiratkan bahwa
Gereja sekarang ingin melonggarkan pengajarannya yang abadi, dan yang mencoba
memperkenalkan materi tentang apa yang disebut 'perkawinan sesama jenis' ke
dalam diskusi pernikahan Kristiani."
Dalam pidato penutupnya kepada sinode, paus membandingkan
pertemuan dua minggu ini dengan sebuah perjalanan yang sulit. Karena hal itu
adalah sebuah "perjalanan umat manusia, dengan menerima penghiburan, dan ada
juga saat-saat kesedihan, ketegangan dan godaan, di mana beberapa kemungkinan
dapat disebutkan."
Dengan menyebutkan "beberapa kemungkinan" itu, Paus
dengan hati-hati seakan mau menyeimbangkan pernyataannya: memperingatkan ‘kaum
tradisionalis’ terhadap ‘godaan untuk bersikap tidak fleksibel yang bermusuhan’
dan memperingatkan ‘kaum progresif dan liberal’ atas godaan terhadap ‘sebuah
rasa belas kasih yang menipu yang hanya membalut luka tanpa terlebih dahulu
menyembuhkannya.’ Dia memperingatkan adanya “godaan untuk mengabaikan 'depositum
fidei' [deposit iman]” dan “godaan untuk mengabaikan kenyataan, memanfaatkan
bahasa yang sangat licik dan bahasa yang licin untuk mengatakan begitu banyak
hal dan untuk tidak mengatakan apa-apa!”
Dokumen terakhir dari pertemuan sinode 2014 tidak lain mengundang
perhatian yang lebih dekat terhadap isi dari relatio yang lebih radikal. Dokumen sebelumnya, yang menyarankan
perubahan besar dalam pengajaran Gereja, telah diakui lebih layak diberitakan.
Tetapi di negara-negara berbahasa Inggris, ada alasan lain mengapa laporan awal
lebih menarik perhatian. Terjemahan resmi bahasa Inggris dari dokumen terakhir
para uskup tidak tersedia sampai sepuluh hari setelah sinode ditutup, ketika
para uskup telah pulang dan para reporter yang meliput acara tersebut telah berpindah
membicarakan topik-topik lainnya.
Bahkan kemudian, terjemahan bahasa Inggrisnya memiliki cacat,
termasuk satu kelalaian terang-terangan. Pernyataan terakhir para uskup, yang
dirilis dalam bahasa Italia, mencatat bahwa para peserta sinode setuju untuk
“memahami bagaimana Gereja dan masyarakat dapat memperbarui komitmen mereka
pada keluarga yang didasarkan atas perkawinan antara seorang pria dan seorang
wanita.” Kata-kata yang dicetak miring dihilangkan dari terjemahan bahasa
Inggris resmi dari Vatikan. Tidak seorang pun yang menyaksikan manipulasi
pertemuan sinode 2014 akan berpikir bahwa penghilangan paragraf atau
kalimat-kalimat itu adalah tidak disengaja.
______________________________
1. Dekrit
pembatalan perkawinan, atau yang biasa disebut "pembatalan atau anulasi,"
adalah temuan oleh pengadilan Gereja bahwa suatu pernikahan yang dianggap tidak
sah — yaitu, bahwa tidak pernah ada pernikahan itu. Pernikahan yang sah tidak
akan pernah bisa “dibubarkan.”
No comments:
Post a Comment