GEMBALA
YANG SESAT
BAGAIMANA
PAUS FRANCIS SEDANG MENYESATKAN KAWANANNYA
BAB LIMA
Pertanyaan Yang Belum Dijawab
Sidang biasa dari Sinode Para
Uskup yang diselenggarakan pada Oktober 2015 sebagian besar merupakan
kelanjutan dari pertemuan luar biasa tahun sebelumnya. Topiknya sama —
perkawinan dan keluarga — dan argumen-argumen yang sama diulangi lagi,
ketegangan yang sama juga terungkap. Tetapi ada dua perbedaan penting. Pertama,
keluhan tentang adanya manipulasi persidangan mereda, mungkin karena para uskup
sudah bersiaga, siap untuk menentang setiap strategi yang mencurigakan. Kedua,
dan lebih penting, sesi ini akan menghasilkan laporan akhir yang pada
gilirannya akan membentuk dasar bagi dokumen magisterial penting oleh paus
Francis.
Ketika sebuah pertemuan sinode
menyimpulkan, maka para uskup memberikan suara untuk serangkaian usulan. Usulan
yang disetujui oleh mayoritas dua pertiga menjadi laporan akhir sinode. Tetapi
karena sinode adalah merupakan sebuah badan penasihat, maka laporannya bukanlah
menjadi kata terakhir. Malahan paus merangkum hasil diskusi ke dalam “nasihat
apostolik,” sebuah ekspresi magisterium kepausan yang membawa tingkat otoritas
yang tinggi (meskipun bukan yang tertinggi).
Pada pertemuan sinode 2014,
Francis telah memberikan banyak indikasi atas sikap dan kecenderungannya,
tetapi tidak secara terbuka memihak kepada pendukung perubahan. Meskipun dia
telah menyatakan antusiasmenya atas usaha Kardinal Kasper, tetapi dia belum
menyetujui proposalnya untuk mengizinkan pemberian Komuni bagi umat Katolik
yang bercerai dan menikah lagi. Sementara dia telah menunjuk para pejabat yang
mengatur pertemuan, dia tidak mau terlibat langsung dalam kejahatan mereka.
Jadi masih mungkin untuk percaya bahwa paus akan menerima hasil dari
pertimbangan para uskup tentang masalah yang telah mendominasi diskusi.
Tentu saja sudah ada beberapa
tanda awal, bahwa paus akan memihak kepada Kasper, kepada siapa dia telah memberikan
waktu dan kesempatan di konsistori para kardinal pada Februari 2014. Lalu beberapa
bulan kemudian ada laporan bahwa paus sendiri telah menasihati seorang wanita
bahwa dia hendaknya menerima Komuni Kudus meskipun dia telah melakukan perceraian
dan menikah kembali dengan pria lain.
Pada bulan April 2014, Vatikan
mengkonfirmasi bahwa paus telah melakukan salah satu panggilan teleponnya yang
mengejutkan kepada seorang wanita di Argentina, Jaquelina Lisbona, yang telah
menulis surat kepadanya tentang situasi perkawinannya, memohon izin kepada paus
untuk boleh menerima Komuni Kudus. Lisbona — yang mengaku kecewa dengan
perhatian internasional yang diberikan kepada kisahnya itu — mengatakan kepada
sebuah stasiun radio Argentina bahwa sementara dia (Lisbona) tidak bercerai, tetapi
suaminya (yang baru), Julio Sabetta, bercerai dan menikah lagi dengan dirinya (Lisbona).
Karena pernikahan mereka (Lisbona & Julio Sabetta) tidak diakui oleh
Gereja, demikian Lisbona mengatakan, maka pastornya mengatakan kepadanya bahwa dia
dilarang menerima Sakramen-sakramen.
Setelah paus menelponnya, suami
Lisbona menulis di halaman Facebook-nya bahwa Paus telah mengatakan kepada
istrinya “bahwa dia boleh pergi ke Sakramen pengakuan dosa dan mulai menerima
Komuni di paroki yang berbeda.” Dalam akun percakapannya yang kedua, Sabetta
mengklaim bahwa paus telah meyakinkan istrinya bahwa “orang yang bercerai dan
kemudian menerima Komuni tidak melakukan kesalahan apa pun.” (Yang benar, Gereja
mengizinkan orang Katolik yang bercerai untuk menerima Komuni — asalkan mereka
tidak menikah lagi.)
Kantor pers Vatikan
mengindikasikan bahwa pihaknya tidak akan mengomentari panggilan telepon paus
itu, dan menekankan bahwa laporan tentang percakapan itu "tidak dapat
dikonfirmasikan sebagai hal yang dapat dipercaya." Dalam kasus apa pun,
pernyataan Kantor pers Vatikan melanjutkan, saran paus kepada seseorang tidak
dapat dianggap sebagai pernyataan ajaran Gereja, karena percakapan seperti itu
“tidak akan menjadi bagian dari kegiatan publik paus.” Pernyataan Kantor pers
Vatikan juga menambahkan bahwa “konsekuensi yang berkaitan dengan pengajaran
Gereja tidak dapat disimpulkan dari kejadian-kejadian seperti ini.”
Tetap saja percakapan telepon paus
ini menimbulkan pertanyaan yang amat mengganggu. Apakah dia benar-benar memberikan
nasihat pastoral — dalam kasus yang tidak mungkin dia tidak tahu dengan baik —
melalui saluran telepon internasional? Apakah dia benar-benar memberi tahu
seorang wanita bahwa dia harus menerima Komuni terlepas dari keterlibatannya
dalam pernikahan yang tidak dapat diberi sanksi oleh Gereja? Sementara seorang
pembaca yang bijaksana biasanya mempertanyakan keakuratan laporan semacam itu, tetapi
yang jelas bahwa Francis telah melakukan begitu banyak panggilan telepon yang
tak terduga dan pernyataan-pernyataan yang aneh sehingga percakapan ini,
seperti yang dilaporkan, tampaknya cukup masuk akal dan bisa dipercaya bahwa
hal itu telah terjadi.
Pertanyaan-pertanyaan tentang
pemikiran paus yang berkisar di seputar persiapan untuk sesi sinode kedua,
menimbulkan kecurigaan bahwa dia bertekad untuk mendapatkan persetujuan uskup
terhadap proposal Kasper. Spekulasi makin meningkat ketika paus menyebut
"prinsip-prinsip gradualitas," bahasa yang digunakan oleh beberapa
orang untuk ‘membenarkan perubahan dalam pengajaran Gereja.’ Yohanes Paulus II
menggunakan istilah itu pada 1981 dalam nasihat apostoliknya sendiri, Familiaris Consortio. Mengakui bahwa
banyak orang hanya akan membuat kemajuan bertahap menuju kehidupan kebajikan,
Paus Polandia itu dengan jelas mengindikasikan bahwa para pastor tidak boleh
menghindar dari pernyataan yang jelas tentang ajaran Gereja.
Namun mereka tidak dapat
memandang hukum hanya sebagai cita-cita yang harus dicapai di masa depan:
mereka harus menganggapnya sebagai perintah Kristus Tuhan untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan manusia dengan sikap keteguhan. Dan apa yang dikenal
sebagai ‘hukum gradualitas’ atau ‘kemajuan selangkah demi selangkah’ tidak
dapat dianggap sebagai ‘gradualitas hukum,’ seolah-olah ada derajat atau bentuk
ajaran dalam hukum Allah yang berbeda untuk individu dan situasi yang berbeda.
Jika “gradualitas” berarti
“bertemu orang-orang di tempat mereka berada” dan membuka percakapan yang
mungkin bisa menuntun mereka kepada Kristus, maka itu bukan hanya pendekatan
yang bijaksana tetapi suatu kebutuhan pastoral. Tetapi para pendukung proposal
Kasper tampaknya menyarankan sesuatu yang berbeda: kesediaan untuk mentolerir dosa, untuk berpura-pura bahwa sebuah luka
adalah tanda kesehatan. Pastor Vincent Twomey, seorang teolog Irlandia
terkemuka yang belajar untuk gelar doktornya di bawah asuhan Joseph Ratzinger,
telah mengatakan bahwa pendekatan ini bukanlah pendekatan pastoral yang benar
dan hal itu tidak baik: “Tidak ada tindakan yang bisa dibilang cukup berani untuk
menawarkan rekomendasi 'pastoral' jika hal itu tidak berani menentang sebuah dunia
yang masih menyandang bekas luka-luka dari revolusi seksual tahun 1960-an."
Prosedur Pembatalan Perkawinan Yang Efisien
Bahkan sebelum para peserta
sinode mengadakan pertemuan pada Oktober 2015 untuk pembahasan putaran kedua
mereka tentang keluarga, nampaknya paus akan mengeluarkan masalah yang paling
kontroversial — yaitu proposal Kasper — untuk dikeluarkan dari agenda
pembahasan dan membuat lebih mudah untuk mendapatkan dekrit pembatalan
perkawinan.
Beberapa pasangan Katolik yang
perkawinannya hancur belum pernah ada yang benar-benar menikah ‘resmi’ di mata
Gereja. Sebuah dekrit kanonik mengakui bahwa pernikahan mereka yang diduga tidak
sah membuat mereka bebas untuk menikah kembali (atau, di mata Gereja, untuk
menikah untuk pertama kalinya) dan mereka masih bisa menerima Komuni. Jika
pengadilan perkawinan berjalan seefisien yang diharapkan, maka pemberian solusi
segera dan tanpa membebani mereka yang memenuhi syarat, maka proposal Kasper
mungkin bisa diperdebatkan.
Di awal September, hanya
beberapa minggu sebelum sinode dimulai, Francis mengumumkan perubahan-perubahan
pada Kode Hukum Canon yang merampingkan prosedur untuk pembatalan perkawinan.
Dia menjelaskan bahwa dia termotivasi oleh keinginan untuk membantu orang-orang
Katolik yang “terlalu sering terpisah dari struktur hukum gereja karena adanya jarak
fisik atau moral” dan mengingat bahwa reformasi seperti itu telah sering
disebut-sebut selama diskusi sinode pada Oktober 2014.
Reformasi-reformasi ini, kata
paus, tidak mengubah ajaran Gereja yang tegas tentang tidakterceraikannya pernikahan.
Perubahan kanonik, katanya, adalah “ketentuan yang mendukung, bukan terhadap
anulasi pernikahan, melainkan mendukung kecepatan proses anulasi, bersama
dengan penyederhanaan prosedur yang sesuai, sehingga hati umat beriman yang
menunggu kejelasan status mereka tidak terlalu lama tertindas oleh kegelapan
keraguan karena menunggu lama untuk memperoleh sebuah kesimpulan."
Reformasi-reformasi yang utama
adalah:
• Penghapusan biaya untuk permohonan
anulasi. Biaya itu sekarang ditanggung oleh keuskupan.
• Penghapusan peninjauan wajib
untuk setiap penilaian anulasi. "Kepastian moral yang dicapai oleh hakim
pertama menurut hukum harus sudah memadai."
• Opsi untuk meminta agar
kasus-kasus didengar oleh seorang hakim tunggal yang ditunjuk oleh uskup, bukannya
sebuah dewan pengadilan yang terdiri dari tiga hakim.
• Proses yang dipercepat untuk
kasus-kasus di mana bukti sudah tampak jelas bahwa pernikahan sakramental mereka
tidak pernah terjadi.
Perubahan-perubahan ini, yang
mulai berlaku pada bulan Desember 2015, akan memiliki sedikit efek praktis pada
umat Katolik di Amerika Serikat, negara yang menyumbang hampir setengah dari kasus
anulasi perkawinan yang dijatuhkan oleh pengadilan-pengadilan Gereja di seluruh
dunia. Meskipun opsi “jalur cepat” baru akan bermanfaat bagi mereka yang
memenuhi syarat untuk itu, namun sebagian besar umat Katolik Amerika sudah
memiliki akses yang mudah kepada pengadilan perkawinan, dan banyak keuskupan
telah membebaskan biaya yang terkait dengan petisi untuk pembatalan. Namun
demikian, reformasi diharapkan mempengaruhi diskusi sinode. Seperti yang
diramalkan John Allen.
Keputusan itu akan mengkalibrasi
ulang diskusi pada edisi kedua bulan Oktober dalam sinode para Uskup tentang
keluarga, kemungkinan mengurangi penekanan pada pertanyaan tentang penerimaan
Komuni bagi umat Katolik yang bercerai dan menikah kembali, dan menciptakan
ruang bagi masalah-masalah lain untuk muncul.
Prosedur anulasi yang
disederhanakan telah menghilangkan satu argumen untuk proposal Kasper — yaitu,
bahwa banyak umat Katolik, khususnya di keuskupan miskin, tidak memiliki akses
ke pengadilan perkawinan. Reformasi juga menanggapi seruan, yang semula dibuat
oleh Benediktus XVI, untuk memiliki lebih banyak cara untuk mengajak orang yang
bercerai dan menikah kembali ke dalam keterlibatan aktif dalam kehidupan
Gereja.
Sebuah anulasi bukanlah suatu
bantuan yang diberikan oleh para pejabat Gereja. Sebuah "deklarasi anulasi,"
demikian sebutannya, adalah temuan yuridis bahwa perkawinan tertentu tidak
pernah merupakan perkawinan yang sah. Jika tidak ada perkawinan, maka demi keadilan,
Gereja harus membuat putusan secepat mungkin sehingga pria dan wanita tahu bahwa
mereka bebas untuk memasuki perkawinan yang baru.
Namujn sayangnya, seperti yang
diamati oleh para peserta sinode, di banyak bagian dunia, umat Katolik tidak
memiliki akses ke pengadilan perkawinan. Bahkan di mana pengadilan berjalan dengan
efisiensi yang wajar, prosesnya bisa rumit dan mahal. Jadi konsensus yang mudah
muncul dari sesi sinode sebelumnya bahwa proses pembatalan harus dirampingkan.
Sekarang Francis telah
menghilangkan semua kesulitan itu. Prosesnya telah disederhanakan, dan biaya
(untuk pemohon) telah dihapuskan. Dalam kasus-kasus di mana ada alasan yang
jelas untuk pembatalan, uskup diosesan dapat dengan cepat mengeluarkan vonisnya.
Sekali reformasi kepausan ini diberlakukan, maka mudah — bahkan terlalu mudah, demikian
yang dikhawatirkan oleh para pengkritik — bagi pasangan-pasangan Katolik untuk
mendapatkan pernyataan anulasi.
Dengan perkawinan pertama mereka
dibatalkan dan perkawinan baru mereka diatur lagi, maka akan ada ribuan
pasangan Katolik yang akan disambut untuk menerima Ekaristi. Jadi, siapakah
yang akan diperlakukan sebagai penerima manfaat potensial dari proposal Kasper?
Yaitu mereka yang tidak dapat menerima anulasi karena mereka benar-benar
menikah pertama kali. Dan tampaknya jelas mustahil untuk menerima
pasangan-pasangan itu kembali ke dalam kehidupan sakramental penuh dari Gereja
— dan dengan aturan yang baru ini mereka bisa menerima perkawinan kedua— tanpa
melanggar Sabda Yesus.
4 Oktober — hari pembukaan
pertemuan sinode 2015 — adalah hari Minggu ke dua puluh tujuh dari hari biasa
dalam kalender liturgi Gereja. Injil yang didengarkan oleh umat Katolik di
seluruh dunia dibacakan dalam Misa hari itu, diambil dari Santo Markus pasal
sepuluh, tampak sangat tepat:
Dan orang-orang Farisi datang
dan untuk mencobai Yesus dan bertanya, "Apakah sah bagi seorang pria untuk
menceraikan istrinya?"
Yesus menjawab mereka, "Apa
yang diperintahkan Musa kepadamu?"
Mereka berkata, “Musa
mengizinkan seorang pria untuk menulis surat cerai, dan untuk mengusirnya.”
Tetapi Yesus berkata kepada mereka, “Karena kekerasan hatimu, dia menulis
perintah ini kepadamu. Tetapi sejak awal penciptaan, 'Tuhan menjadikan mereka
laki-laki dan perempuan.'
‘Karena alasan inilah seorang
laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, dan
keduanya akan menjadi satu daging. 'Jadi mereka bukan lagi dua melainkan satu
daging.
"Oleh karena itu apa yang
telah dipersatukan Allah, janganlah manusia menceraikannya." Dan di rumah
para murid bertanya lagi kepada Yesus tentang masalah ini.
Dan dia berkata kepada mereka,
“Siapa pun yang menceraikan istrinya dan menikahi orang lain, melakukan
perzinaan terhadapnya; dan jika dia menceraikan suaminya dan menikahi yang lain,
dia melakukan perzinahan."
Mengutuk Kritikus
Ketika sinode membuka acaranya, keseruan
perdebatan yang ditayangkan kurang bebas dari pada sesi sebelumnya, meski masih
terasa sedikit. Paus memperbarui seruannya untuk melakukan debat bebas dan
terbuka, tetapi para pakar Katolik liberal mengisyaratkan bahwa siapa pun yang
menentang proposal Kasper berarti menentang paus. Para uskup yang berbahasa
Jerman menyampaikan jaminan bahwa tidak ada seorang pun yang mengeluhkan
perubahan dalam pengajaran Gereja, tetapi ketika kaum konservatif mengatakan
bahwa Gereja tidak boleh mengubah ajarannya, mereka dikecam sebagai “orang-orang
Parisi” — salah satu julukan terkuat dalam leksikon progresif para pejabat gereja
yang progresif. Juru bicara Vatikan menolak adanya "teori konspirasi"
tentang manipulasi sinode, tetapi para uskup yang menentang kemungkinan
perubahan revolusioner dituduh membentuk komplotan rahasia. Aspek yang paling
tidak pantas dari pertemuan sinode 2015 bukanlah argumen yang hidup, tetapi
upaya agresif oleh kader ideologi untuk menggambarkan lawan-lawan mereka
sebagai penjahat.
Ya, ada beberapa perbedaan
pendapat yang serius di antara para uskup yang berkumpul di Roma bulan Oktober
itu. Itulah yang diharapkan. Beberapa perubahan besar dalam pengajaran Gereja
telah disarankan; hal itu akan menjadi tidak sehat jika proposal tersebut tidak
mendorong debat yang gencar. Tujuan sinode adalah untuk mengumpulkan ide.
Bahkan tanpa dorongan berulang-ulang dari paus, beberapa tingkat
ketidaksepakatan di antara para uskup tidak akan terhindarkan. Jika tidak ada
perbedaan di antara mereka, para uskup bisa tinggal di rumah saja.
Secara alami, para uskup yang
memiliki pendapat kuat melakukan yang terbaik untuk meyakinkan orang lain. Para
uskup membuat aliansi dengan orang-orang lain yang berbagi pandangan mereka dan
mencoba mengajak saudara-saudara mereka yang belum memutuskan. Sekali lagi,
tidak ada yang aneh tentang itu. Sebagai Uskup Agung dari Philadelphia, Charles
Chaput mengamati, “Saya belum pernah menghadiri pertemuan Gereja di mana tidak
ada kelompok-kelompok yang berkumpul dan melobi untuk mendukung sikap tertentu.”
Apa yang luar biasa tentang
pertemuan sinode ini adalah upaya dua cabang untuk mengekang diskusi terbuka:
pertama dengan memanipulasi sinode (seperti yang diceritakan dalam bab
sebelumnya), dan kedua dengan membungkam mereka yang berani melaporkan adanya manipulasi.
Dalam pengarahan harian tentang
perkembangan sinode, kantor pers Vatikan mengandalkan para uskup yang akan
memberikan laporan yang optimis. Kardinal Péter Erdő, jenderal relator untuk sinode
- pejabat yang ditunjuk oleh paus untuk meringkas hasil diskusi - berada dalam
posisi terbaik untuk meringkas diskusi untuk konsumsi pers, tetapi setelah
menyampaikan pidato yang sangat konservatif pada hari pembukaan, setelah itu dia
hampir menghilang. dari pandangan.
Tidak mengherankan jika kantor
pers Vatikan ingin memastikan bahwa diskusi sinode disampaikan kepada publik
dengan cara yang menguntungkan. Yang luar biasa adalah bahwa seorang pembantu
kantor pers — Pastor Thomas Rosica, seorang Kanada yang membantu media
berbahasa Inggris — muncul sebagai partisan aktif, mengirimkan pesan dari para wali
gereja liberal dan para komentator di akun Twitter-nya. Masih lebih luar biasa,
Rosica, sebagai seorang PR - seharusnya mencari audiens seluas mungkin, tetapi
dia justru mulai memblokir kaum konservatif dari feed Twitter-nya. Ketika debat
sinode memanas, dia memberikan nasihat tentang "Bagaimana menangani
orang-orang yang beracun," yang menunjukkan bahwa sementara kaum Katolik
liberal tidak ingin ada orang yang dikecualikan dari Gereja, tetapi mereka
dengan senang hati akan mengecualikan beberapa orang dari perundingan.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi
adalah nada polemik yang diperlihatkan oleh pastor Antonio Spadaro, editor La Civiltà Cattolica, jurnal Jesuit yang
banyak artikelnya telah disetujui oleh Sekretariat Negara Vatikan, sebelum ia diterbitkan.
Seorang kepercayaan paus dan sesekali menjadi ‘penulis bayangan’ yang telah dijuluki
sebagai ‘juru bicara paus,’ karena dia selalu bekerja sama dengan Francis
selama proses Sinode. Sehubungan dengan kedekatannya dengan paus, orang mungkin
berharap Spadaro untuk merevisi pendekatan yang tidak masuk akal bagi debat sinode,
tetapi dia justru menaburkan duri pada tulisannya di Twitternya dengan ‘pengabaian
a la Trump,’ dengan cara mengejek mereka yang mempertanyakan arah yang jelas
dari sinode. Pada 10 Oktober dia mentweet, “Gereja bukanlah ‘kereta cepat
doktrin’ yang berjalan tanpa pemahaman tentang lanskap di sekitarnya” — ini
adalah sebuah pernyataan yang paling samar dan paling tidak jelas. Kemudian
pada hari itu juga dia mengambil sikap bermusuhan yang lebih eksplisit:
"Mereka yang menginginkan sinode 2015 bersifat kaku & tegas, berarti menyerang
metode & komunikasinya."
Pastor James Martin, seorang
Jesuit Amerika terkemuka, ikut bergabung dalam kampanye itu dengan serangkaian
tweet yang memuji para uskup liberal dan mengkritik kaum konservatif. Dia
mencapai puncak keberpihakannya dengan pernyataan bahwa Kardinal Robert Sarah
telah membandingkan homoseksual dengan Nazi, sebuah karakterisasi yang sangat
tidak benar atas pernyataan kardinal Sarah tentang bahaya ideologi gender.
Namun seorang Jesuit yang lain,
jurnalis Thomas Reese, juga sama-sama bersikap tidak sopan dalam rangkumannya
tentang debat sinode: “Satu pihak hanya melihat hukum — kontrak pernikahan itu
permanen dan hanya bisa diakhiri melalui kematian. Di sisi lain, melihat jutaan
orang menderita karena perkawinan yang rusak yang tidak dapat disatukan
kembali." Dan menanggapi keluhan bahwa sinode ini sedang diatur, dia
memutar balikkan teori konspirasinya sendiri: "Mereka mengatakan bahwa
sinode itu sedang dimanipulasi dan diprogram ketika, pada kenyataannya, semua
sinode sejak Konsili Vatikan II juga dimanipulasi dan diprogram oleh kaum
konservatif.” Nada omongan partisan ini akhirnya mempengaruhi para peserta sinode
sendiri. Kardinal Donald Wuerl dari Washington, DC, dalam sebuah wawancara
dengan majalah Yesuit Amerika, berbicara dengan nada meremehkan tentang adanya "beberapa
uskup yang sikapnya adalah agar kita seharusnya tidak membahas semua ini"
dan yang "melukis sesuatu dengan nada yang salah." Dia bertanya
"…apakah mereka benar-benar tidak menyukai paus?"
Begitulah suasananya di mana paus
sendiri, pada 7 Oktober itu, menyampaikan pidato yang tidak dijadwalkan, di
mana, menurut banyak laporan, paus memperingatkan para uskup itu agar tidak
terlibat dalam teori-teori konspirasi.
Kardinal Meminta Untuk Debat Terbuka
Tak lama setelah intervensi
kepausan itu, Sandro Magister, veteran pengamat Vatikan untuk media L'Espresso, menerbitkan surat kepada
Francis, tertanggal 5 Oktober dan ditandatangani oleh tiga belas orang kardinal,
yang menyatakan keprihatinan serius tentang pelaksanaan Sinode. Keberadaan
surat itu, isinya, dan nama-nama penandatangannya dengan cepat menjadi topik
diskusi yang dominan di Vatikan.
Setelah mengungkapkan keraguan
tentang dokumen kerja Sinode, serta prosedur dan komposisi komite yang akan
menyusun dokumen akhir, para penandatangan menulis:
Pada gilirannya, hal-hal ini
telah menimbulkan kekhawatiran bahwa prosedur baru itu tidak sesuai dengan
semangat tradisional dan tujuan sinode. Tidak jelas mengapa perubahan
prosedural ini diperlukan. Sejumlah peserta sinode merasakan bahwa proses baru ini
tampaknya sengaja dirancang untuk memfasilitasi sebuah hasil yang telah
ditentukan sebelumnya bagi pertanyaan-pertanyaan penting yang disengketakan.
Akhirnya dan mungkin yang paling
mendesak, beberapa peserta sinode telah menyatakan keprihatinan mendalam bahwa
sebuah sinode yang dirancang untuk mengatasi masalah pastoral yang vital — untuk
memperkuat martabat pernikahan dan keluarga — ternyata dapat didominasi oleh isu
teologis / doktrinal tentang Komuni bagi orang yang bercerai dan menikah lagi secara
sipil. Jika demikian, hal ini pasti akan mengangkat masalah yang lebih mendasar
tentang bagaimana Gereja, dalam perjalanan ke depan, harus menafsirkan dan
menerapkan Firman Allah, doktrin-doktrinnya, dan disiplin-disiplinnya terhadap
perubahan budaya manusia. Runtuhnya gereja-gereja Protestan liberal di era
modern, dipercepat dengan ditinggalkannya elemen-elemen kunci dari iman dan
praktik Kristen demi kepentingan adaptasi pastoral, selayaknya menjadi
perhatian besar agar sangat berhati-hati dalam diskusi sinode kita sendiri.
Para penandatangan surat itu,
menurut Magister, adalah Kardinal Carlo Caffarra, Thomas Collins, Timothy
Dolan, Willem Eijk, Péter Erdő, Gerhard Müller, Wilfrid Napier, George Pell,
Mauro Piacenza, Robert Sarah, Angelo Scola, Jorge Urosa Savino, dan André
Vingt- Trois. Daftar penandatangan itu sangat mengesankan. Kardinal Erdő adalah
relator jenderal sinode, sementara Napier dan Vingt-Trois adalah di antara
empat presiden-delegasi sinode. Müller, Pell, dan Piacenza mengepalai kantor
Kuria Romawi.
Namun, beberapa kardinal dalam
daftar itu menyangkal telah menandatangani surat itu. Tidak jelas bagaimana
Magister mendapatkan surat itu atau mengapa dia mendaftarkan nama-nama kardinal
yang sekarang mengatakan mereka belum menandatanganinya. Sumber-sumber Vatikan
yang diinformasikan menunjukkan bahwa memang ada surat yang ditulis, tetapi
informasi Magister mengenai surat itu dan penandatanganinya tidak tepat. Banyak
pengamat Vatikan berspekulasi bahwa Francis merespons surat ini ketika, dalam
pidatonya pada 7 Oktober di dalam Sinode, dia dilaporkan memperingatkan agar
tidak menerapkan "hermeneutik konspirasi" pada prosedur pertemuan.
Dan siapa yang membocorkan surat
para kardinal itu? Biasanya, dalam mencari sumber dokumen yang bocor, urutan
pertama adalah mempertimbangkan kepentingan siapa yang diuntungkan oleh
publisitas sebuah dokumen. Namun dalam hal ini, sama sekali tidak jelas siapa
yang akan mendapat manfaat dari penerbitan surat rahasia kepada paus.
Sekilas, mungkin tampak bahwa para
penulis surat memiliki paling banyak keuntngan. Jika mereka tidak puas dengan
tanggapan yang mereka terima dari Bapa Suci, mereka mungkin ingin menambahkan
beberapa tekanan publik demi tercapainya tujuan mereka. Dua pertimbangan mendukung
hipotesis itu. Pertama, kebocoran itu muncul melalui Magister, yang sering
mengkritik Francis dan telah mengajukan berbagai pertanyaan dalam tulisannya sendiri,
seperti yang tertera dalam surat dari para kardinal itu. Kedua, surat itu
menjadi publik hanya setelah Francis menanggapi keprihatinan para kardinal —
seminggu atau lebih setelah ditulis.
Namun demikian, penerbitan surat
rahasia itu mungkin telah merusak alasan para kardinal yang menulisnya.
Kebocoran itu dianggap sebagai upaya curang untuk memanipulasi opini publik —
singkatnya, tindakan ketidaksetiaan. Kardinal Müller, yang menolak untuk membenarkan
atau pun menyangkal bahwa dia telah ikut menandatangani surat itu, sedang memanaskan
kebocoran itu, dengan mengatakan bahwa itu menciptakan kesan bahwa Francis
dikelilingi oleh para "serigala" yang berusaha untuk melemahkan
otoritasnya. Jadi, mungkin kebocoran itu dimaksudkan untuk membuat masalah bagi
para kardinal yang menandatangani surat itu.
Selain spekulasi, dirilisnya surat
itu kepada publik tampaknya melayani kepentingan jurnalis Sandro Magister. Ini
bukan kebocoran penting pertamanya. Juni sebelumnya, kantor pers Vatikan telah
menangguhkan hak jurnalisnya setelah dia menerbitkan konsep awal ensiklik
kepausan Laudato Si. Vatikan telah menekankan bahwa draft yang diterbitkan oleh
Magister bukanlah teks terakhir, meski tidak ada perbedaan yang signifikan
antara keduanya. Dia tidak memiliki dokumen terakhir, tetapi dia memiliki
sesuatu yang sangat dekat dengan dokumen asli.
Demikian juga, Magister belum
mendapatkan teks terakhir dari surat para kardinal kepada Francis. Kardinal
Pell — yang mengakui bahwa dia telah ikut menandatangani surat itu — melaporkan
bahwa versi Magister berisi “kesalahan dalam isi dan daftar penandatangan.” Tetapi
seperti yang akan ditunjukkan oleh Magister, Pell tidak menyangkal bahwa
kekhawatiran yang diungkapkan dalam draft akhir pada dasarnya adalah sama
dengan yang ada di versi Magister. Tampaknya, kemudian, setelah Magister
mendapatkan draft yang beredar di antara sejumlah kardinal, surat itu akhirnya
direvisi dan ditandatangani oleh kelompok yang sedikit berbeda.
Kardinal Urosa, yang mengakui telah
ikut menandatangani surat itu, mengatakan bahwa "banyak kardinal"
telah melihatnya, baik dalam bentuk draft atau final. Jika banyak salinan yang beredar,
maka tidak mengherankan bahwa seseorang akan menemukan jalannya ke tangan
seorang jurnalis. Apa yang patut dicatat, sebenarnya, adalah kegagalan Magister
untuk mendapatkan versi final. Ini menunjukkan bahwa para kardinal yang
menandatangani surat itu tidak ingin mempublikasikannya dan, yang lebih
penting, bahwa mereka tidak membocorkannya setelah surat itu dikirim ke paus
dan paus telah menanggapi mereka.
Bukti yang ada, singkatnya,
tidak memungkinkan kita untuk mengidentifikasi si pembocor surat itu, apalagi
motivasinya. Tetapi ini yang kita tahu: sekali lagi, berdasarkan dokumen yang
bocor itu, Vatikan terjebak dan terperangkap dalam gelombang tuduhan dan
penyangkalan yang tidak sehat. Sekali lagi, ada seseorang di Vatikan yang bertekad
untuk melemahkan orang lain. Sekali lagi, martabat Tahta Suci dihantam oleh
kisah-kisah intrik istana.
Pernyataan Terakhir — Tanpa Kesimpulan
Ketika bulan Oktober hampir
berakhir, perdebatan dan manuver serta kebocoran dan pengaduan berakhir, dan
para peserta Sinode menyetujui model terakhir proposal mereka. Dalam wawancara
terpisah berikut kesimpulan dari pertemuan itu, Uskup Agung Forte dan Kardinal
Pell menawarkan interpretasi yang bertentangan tentang keputusan terakhir
Sinode tentang proposal Kasper.
Pell mengatakan kepada National Catholic Register bahwa “…tidak
ada disebutkan soal penerimaan Komuni bagi orang yang bercerai dan menikah
lagi. Itu bukan salah satu kemungkinan yang mengambang.” Namun Forte,
sekretaris khusus sinode, mengatakan dalam wawancara radio bahwa laporan akhir
mengizinkan penerimaan Komuni Kudus oleh “beberapa” orang yang telah menikah
kembali di luar Gereja, setelah pemeriksaan hati nurani dan proses pendampinan
dan pembedaan spirituil oleh para pastor mereka.
Apakah laporan itu benar-benar
ambigu? Dengan keterusterangannya seperti yang biasa dilakukannya, Pell
mengatakan bahwa pernyataan itu tidak terlalu ambigu atau mendua yang bisa
diartikan sebagai "tidak cukup" — dan sengaja kalimat itu dibuat demikian.
Dia mengatakan kepada Register:
"Dokumen itu ditulis dengan cerdik untuk mendapatkan konsensus."
Berkat ungkapan kalimat yang
cermat, Sinode telah mencapai konsensus — nyaris. Paragraf 86, yang mendorong
orang-orang Katolik yang bercerai dan menikah kembali untuk menggunakan “forum
internal” (percakapan dengan seorang imam) untuk membedakan hambatan-hambatan
terhadap “partisipasi penuh mereka dalam kehidupan Gereja,” telah menerima
hanya satu suara lebih dari dua pertiga yang dibutuhkan. Tetapi Sinode masih tidak
mencapai kejelasan. Gereja Katolik menerima atau tidak menerima bahwa seseorang
dalam ‘perkawinan’ yang kedua dimana pasangan yang sebelumnya masih hidup, tidak
boleh menerima Komuni. Yang mana yang benar? Berbagai uskup memberikan jawaban
yang berbeda pula.
Ketika Sinode para Uskup
berkumpul, umat beriman berharap untuk memperdalam pemahaman mereka tentang apa
yang diajarkan oleh Gereja. Diakui, Sinode itu tidak mengajar dengan otoritas.
Hanya paus, dalam pernyataan post-sinodalnya sendiri, yang melakukannya. Tetapi
para uskup adalah guru, dan kita memiliki hak untuk mengharapkan pengajaran, bukan
menerima kebingungan atau, lebih buruk lagi, kekacauan.
Selama diskusi Sinode, sering muncul
saran bahwa Gereja hendaknya menggunakan bahasa yang lebih ramah, mengadopsi
sikap yang lebih berbelas kasih, menawarkan argumen yang lebih menarik. Ya,
kita semua ingin menyambut para pastor, para bapa pengakuan yang berbelas
kasih, dan para penginjil yang menawan. Dan dari guru-guru kita, kita
menginginkan kejelasan. Di dalam pertemuan Sinode ini, kita diberi tahu, bahwa para
uskup peduli dengan masalah pastoral, bukan masalah doktrinal. Namun proposal
Kasper mengangkat pertanyaan doktrinal utama, dan bukannya menjawab pertanyaan
itu secara langsung, tetapi Sinode bahkan berusaha untuk mempercayainya.
Mengenai masalah doktrin,
seperti pada masalah hukum, bahasa yang tepat sangat penting. Seorang pengacara
yang merancang kontrak dengan bahasa ambigu sengaja untuk menutupi kurangnya
kesepakatan antara para pihak, bisa mengundang bencana. Namun, karena
pernyataan Sinode tidak mengikat, maka bahaya bagi Iman dapat dihindari asalkan
paus memenuhi tugas yang diberikan Tuhan kepadanya sebagai guru tertinggi
Gereja, guna menjawab pertanyaan yang sengaja dihindari oleh para peserta Sinode.
Umat Katolik yang mengikuti
debat Sinode dengan cemas menunggu nasihat kerasulan dari paus Francis. Dan itu
adalah penantian yang relatif singkat. Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI
secara rutin membutuhkan waktu dua tahun untuk menyelesaikan nasihat kerasulan semacam
itu, setelah pertemuan-pertemuan Sinode sebelumnya. Tetapi belum pernah Sinode
meninggalkan pertanyaan krusial seperti itu tidak terselesaikan seperti sinode
kali ini.
No comments:
Post a Comment