Phil Lawler on
EWTN.EWTN video frame
SETELAH 25
TAHUN MENYELIDIKI PELECEHAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN GEREJA, SAYA TIDAK BISA
MELAKUKANNYA LAGI…
July 26, 2019
(CatholicCulture.org)
Saya berhenti!
Selama lebih dari 25 tahun hingga sekarang, saya telah
melaporkan dan menulis tentang skandal di lingkungan Gereja Katolik. Kemarin,
ketika saya lelah menulis satu artikel lagi tentang kebusukan tingkah laku uskup, saya menyadari betapa
topik ini telah membuat saya menjadi mual. Saya tidak bisa melakukannya lagi.
Sejak tahun 1990-an saya telah menggali berbagai kebusukan,
mengungkap lebih banyak dan lebih banyak lagi tentang apa yang oleh Paus
Benediktus XVI dengan tepat disebut sebagai "kebusukan" di dalam Gereja
- kebusukan yang mengaburkan citra Kristus. Itu bukanlah pekerjaan yang
menyenangkan. Itu bukanlah pekerjaan yang akan saya pilih. Itu tidaklah memperbaiki
moral. Setiap hari saya harus berurusan dengan keburukan yang mengerikan -
minggu demi minggu, bulan demi bulan – dan telah memakan korban yang besar:
pada kesehatan saya, pada keluarga saya, pada kehidupan rohani saya. Dalam suatu
peperangan, komandan yang baik tahu bahwa pasukan terberat pun perlu istirahat
setelah berminggu-minggu dalam pertempuran. Dan percayalah kepada saya, ini adalah
sebuah pertempuran spiritual.
Saya tidak akan pergi meninggalkan pertempuran itu. Tidak, jauh
dari tindakan itu. Saya telah mengabdikan hidup saya untuk tujuan reformasi di dalam
Gereja Katolik, dan saya sepenuhnya bermaksud untuk terus berbicara dan menulis
tentang topik itu. Tetapi saya perlu mundur, untuk mengambil pendekatan baru,
untuk berperang di front yang berbeda. Saya tidak bisa terus membajak dokumen-dokumen,
mengejar berbagai petunjuk, mengeruk segala fakta. Untungnya, dalam beberapa
tahun terakhir banyak wartawan lain bergabung dalam perburuan kebenaran. Saya
akan mengomentari fakta-fakta yang mereka gali; saya akan memberikan perspektif
saya. Tetapi untuk memiliki perspektif yang sehat, saya harus menjauhkan diri
dari racun, untuk meluaskan pandangan saya.
Berapa lama saya berada di garis depan? Pada November 1993,
hampir satu dekade sebelum Boston Globe tiba di tempat kejadian, ketika editor Catholic World Report I memuat berita
utama tentang skandal pelecehan seksual. (Tujuh
tahun kemudian saya menerbitkan sebuah cerita sampul yang lebih provokatif: "The Gay Priest Problem.") Saya ditampar dengan gugatan pencemaran nama baik
(kemudian saya dipecat) karena menerbitkan sebuah cerita yang mempertanyakan
karya yang menyangkut tingkah laku imam-imam predator dan menjelaskan perbuatan
mereka agar kembali kepada pelayanan Gereja. Pada
tahun 2002 saya memunculkan cerita bahwa Paus Yohanes Paulus II telah memanggil pimpinan
konferensi para uskup AS ke Roma untuk membahas skandal itu. Saya adalah orang
pertama di Boston yang menyerukan pengunduran diri Kardinal Bernard Law, dan
ketika dia akhirnya mengundurkan diri, saya juga memunculkan kisah itu.
Selama bertahun-tahun saya telah berbicara dengan para korban
pelecehan seksual, dengan para imam yang telah dituduh (beberapa mungkin tidak
bersalah, beberapa pasti bersalah), dengan para pengacara dan pejabat penegak
hukum, dengan auditor dan akuntan, dengan pejabat kanselir, dengan instruktur
seminari, dan bahkan dengan para pengusir setan, mencoba untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik tentang skandal yang sedang berkembang. Saya telah
belajar banyak sekali, dan saya menyesal mengatakan bahwa lebih sering daripada
tidak, apa yang telah saya pelajari ternyata telah mengecewakan.
Melalui semua itu saya telah melakukan yang terbaik untuk
mempertahankan, dan untuk menyampaikan, kasih saya kepada Gereja - tekad saya adalah
untuk tidak membiarkan kebusukan manusia mencemari mempelai wanita Kristus yang
tak bernoda. Saya telah mencoba untuk tidak mengungkapkan hal-hal yang akan bisa
merusak - untuk menyoroti fakta-fakta yang tidak menyenangkan dimana fakta itu
seolah-olah perlu untuk memajukan reformasi. Tidak
diragukan lagi bahwa ada saat-saat ketika saya melangkah terlalu jauh, dan
untuk ini saya minta maaf. Tetapi ada juga banyak kesempatan ketika saya harus menahan
diri. Saya selalu tahu lebih dari yang saya ungkapkan. Banyak rahasia gelap yang
akan mati bersama saya. Namun saya telah menemukan cukup bahan untuk
menghasilkan ribuan berita pendek, ratusan opini, dan tiga buku tentang skandal. Anehnya, adalah saran seorang teman
bahwa saya harus menulis buku keempat yang menyebabkan saya harus menilai
kembali pekerjaan saya. Agak mengejutkan
saya sendiri - dan kekhawatiran teman saya yang malang - saya bereaksi terhadap
saran itu dengan marah. Saya merasa jijik dengan prospek menulis buku yang lain
dengan topik yang sama. Saya menyadari kemudian bahwa saya perlu mengambil
pendekatan yang berbeda.
Buku-buku tersebut dicetak, untuk kepentingan siapa pun yang
ingin tahu apa yang telah saya temukan dalam penelitian bertahun-tahun. Kolom-kolom
dan berita-berita ada di arsip. Pekerjaan itu selesai. Tetapi pada titik ini,
saya ragu bahwa siapa pun yang tidak memahami masalah akan dibawa kepada satu
contoh lagi, satu lagi kenyataan, satu lagi kemarahan. Fakta-fakta telah tersedia
– bahkan telah tersedia cukup lama. Tantangannya adalah menawarkan perspektif.
Ketika saya mulai melaporkan skandal itu, saya berasumsi
bahwa itu melibatkan beberapa imam yang sangat tidak bermoral dan beberapa
uskup yang lalai. Ketika saya membongkar satu demi satu petunjuk, saya
menemukan pola kebusukan yang jauh lebih luas dan lebih dalam daripada yang
bisa saya bayangkan. Apakah pelecehan mereka tersebar luas? YA. Apakah banyak
uskup yang terlibat? YA. Apakah ada upaya terorganisir untuk melindungi para
pelaku? YA. Apakah itu meluas hingga ke Vatikan? YA. Apakah Paus terlibat? YA.
Apakah para pemimpin Gereja diperas? YA. Apakah mereka mengorbankan kepentingan
Gereja untuk menghindari deteksi dan penuntutan? YA. Dan secara perlahan saya
menyadari bahwa skandal pelecehan seks bukanlah satu-satunya bukti kebusukan
mereka: bahwa ada juga pelanggaran keuangan yang meluas, dengan beberapa
pejabat yang menutupi-nutupi kasusnya. Semua fakta ini saya jelaskan dan
tunjukkan dalam buku-buku saya.
Pembaca yang jeli mungkin memperhatikan bahwa saya juga menyebutkan
di atas tentang percakapan saya dengan para pengusir setan, mengenai skandal-skandal
ini. Dari waktu ke waktu dalam penelitian saya, saya telah mendeteksi bau
belerang (bau khas dari keberadaan setan) yang sangat pasti, tetapi saya tidak
pernah menemukan bukti kuat untuk mendukung sebuah berita tentang keterlibatan
setan secara aktif. Masih bisakah ada keraguan bahwa si musuh bersukacita atas
penghinaan terhadap Gereja beserta kebusukan para pemimpinnya? Di sebuah era
ketika dunia Barat dilanda seksualitas yang menjijikkan dan penghinaan terhadap
martabat manusia, setan pastilah bersuka ria di tengah kemarahan orang-orang benar,
karena setan bisa menenggelamkan suara Gereja.
Di dalam buku The Faithful
Departed saya berpendapat bahwa "skandal"
di lingkungan Gereja sebenarnya adalah tiga skandal utama yang berkaitan:
skandal pelecehan seksual terhadap anak-anak oleh para imam; skandal pengaruh
homoseksual yang meluas di kalangan para klerus; dan skandal para uskup yang
lebih tertarik untuk melindungi posisi mereka daripada membela iman. Skandal yang
pertama telah dan sedang diatasi. Skandal yang kedua dan ketiga belum.
Sebaliknya, pengaruh "mafia lavender" telah terkonsolidasi dengan kuat
pada banyak keuskupan di Amerika. Selain itu, aliran bukti yang terus
berkembang tentang transaksi keuangan yang dipertanyakan di Vatikan dan
"budaya amplop" dalam hierarki Amerika, mengancam untuk menjadi sebuah
aliran yang deras, memberikan peluang-peluang baru bagi serangan terhadap
integritas Gereja kita.
Satu siaran pers baru, sebuah program baru, sebuah
janji baru, tidak akan cukup untuk membalikkan kerusakan yang terjadi. Seperti
yang saya katakan kemarin, "Berbagai
solusi ditawarkan oleh orang yang sama yang menciptakan masalah; calon reformis
dipilih oleh orang-orang yang seharusnya direformasi." Baik di Roma
maupun di AS ada keengganan yang jelas untuk mengakui besarnya ruang lingkup
masalah, sebuah pilihan untuk menerima kepercayaan yang sia-sia bahwa beberapa
langkah bertahap akan memungkinkan kembalinya urusan gerejawi seperti biasa.
Kembali pada tahun 1990-an, saya mengatakan
kepada pewawancara radio (Al Kresta) bahwa skandal pelecehan seks akan membawa
Gereja kepada krisis terbesar sejak Reformasi. Pada saat itu adalah prediksi
yang mengejutkan - saya bahkan sedikit terkejut mendengar kata-kata yang keluar
dari mulut saya sendiri. Hari ini saya katakan bahwa itu tidak dapat disangkal kebenarannya.
Yang mulia: Bangunlah! Roma sedang terbakar;
berhentilah mengutak-atik. Anda tidak menghadapi masalah sederhana, tetapi sebuah
krisis yang dahsyat; bukan kemunduran sementara, tapi kekalahan telak. Anda
menghadapi kerugian yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi Gereja:
kehilangan umat beriman, kehilangan institusi, kehilangan warisan Katolik kita,
kehilangan jiwa-jiwa. Anda tidak dapat lagi melanjutkan dengan asumsi bahwa apa
yang Anda lakukan tahun ini akan sama seperti apa yang Anda lakukan tahun lalu.
Jika Anda melakukan hal itu, Anda akan gagal dalam tugas suci Anda.
Untuk memulihkan Gereja, pertama-tama Anda
harus mengembalikan kredibilitas Anda sendiri. Buanglah pendekatan kontrol
kerusakan. Berhentilah untuk takut kepada kebenaran, mulailah mengatakan kebenaran,
dan mintalah orang-orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Hadapilah kenyataan bahwa saat ini kredibilitas
para uskup Katolik berada pada peringkat antara penjual mobil bekas dan
telemarketer - dan dengan alasan yang masuk akal! Dan Anda ditugasi untuk
mewartakan Injil, menjalankan misi para Rasul, memperkenalkan Firman Allah kepada
dunia. Anda harus menghilangkan segala kebusukan ini, memulihkan kredibilitas, inilah
prioritas utama Anda. Jika Anda tidak mau melakukan hal ini, maka segala hal lainnya
yang Anda lakukan tidak akan berarti apa-apa.
Pemulihan kredibilitas Gereja Katolik: itu akan
menjadi prioritas utama saya juga dalam pekerjaan saya di masa depan. Besok, di
kolom yang lain, saya akan menjelaskan bagaimana saya berencana untuk
menyelesaikannya.
Published with permission
from CatholicCulture.org.
Diterbitkan
dengan izin dari CatholicCulture.org.
No comments:
Post a Comment