Apa yang
diajarkan oleh film Marvel 'Avengers' tentang agenda
depopulasi kaum
globalis
Sejarah menunjukkan bahwa para ideolog megalomaniak tidak
akan peduli berapa juta orang yang menjadi korban dan mati, demi mengejar ideologi mereka yang gagal. Maka muncullah salah satu pelajaran
universal dalam film Avengers ini: Ketika rencana dari orang yang kuat gagal, maka
orang-orang yang tidak berdayalah yang akan membayar ongkosnya.
Shutterstock/YouTube screenshot
Tue Jul 19, 2022 - 3:20 pm EDT
Cerita ini awalnya
diterbitkan oleh WND News Center
(WND News Center) – Dalam
film Marvel “Avengers: Infinity War,” Thanos, makhluk super dari planet lain,
sedang mencari enam permata – Batu Keabadian – untuk dimasukkan ke dalam Sarung
Tangan Keabadian, senjata yang, ketika selesai, memungkinkan orang yang
memakainya untuk memusnahkan setengah dari semua kehidupan di alam semesta
hanya dengan menjentikkan jarinya.
Si tokoh, Thanos, berperan sebagai penjahat super, tetapi
dia menganggap dirinya sebagai altruis (bekerja untuk orang lain).
Dia menjelaskan kepada karakter Marvel lainnya, Dr. Steven Strange, bahwa dia
menyaksikan kehancuran planetnya sendiri, Titan, dan bahwa motifnya menggunakan
Infinity Gauntlet (Sarung Tangan Keabadian) adalah murni demi kebaikan:
“Titan adalah seperti kebanyakan planet yang lain –
terlalu banyak mulut dan tidak cukup untuk memberi makan penduduknya. Dan
ketika kita menghadapi kepunahan, saya menawarkan sebuah solusi … Saya hanya
bisa menjentikkan jari saya dan mereka semua akan lenyap.”
Thanos menolak tuduhan Dr. Steven Strange tentang
genosida. "Saya menyebutnya 'rahmat'," katanya. "Pilihan
tersulit memang membutuhkan kemauan paling kuat."
Di sini, di dunia nyata, kita memiliki orang-orang
kelas dewa yang menunjuk dirinya sendiri, yang mencoba menjalankan planet ini, termasuk
Bill Gates dan Yayasan Bill dan Melinda Gates, Klaus Schwab dan Forum Ekonomi
Dunia (WEF), pasukan antek-antek WEF yang telah berhasil masuk ke pemerintahan
nasional di seluruh dunia, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dewa-dewa yang loyo ini, dan banyak lainnya
yang mengkhotbahkan dogma mereka, menuntut agar kita menyembah di depan “altar perubahan iklim,” menerapkan kebijakan yang mereka ajukan tanpa pertanyaan, yang mereka anggap bisa menyelamatkan kita semua dari kehancuran.
Sesuai
dengan metafora Marvel, berikut adalah enam "permata" kehidupan kita
di mana para raksasa gila "perubahan iklim" ini berusaha mengendalikan:
energi, produksi pangan, perumahan, mata
uang, hukum/penegakan hukum, dan pemerintahan. Di masing-masing bidang ini,
mereka menuntut penerapan kebijakan yang mereka iklankan akan bisa “menyelamatkan
planet ini.”
Para elit
ini menampilkan jenis arogansi yang
selalu mendahului malapetaka. Mereka menganggap bahwa mereka begitu brilian
dan mahatahu sehingga mereka dapat mengantisipasi setiap kemungkinan, setiap
halangan yang mungkin terjadi. Setiap siswa sejarah tentunya dapat menyanggah
klaim itu, tetapi peristiwa yang sangat baru sekarang ini menawarkan contoh
lain yang jelas.
Pada
tahun 2018, pemerintah Sri Lanka memberlakukan peraturan pertanian yang didorong oleh agenda “perubahan iklim” WEF.
Semua pupuk non-organik dilarang. Dalam dua tahun, produksi pertanian
runtuh. Kemudian, ekonomi secara keseluruhan hancur. Pekan lalu, kerusuhan di
ibu kota Colombo membuat para pemimpin pemerintah meninggalkan negara itu.
Negara-negara
lain tampaknya tidak memahami pesan ini. Inggris sedang mencoba untuk mendorong
para petani untuk "pensiun." Pemerintah Belanda telah mengumumkan
rencana untuk menutup sejumlah pertanian dan peternakan untuk membantu
memperbaiki efek “perubahan iklim.” (Rumor mengatakan bahwa WEF berencana untuk
membeli tanah pertanian Belanda. Ini tidak terlalu mengada-ada; pemuja WEF,
Bill Gates, sekarang adalah pemilik tanah pertanian terbesar di Amerika
Serikat.) Petani dan warga Belanda turun ke jalan melakukan protes. Protes
serupa telah meletus di Jerman, Italia, Spanyol, Polandia, dan Armenia.
Ada banyak alasan untuk percaya bahwa kebijakan
perumahan dan energi yang didorong oleh “perubahan iklim” akan menghasilkan
hasil yang sama suramnya. Lebih mengerikan lagi, tiga "batu" lainnya
terikat pada penegakan kebijakan apa pun yang berhasil diterapkan oleh para
raksasa "perubahan iklim" kita. Mata uang digital dapat dimanipulasi
oleh mereka yang mengendalikannya, dan kekayaan aktual dibekukan atau diambil
dari orang-orang yang menentang rezim.
Seperti
yang telah kita lihat dalam konteks lain di sini, di Amerika Serikat, warga
negara yang taat hukum dapat menjadi sasaran penegakan hukum karena membela
diri atau harta benda mereka, dan mereka dituduh sebagai “pemberontak” atau
“teroris domestik” karena memprotes apa yang mereka yakini bahwa tindakan
pemerintah tidak sah atau tidak bijaksana. Dan kedaulatan negara-negara merdeka
adalah penghalang utama bagi penerapan global dari tujuan-tujuan yang diusulkan
oleh para dewa “perubahan iklim” ini. Karena itu kedaulatan negara harus dikurangi
atau dihilangkan.
Kemudian
lagi, mungkin kegagalan kebijakan adalah
bagian dari rencana awal. Sebagai hasil dari environmentalisme secara umum,
gerakan “perubahan iklim” telah mengadopsi banyak prinsip lingkungan yang lebih
ekstrem, termasuk pengurangan populasi.
Terlepas dari prediksi yang salah secara spektakuler dari buku terlarisnya
tahun 1970 “The Population Bomb,” penulis
Paul Ehrlich masih dianggap sebagai kakek dari lingkungan yang bertema
populasi. Ehrlich berpendapat bahwa populasi
ideal bumi ini adalah kurang dari 2 miliar orang, sebuah sikap yang oleh
penulis sains Alex Berezow, digambarkan sebagai "secara terbuka bersikap misantropis
(pembenci orang) dan genosida samar-samar."
Menjelang
akhir dari film “Infinity War,” menjadi jelas bahwa rencana Thanos tidak
berjalan seperti yang dia bayangkan. Dia, seperti semua megalomaniak lain,
tidak mau menyalahkan dirinya sendiri tetapi menyalahkan korbannya, yang menolak
untuk berterima kasih kepada Thanos atas kerugian tak terduga yang ditimbulkan
oleh tindakannya. Sebagai tanggapan, Thanos memutuskan untuk menggandakan
metodenya.
"Saya
pikir dengan menghilangkan separuh kehidupan manusia, separuh lainnya akan
berkembang," keluh Thanos kepada Avengers yang masih hidup. “Tapi Anda
telah menunjukkan kepada saya bahwa itu tidak mungkin. Selama ada orang yang
mengingat apa yang ada, akan selalu ada orang yang tidak mampu menerima apa
yang bisa terjadi. Saya tahu apa yang harus saya lakukan. Saya akan
menghancurkan alam semesta ini sampai ke atom terakhirnya, dan kemudian, dengan
batu-batu yang telah Anda kumpulkan untuk saya, saya buat yang baru ... alam
semesta yang mau bersyukur.”
Sejarah
menunjukkan bahwa ideolog megalomaniak – ingatlah akan Pol Pot, Mao Zedong, dan
Josef Stalin – tidak peduli berapa juta orang mati demi mengejar ideologi
mereka yang gagal. Dengan demikian muncul salah satu pelajaran universal dalam
alur cerita Thanos:
Ketika rencana dari orang yang kuat gagal, maka
orang-orang yang tidak berdayalah yang akan membayar ongkosnya.
Thanos
dan Infinity Gauntlet adalah cerita fiksi, tetapi ancaman yang kita hadapi saat ini adalah nyata. Mereka yang
menginginkan kontrol global atas negara-negara dan hidup kita, tidak boleh
mendapatkannya.
----------------------------------
Silakan membaca artikel lainnya di sini:
Korban
Homoseks uskup Zanchetta
mengaku: Francis Tahu Segalanya
Dr.Joseph
Mercola - 'Reset
the Table'- Kekurangan makanan yang sedang mengancam saat ini tidak terjadi
secara kebetulan
Belanda
berada di garis depan dalam revolusi pangan totaliter dari Forum Ekonomi Dunia
Kardinal
Yang Rusak, Kepausan Yang Rusak
Pertunjukan
Thrive Time bersama Clay Clark