Uskup Agung Viganò memberi tahu
Steve Bannon bahwa respons COVID
'direncanakan' untuk membentuk
'rezim totaliter'
Masyarakat hendaknya
tidak mematuhi otoritas 'tidak sah' ini, yaitu kaum globalis, dan mencegah mereka
melaksanakan niat 'sengaja untuk menyakiti', kata uskup agung itu.
Thu Jun 30, 2022 - 4:44 pm EDT
(LifeSiteNews) – Uskup Agung Carlo Maria
Viganò menyatakan bahwa respons COVID global adalah bagian dari “satu naskah di
bawah satu arah” yang “menunjukkan adanya desain kriminal dan kejahatan dari penciptanya.”
Mantan Nuncio Apostolik untuk Amerika Serikat ini
membuat komentar dalam sebuah wawancara
baru yang diberikan kepada Steve Bannon, mantan ajudan Trump, di acaranya ‘War
Room’.
Uskup Agung Viganò telah menjadi kritikus yang
konsisten terhadap langkah-langkah terkait COVID-19 yang kejam, berulang kali
memperingatkan bahwa penerapannya dapat menyebabkan hilangnya kebebasan masyarakat
secara besar-besaran. Berbicara kepada Bannon, uskup agung itu menegaskan
kembali keprihatinannya, dengan mengatakan bahwa respons global yang muncul menunjukkan
bahwa ia bukanlah indikasi sebuah “pandemi” tetapi itu adalah peristiwa yang
“direncanakan”.
“Larangan
pengobatan, mendiskreditkan efektivitas obat yang telah digunakan selama
beberapa dekade, keputusan untuk merawat orang tua yang sakit di panti jompo
dan penerapan pengobatan gen eksperimental yang telah terbukti tidak hanya
tidak efektif. tetapi juga berbahaya dan seringkali fatal – semua ini
menegaskan kepada kita bahwa pandemi ini telah direncanakan dan dikelola dengan
tujuan untuk menciptakan kerusakan sebesar mungkin,” katanya.
Menunjuk
tanggapan yang hampir sama di seluruh dunia, Uskup Agung Viganò menyarankan
bahwa hal ini karena banyak pemimpin global dan pejabat kesehatan “adalah
anggota dari sebuah lobi global – Forum Ekonomi Dunia – yang melatih mereka dan
menempatkan mereka di tingkat tertinggi lembaga-lembaga nasional dan
internasional, untuk memastikan bahwa orang-orang yang memerintah di sebuah negara
akan patuh.”
Klaus
Schwab, pemimpin dan pendiri WEF, juga “secara terbuka menyombongkan diri dalam
banyak kesempatan bahwa dia dapat mencampuri bahkan pada para pemimpin agama,” kata
uskup agung itu menambahkan.
“Jelas
ada satu naskah di bawah satu arah: Ini menunjukkan adanya desain kriminal dan
kedengkian dari penciptanya.
Tujuan
dari “naskah tunggal” dan “pandemi” ini, yang digambarkan Uskup Agung Viganò sebagai “direncanakan sebagai instrumen untuk
pembentukan rezim totaliter, yang disusun oleh para teknokrat global yang tidak
pernah terpilih dan yang tidak memiliki selera perwakilan yang demokratis.”
Menelusuri
adanya sebuah 'kudeta global'
Asal usul
skenario saat ini ditemukan pada awal 1990-an, kata uskup agung itu, ketika
“kudeta dilakukan di semua negara Barat secara hampir bersamaan.” Dia
mengatakan kepada Bannon bahwa sejak awal era COVID, kekuasaan efektif atas
negara-negara telah dipegang oleh para penganut ideologi WEF dan sekutu mereka.
“Singkatnya, kita diatur oleh komando tinggi
rentenir dan spekulan, dari Bill Gates, yang berinvestasi di pertanian besar
tepat pada malam darurat pangan, atau dalam vaksin sebelum pecahnya pandemi,
hingga George Soros, yang berspekulasi tentang fluktuasi mata uang dan obligasi
pemerintah dan bersama dengan Hunter Biden membiayai laboratorium biologis di
Ukraina.”
Mantan
nuncio itu menggambarkan pemindahan kekuasaan ke tangan segelintir orang ‘yang
tak terlihat’ ini seolah kita semua (dunia) “disandera oleh sekelompok
teknokrat yang secara ideologis menyimpang dan korup secara moral.” “Karena itu
semua orang di dunia perlu merebut kembali kedaulatan mereka, yang telah
direbut oleh para elit globalis itu,” desaknya.
Yang
benar-benar kuat, oleh Uskup Agung Viganò
digambarkan: ditemukan dalam forum Davos ciptaan Schwab, atau di antara “para
penguasa, perdana menteri, direktur surat kabar dan penyiar televisi, para CEO
bankir dan direktur platform sosial dan perusahaan multinasional, bankir dan
direktur lembaga pemeringkat, presiden yayasan dan filantropis gadungan.”
Orang-orang seperti itu “berbagi agenda yang
sama,” katanya, “dan sangat percaya diri dengan kekuatan mereka sendiri,
sehingga mereka menegaskannya dengan impunitas,” melakukan berbagai “penyensoran
dan manipulasi massa sebagai instrumentum
regni (sarana untuk memerintah).”
Uskup
Agung Viganò juga tidak memaafkan para kepala negara saat ini, di negara-negara
di seluruh dunia, dari rasa bersalah mereka, dengan mengatakan bahwa “para penguasa
kita adalah pengkhianat bangsa kita yang mengabdikan diri untuk penghapusan
populasi, dan bahwa semua tindakan mereka dilakukan untuk menimbulkan kerugian
terbesar bagi warga negara.”
Sementara
beberapa orang mungkin memaafkan kegagalan para pemimpin politik sebagai
“kurang pengalaman atau ketidakmampuan,” Uskup Agung Viganò menuduh para
pemimpin tersebut (melalui forum Davos) memiliki “niat yang disengaja untuk
menyakiti.”
Peran Gereja Katolik
dalam 'kudeta global'
Uskup
Agung Viganò yang bertugas di Kuria Vatikan dan korps diplomatik sejak awal
1970-an, menyoroti “revolusi dalam Konsili Vatikan II” sebagai momen kunci bagi
Gereja Katolik dalam menghadapi skenario global saat ini. Sejak saat itu, dan
“terutama selama sembilan tahun terakhir dalam ‘kepausan’ Bergoglian”, Gereja
“telah mengalami kesalahan kognitif yang sama,” katanya.
Dengan
“tujuan dari reformasinya adalah “penghancuran sistematis Gereja oleh para
pemimpin tertingginya yang sesat dan pengkhianat,” Uskup Agung Viganò
mengatakan bahwa ‘the deep church’ telah
menggunakan argumen palsu yang sama untuk meneruskan pembongkaran doktrin,
moral, dan liturgi Gereja Katolik.”
Proses
semacam itu dilakukan dengan menciptakan kesan adanya permintaan ‘perubahan
yang mendasar’, yang sesuai dengan keinginan para “penyusup di tingkat
tertinggi negara dan organisme internasional dan membuatnya tampak bahwa
rencana mereka disahkan dengan persetujuan masyarakat.”
Sarana
untuk melawan 'jalan buntu'
Namun,
mantan nuncio di Amerika Serikat itu menambahkan kata-kata penyemangat kepada
Bannon, dengan mengatakan bahwa masyarakat harus berusaha menemukan kembali
norma-norma moralitas, karena "setiap kebajikan terdiri dari sarana yang
adil antara dua keburukan yang berlawanan, tanpa ada kompromi."
Dia memperingatkan terhadap kelebihan
“perbudakan” yang salah tempat yang “berdosa karena kelebihan, tunduk pada perintah
yang tidak adil, atau perintah yang diberikan oleh otoritas yang tidak sah.”
“Warga negara yang baik harus tahu bagaimana
tidak mematuhi otoritas sipil, dan orang Katolik yang baik harus tahu bagaimana
melakukan hal yang sama dengan otoritas gerejawi, tidak mematuhi kapan pun
otoritas itu menuntut kepatuhan pada perintah yang tidak adil,” katanya.
Ketaatan
hanya dimiliki oleh “otoritas yang sah dalam ukuran di mana kekuasaannya
digunakan untuk tujuan yang otoritasnya telah ditetapkan oleh Tuhan, katanya,
yaitu “kebaikan sementara dari warga negara dalam hal Negara, dan kebaikan
spiritual umat beriman dalam hal Gereja.”
Perintah
dari otoritas yang tidak sah, tidaklah berlaku," tambahnya.
----------------------------------
Silakan membaca artikel lainnya di sini:
Fumitory (Fumaria officinalis):
Informasi Manfaat dan Cara Kerja
Apa
yang diajarkan oleh film Marvel 'Avengers' tentang agenda depopulasi kaum
globalis
WHO
berencana untuk mempertahankan pandemi selama 10 tahun...
Forum
Ekonomi Dunia dan Komunis China berjanji untuk 'memperdalam' kerja sama
Steve
Quayle: Great Reset dan Great Tribulation adalah satu dan sama
Dr.
Robert Malone, memprediksi munculnya Kebangkitan Besar sebagai tanggapan atas
Great Reset
Percayalah:
Tindakan Kesiapsiagaan Yang Anda Ambil Saat Ini Akan Menyelamatkan Anda