APAKAH SINODE AMAZON SEDANG MENUNTUN KITA MENUJU
ECO-SOSIALISME?
April
30, 2019 | Mathias von Gersdorff
Sudah sejak lama muncul kecurigaan
bahwa Sinode Amazon 2019 nanti akan menjadi sebuah festival yang progresif,
terutama mengingat seruan kunci untuk "penghapusan selibat" karena
alasan-alasan pseudo-pastoral. Selama ini bukti nyata untuk mendukung kecurigaan
ini masih kurang. Dan sekarang, bukti-bukti ini secara bertahap mulai muncul.
Universitas Georgetown, milik Yesuit,
di Washington D.C., yang telah lama terkenal dengan eksperimen-eksperimen
teologisnya yang luar biasa, baru-baru ini mengadakan simposium untuk
mempersiapkan Sinode Amazon.
Kantor Berita Katolik dari
Konferensi Waligereja Jerman (KNA) melaporkan soal diskusi-diskusi itu:
“Adveniat, sebuah organisasi yang melaksanakan bantuan untuk Amerika Latin,
telah menyatakan dukungannya bagi tujuan yang jelas: 'prioritas absolut harus
diberikan pada perlindungan komprehensif bagi orang-orang miskin yang
terpinggirkan serta ciptaan yang terluka,' demikian Chief Executive, Michael
Heinz, menyatakan."
Secara konkret, hal ini berarti
bahwa tujuan-tujuan pastoral hendaknya disatukan
dalam sebuah program untuk melindungi “kelas sosial yang terpinggirkan” dan
“ciptaan” yang terluka.
Kaitan ini mungkin terdengar aneh
di telinga orang Amerika non-Latin, tetapi ini cukup umum di kalangan reformis
progresif dari lingkaran Katolik di Amerika Latin. Kaitan kepada masalah ekologi merupakan evolusi dari teologi pembebasan klasik (yang
menggunakan agama Katolik sebagai kedok untuk mempromosikan perjuangan kelas serta tujuan-tujuan
komunis) ke arah penyatuan dengan ekologi neo-pagan dan sosialis-komunis.
Selama tiga puluh tahun terakhir,
arus paham ekologis telah memasuki penyatuan dengan teologi pembebasan,
terutama di Amerika Latin. Perjanjian aliansi ini semakin diperkuat setelah
Kardinal Ratzinger mengutuk teologi pembebasan pada tahun
1984. Setelah dikutuk oleh Kongregasi untuk Doktrin Iman, teologi pembebasan
bersembunyi di balik jubah ‘demi perlindungan lingkungan.’ Dengan demikian,
para aktivis agama sekarang mengklaim bahwa ekonomi pasar bebas telah mengeksploitasi
tidak hanya apa yang disebut kaum proletariat tetapi juga lingkungan. Tujuan
lama mereka selalu sama: membangun masyarakat sosialis yang disamarkan dengan hiasan
dan warna Katolik.
Kaum progresif mengklaim bahwa
"eksploitasi" ini harus diatasi dengan cara menghapuskan harta milik pribadi dan membentuk sebuah rezim Marxis.
Masyarakat seperti itu akan membawa manusia kembali ke "negara
primordial" di mana semua orang akan hidup dengan cara primitif tanpa
peradaban, tetapi dalam keharmonisan dengan alam. Jauh di lubuk hati, ini
adalah sebuah agama alam dengan warna
Katolik. Ini tidak lain adalah mengejar tujuan politik Marxis di bawah jubah
"Katolik".
Tujuan dari Sinode nanti adalah
untuk mengumumkan revolusi ini dengan cara yang lebih universal. Tidak ada
alasan mengapa revolusi itu harus dibatasi hanya bagi penduduk Amazon. Dengan
demikian, Kantor Berita Katolik (KNA) mengutip Thomas Wieland, yang mewakili
kelompok Adveniat di simposium Georgetown: “Hak-hak masyarakat adat secara perlahan
akan diinjak-injak ketika minyak diambil dari Amazon untuk menjalankan mobil kita,
ketika batubara digali untuk pabrik kita, atau ketika ternak digemukkan untuk
memuaskan rasa lapar kita akan daging.”
Retorika semacam itu dengan jelas
mengulangi slogan-slogan sosialistik klasik tahun enam puluhan dan tujuh
puluhan. Dalam kasus ini, asosiasi ide socialis-populis ini
menerapkan tema-tema tersebut ke belahan bumi Selatan yang miskin yang
dieksploitasi oleh orang kaya di Utara.
Faktanya sangatlah berbeda. Berkat
reformasi pasar bebas dan investasi (dari “Utara” yang dibenci), negara-negara
Amerika Latin kini secara teknologi dan ekonomi telah sejalan dengan
negara-negara industri. Hal ini dilakukan melalui pertukaran perdagangan dan
ekonomi dengan negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Jerman dan
Jepang.
Ketika negara-negara Amerika Latin
biasa berputar-putar di sekitar pinggiran kediktatoran komunis seperti Uni
Soviet atau Kuba, mereka tetap terbelakang dan mencapai tingkat pertumbuhan
minimal. Bencana ini terutama berlaku untuk negara-negara di lembah Amazon.
Semua ini berubah pada tahun
delapan puluhan dan sembilan puluhan, ketika reformasi ekonomi pasar bebas
memungkinkan sejumlah besar orang miskin untuk memasuki kelas menengah. Kaum progresif
tidak pernah menyebut pencapaian ini di Eropa atau Amerika Serikat, karena
mereka ingin menumbuhkan citra Amerika Latin yang terbelakang dan miskin.
Setelah menghadiri simposium,
Kardinal Reinhard Marx juga berbicara di Berkeley. KNA melaporkan bahwa
"Kardinal Reinhard Marx, presiden Konferensi Episkopal Jerman, menekankan
pentingnya secara politik dari Sinode Amazon (yang akan diadakan) di musim
gugur nanti."
No comments:
Post a Comment