DOKUMEN KERJA DARI SINODE
AMAZON (Oktober 2019) DIRILIS HARI INI.
Ia semakin menegaskan adanya
masalah buruk yang sudah mengintip di cakrawala.
"Instrumentum Laboris" (dokumen kerja)
untuk Sinode Amazon mendatang telah dirilis hari ini. Saat ini hanya tersedia di Italia dan
Spanyol, dokumen yang berisi 45.000 kata - seperti yang telah diduga - berisi
indikasi bahwa seperti dua sinode tentang keluarga sebelumnya (2014 & 2015),
sinode Oktober nanti akan berbicara tentang masalah yang dihadapi oleh Gereja
di lembah sungai Amazon, dimana fokusnya tidak hanya bersifat lokal, tetapi
sebaliknya, ia akan membawa perkembangan dan perubahan yang amat meresahkan ke
seluruh Gereja Katolik.
Dokumen setebal 64 halaman itu, yang akan menjadi
dasar bagi diskusi di dalam Sinode yang akan datang, menyarankan bahwa
konferensi para uskup lokal “bisa menyesuaikan
ritus Ekaristi dengan budaya lokal mereka,” dimana Gereja telah mempertimbangkan
untuk menahbiskan “penatua” yang sudah
menikah untuk menerima jabatan imamat,
dan dalam Sinode itu para imam peserta Sinode juga mempertimbangkan adanya "pelayanan
resmi yang dapat dilaksanakan oleh para wanita," dengan mengingat
peran utama wanita dalam budaya Amazon.
Dokumen kerja tersebut juga menyarankan bahwa sudah
waktunya untuk mempertimbangkan kembali "gagasan bahwa pelaksanaan
yurisdiksi (kekuasaan pemerintahan) harus dikaitkan di semua bidang
(sakramental, yudisial, administratif) dan secara permanen dengan Sakramen
Tahbisan Suci."
Dokumen ini sangat
berfokus pada masalah ekologis, “inkulturasi” liturgi, pengorganisasian
komunitas, dan dialog ekumenisme / antar-agama.
Dalam satu bagian (hlm. 39), kita disuguhi apa yang
tampaknya merupakan kelanjutan dari ketidakpedulian agama yang menyebabkan
begitu banyak kekhawatiran umat Katolik di dunia dalam pernyataan paus Francis di
Abu Dhabi. Bunyinya, di bagian *:
Sikap keterbukaan yang tidak tulus terhadap yang
lain, serta sikap korporatis, yang mengaku memiliki keselamatan secara
eksklusif pada kepercayaan seseorang, bisa merusak kepercayaan yang sama. Dalam
perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati, Yesus menjelaskan hal ini
kepada ahli taurat yang bertanya kepada-Nya. Kasih yang hidup di dalam agama apa pun akan menyenangkan Tuhan.
“Melalui pertukaran karunia, Roh akan dapat menuntun kita semakin penuh ke
dalam kebenaran dan kebaikan.” EG 246
Tidaklah sulit untuk membayangkan kembali kalimat dalam
paragraf sebelumnya sebagai “Kasih yang hidup di dalam hubungan apa pun akan menyenangkan Tuhan,” khususnya ketika
orang-orang Kristiani di seluruh dunia menghadapi rentetan pesan gencar kaum LGBT
dalam apa yang disebut sebagai “Bulan Pride” - di mana umat Katolik di Genoa, Italia, telah dilarang oleh Uskup Agung,
Kardinal Angelo Bagnasco, untuk menggunakan paroki di keuskupan itu untuk menyampaikan
doa silih secara terbuka bagi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan atas nama
"pawai kaum gay."
Kembali kepada dokumen kerja sinode itu sendiri, bagian
tentang inkulturasi telah mendorong liturgi
perkawinan dan "liturgi inisiasi Kristiani" menjadi suasana pesta yang
"meriah, penuh dengan musik dan tarian mereka sendiri, menggunakan bahasa
dan pakaian adat, dalam persekutuan dengan alam dan dengan masyarakat." Ia
juga meminta kepada konferensi para uskup untuk "menyesuaikan ritual
Ekaristi dengan budaya mereka," dan lebih lanjut:
Masyarakat sangat sulit untuk bisa merayakan Ekaristi
karena kurangnya imam. “Gereja menerima kehidupannya dari Ekaristi” dan
Ekaristi membangun Gereja. Karena itu, bukannya membiarkan komunitas-komunitas
tanpa memiliki Ekaristi, tetapi perubahan-perubahan telah diminta dalam
kriteria untuk memilih dan mempersiapkan para utusan yang berwenang untuk
merayakan Ekaristi.
Dengan menyatakan bahwa selibat adalah sebuah karunia
bagi Gereja, maka kami meminta agar, untuk daerah-daerah yang terpencil di suatu
wilayah, untuk mempelajari kemungkinan penahbisan imamat terhadap para penatua,
terutama penduduk asli ... karena mereka sudah memiliki keluarga yang mapan dan
stabil, untuk memastikan bahwa mereka dapat memberikan sakramen-sakramen demi mendampingi
dan mendukung kehidupan Kristen [.]
Telah lama diantisipasi bahwa untuk mengatasi
kekurangan imam di wilayah-wilayah tertentu, akan mengarah pada pengenduran persyaratan
selibat bagi klerus di seluruh dunia. Seperti yang dikatakan Uskup Schneider
tahun lalu, dengan memberikan izin seperti itu di wilayah Amazon akan berarti
bahwa "selibat secara de facto
akan dihapuskan" di seluruh Gereja global.
Kardinal Jerman, Walter Kasper, seorang teman dekat
dan penasihat Paus Francis, mengatakan dalam sebuah wawancara awal bulan ini
bahwa “jika para uskup sepakat melalui kesepakatan bersama untuk menahbiskan
pria yang sudah menikah – hal ini disebut viri
probati – menurut pendapat saya maka paus akan menerimanya.” "Selibat
bukanlah dogma," lanjut Kasper. "Ini (selibat) bukanlah praktik yang
tidak dapat dirubah."
Tahun lalu, wakil presiden konferensi uskup Jerman,
Franz-Josef Bode, mengumumkan bahwa para uskup Jerman akan meminta izin khusus
kepada paus untuk menahbiskan "viri
probati" jika paus memberikan izin kepada Gereja di wilayah Amazon.
Paragraf 129 juga mengatakan bahwa disarankan agar
para uskup juga “mengidentifikasi jenis pelayanan resmi yang dapat diberikan
kepada perempuan, mengingat peran sentral yang mereka mainkan saat ini di
Gereja Amazon.”
Tidak jelas peran apa, tepatnya, yang diantisipasi
dalam bagian ini, mengingat bahwa paus tampaknya melemahkan harapan para diakon
perempuan untuk ditahbiskan (menjadi imam) setelah komisi yang ditunjuknya
beberapa tahun lalu tidak dapat menyimpulkan bahwa jabatan semacam itu pernah
ada di Gereja.
“Secara fundamental,” kata paus dalam konferensi pers
dalam penerbangan pada bulan Mei 2019, “tidak ada kepastian bahwa [penahbisan
wanita] adalah penahbisan dengan bentuk yang sama, dengan tujuan yang sama,
dengan penahbisan kaum pria. Ada yang mengatakan masih ada keraguan, mari kita
lanjutkan dan terus mempelajarinya. Saya tidak takut untuk belajar, tetapi sampai
saat ini, hal itu (penahbisan wanita) masih belum dilanjutkan."
* Translation of this section by Jesús Flórez.
Steve
Skojec is the Founding Publisher and Executive Director of OnePeterFive.com. He
received his BA in Communications and Theology from Franciscan University of
Steubenville in 2001. His commentary has appeared in The New York
Times, USA Today, The Washington Post, The Washington Times, Crisis Magazine,
EWTN, Huffington Post Live, The Fox News Channel, Foreign Policy, and
the BBC. Steve and his wife Jamie have seven children.
No comments:
Post a Comment