Bishop Erwin Kräutler of Xingu,
Brazil.GLOBART / YouTube
USKUP YANG
MENULIS DOKUMEN KERJA SINODE AMAZON INGIN MEROMBAK ATURAN IMAMAT DAN
MENAHBISKAN WANITA UNTUK MENJADI IMAM
by MAIKE HICKSON
19 Juni 2019 (LifeSiteNews) - Uskup Erwin Kräutler, penulis utama instrumentum laboris (dokumen kerja) untuk
Sinode Amazon 2019 Oktober mendatang, yang dirilis pada 17 Juni 2019 lalu, adalah
pendukung kuat pentahbisan pria dan wanita yang sudah menikah untuk menjadi
imam. Sebagaimana The Tablet menulis: “Uskup Erwin Kräutler, seorang pendukung kuat
bagi pentahbisan imam yang menikah dan imam wanita, adalah penulis dokumen
kerja untuk Sinode yang akan datang.” Sementara uskup itu mungkin memiliki
kolaborator lain, tetapi paus Francis sendiri telah mempercayakan kepada Kräutler
dengan keseluruhan tugas ini.
Pada bulan Juni 2018, LifeSiteNews melaporkan tentang sebuah buku tahun 2016 yang ditulis
oleh Uskup Kräutler, di mana dia berdebat keras guna mendukung para imam
wanita. Judul buku ini: Be Courageous!
Setelah menunjukkan bukti bahwa di wilayah Amazon, ada banyak wanita yang sudah
memimpin Liturgi Sabda (dalam Novus Ordo) pada hari Minggu, maka uskup Austria ini
mengusulkan bahwa mereka juga bisa dipersiapkan “sehingga mereka dapat memimpin
perayaan Ekaristi untuk paroki mereka. Untuk
paroki mereka! Batasan ini bagi saya adalah penting.”
Menurut Kräutler, dokumen Paus Yohanes Paulus
II tahun 1994, Ordinatio Sacerdotalis,
yang secara
definitif menegaskan kembali ketidakmungkinan
penahbisan perempuan, itu “bukanlah doktrin.” Ia bahkan menyatakan bahwa
Paus Francis - yang dengannya Kräutler telah mendiskusikan gagasan-gagasan
Uskup Fritz Lobinger mengenai pentahbisan, di Barat, imam yang sudah menikah -
akan terbuka untuk menerima ide seperti itu. Uskup itu menjelaskan, “Meskipun
demikian, saya tidak percaya bahwa dia akan mengatakan 'tidak' untuk
pentahbisan imam wanita."
Lebih lanjut Kräutler menjelaskan dalam bukunya
tahun 2016, bahwa sejak pernyataan Paus Yohanes Paulus II tentang pertanyaan adanya
imam wanita "sangat menentukan," maka Paus Francis "tidak akan
melakukan apa-apa sendirian mengenai masalah imamat, selibat dan tahbisan
wanita, tetapi hal itu akan dilakukan bersama dengan para uskup. "Setiap
keputusan dalam hal itu tentu saja tidak boleh segera dilaksanakan di seluruh
dunia, tetapi hanya secara regional saja pada awalnya.”
“Beberapa keyakinan dan interpretasi tertentu,
yang dulu disajikan dengan penuh semangat, dan bahkan dipertahankan sebagai hal
yang tidak dapat dirubah,” tambah uskup itu, ”sering kali, hal itu benar-benar
berubah dalam perjalanan sejarah.” Dia merujuk contohnya pada teks Vatikan II, Dignitatis Humanae, ‘yang demi
kebaikan’, menghapuskan Daftar Kesalahan Pius IX, khususnya yang berkaitan
dengan kebebasan beragama.
Dengan demikian, ada baiknya untuk mempelajari
posisi uskup ini, kepada siapa paus Francis telah mempercayakan begitu banyak hal
dan kepada siapa paus Francis meminta dia pada tahun 2014 untuk membuat “proposal
yang berani.” Pada audiensi yang sama itu, paus Francis berdiskusi dengan uskup
Austria itu - yang diangkat menjadi Uskup di Xingu, Brasil pada 1981 dan
pensiun pada 2015 – berdiskusi mengenai tulisan Uskup Fritz Lobinger, yang,
bersama dengan teolog pastoral Paul Zulehner, mengusulkan untuk menahbiskan
imam pria dan wanita yang sudah menikah. Zulehner menjelaskan usulan mereka
dalam artikel yang baru-baru ini diterbitkan di jurnal Jerman
Herder
Korrepondenz.
Pastor-pastor paruh waktu ini, Zulehner dan
Lobinger, menjelaskan bahwa mereka akan memiliki keluarga dan menjalankan profesi
mereka sendiri, sementara mereka masih menjadi sukarelawan sebagai imam di
komunitas lokal mereka, bersama dengan beberapa "anggota tim."
Seorang imam selibat kemudian akan "bertanggung jawab" atas beberapa
orang yang seperti mereka. Pembentukan imam jenis baru ini, kata Zulehner, akan
dijamin dengan bantuan kursus selama tiga tahun, mungkin terkait dengan
universitas lokal. Lobinger dan Zulehner menyebut para imam ini sebagai “imam dari
jenis yang berbeda,” dan mereka tidak berbicara tentang “viri probati,” tetapi lebih kepada “personae probatae,” karena ungkapan ini “akan menjaga kemungkinan tetap
terbuka jika paroki juga dapat memilih perempuan sebagai personae probatae."
Dengan dipilihnya Uskup Kräutler dan Uskup
Lobinger untuk menduduki jabatan dan posisi yang penting, hal ini menunjukkan
bahwa paus Francis benar-benar bersikap terbuka untuk menyetujui penahbisan
wanita sebagai imam. Baru-baru ini, pada 10 Mei 2019, paus berkata bahwa pembicaraan tentang diakon wanita masih
terbuka, untuk merujuk pada perubahan di dalam Gereja:
Hal ini memang benar, tetapi Gereja terus berkembang
dalam perjalanannya yang tetap setia kepada Pewahyuan. Kami tidak dapat
mengubah Pewahyuan. Memang benar Pewahyuan itu berkembang. Kata yang penting adalah
"perkembangan" – ia berkembang sesuai dengan waktu. Dan kita bersama dengan
waktu, memahami iman dengan lebih baik dan lebih baik lagi. Cara untuk memahami
iman hari ini, setelah Vatikan II, berbeda dari cara memahami iman sebelum
Vatikan II. Mengapa? Karena ada perkembangan ilmu. Anda benar. Dan ini bukan
sesuatu yang baru, karena hakikat dari Pewahyuan ada dalam pergerakan yang
terus menerus untuk mengklarifikasi dirinya sendiri.
Mari kita kembali kepada Uskup Kräutler, untuk
memahami semangat dokumen kerja dari Sinode Amazon yang akan datang,
yang telah dia persiapkan.
Dalam sebuah buku tahun 1992 yang berjudul My Life Is like the Amazon River (“Mein
Leben ist wie der Amazonas”), uskup itu berkata tentang suku asli Indian bahwa
“kami akan menghormati budaya mereka, mempelajari bahasa mereka, dan berada di
pihak mereka ketika mereka membela hak-hak mereka”(hlm. 64). Dia sama sekali tidak
menyebutkan bahwa dia ingin mengajak mereka kepada iman Katolik. Menurut sebuah
laporan di surat kabar Jerman Die Zeit: bagi Kräutler, misi di antara
orang-orang Indian “tidak berarti demi pertobatan.”
Pastor Franz Helm, seorang imam misionaris
Austria, baru-baru ini mengutip ucapan Uskup Kräutler yang mengatakan, “Saya
belum membaptis seorang Indian, dan saya juga tidak akan melakukannya.” (LifeSiteNews menghubungi Uskup Kräutler
memintanya untuk memverifikasi kutipan ini.) Franz Helm menambahkan dalam ucapannya
kepada LifeSiteNews bahwa, pada tahun
1990-an, ketika dia menjadi sekretaris jenderal Missio Austria (sebuah karya misionaris kepausan),
kutipan ini "dikirimkan kepada saya." Dia juga menjelaskan bahwa
selama "Kekristenan tidak diinkulturasikan" di wilayah Amazon,
“seorang Indian hampir tidak bisa menjadi seorang Kristen pada saat yang sama.
Karena, untuk menjadi seorang Kristen, seorang Indian harus melepaskan
keberadaannya sebagai orang Indian.” Sebagai contoh, dia menunjuk Liturgi
Romawi bersama dengan bentuk-bentuk sosial dan jabatan-jabatan yang tidak bisa disesuaikan
dengan budaya Indian.
Sebuah sumber di Austria, seorang jurnalis,
mengkonfirmasi kepada LifeSiteNews
bahwa kutipan yang disebutkan di atas dari Uskup Kräutler, sudah cukup terkenal
dan tidak pernah ditolak oleh uskup itu, meskipun hal itu telah berulang kali
dimuat di media.
Dalam sebuah laporan tahun 2000, Uskup Kräutler, dikutip dalam
ceramah yang mengatakan: “Kami berharap sebuah Kristianitas dan Gereja yang
juga memiliki sifat-sifat asli (lokal). Tidak ada lagi pertobatan formal dan cepat
kepada iman kristiani melalui baptisan pada pusat karya Gerejani untuk
orang-orang Indian, tetapi haruslah ada sebuah inkulturasi yang menanyakan
jejak-jejak mana yang juga ditinggalkan Tuhan dalam agama-agama alami
(setempat)."
Tentang masalah pembunuhan bayi di antara
suku-suku asli di wilayah Amazon, Uskup Kräutler menulis sebuah pernyataan pada tahun 2009, di mana dia mengakui bahwa “di
antara beberapa suku Indian Brazil, masih ada budaya pembunuhan bayi.” Dia
bahkan mengenang satu kejadian khusus di mana seorang wanita Indian mengubur
bayinya hidup-hidup, dan berkata bahwa dia memberikan putrinya "kembali kepada
Bumi" karena dia tidak bisa menangani anak kembar pada saat yang sama.
“Artinya,” Kräutler menjelaskan, “adalah kebiasaan, dalam hal kelahiran anak
kembar, untuk mempercayakan ke pada bumi salah satu dari anak-anak itu.”
Syukurlah, bayi perempuan yang dikubur ini bisa diselamatkan.
Kräutler secara eksplisit
menolak gagasan bahwa negara dapat menuntut mereka yang melakukan kejahatan
semacam itu. Sebaliknya, dia mendukung "meyakinkan orang-orang, dengan
kesabaran pastoral, bahwa kematian seorang anak yang ada pada budaya tertentu adalah
anakronistis dan memotong strategi hidup mereka sendiri."
“Kami selalu berjuang demi pertahanan
hidup secara fisik dan budaya orang Indian,” katanya melanjutkan, “dan kami
melakukannya atas dasar Injil, dan bukan dengan bantuan Injil fundamentalisme.”
Dengan demikian, uskup Kräutler menolak gagasan menghukum pembunuhan bayi,
karena "di sini, atas nama hak
asasi manusia dan dengan dalih menekan pembunuhan bayi, pembunuhan etnis yang luas,
maka budaya pembunuhan seperti itu, sedang diterapkan." Dan uskup Kräutler
menyetujui hal ini.
No comments:
Post a Comment