GEREJA SEDANG BERKOLABORASI DEMI PENGHANCURAN ATAS
DIRINYA SENDIRI
Ia menyatukan dirinya dengan sebuah gerakan anti-religius
June 21, 2020, 12:06 AM
Orang mungkin berpikir bahwa Gereja Katolik akan menentang pesta
ikonoklasme yang sedang kita saksikan di seluruh negeri - patung-patung yang
ditumbangkan, gereja-gereja yang dirusak, dan sejenisnya. Tapi, tidak, suara
lemah para pastor dan uskup justru bergabung dengan paduan suara massa yang
menyeramkan. Di California, massa telah menargetkan patung-patung Junipero
Serra, orang kudus Fransiskan yang menyebarkan iman melalui sistem misinya. Di
manakah Gereja yang seharusnya melindungi patung-patung itu? Tidak ada. Di Ventura, di mana
gerombolan liar itu menuntut penyingkiran patung Serra itu dari depan balai
kota, justru Gereja telah ikut serta melakukannya. Demikian The Ventura Star melaporkan,
Para uskup yang sama yang tidak berani
menghadiri demonstrasi pro-kehidupan, tetapi mereka muncul di tengah protes Black Lives Matter.
Dalam pernyataan bersama yang dirilis Kamis, Walikota Ventura,
Matt LaVere, pastor Tom Elewaut dari
Mission San Buenaventura dan Tumamait-Stenslie mengatakan bahwa mereka setuju jika
patung itu harus dikeluarkan dari properti umum. Patung orang kudus itu adalah
landmark bersejarah, kata pernyataan itu.
“Kami telah mendengarkan dan kami telah mendengar panggilan
dari orang-orang di masyarakat dan kami percaya bahwa sudah saatnya patung itu
diturunkan dan dipindahkan ke lokasi non-publik yang lebih sesuai,” kata pernyataan
mereka.
"Kita semua percaya bahwa
pemindahan patung itu harus dilakukan tanpa kekerasan, tanpa kemarahan dan ...
tanpa wacana tidak sopan, apalagi vandalisme," kata pernyataan itu lagi.
Menurut situs webnya, Black Lives Matter (BLM) berupaya untuk "membongkar
persyaratan struktur keluarga inti yang ditentukan Barat dengan cara ‘kita harus mendukung satu sama lain sebagai keluarga besar’ dan mendukung 'desa' yang secara kolektif saling
menjaga satu sama lain." BLM juga berupaya membangun "jaringan yang
menegaskan para pengikutnya" dan mengatakan, "Ketika kita berkumpul,
kita melakukannya dengan maksud membebaskan
diri dari cengkeraman kuat pemikiran heteronormatif, atau lebih tepatnya,
kepercayaan bahwa semua di dunia adalah heteroseksual – terdiri dari lelaki dan
perempuan -- (kecuali jika dia mengungkapkan sebaliknya)." Sikap ini serta
berbagai posisi menjijikkan lainnya, seperti "menggunduli polisi," seharusnya mendapatkan kecaman dari pihak Gereja.
Namun sebagai gantinya, justru para uskup membuat diri mereka tersandung dengan
cara memuji-muji gerakan kelompok BLM itu.
Para uskup yang sama itu, yang tidak berani menghadiri demonstrasi
pro-kehidupan, namun kini muncul di tengah protes BLM. Uskup Mario Dorsonville, yang
dulu tinggal serumah dengan pemerkosa Theodore McCarrick, ikut berbaris di
Washington, DC. Setelah uskup El
Paso, Mark Seitz, berlutut
bersama BLM, dia diganjar dengan
panggilan telepon dari paus, yang memujinya karena aktivitasnya itu. Mark Seitz
bahkan melunakkan keseriusan kekacauan yang terjadi setelah kematian George
Floyd, dengan mengatakan, “Saudaraku uskup di Chicago, Kardinal Blase Cupich,
menyarankan agar kita tidak terlalu cepat menilai proporsionalitas respons
'mereka' dan mulai berbicara tentang proporsionalitas dari 'diri kita.' Kita
juga perlu mengingat apa yang dikatakan oleh Dr. Martin Luther King Jr., bahwa'
kerusuhan adalah bahasa dari orang-orang yang tidak pernah didengar.”
Dalam hiruk-pikuk politik yang besar ini, para imam mestinya diharapkan untuk meratifikasi narasi kebohongan mereka yang memecahbelah negara. Celakalah mereka yang tidak mau
melakukannya. Saksi mata Kardinal Sean O'Malley menyetujui pemecatan
pastor yang bertugas di MIT, pastor Daniel Moloney, yang tidak mau tunduk pada
propaganda BLM, dengan menulis, "Setelah kematian George Floyd, sebagian
besar orang di negara ini menilai hal ini sebagai tindakan rasisme. Saya kira,
kita tidak tahu hal itu. Banyak orang mengklaim bahwa rasisme adalah masalah
utama di kepolisian. Saya kira, kita tidak tahu itu." Maka uskup (Kardinal Sean O'Malley) ini seharusnya dikirim ke
kamp pendidikan ulang para uskup.
Begitulah, di bawah paus Francis, Gereja memiliki sebuah harapan kematian, menganugerahkan
berkatnya kepada sebuah
revolusi yang akan menelan dirinya
sendiri. Pada semua uskup yang berbicara tentang
"kegagalan" Gereja, mereka tidak pernah menyebut salah satu kegagalan
pada akar dari revolusi ini: ketidakmampuan Gereja untuk mewartakan iman dan kebajikan kepada generasi yang sedang bangkit. Selama beberapa dekade, Gereja telah mewartakan politik, bukannya kesucian hidup, yang tentu saja menambah kesengsaraan kepada zaman kita yang sudah anti-agama ini. Dari sekolah-sekolah sekulernya telah muncul kelompok-kelompok ‘Katolik pro-aborsi’ yang menghapus semangat kekristenan di tengah masyarakat dan meracuni pikiran kaum
muda. Nancy Pelosi (seorang Katolik, politikus dari Partai Demokrat) dan kawan-kawannya bersorak sorai di tengah gerombolan massa saat mereka
menghancurkan simbol-simbol terakhir peradaban. Di atas patung-patung Junipero Serra yang digulingkan
itu, di antaranya, ada sidik jari para pejabat Gereja yang terlalu pengecut
atau tidak beriman untuk membela perbuatan orang-orang
kudus itu dan Gereja. Para penulis sejarah masa depan di zaman ini akan merasa luar biasa bahwa patung-patung itu tumbang karena membela Gereja.
*****
ReplyDeletemenang berapapun di bayar
ayo segera bergabung bersama kami di bandar365*com
WA : +85587781483