JEANNE SMITS, PARIS CORRESPONDENT
KAUM ELIT GLOBAL BERKUMPUL DI DAVOS, SEBUAH KOTA RESORT DI SWISS, GUNA MERENCANAKAN
SEBUAH ‘RESET BESAR’ SETELAH PANDEMI COVID
Tujuannya adalah 'membangun kembali'
sistem ekonomi dan sosial dunia agar lebih 'berkelanjutan'.
Fri Jun 12,
2020 - 8:43 pm EST
·
·
RUMIR / SHUTTERSTOCK.COM
12 Juni 2020 (LifeSiteNews) - “Tidak akan ada yang sama lagi.” Itu adalah mantra yang
kami dengar di banyak negara pada puncak pandemi COVID-19. Kalimat itu datang
dengan peringatan bahwa "normal baru" akan menggantikan tatanan yang
ada sebelumnya. Perjalanan kesana kemari yang mudah, hubungan antarpribadi,
pertemuan-pertemuan besar, bahkan hal-hal seperti berjabatan tangan, harus
memberi jalan pada ‘menjaga jarak sosial’ (social distancing) dalam jangka panjang, aturan-aturan yang drastis, dan
pengawasan. Tetapi perubahan pada tingkat pribadi ini hanyalah bagian kecil dari
sebuah gambaran yang utuh. World Economic Forum, bersama dengan Pangeran
Charles dari Inggris dan Dana Moneter Internasional (IMF), telah meluncurkan
sebuah inisiatif
yang secara jelas diberi nama "The Great Reset," dengan tujuan untuk
"membangun kembali" sistem ekonomi dan sosial dunia untuk
menjadikannya lebih "berkelanjutan."
Gagasan tersebut telah menerima dukungan penuh dari
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, mantan presiden the
Socialist International dari 1999 hingga 2005.
Secara teknis, reset
adalah inisialisasi ulang: dalam bahasa era digital kita, itu berarti
menghapus semua perangkat keras dan data pada hard disk dan memformatnya lagi dengan
awal yang baru. Ditransposisikan kepada aktivitas manusia, reset berarti
revolusi: transformasi mendalam dari semua yang dilakukan, dipikirkan, atau
dipercayai - membuat terobosan baru yang
terpisah dari masa lalu.
Selama beberapa dekade, Forum Ekonomi Dunia, yang didirikan
oleh Prof. Klaus Schwab pada tahun 1971, telah mengumpulkan para kepala negara,
miliarder, dan para kepala bisnis besar, setiap tahun, untuk merefleksikan
masalah-masalah ekonomi dan pemerintahan dan bekerja menuju tujuan bersama:
perdagangan bebas yang global, aturan dunia bersama untuk menggantikan keputusan kedaulatan nasional, mempromosikan
non-diskriminasi, "untuk mengubah ekonomi dan masyarakat."
Untuk waktu yang lama, pertemuan tahunannya di Davos telah diadakan
secara diam-diam, bahkan secara rahasia. Namun kini perlahan-lahan telah
berubah, karena tujuan WEForum telah menjadi lebih mengemuka: pertemuan-pertemuan
utama, jadwal, dan daftar peserta sekarang tersedia online, meskipun secara
luas dikatakan bahwa banyak pembicaraan dan keputusan dari ‘orang-orang kuat’ berlangsung
dan terjadi setelah jam atau acara yang resmi.
Tetapi edisi 2021 menjanjikan akan sangat berbeda. Sementara
pertemuan fisik akan diadakan di kota resor ski Swiss, Davos, seperti biasa -
dan tidak ada orang biasa yang bisa memasuki Davos pada saat itu tanpa undangan
resmi kepada Forum - kali ini, akan ada partisipasi online global untuk forum
virtual termasuk banyak "pemangku kepentingan" dan kaum muda yang
akan diberi tahu bahwa mereka akan memiliki suara yang menentukan bagi dunia
yang akan datang. Beberapa akan menyebutnya sebagai "dinamika
kelompok."
Selama berbulan-bulan menjelang pertemuan Davos Januari,
"The Great Reset Dialogues" akan mempersiapkan acara dalam seri
online yang menjanjikan untuk layak ditonton oleh mereka yang ingin tahu
bagaimana para globalis dari Forum Ekonomi Dunia ingin membentuk kembali masa
depan. Dan, ya, mereka bisa disebut sebagai "globalis" karena
begitulah para duta besar ‘Inisiatif’ saat ini menggambarkan diri mereka sendiri.
Sebuah contoh? Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed. Dia
berkata: “Saya menganggap pandemi global yang menyakitkan ini sebagai tantangan
yang kompleks dan adaptif. Dalam dunia yang saling terhubung dan saling
tergantung, tantangan yang kompleks dan adaptif tidak dapat diselesaikan oleh
masing-masing negara - itu hanya dapat diatasi melalui ... aksi kolektif dan
kerja sama global."
Hal ini sesuai dengan harapan
António Guterres bahwa seharusnya 10 persen dari PDB Bumi digunakan
secara internasional untuk menanggapi dampak ekonomi dan sanitasi pandemi
COVID-19, dengan solusi "global" dalam pandangan masyarakat "yang
sedang lahir kembali."
Melihat Great Reset Initiative dari WEForum yang tumbuh dari
COVID Action Platform, tampaknya sebagian besar chip sudah turun. “Ekonomi
hijau,” “de-karbonisasi,” “memerangi ketidaksetaraan,” “kapitalisme pemangku
kepentingan,” dan “tujuan pembangunan berkelanjutan” (seperti dalam “SDG” di
AS) dimana ini semua adalah istilah berulang dalam artikel WEForum yang
menyajikan Inisiatif. Tidak ada yang baru atau asli; sebenarnya, hal utama yang
telah mengubah situasi adalah pandemi, yang digunakan sebagai momen pendorong
perubahan saat ini. Bagaimana? Melalui kehancuran ekonomi global yang
menyertainya ‘atas jasa’ dari lockdown internasional.
Adapun Reset itu sendiri, itu sudah dibicarakan sebelum virus
corona Cina keluar dari Wuhan. Pada 30 Desember 2019, misalnya, Financial Times menerbitkan presentasi YouTube
dengan judul "Mengapa kapitalisme perlu diatur ulang pada tahun
2020." Di sini tema yang berulang adalah "kapitalisme dari pemangku
kepentingan," di mana "pendekatan perusahaan terhadap manusia, terhadap
planet ini, dan inovasi - termasuk bagaimana perusahaan melindungi dan
menerapkan nilai tambah data-datanya - harus lebih menonjol dalam keputusan
alokasi modal" (seperti situs WEForum
menjelaskan).
Menghadirkan Great
Reset Initiative di mana dia adalah salah satu pemimpin utama, Pangeran
Charles tampak cukup senang dengan situasi ini: “Kami memiliki peluang emas
untuk merebut sesuatu yang baik dari krisis ini. Gelombang kejutan yang belum
pernah terjadi sebelumnya mungkin membuat orang lebih mudah menerima visi
perubahan besar,” katanya.
Kutipan-kutipan kunci dari pertemuan online virtual, dimana
dalam kesempatan itu Presiden Forum Ekonomi Dunia, Prof. Klaus Schwab, Pangeran
Charles, dan beberapa orang lain mempresentasikan Great Reset Initiative, memasukkan
banyak komentar semacam itu.
Memperhatikan bahwa "perubahan iklim" adalah bahaya
yang jauh lebih besar daripada pandemi coronavirus, Pangeran Charles berharap adanya
"pemulihan hijau": "Ini adalah kesempatan yang belum pernah kita
miliki sebelumnya dan mungkin tidak akan pernah terjadi lagi," katanya.
Mempertimbangkan bahwa planet kita hampir setara dengan manusia, dia berkata:
"Aktivitas kita telah merusak sistem kekebalan tubuh planet bumi."
Schwab menyebut situasi saat ini sebagai "jendela
peluang yang unik." Kita harus "membangun kontrak sosial baru,"
katanya. "Kita harus mengubah pola pikir kita" dan "gaya hidup
kita," katanya lebih jauh.
Apakah ini akan menjadi sebuah remake dari Revolusi Perancis yang berpendapat, bersama dengan
Jean-Jacques Rousseau, bahwa manusia dilahirkan secara alami baik dan dirusak
oleh masyarakat, dan bahwa masyarakat harus dihasilkan dari "kontrak
sosial" di mana hukum dan norma
moral bukanlah ekspresi hukum ilahi, tetapi kehendak mayoritas orang? Sejarah
telah menunjukkan bahwa revolusi yang dibangun di atas dasar pemikiran itu berujung
pada tirani.
Salah satu tujuan utama dari "Great Reset" adalah
"mengurangi ketidaksetaraan," yang dalam istilah sehari-hari berarti
"mendistribusikan kembali kekayaan." Gagasan ini diterima begitu saja,
bahwa ketidaksetaraan adalah kejahatan itu sendiri. Berbicara selama pertemuan
Great Reset virtual, Guterres mengatakan krisis COVID-19 harus mengarah pada
respons terhadap “tingkat ketidaksetaraan yang tidak berkelanjutan dan
pelanggaran hukum dunia maya.”
Pajak karbon dan “energi terbarukan” juga dijunjung tinggi
dalam agenda Great Reset. Guterres mengutip kebutuhan untuk "maju menuju
emisi-nol" dan mengimplementasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)
dari PBB. SDGs ini, dengan pola pikir
sosialis dan eko-radikalisme mereka, mengadvokasi "untuk akses
universal kepada kesehatan seksual dan reproduksi serta hak-hak
reproduksi," Jargon PBB ini juga memasukkan
kontrasepsi dan aborsi - paling tidak, karena jumlah populasi manusia dianggap sebagai musuh utama alam dan keanekaragaman
hayati.
Direktur pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, yang tumbuh besar
di Bulgaria Komunis, mempromosikan pendekatan "hijau" yang sama.
Sementara IMF menyediakan bantuan darurat yang diperkirakan akan berjumlah hingga
100 miliar
dolar, dengan "170 negara" diperkirakan memiliki ekonomi yang lebih kecil pada akhir tahun
2020 daripada yang mereka mulai pada awal tahun, dan Georgieva menyatakan:
Disini kita melihat suntikan stimulus fiskal yang sangat
masif [.] ... Tetapi yang terpenting adalah bahwa ini akan mengarah pada dunia
yang lebih hijau, lebih adil, lebih cerdas di masa depan.
Dengan kata lain, bantuan
keuangan harus digunakan dan didistribusikan untuk mendukung perusahaan-perusahaan
yang benar secara ekologis. Dia menambahkan bahwa harus ada "insentif
karbon rendah," mengambil "keuntungan dari harga minyak rendah"
untuk menambahkan "harga karbon sebagai insentif." "Kami
membutuhkan Reset Besar, bukan pembalikan besar," pungkasnya.
Mungkin pembicara yang paling penting pada peluncuran virtual
Great Reset adalah Ma
Jun, dari Komite Keuangan Hijau (Komunis) Cina. Dia juga penasihat
khusus untuk gubernur Bank Rakyat Cina yang dikendalikan Partai Komunis Cina
dan dipresentasikan sebelum pidatonya pada peluncuran virtual Great Reset
sebagai "anggota NPC." "NPC" adalah singkatan dari Kongres
Rakyat Nasional, yang secara teori adalah otoritas politik tertinggi di Cina,
di mana, bagaimanapun, presiden Xi Jinping dan Partai Komunis yang berkuasa dan
memerintah tertinggi.
Ma Jun menegaskan bahwa pemulihan pasca-COVID harus
"lebih hijau daripada pemulihan sebelumnya," melalui pembiayaan
"proyek hijau" yang harus "lebih tinggi daripada yang pernah
terjadi dalam sejarah."
Ma Jun juga mengatakan, “Stimulus konsumsi harus berwarna
hijau. Pemerintah dapat membuat daftar barang konsumsi hijau dan ini harus
diberikan preferensi pada daftar subsidi dan kupon konsumen."
Memperhatikan bahwa banyak sekali pekerja migran kehilangan
pekerjaan di Cina, ia menambahkan: "Daripada membayar mereka dengan tunjangan
pengangguran, maka kita harus meminta mereka untuk menanam pohon dan membayar
mereka untuk itu."
Mengenai "proyek non-hijau," Ma Jun menyatakan,
mereka harus tunduk pada "peraturan baru" yang mewajibkan mereka
untuk memenuhi "standar lingkungan yang ketat" dan dibuat untuk
"merilis informasi" tentang kepatuhan mereka "atas dasar kewajiban".
Ingatlah bahwa rekomendasi ini dibuat oleh Ma Jun bukan hanya
untuk Cina (yang merupakan penghasil karbon terbesar di dunia, dengan pabrik
batubara baru yang direncanakan untuk dibangun hingga tahun 2030), tetapi untuk
seluruh dunia.
Ma Jun sebenarnya menggemakan keinginan Bernard Looney, CEO
BP (sebelumnya British Petroleum), yang mengatakan sebelumnya, "Setiap
stimulus pemulihan harus memiliki kondisi hijau." Ini berarti membiarkan
bisnis yang tidak patuh, untuk mati setelah terluka parah oleh tindakan lockdown.
Looney juga mengagumi Cina: "Pemulihan Cina dapat
membuat kita keluar dari krisis," katanya.
Kembali kepada publikasi World Economic Forum tentang krisis
COVID-19 dan jalan keluar yang tepat, kita tidak boleh lupa bahwa ideologi gender juga menjadi bagian dari
paket ekologis-sosialis. Dalam sebuah op-ed oleh John Miller berjudul
"Great
Reset: Mengapa inklusi LGBT+ adalah kunci dari kesuksesan kota-kota pasca-pandemi,"
weforum.org
mengklaim bahwa "ada korelasi positif yang kuat antara inklusi LGBT+ dan
ketahanan ekonomi." "Secara khusus, kota-kota yang menganut
keanekaragaman (termasuk keanekaragaman gender) dapat menuai 'dividen inklusi'
ketika mereka mulai membangun kembali ekonomi mereka," lanjutnya.
Sementara krisis “mengancam untuk membalikkan kemajuan selama
beberapa dekade dalam memerangi kemiskinan,” dikatakan bahwa “LGBT inclusion”
akan memungkinkan untuk pulih lebih cepat sesuai dengan “Open for Business,”
sebuah koalisi perusahaan yang mempromosikan “kesetaraan LGBT+.”
“Ini adalah temuan yang signifikan: peningkatan satu poin
dalam penerimaan sosial menunjukkan peningkatan tiga poin dalam indeks ketahanan
ekonomi, bahkan ketika harus mengendalikan PDB per kapita. Bisakah LGBT+
dimasukkan sebagai unsur rahasia untuk ketahanan ekonomi ?,” demikian tulis
John Miller. Dia mengatakan bahwa "keterbukaan"
dan "inovasi" adalah terkait dengan penerimaan gaya hidup homoseksual
dan trans gender.
“Sekarang
adalah saatnya bagi
kita untuk merangkul komunitas
LGBT+, bukan menstigmatisasi mereka. Menciptakan masyarakat inklusif bukanlah
hal yang tepat untuk dilakukan; seperti yang diperlihatkan oleh bukti, ini merupakan bagian penting dari
strategi ekonomi yang berfokus pada ketahanan dan pemulihan: "Kesimpulan
Miller juga merupakan indikator yang jelas tentang apa yang dipromosikan oleh
krisis COVID-19.”
*****
Kitab Suci tentang gender:
Kej 1:27 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka.
Kej 2:23 Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia,
tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab
ia diambil dari laki-laki."
Kej 2:24 Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu
daging.
Kej 4:1 Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa,
isterinya, dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain; maka kata
perempuan itu: "Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan
pertolongan TUHAN.“
Kej 5:2 laki-laki dan
perempuan diciptakan-Nya mereka. Ia memberkati mereka dan memberikan nama
"Manusia" kepada mereka, pada waktu mereka diciptakan.
Mat 19:4 Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang
menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?
Mat 19:5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan
meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
itu menjadi satu daging.
Mat 19:6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan
satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia."
1Tes
4:3 Karena inilah
kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan,
1Tes
4:4 supaya kamu
masing-masing mengambil seorang perempuan menjadi isterimu sendiri dan hidup di
dalam pengudusan dan penghormatan,
1Tes
4:5 bukan di dalam
keinginan hawa nafsu, seperti yang dibuat oleh orang-orang yang tidak mengenal
Allah,
1Tes
4:7 Allah memanggil kita
bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus.
Kitab
Suci tentang homosex:
Rm
1:24 Karena itu Allah
menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka akan kecemaran, sehingga mereka
saling mencemarkan tubuh mereka.
Rm
1:26 Karena itu Allah
menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka
menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar.
Rm
1:27 Demikian juga
suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan
menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka
melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima
dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.
Rm
1:32 Sebab walaupun
mereka mengetahui tuntutan-tuntutan hukum Allah, yaitu bahwa setiap orang yang
melakukan hal-hal demikian, patut dihukum mati, mereka bukan saja melakukannya
sendiri, tetapi mereka juga setuju dengan mereka yang melakukannya.
Katekismus tentang perkawinan:
CCC1601. "Perjanjian Perkawinan, dengan mana pria dan wanita membentuk antar mereka
kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan
suami-isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak;“
CCC1603. “Allah sendirilah Pencipta Perkawinan."
Panggilan untuk Perkawinan sudah terletak dalam kodrat pria dan wanita,
sebagaimana mereka muncul dari tangan Pencipta.
CCC1605. “Kitab Suci berkata, bahwa pria dan wanita diciptakan satu untuk yang
lain... sehingga keduanya menjadi satu daging."
Katekismus
tentang homosex:
CCC
2357. Homoseksualitas
adalah hubungan antara para pria atau wanita, yang merasa diri tertarik dalam
hubungan seksual, semata-mata atau terutama, kepada orang sejenis kelamin.
Homoseksualitas muncul dalam berbagai waktu dan kebudayaan dalam bentuk yang
sangat bervariasi. Asal-usul psikisnya masih belum jelas sama sekali.
Berdasarkan Kitab Suci yang melukiskannya sebagai penyelewengan besar,
tradisi Gereja selalu menjelaskan, bahwa "perbuatan homoseksual itu
tidak baik" (CDF, Perny. "Persona humana" 8). Perbuatan itu
melawan hukum kodrat, karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi waktu
persetubuhan. Perbuatan itu tidak berasal dari satu kebutuhan benar untuk
saling melengkapi secara afektif dan seksual. Bagaimanapun perbuatan itu tidak
dapat dibenarkan.
*****
menang berapapun di bayar
ReplyDeleteayo segera bergabung bersama kami di bandar365*com
WA : +85587781483