By Dorothy Cummings McLean
Dua orang
profesor Katolik berkata:
MENGIJINKAN HUKUMAN
MATI ADALAH DOKTRIN KATOLIK DAN HAL ITU TIDAK DAPAT DIHAPUSKAN:
LOS ANGELES & CLAREMONT, California, 8 Agustus 2018 (LifeSiteNews) - Dua orang profesor Katolik AS yang menulis apa
yang dianggap banyak orang sebagai pembelaan yang keras terhadap ajaran Katolik
tentang hukuman mati, mengatakan bahwa ajaran baru Paus Fransiskus tentang
masalah ini tampaknya "bertentangan dengan kitab suci, tradisi, dan semua
paus sebelumnya.”Dan, dia (Paus Francis) telah “melakukan kesalahan doktrinal.”
Ini adalah minggu yang sibuk bagi Edward Feser
dan Joseph Bessette, penulis bersama dari buku By
Man Shall His Blood Be Shed: A Catholic Defense of Capital Punishment.
Diterbitkan oleh Ignatius Press pada Mei 2017, karya ini adalah panduan
komprehensif untuk pengajaran Gereja Katolik tentang hukuman mati. Atas perubahan
mengejutkan dari Paus Fransiskus pada Katekismus Gereja Katolik minggu
lalu, maka kedua orang itu kini menjadi sorotan.
Feser, asisten profesor filsafat di Pasadena
City College, mengatakan kepada LifeSiteNews
bahwa ajaran baru Paus Francis, "seperti yang terjadi pada banyak
pernyataan doktrinal lainnya dari Paus Francis, adalah tidak jelas."
“Di satu sisi, surat CDF yang mengumumkan perubahan (isi
Katekismus) tersebut menegaskan bahwa ajaran baru ini 'tidak bertentangan' dengan
pengajaran sebelumnya. Di sisi lain, paus mengatakan bahwa hukuman mati tidak
boleh digunakan – dimana hal ini telah melampaui pengajaran John Paul II bahwa aturan
itu haruslah 'sangat jarang' dipergunakan – tetapi Francis membenarkan klaim
ini atas dasar-dasar ajaran doktrinal, bukan alasan kehati-hatian seperti yang diminta
oleh Yohanes Paulus,”katanya.
“Selain itu, Paus Francis mengklaim bahwa penggunaan hukuman
mati adalah bertentangan dengan 'hak yang tidak dapat diganggu gugat dan
martabat seseorang,' yang membuatnya terdengar seperti secara intrinsik
bertentangan dengan hukum alam. Jadi, substansi yang sebenarnya dari ajaran itu
tampaknya adalah bahwa hukuman mati secara intrinsik adalah salah. Jika itu
yang dikatakan dan dimaksudkan oleh paus Francis, maka dia telah bertindak bertentangan
dengan Kitab Suci, Tradisi, dan semua paus sebelumnya, dan oleh karena itu dia
telah melakukan kesalahan doktrinal, yang dimungkinkan ketika paus tidak
berbicara ex-cathedra (dari kursi kekuasaannya)” tambahnya.
Untuk percaya bahwa Gereja dapat bertentangan dengan
doktrin-doktrinnya, apakah mengenai kontrasepsi buatan atau hukuman mati atau
ajaran moral lainnya, adalah "tidak sejalan dengan apa yang dikatakan
Gereja tentang dirinya sendiri."
"Kita sedang membela integritas
Gereja"
Feser mengatakan bahwa ketika buku mereka terbit,
dia dan Joseph Bessette menerima banyak sekali serangan pribadi, kritikan, yang
dia sebut sebagai "omong kosong kekanak-kanakan."
"Kami sedang membela integritas
Gereja," katanya.
Feser menunjukkan bahwa banyak pembela doktrin
abadi Gereja, seperti mendiang Kardinal Avery Dulles dan Kardinal Charles J.
Chaput, sendiri secara pribadi menentang hukuman mati. Meskipun demikian, mereka tidak mengingkari adanya ajaran
Gereja tentang hukuman itu.
"Sangat aneh bahwa begitu banyak orang
ingin menjadikan ajaran itu bersifat pribadi," kata filsuf itu.
"Lihat saja argumennya."
Feser melihat tindakan Paus Francis yang merubah katekismus
sebagai sangat bermasalah.
"Seperti dalam contoh lain dalam lima tahun terakhir,
ambiguitas Paus Francis adalah sebuah faktor," katanya. "Tapi saya pikir,
yang ini adalah lebih buruk dari itu."
Dia mencatat bahwa Kardinal Ladaria yang memberikan kata
pengantarnya dalam surat keputusan Paus Francis itu, yang menyatakan
bahwa perubahan yang dilakukan Francis adalah "tidak bertentangan dengan
ajaran sebelumnya dari Magisterium" tetapi dia tidak menjelaskan bagaimana
itu tidak merupakan sebuah keretakan. Dan jika benar bahwa hukuman mati tidak
dapat diterima, karena itu adalah "serangan terhadap martabat manusia",
maka selanjutnya, Feser mengatakan, bahwa Hukum Musa adalah "serangan
terhadap martabat manusia" juga dan bahwa pernyataan Paus Yohanes Paulus
II bahwa hukuman mati adalah sah dalam keadaan yang langka adalah
"serangan terhadap martabat manusia” juga.
Dalam pembelaan Paus Francis, filsuf itu mengatakan bahwa
mungkin saja Paus tidak tertarik kepada doktrin. Feser tidak yakin ini adalah
pembelaan, namun, "melindungi doktrin adalah tugas paus." Namun,
mengingat komentar Paus Fransiskus yang dibuat Oktober lalu, ketika dia
mengatakan bahwa hukuman mati "bertentangan dengan Injil", perubahan
katekismus adalah "tidak terlalu buruk dari apa yang tampak kami hadapi",
maka Feser percaya bahwa formulasi awal ini membuatnya terdengar seolah-olah
hukuman mati adalah "intrinsik jahat."
Dalam hal pengembangan yang benar-benar otentik pada ajaran Gereja
tentang hukuman mati, Feser berpendapat bahwa Paus Yohanes Paulus II telah
menerimanya sejauh yang dia bisa, dan terlebih lagi bahwa dia tidak melaksanakan
hukuman itu sejauh yang dipikirkan oleh orang-orang. Meskipun banyak orang
percaya JP2 membatasi pelaksanaan hukum itu hanya untuk mencegah ancaman langsung
yang membahayakan orang yang tidak bersalah, “jika anda benar-benar membaca (Evangelium
Vitae), hal itu tidak benar-benar ada di sana,” kata filsuf itu. Doktrin abadi
Gereja bahwa hukuman mati adalah sah, juga berfungsi sebagai penghalang dan
sebagai keadilan retributif.
"Satu-satunya hal yang dapat dilakukan adalah
merekomendasikan untuk menentang (hukuman mati) dalam praktek," kata Feser. Namun, prinsipnya dasarnya harus
tetap, bahwa hukuman mati bisa dilakukan.
Dia menekankan bahwa ini bukan hanya pernyataannya sendiri.
“Kami menganalisis ini dengan teliti dalam buku kami,” kata
Feser sambil menyuarakan rasa frustasinya dengan mengatakan betapa sedikitnya
orang yang mau berdiskusi soal kritikannya dan kritikan Bessette. Orang-orang
itu bukan hanya tidak dapat memahami bukti yang ada, bahwa Gereja tidak pernah
menolak bahwa hukuman mati pada dasarnya adalah jahat, tetapi banyak ilmuwan
sosial yang percaya bahwa hukuman itu memiliki efek jera. Feser mengatakan
bahwa adalah sangat "gegabah" dan "tidak bertanggung jawab"
bagi para pejabat Gereja yang tidak memiliki keahlian sosiologis untuk memahami
tentang martabat manusia. Jika hukuman mati memiliki efek jera, berarti mereka
yang ingin menghapusnya adalah “mempertaruhkan nyawa orang yang tidak
bersalah.”
'Pro-life' bukanlah 'peluru teologis yang
sakti’
Tidak sabar dengan sikap sentimentalitas dan
anti-intelektualisme, Feser juga mengabaikan mereka yang mengatakan bahwa
orang-orang yang menentang aborsi tetapi mendukung hukuman mati, tidaklah
benar-benar pro-kehidupan.
" ‘Pro-life ’adalah slogan politik Amerika
modern," kata Feser. "Tidak memiliki konten filosofis atau teologis
sama sekali."
Kata itu (Pro-life) bukanlah "peluru
teologis yang sakti," katanya menekankan. Dia menunjukkan bahwa seseorang
dapat dengan mudah mengatakan kepada yang lain bahwa mereka tidak
"pro-kebebasan" jika mereka mendukung penahanan orang-orang yang
bersalah atas kejahatan. Alkitab sangat jelas mengatakan bahwa seseorang dapat
kehilangan hak untuk hidup melalui pembunuhan; ada perbedaan antara melindungi
hak untuk hidup bagi orang yang tidak
bersalah dan orang yang bersalah, seperti ada perbedaan antara secara tidak adil merampas kebebasan orang
tak berdosa dan dengan adil mengunci
orang yang bersalah di dalam penjara.
Feser dibesarkan sebagai seorang Katolik, tetapi studi
filsafatnya secara bertahap menuntunnya kepada atheisme. Namun, dengan belajar sejarah
filsafat, kuno dan abad pertengahan, telah membawa dia kembali kepada iman.
Pendapat filsuf itu dalam masalah hukuman mati telah diminta
oleh Paus Yohanes Paulus II. Feser mendukung penggunaan hukuman mati, baik
sebagai seorang atheis maupun sebagai seorang Katolik, tetapi dia melihat bahwa
penentangan pribadi John Paul II telah mengubah persepsi orang tentang apa yang
sebenarnya diajarkan Gereja.
"Saya melihat orang-orang didorong kepada
posisi ekstrim [abolisionis]," kata Feser.
Dia merasa terganggu oleh apa yang dilihatnya
sebagai “serangan terhadap rasionalitas dan konsistensi” Gereja Katolik, ketika
hal itu adalah rasionalitas dan konsistensi yang dia kagumi. Sebelumnya dia telah
berusaha mencari "ruang gerak" pada pengajaran melawan kontrasepsi
buatan (artificial contraception),
tetapi dia telah mengetahui bahwa Paus Paulus VI telah menegaskan ajaran itu, "ketika
seluruh dunia menentangnya."
"Saya terkesan oleh kerasnya pendiriannya (Paus
paulus VI)," katanya sambil tertawa.
Rekan penulis Feser, Joseph Bessette, seorang
profesor bidang etika dan pemerintahan di Claremont McKenna College di
California, mengatakan kepada LifeSiteNews
melalui email bahwa dia pertama kali tertarik dengan hukuman mati ketika tumbuh
besar di Massachusetts, di mana hal itu menjadi "topik yang sangat
diperdebatkan" pada tahun 1950an dan 1960an.
“Kemudian, pada awal 1980an saya bekerja di
kantor kejaksaan di Chicago. Di situlah saya pertama kali belajar dari jaksa
tentang rincian mengerikan dari pembunuhan yang relatif sedikit, yang
mengakibatkan dijatuhkannya hukuman mati, ”kenang Bessette.
Ketika dia mulai mengajar kuliah tentang
"Kejahatan dan Kebijakan Publik" pada awal 1990-an, Bessette
menghabiskan tiga minggu untuk membahas hukuman mati, tetapi dia tidak
memperhatikan dengan cermat ajaran-ajaran Gereja mengenai topik ini, karena dia
tahu bahwa Gereja "selalu mengajarkan bahwa hukuman mati bisa menjadi hukuman yang sah untuk kejahatan
yang keji jika hal itu diperlukan untuk mengamankan keselamatan publik.”
Tetapi ucapan seorang siswa mengilhami dia
untuk berpikir lagi.
“Suatu hari seorang siswa di kelas saya
berkata, 'Ya, saya seorang Katolik. Jadi saya menentang hukuman mati.’ Saya menyampaikan
kepadanya tentang ajaran tradisional Gereja dan kemudian berusaha untuk
mempelajari lebih lanjut tentang ensiklik Evangelium Vitae Paus Yohanes Paulus
II (1995) dan revisinya dalam bahasa Katekismus antara 1992 dan 1997."
'Fakta sederhananya adalah bahwa hukuman mati
menyelamatkan nyawa'
Bessette berpendapat bahwa dalam merevisi
Katekismus untuk menyatakan bahwa hukuman mati adalah "tidak dapat diterima", Paus Francis telah berusaha untuk "membatalkan" 2000 tahun ajaran
Gereja.
"Selain itu, dengan sangat mengesankan
bahwa umat Katolik harus mendukung penghapusan hukuman mati, maka Paus Francis
telah mempersekutukan Gereja dengan kebijakan publik yang akan merusak hukuman yang
adil dan mengorbankan nyawa manusia yang tidak bersalah," tegasnya. "Fakta yang sederhana adalah bahwa
hukuman mati menyelamatkan nyawa."
Bessette mengatakan bahwa dia dan Feser
menyajikan "banyak bukti" dalam buku mereka untuk mendukung
kesimpulan ini.
Sayangnya, Paus Francis dan banyak klerus Katolik
menganggap bahwa keselamatan publik tidak akan terancam jika hukuman mati
dihapuskan,”lanjutnya.
Dia mengatakan bahwa dirinya tidak mengharapkan
para imam Katolik “tidak peduli apapun jabatan mereka” untuk menjadi ahli dalam
peradilan pidana, dan bahwa jika ada kebijakan publik yang secara intrinsik adalah
jahat, maka hal itu terserah kepada warga dan pemerintah “untuk memutuskan cara
yang terbaik, untuk mempromosikan kebaikan bersama. ”
“Inilah yang selalu diajarkan oleh Gereja,” kata
Bessette menekankan. “Dengan klaim palsu
bahwa prinsip-prinsip Katolikisme
menyerukan penolakan terhadap hukuman mati dalam semua keadaan, maka Paus Francis
telah merongrong otoritas Magisterium, mendahului otoritas pejabat publik yang resmi,
dan membahayakan keamanan publik serta kebaikan bersama.”
Dalam membela mereka yang berusaha melindungi anak-anak
yang belum lahir, sambil mendukung hukuman mati terhadap orang yang berbuat kejahatan
tertentu, Bessette mengatakan bahwa hal itu tidak ada kontradiksi.
"Sama sekali tidak ada pertentangan antara
menjadi orang yang pro-kehidupan dan pro-hukuman mati," katanya. “Gereja
selalu mengajarkan bahwa tidak pernah dibenarkan untuk mengambil kehidupan orang
yang tidak bersalah.”
Bessette mengutip Yohanes Paulus II, dengan mengatakan
bahwa paus menegaskan prinsip ini dengan jelas dalam Evangelium Vitae.
Paus Yohanes Paulus II menulis: “Perintah 'Jangan
membunuh' memiliki nilai absolut ketika hal itu merujuk kepada orang yang tidak
bersalah. . . . Hak yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat dari kehidupan (nyawa)
orang yang tidak bersalah adalah merupakan kebenaran moral yang secara jelas
diajarkan oleh Kitab Suci, yang secara konstan ditegakkan dalam Tradisi Gereja
dan secara konsisten diusulkan oleh Magisteriumnya ... Oleh karena itu, oleh otoritas
yang diberikan Kristus kepada Petrus dan Penerusnya, dan dalam persekutuan
dengan para Uskup Gereja Katolik, saya menegaskan bahwa pembunuhan langsung dan
sukarela atas manusia yang tidak bersalah selalu sangat tidak bermoral (EV 57)”
“Demikian pula,” Bessette menambahkan,
“Katekismus saat ini mengatakan, 'Hak asasi atas kehidupan setiap individu yang
tidak bersalah adalah elemen konstitutif dari masyarakat sipil dan
perundang-undangannya' (CCCC 2273).”
"Jadi, membunuh untuk tujuan membela diri atau membunuh seorang pembunuh kejam, sama sekali tidak ada hubungannya dengan larangan membunuh, dengan sengaja, orang yang tidak bersalah, dan Gereja selalu
memahami dan mengajarkan pengertian ini."
++++++++++++++++++++++++++++++
Silakan melihat reaksi keras terhadap
Paus Francis dari masyarakat Katolik di dunia: disini
‘Doctrinal
error’: Catholics react to Pope Francis’ new teaching against death penalty
Pope Francis Rewrites
Catholicism ... and the Bible:
No comments:
Post a Comment