DI DALAM LEMARI VATIKAN
Frếdếric Martel
KEKUASAAN
HOMOSEXUALITAS
KEMUNAFIKAN
DAFTAR ISI
CATATAN DARI PENULIS DAN PENERBIT
|
|
Bab 1. Domus Sanctae Marthae
|
BAGIAN I
FRANCIS
Bab 1
"Selamat
malam," kata suara itu. "Aku ingin mengucapkan terima kasih."
Dengan ibu jari
dan jari kelingking mendekat ke telinganya, Francesco Lepore (nama samaran)
menceritakan dan menirukan percakapan teleponnya, kepadaku. Dia baru saja
mengangkat, dan bahasa tubuhnya sekarang tampak sama pentingnya dengan
kata-kata yang diucapkan teman bicaranya yang misterius di Italia, dengan aksen
yang kuat. Lepore ingat detail terkecil dari panggilan itu.
“Saat itu 15
Oktober 2015, sekitar jam lima kurang seperempat, saya ingat dengan sangat
jelas. Ayah saya baru saja meninggal, beberapa hari sebelumnya, dan saya merasa
sendirian dan ditinggalkan. Saat itulah ponsel saya berdering. Tidak ada nama
yang muncul. Saya menjawab sedikit secara mekanis.”
“Ya?”
Suara itu
berlanjut: “Buona sera! Paus Francis
di sini. Saya menerima surat Anda. Kardinal Farina menyerahkannya kepada saya
dan saya memanggil Anda untuk memberi tahu Anda bahwa saya sangat tersentuh
oleh keberanian Anda dan kejelasan serta ketulusan surat Anda.”
“Bapa Suci,
sayalah yang tersentuh oleh panggilan Anda, dan bahwa Anda melakukan upaya
untuk memanggil saya. Sebenarnya Anda tidak perlu menelpon saya. Saya hanya
merasa perlu menulis surat kepada Anda.”
“Tidak, sungguh,
saya tersentuh oleh ketulusan Anda, oleh keberanian Anda. Saya tidak tahu apa
yang bisa saya lakukan untuk membantu Anda sekarang, tetapi saya ingin
melakukan sesuatu.”
Suara gemetar,
suara Francesco Lepore, dikejutkan oleh pesan yang tak terduga, ragu-ragu.
Setelah hening sesaat, paus kembali melanjutkan.
“Boleh aku minta
bantuanmu?” “Bantuan apa?”
"Maukah
Anda berdoa untuk saya?” Francesco Lepore tidak menjawab apa pun.
“Pada akhirnya
saya memberi tahu dia bahwa saya sudah lama berhenti berdoa. Tetapi jika paus
ingin, dia bisa berdoa untuk saya,” kata Francesco Lepore kepada saya.
Paus Francis
menjelaskan kepadanya bahwa dia 'sudah berdoa' untuknya, sebelum bertanya
kepadanya: 'Dapatkah saya memberkatimu?'
“Saya menjawab
dengan tegas atas pertanyaan dari Paus Francis ini: ‘tentu saja.’ Ada
keheningan sebentar, sekali lagi dia mengucapkan terima kasih dan percakapan
berakhir sampai disitu.”
Setelah beberapa
saat, Francesco Lepore berkata kepada saya: “Anda tahu, saya tidak terlalu
menyukai paus ini. Saya tidak banyak membela Francis, tetapi saya sangat
tersentuh dengan sikapnya. Saya tidak pernah membicarakannya, saya menyimpannya
sendiri, seperti rahasia pribadi. Ini adalah pertama kalinya saya memberi tahu
seseorang mengenai hal itu.” (Cardinal Farina, yang saya wawancarai dua kali di
apartemen Vatikannya, mengonfirmasi kepada saya bahwa dia telah menyerahkan
surat Lepore kepada paus, dan soal keaslian panggilan telepon Francis.)
Ketika dia
menerima panggilan itu, Francesco Lepore sedang berselisih dengan Gereja. Dia
baru saja mengundurkan diri dan sekarang, dalam ungkapan yang khusus,
'diturunkan derajatnya menjadi seorang awam'. Imam intelektual yang merupakan
kebanggaan para kardinal di Vatikan telah menggantungkan jubahnya. Dia baru
saja menulis surat kepada paus Francis, bak ‘sebuah pesan dalam botol yang
dilemparkan ke laut’ dengan dorongan kekuatan yang berasal dari kesedihan,
sebuah surat di mana dia menuturkan kisahnya sebagai seorang imam homoseksual
yang telah menjadi penerjemah paus khusus bahasa Latin. Untuk menyelesaikan
masalahnya. Untuk mendapatkan kembali kesadarannya dan meninggalkan kemunafikan.
Dengan gerakan tubuhnya, seolah Lepore membakar harapannya.
Tetapi panggilan
yang penuh berkat dari paus Francis itu mengembalikan dia ke masa lalu yang tak
ingin dia lupakan, ke sebuah halaman yang ingin dia putar ulang: cintanya pada
bahasa Latin dan imamat; pertobatan; penahbisannya sebagai seorang imam;
hidupnya di kediaman di Santa Marta; persahabatan khususnya dengan begitu
banyak uskup dan kardinal; percakapannya yang tak berkesudahan tentang Kristus
dan homoseksualitas, dengan jubah resmi, sering dalam bahasa Latin.
Kehilangan
ilusi? Ya tentu saja. Kebangkitannya cepat: seorang imam muda yang terikat
dengan para kardinal paling bergengsi, dan segera melayani tiga orang paus.
Mereka memiliki ambisi untuknya; dia dijanjikan karier di istana apostolik,
bahkan mungkin keuskupan atau, siapa tahu, menerima jubah merah dan topi merah!
(cardinal)
Itu terjadi
sebelum dia membuat keputusan. Francesco harus menengahi antara Vatikan dan
homoseksualitas - dan, tidak seperti banyak pastor yang lebih suka menjalani
kehidupan ganda, dia memilih koherensi dan kebebasan. Paus Francis tidak
membahas masalah gay secara langsung dalam percakapan singkat itu, tetapi jelas
bahwa kejujuran pastor Lepore itulah yang mendorong paus Francis untuk
menelepon Francesco Lepore secara pribadi.
“Dia (paus)
tampak tersentuh oleh ceritaku, dan mungkin juga oleh fakta bahwa aku telah
mengungkapkan praktik yang lumrah terjadi di Vatikan kepadanya: betapa tidak
berperikemanusiaan atasanku memperlakukan aku – betapa tidak manusiawi para
atasanku dalam memperlakukan aku, banyak droits
du seigneur (hak istimewa para tuan) di Vatikan - dan bagaimana mereka
telah meninggalkan aku segera setelah aku berhenti menjadi seorang imam,”
demikian dia menambahkan.
Lebih penting
lagi, paus Francis secara eksplisit berterima kasih kepada Francesco Lepore
karena mengistimewakan 'kebijaksanaan' tentang homoseksualitasnya, suatu bentuk
'kerendahan hati' dan 'kerahasiaan' daripada gembar-gembor di hadapan publik
yang memekakkan telinga.
Tidak lama
kemudian, Mgr Krzysztof Charamsa, seorang imam yang dekat dengan Kardinal
Ratzinger, yang bersikap lebih vokal, dan kehadirannya di depan umum akan
memicu reaksi keras dari Vatikan. Paus tidak akan memanggilnya!
Di sini kita
memahami aturan ‘lemari’ yang tidak
tertulis. Jika Anda ingin berintegrasi dengan Vatikan, patuhilah sebuah kode,
yang terdiri dari: menoleransi homoseksualitas para pastor dan uskup, ikut
menikmatinya jika perlu, tetapi merahasiakannya dalam semua kasus. Toleransi akan
berjalan dengan bijaksana. Dan seperti Al Pacino di The Godfather, Anda tidak boleh mengkritik atau meninggalkan
'keluarga' Anda. ‘Jangan pernah memusuhi keluarga.’ (yang dimaksud ‘keluarga’
disini adalah keluarga homosex).
Seperti yang
akan saya temukan dalam penyelidikan panjang ini, menjadi gay di kalangan para
pastor berarti menjadi bagian dari semacam norma. Menjadi homoseksual
dimungkinkan di Vatikan, mudah, biasa, dan bahkan didorong; tetapi kata
'visibilitas' dilarang. Menjadi homoseksual secara diam-diam berarti menjadi
bagian dari ‘keluarga paroki'; menjadi orang yang membuka skandal berarti
‘memisahkan diri dari keluarga.’
Sejalan dengan
'kode' atau ‘aturan’ ini, panggilan Paus Francis kepada Francesco Lepore
sekarang menjelaskan makna yang sepenuhnya.
Saya pertama
kali bertemu Lepore pada awal penyelidikan ini, beberapa bulan sebelum suratnya
dan telepon dari Paus. Pria ini yang secara profesional diam, penerjemah
bijaksana dari Bapa Suci, setuju untuk berbicara dengan saya secara terbuka.
Saya baru saja memulai buku ini dan memiliki beberapa kontak di dalam Vatikan:
Francesco Lepore adalah salah satu pastor gay saya yang pertama, sebelum
puluhan lainnya. Saya tidak akan pernah berpikir bahwa para imam di Tahta Suci,
dan bahkan anggota Garda Swiss (tentara keamanan di Vatikan), akan mengaku
kepada saya dalam jumlah banyak seperti ini.
Mengapa mereka
berbicara? Semua orang mengaku di Roma: para imam, Garda Swiss, para uskup,
'monsignori' yang tak terhitung jumlahnya dan, bahkan lebih dari yang lain,
para kardinal. Burung-burung kenari yang
nyata! Semua ‘orang-orang yang mulia’ itu sangat cerewet kecuali Anda tahu
cara mendekati mereka, dan kadang-kadang mereka hampir terlalu cerdik dan
sering tidak bijaksana. Masing-masing dari mereka memiliki alasannya sendiri:
karena beberapa keyakinan, karena ambil bagian dalam pertempuran ideologis yang
sengit yang sekarang sedang diperjuangkan di dalam Vatikan, antara
tradisionalis dan liberal; bagi orang-orang lain, itu adalah bentuk kelaparan
akan pengaruh dan, kita bahkan dapat mengatakan: itu adalah sebuah kesombongan.
Beberapa orang berbicara karena mereka homoseksual dan ingin menceritakan
semuanya, tentang orang lain, karena dengan begitu sebenarnya mereka ingin
berbicara tentang diri mereka sendiri. Yang terakhir, beberapa ada yang
bersifat ekspansif karena kepahitan hidup, karena selera dan nafsu-nafsu
skandal dan gosip jahat. Para kardinal tua hanya hidup dengan kegelisahan dan
pencemaran nama baik. Mereka membuat saya berpikir tentang klub-klub homofilik
yang tenang pada 1950-an yang dengan kejam mengejek semua orang: duniawi dan
beracun!, karena mereka tidak bisa menerima sifat mereka sendiri. ‘Lemari’ adalah tempat kekejaman yang
paling luar biasa. Dan Vatikan adalah sebuah 'lemari’ raksasa.
Francesco Lepore
ingin meninggalkannya. Dia segera memberi tahu saya nama aslinya, menyetujui
agar percakapan kami direkam dan dipublikasikan.
Pada pertemuan
pertama kami, yang dimediasi oleh seorang teman bersama, Pasquale Quaranta,
seorang jurnalis La Repubblica,
Lepore tiba agak terlambat di lantai dua restoran Eataly di Piazza della
Repubblica, Roma, tempat kami sepakat untuk bertemu, karena pemogokan
transportasi kesekian kalinya. Saya memilih Eataly, yang berusaha di bidang
'makanan lambat saji', pemasok perdagangan dan 'buatan Italia', karena itu
adalah lokasi yang relatif aman dan jauh dari Vatikan, di mana orang dapat
berkomunikasi secara bebas. Menu disini menawarkan 10 jenis pasta (yang rasanya
agak mengecewakan), dan 73 jenis pizza. Lepore dan saya sering bertemu di sana,
untuk berdiskusi panjang, hampir setiap bulan, tentang spageti all'amatriciana
- favorit saya, meskipun hampir tidak sesuai dengan diet 'rendah karbohidrat'
saya. Dan, beberapa kali, mantan pastor itu tiba-tiba nampak menjadi
bersemangat.
Banyak orang
yang mengatakan kepada saya bahwa mereka menganggap Gereja sebagai 'ibu kedua':
dan kami tahu pentingnya kultus – yang selalu tidak rasional dan memilih
sendiri - dari perawan yang masih suci hingga kepada persaudaraan ini. Mamma! Banyak penulis homoseksual, dari
Marcel Proust hingga Pasolini, melalui Julien Green atau Roland Barthes, dan
bahkan Jacques Maritain, telah menyanyikan lagu cinta mereka yang penuh gairah
terhadap ibu mereka, sebuah efusi emosional yang tidak hanya penting tetapi
sering merupakan salah satu kunci untuk melakukan sensor-diri (banyak penulis
dan pastor baru menerima sifat homoseksualitas mereka setelah kematian ibu
mereka). Mamma, yang selalu tetap
setia pada putranya yang kecil, memberinya kasih dan menjaga putranya seolah-olah
dia adalah dagingnya sendiri, memahami segalanya - dan dengan bebas dia melakukannya!
Francesco
Lepore, di sisi lain, ingin mengikuti jejak ayahnya. Pada foto yang agak
kekuningan yang ditunjukkannya kepada saya, nampak kerahnya berkilauan, putih
laksana kapur di bawah jubah hitam: Francesco Lepore baru saja ditahbiskan
sebagai pastor. Rambut pendeknya disisir dengan rapi dan wajahnya tertutup
rapat; berbeda dengan hari ini, ketika dia telah memiliki janggut lebat dan
kepala yang benar-benar botak. Apakah ini pria yang sama? Imam yang tertindas
dan imam yang diduga homoseksual, adalah dua sisi dari realitas tunggal.
"Saya lahir
di Benevento, sebuah kota di Campania, sedikit di sebelah utara Napoli,"
Lepore memberi tahu saya. “Orang tua saya Katolik, meskipun mereka tidak
terlalu rajin beribadah. Segera saya mulai merasakan ketertarikan yang mendalam
pada agama. Saya suka gereja."
Banyak imam
homoseksual yang saya wawancarai menggambarkan 'ketertarikan' itu kepada saya.
Sebuah pencarian misterius untuk memperoleh rahmat. Menyatu dengan daya tarik
terhadap sakramen-sakramen, kemegahan tabernakel, tirai gandanya, ciborium, dan
monstran. Keajaiban bilik pengakuan dosa, kamar di pojok gereja, menjadi
fantastik oleh janji-janji yang menyertainya. Prosesi, rekoleksi, spanduk.
Jubah berkilauan, segala asesorinya, alba, stola. Keinginan untuk menembus
rahasia sakristi. Dan kemudian musiknya: vesper yang dinyanyikan, suara para
pria dan kemerduan organ. Dan tidak lupa: prie-dieux!
"Ayah saya
adalah seorang guru bahasa Latin dan saya ingin belajar bahasa untuk mendekati
dunia itu," Lepore melanjutkan. “Saya belajar bahasa Latin dengan
sempurna. Dan sejak usia 10 atau 11 saya ingin bergabung dalam seminari."
Tapi yang dia
lakukan, bertentangan dengan nasihat orang tuanya: pada usia 15 dia sudah ingin
'merangkul', seperti kata pepatah, karier gerejawi.
Sebuah jalur
klasik bagi para imam muda secara umum: seminari di sekolah tata bahasa
Katolik, kemudian lima tahun pendidikan tinggi dalam bidang filsafat dan
teologi, diikuti oleh 'pelayanan', di Italia yang dikenal sebagai 'ordo kecil',
dengan para sahabat dan pembantunya, sebelum diakonat dan penahbisan.
"Saya
menjadi seorang imam pada usia 24, pada 13 Mei 2000, pada saat ada Jubilee dan
Pawai Gay Sedunia," kata Franceso Lepore, dalam resume yang mencekam.
Pria muda itu
memahami dengan sangat cepat bahwa hubungan antara imamat dan homoseksualitas
bukanlah kontradiktif, atau bahkan sejalan, seperti yang awalnya dia pikirkan.
“Saya selalu
sadar bahwa saya adalah homoseks. Pada saat yang sama, saya memiliki semacam
dorongan – penolakan terhadap keinginan semacam itu. Bergerak dalam lingkungan
yang menganggap homoseksualitas secara intrinsik adalah buruk, dan membaca
buku-buku teologi yang mendefinisikannya sebagai dosa, maka untuk waktu yang
lama saya mengalaminya sebagai rasa bersalah. Jalan yang saya pilih untuk
meninggalkan rasa bersalah itu adalah menolak ketertarikan seksual dengan
memindahkannya kepada ketertarikan religius: Saya membuat pilihan kesucian dan
seminari. Bagi saya, menjadi seorang imam adalah semacam solusi untuk menebus
kesalahan yang tidak saya lakukan. Selama tahun-tahun pembinaan di Universitas
Opus Dei di Roma, saya mengabdikan diri saya dengan sangat kuat untuk berdoa,
saya bertapa, dan lebih jauh, dengan menerima hukuman fisik, bahkan mencoba
menjadi seorang Fransiskan untuk menghayati agama saya secara lebih intens, dan
berusaha, bagaimanapun juga, untuk tetap suci selama lima tahun, bahkan tanpa
melakukan masturbasi.
Perjalanan
Francesco Lepore, antara dosa dan mati raga (penyiksaan), dengan kebutuhan yang
berkobar untuk menghindari keinginan-keinginan jasmani dengan cara mengorbankan
kendala yang paling berat, hampir menjadi perbuatan yang normal di Italia abad
kedua puluh. Untuk waktu yang lama, karier gerejawi adalah solusi ideal bagi
banyak homoseksual yang merasa sulit untuk menerima orientasi pribadi mereka.
Ada puluhan ribu imam Italia dengan tulus percaya bahwa panggilan religius
adalah 'solusi' untuk 'masalah sexual mereka'. Itulah aturan pertama ‘Lemari’: Untuk waktu yang lama imamat adalah jalur pelarian ideal bagi kaum
homoseksual muda. Homoseksualitas
adalah salah satu kunci panggilan mereka.
Mari kita
memikirkan pola itu sejenak. Untuk memahami perjalanan sebagian besar kardinal
dan imam yang tak terhitung jumlahnya yang akan kita temui dalam buku ini, kita
harus memulai dengan proses seleksi yang hampir seperti ‘seleksi alamnya
Darwin,’ yang dilaksanakan secara sosiologis. Di Italia, hal itu bahkan telah
menjadi aturan sejak lama. Para pria muda banci ini yang khawatir akan
nafsu-nafsu mereka; anak-anak lelaki yang merasakan kecenderungan terhadap
teman-teman terbaik dan sesama jenis mereka, yang diejek karena nada suara
mereka; para homoseksual yang mencari identitas diri tanpa ingin menyatakan
diri; para seminaris yang tidak berada di jalan yang benar – semua ini memiliki
beberapa pilihan solusi di Italia pada 1930-an, 40-an atau 50-an. Beberapa dari
mereka menjadi dewasa sebelum waktunya, hampir secara atavistis, mencari jalan bagaimana
mengubah homoseksualitas menjadi kekuatan, untuk mengubah kelemahan menjadi
keuntungan: dengan menjadi seorang imam. Hal ini memungkinkan mereka untuk
mendapatkan kembali kuasa atas hidup mereka sendiri, membayangkan bahwa mereka
menjawab panggilan ganda: panggilan dari Kristus dan panggilan pada keinginan
mereka sendiri.
Apakah mereka
punya pilihan lain? Di sebuah kota kecil Italia di Lombardy, atau sebuah desa
di Piedmont, tempat banyak kardinal berasal, homoseksualitas masih dianggap
jahat pada saat itu. Orang-orang sulit memahami 'kemalangan kelam' ini; mereka
takut akan janji 'cinta ganda dan rumit' ini, menurut istilah dari si Penyair;
mereka takut akan merasakan 'kebahagiaan yang tak terkatakan!’ bahkan ‘tak
tertahankan'! Menyerah pada masalah itu, meski tetap diam-diam, berarti mereka
memilih kehidupan yang penuh kebohongan atau larangan; menjadi seorang imam, di
sisi lain, tampaknya seperti sebuah bentuk pelarian. Dengan bergabung menjadi
klerus, semuanya menjadi lebih sederhana bagi homoseksual yang tidak berani
mengambil risiko: dia pergi dan tinggal di antara anak laki-laki dan mengenakan
pakaian; dia berhenti ditanyai tentang pacar-pacarnya. Teman-teman sekolahnya,
yang sudah membuat lelucon tidak menyenangkan atas dirinya, akan merasa terkesan;
setelah lama diejek, dia sekarang menikmati kehormatan besar; dia telah
bergabung dengan ras orang-orang pilihan, setelah menjadi ras terkutuk; dan Mamma, saya ulangi, yang telah memahami
segalanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, mendorong panggilan ajaib ini.
Yang paling penting, kesucian terhadap wanita serta janji selibat, tidaklah
menakutkan; justru sebaliknya: dia dengan gembira memeluk kedua janji itu! Di
Italia antara tahun 1930 dan 1960, fakta bahwa seorang homoseksual muda harus
memilih pentahbisan dan 'sumpah selibat di antara laki-laki' ini ada dalam
urutan prioritas, dan memang hal itu ditentukan oleh keadaan.
Seorang rahib
Benediktin Italia, yang adalah salah satu pejabat senior di Universitas
Sant'Anselmo di Roma, menjelaskan logika ini kepada saya: “Bagi saya pilihan
imamat pada awalnya merupakan produk dari iman yang dalam dan vital. Tetapi
secara retrospektif saya juga menganalisisnya sebagai cara untuk menjaga
seksualitas saya tetap terkendali. Saya selalu tahu bahwa saya gay, tetapi baru
setelah usia 40 tahun saya bisa menerima aspek fundamental identitas saya
ini."
Semua karier itu
unik, tentu saja. Banyak imam di Italia mengatakan kepada saya bahwa mereka
baru menyadari homoseksualitasnya setelah ditahbiskan atau ketika mereka mulai
bekerja di Vatikan. Banyak dari mereka, pada kenyataannya, menyadari
keterbatasan dirinya baru setelah usia 40, atau selama tahun 1970-an.
Atas pemilihan
sosiologis dari imam-imam ini, kita juga dapat menambahkan pemilihan para
uskup, yang semakin memperbesar fenomena ini. Kardinal homosex memiliki hak
istimewa untuk memilih para pembantu yang memiliki kecenderungan yang sama, dan
yang pada gilirannya, mereka memilih imam-imam gay. Nuncios, para duta besar
paus yang diberi tugas memilih para uskup, dan di antaranya mencakup persentase
homoseksual mencapai tingkat rekor, pada gilirannya melakukan sebuah seleksi
'alami'. Menurut semua pernyataan yang telah saya kumpulkan, para imam yang
memiliki kecenderungan seperti itu dianggap disukai ketika homoseksualitas
mereka bisa ditebak. Lebih tepatnya, tidak jarang nuncio atau uskup
mempromosikan seorang imam yang juga bagian dari 'paroki' karena dia
mengharapkan ‘imbalan’ sebagai balasannya.
Itulah aturan
kedua dari ‘Lemari’: Homoseksualitas
menyebar semakin dekat ke tempat-tempat yang suci; ada semakin banyak
homoseksual ketika seseorang mendaki tangga hierarki Katolik. Di Kolese
Kardinal dan di Vatikan, proses seleksi istimewa dapat dikatakan sempurna;
homoseksualitas menjadi aturan, dan heteroseksualitas menjadi pengecualian.
Saya benar-benar
memulai buku ini pada April 2015. Pada suatu malam editor Italia saya, Carlo
Feltrinelli, mengundang saya untuk makan malam di restoran Rovelli di Via
Tivoli di Milan. Kami sudah saling kenal, karena dia telah menerbitkan tiga
buku saya, dan saya ingin berbicara dengannya tentang buku ini. Selama lebih
dari setahun saya telah menyelidiki soal homoseksualitas di dalam Gereja
Katolik, melakukan banyak wawancara di Roma dan di berbagai negara, membaca
banyak buku tentang masalah ini, tetapi proyek saya masih tetap hipotetis. Saya
telah memiliki subjek, tetapi tidak memiliki cara menuliskannya.
Pada kuliah umum
di Naples dan Roma tahun itu saya mengatakan, berbicara tentang kaum gay
Katolik: “Suatu hari nanti, sejarah Vatikan ini harus diceritakan.” Seorang
penulis muda Neapolitan mengingatkan saya akan ungkapan itu, dan jurnalis La Repubblica, Pasquale Quaranta,
seorang teman yang telah menemani saya sejak saat itu dalam persiapan buku ini,
juga mengingatkan saya pada kata-kata saya. Tetapi subjek saya masih tetap
tidak dapat dilacak.
Sebelum makan
malam, saya membayangkan bahwa Carlo Feltrinelli akan menolak proyek semacam
itu. Saya akan meninggalkannya jika memang begitu, dan buku ‘In the Closet of the Vatican’ tidak akan
pernah melihat terangnya siang hari. Justru yang sebaliknya terjadi. Penerbit
Boris Pasternak, dari Günter Grass dan, baru-baru ini, dari Roberto Saviano,
membombardir saya dengan pertanyaan dan bertanya kepada saya tentang ide-ide
saya sebelum mengatakan, untuk mendorong saya bekerja sambil membuat saya
waspada: “Buku ini harus diterbitkan di Italia dan, pada saat yang sama, di
Perancis, Inggris dan Amerika Serikat, untuk memberinya bobot yang lebih besar.
Apakah Anda punya foto? Pada saat yang sama, Anda harus menunjukkan kepada saya
bahwa Anda tahu lebih banyak tentang hal itu daripada membiarkannya.”
Dia mengisi
anggur pada gelasnya dan terus berpikir keras. Dan tiba-tiba dia menambahkan,
dengan menekankan huruf tambahan: “Tapi mereka akan berusaha membunuuhhmuu…!!!”
Saya telah
diberi lampu hijau. Saya terjun ke dalam petualangan ini dan mulai tinggal di
Roma setiap bulan. Tetapi saya masih tidak tahu bahwa saya akan melakukan
penyelidikan di lebih dari tiga puluh negara, selama empat tahun. Akhirnya buku
In Closet of the Vatican diluncurkan.
Apapun yang terjadi!
Di Via Ostiense no.178,
di selatan Roma, Al Biondo Tevere menjadi seorang pekerja resto. Sungai Tiber
mengalir di kaki teras - karena itulah dipakai nama restorannya. Tidak ada yang
istimewa, jauh dari pusat, tidak menarik banyak tamu dan, pada bulan Januari
itu sangat dingin. Kenapa Francesco Gnerre mengatur untuk bertemu denganku di
tempat terpencil seperti itu?
Seorang
pensiunan profesor sastra, Gnerre, mengabdikan sebagian besar penelitiannya
untuk menulis litratur tentang gay Italia. Dia juga telah menuliskan namanya,
lebih dari empat puluh tahun, pada ratusan ulasan buku di berbagai jurnal
homoseksual.
“Ada ribuan
orang gay seperti saya membangun perpustakaan mereka berdasarkan artikel dari
Francesco Gnerre di Babilonia dan Pride," saya diberitahu oleh jurnalis
Pasquale Quaranta, yang mengatur acara makan malam itu. Gnerre telah memilih
tempat itu dengan sengaja. Di Al Biondo Tevere, pembuat film Italia, Pier Paolo
Pasolini, makan malam pada malam 1 November 1975, bersama Giuseppe Pelosi,
pelacur muda yang membunuhnya beberapa jam kemudian di sebuah pantai di Ostia.
'Perjamuan terakhir' ini, tepat sebelum sebuah peristiwa kejahatan yang paling
mengerikan dan terkenal dalam sejarah Italia, anehnya hal itu diperingati pada
dinding-dinding restoran ini. Kliping pers, foto dari pemotretan, gambar diam,
seluruh alam semesta Pasolini hidup kembali di dinding-dinding enamel restoran.
"Asosiasi
gay terbesar adalah Vatikan," kata Francesco Gnerre sebagai antipasi.
Dan kritikus
sastra meluncurkan cerita panjang tentang hubungan yang rumit antara para imam
Italia dan homoseksualitas, dan, di antaranya, tempat-tempat pertemuan mereka
yang aman. Dia mengungkapkan homoseksualitas dari beberapa novelis Katolik dan
juga berbicara kepada saya tentang Dante: "Dante bukanlah homofobik,"
kata Gnerre menjelaskan. “Ada empat referensi untuk homoseksualitas di dalam
buku The Divine Comedy di
bagian-bagian yang disebut 'Inferno' dan 'Purgatory', meski hal itu tidak ada
di bagian 'Surga'! Dante bersimpati pada karakter tokoh gay-nya, Brunetto
Latini, yang juga guru retorikanya yang lama. Dan bahkan jika dia
menempatkannya di tingkatan ketiga dari ketujuh tingkatan neraka, dia masih
menghormati keadaan homoseksual." Mengambil jurusan sastra, Latin, dan
budaya untuk mencoba menyelesaikan dilema-nya sendiri, pastor Francesco Lepore
juga menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencoba memecahkan kode
pesan-pesan tersembunyi dalam sastra atau film - puisi-puisi Pasolini,
Leopardi, Carlo Coccioli, Memoirs of
Hadrian oleh Marguerite Yourcenar, film-film Visconti, belum lagi
tokoh-tokoh homoseksual dalam Divine
Comedy karya Dante. Adapun banyak imam dan kaum homoseksual Italia yang
merasa tidak nyaman dengan keadaan mereka sendiri, literatur memainkan peran
utama dalam hidupnya: 'perlindungan teraman adalah menjadi imam', seperti yang
mereka katakan.
"Melalui
literatur-lah saya mulai memahami banyak hal," Lepore menambahkan.
"Saya sedang mencari kode-kode dan kata sandinya."
Berusaha mencoba
dan menguraikan kode-kode itu, kami mungkin tertarik pada tokoh kunci lain yang
kami bicarakan, dengan akademisi Francesco Gnerre: Marco Bisceglia. Bisceglia
memiliki tiga macam kehidupan. Dia adalah salah satu pendiri Arcigay, asosiasi homoseksual utama
Italia selama 40 tahun terakhir. Bahkan hari ini Arcigay memiliki beberapa
ratus ribu anggota, tersebar di sekitar komite lokal di lebih dari lima puluh
kota di negara ini. Sebelum itu, Bisceglia adalah, pertama-tama, sebagai
seorang imam.
“Marco pergi ke
seminari karena dia yakin bahwa dirinya mendapat panggilan dari Allah. Dia
mengatakan kepada saya bahwa dia percaya, dengan itikad baik, akan panggilan
religiusnya, tetapi dia baru menemukan panggilan sejatinya ketika dia berusia
lebih dari 50 tahun: itu adalah homoseksualitas. Sudah sejak lama dia berusaha
menekan orientasi seksualnya. Saya pikir jalan itu sangat khas di Italia.
Seorang anak laki-laki yang lebih suka membaca daripada main sepak bola; anak
laki-laki yang tidak merasa tertarik pada anak perempuan; dan yang tidak
benar-benar mengerti sifat dari keinginan-keinginannya; seorang anak lelaki
yang tidak mau mengakui hasratnya yang gagal untuk keluarga dan ibunya: semua
itu menuntun homoseksual muda Italia secara alami menuju seminari. Tapi yang
mendasar pada diri Marco Bisceglia adalah: dia bukan orang munafik. Selama
beberapa dekade, sementara dia tetap berada di dalam Gereja, dia tidak
menjalani kehidupan gay; hanya pada saat dia menjalani homoseksualitasnya
secara berlebihan, barulah dia bertobat.”
Potret hangat
ini yang dibuat untuk saya oleh Gnerre, yang mengenal akrab Bisceglia, mungkin
menyembunyikan siksaan dan krisis psikologis imam Jesuit ini. Dan kemudian dia
beralih ke teologi pembebasan, dan tampaknya memiliki beberapa perbedaan
pendapat dengan hierarki Katolik, yang mungkin membawanya ke arah militansi
gay. Setelah menjadi imam lagi di akhir hidupnya, setelah bertahun-tahun
menjalani kehidupan gay aktiv, dia meninggal karena AIDS pada tahun 2001.
Tiga kehidupan, kemudian
menjadi: imam; militan gay yang menentang imam; terakhir menjadi seorang yang
sekarat karena AIDS yang mendamaikan dirinya dengan Gereja. Penulis
biografinya, Rocco Pezzano, yang saya wawancarai, masih merasa kagum dengan
'kehidupan pecundang' ini, di mana Marco Bisceglia bergerak dari satu kegagalan
kepada kegagalan berikutnya tanpa pernah benar-benar bisa menemukan jalannya.
Francesco Gnerre lebih murah hati: dia menekankan 'koherensi' Marco dan gerakan
'kehidupan yang menyakitkan tetapi luar biasa'.
Imam-imam dan
homoseksual: dua sisi dari koin yang sama? Tokoh lain dari gerakan gay Italia,
Gianni Delle Foglie, pendiri toko buku gay pertama di Milan, yang tertarik pada
penulis Katolik homoseksual, mengatakan: Para gay ini hampir berada sendirian di
hadapan Vatikan. Tetapi mungkin itu bagus: tinggalkan kami bersama! Pertempuran
antara kaum gay dan Vatikan adalah perang di antara para pria homosex!
Di Roma itulah
Francesco Lepore mengalami petualangan seksual pertamanya, ketika, seperti
halnya bagi banyak imam Italia, ibu kota - kota Hadrian dan Michelangelo -
mengungkapkan atraksi uniknya. Di sanalah dia menemukan bahwa kaul kemurnian
tidaklah begitu dihormati, dan bahwa mayoritas imam adalah homoseksual.
“Saya menemukan
diri saya sendirian di Roma, dan di sanalah saya menemukan rahasianya: para
imam sering menjalani kehidupan yang tidak bermoral. Itu adalah dunia yang sama
sekali baru bagi saya. Saya memulai hubungan sex dengan seorang imam yang
berlangsung selama lima bulan. Ketika kami berpisah, saya mengalami krisis yang
mendalam. Krisis spiritual pertamaku. Bagaimana saya bisa menjadi seorang imam,
dan pada saat yang sama, menjalani homoseksualitas saya?"
Lepore berbicara
tentang masalah itu dengan para bapa pengakuannya, juga dengan seorang imam
Yesuit (kepada siapa dia menceritakan semua rinciannya) dan kemudian dengan
seorang uskup (yang mengabaikan mereka). Mereka semua mendorong dia untuk
bertahan dalam imamat, untuk berhenti berbicara tentang homoseksualitas dan
tidak perlu merasa bersalah. Dia secara langsung dibuat mengerti bahwa dia
dapat menjalani seksualitasnya selama dia tetap bijaksana dan tidak mengubahnya
menjadi identitas yang militan.
Saat itulah
namanya dipromosikan untuk posisi bergengsi di dalam Sekretariat Negara di
istana kerasulan Vatikan, yang setara dengan posisi perdana menteri bagi paus.
“Mereka mencari
seorang imam yang pandai berbicara bahasa Latin dengan sempurna, dan karena
desas-desus telah beredar bahwa saya sedang mengalami krisis, ada seseorang
mengajukan nama saya. Mgr Leonardo Sandri, yang sejak itu menjadi kardinal,
menghubungi uskup saya dan mengundang saya untuk bertemu orang-orang di bagian
bahasa Latin. Mereka memaksa saya mengikuti tes bahasa Latin dan saya lulus.
Saya ingat bahwa mereka masih menjaga jarak dengan saya, yang membuktikan bahwa
mereka tahu saya ini gay: dengan ucapan penuh sindiran, mereka mengatakan
kepada saya bahwa "…jika saya telah mencapai tingkat yang tepat untuk
memenuhi syarat jabatan", saya harus mulai “mendedikasikan hidup saya kepada
paus dan melupakan yang lainnya.”
Pada 30 November
2003, pastor Neapolitan bergabung dengan Domus Sanctae Marthae, kediaman resmi
para kardinal di Vatikan - dan rumah Paus Francis saat ini.
Anda hanya dapat
mengunjungi Domus Sanctae Marthae dengan izin khusus, dan hanya pada hari Rabu
dan Kamis pagi, antara pukul 10 hingga tengah hari, ketika paus berada di St.
Peter's. Mgr. Battista Ricca, direktur kediaman Sanctae Marthae yang terkenal,
yang memiliki kantor di sana, memberi saya izin yang diperlukan. Dia
menjelaskan kepada saya secara terinci bagaimana caranya melewati pemeriksaan
polisi, dan kemudian cek dari Garda Swiss. Saya sering bertemu prelatus ini
dengan mata yang cair, orang luar yang dekat dengan Francis, yang telah
mengetahui kemenangan dan kegagalan, dan siapa saja yang akan berakhir, seperti
yang akan kita lihat, memberi saya izin untuk tinggal di salah satu tempat
tinggal Vatikan.
Dengan 5 lantai
dan 120 kamar tidur, Domus Sanctae Marthae bisa menjadi motel biasa di
pinggiran kota Atlanta atau Houston jika paus tidak tinggal di sana. Modern,
impersonal, dan sederhana, kediaman ini kontras dengan keindahan istana
kerasulan.
Ketika, dengan
diplomat Fabrice Rivet, saya mengunjungi Loggia Ketiga yang terkenal di istana
apostolik, saya kagum dengan mappae mundi
yang dilukis di dinding, hewan liar bergaya Raphael, dan langit-langit yang
dicat tercermin dalam kostum Garda Swiss. Tidak ada yang seperti itu di Santa
Marta.
"Di tempat
ini agak dingin, itu benar," kata Harmony setuju, seorang wanita muda dari
asal-usul Sisilia yang diberi tugas untuk mengajak saya berkeliling.
Pada panel di
dekat pintu masuk, saya perhatikan: ‘harap memakai pakaian yang layak’. Dan
sedikit lebih jauh ada tulisan: 'dilarang memakai celana pendek atau rok pendek'.
Saya juga memperhatikan sejumlah tas merek Gammarelli - merek dagang mewah
pakaian kepausan, menunggu di bagian resepsion Saint Martha. Aula audiensi yang
terhubung dan ruang pers juga cukup sederhana, dan semuanya hambar: kejayaan
dari selera yang buruk.
Di ruang
pertemuan Paus saya menemukan lukisan besar yang memperlihatkan Perawan
Guadalupe, yang melambangkan semua religiositas takhayul Amerika Latin: sebuah
hadiah yang diberikan kepada paus oleh Uskup Agung dan Kardinal Meksiko,
Norberto Rivera Carrera, yang mungkin mencari pengampunan untuk semua relasinya
dan dosanya. (Kardinal telah dikritik karena tanggapannya yang negativ atas
tuduhan pelecehan seksual terhadap para imam, termasuk tuduhan terhadap Marcial
Maciel yang terkenal itu. Ia dipensiun oleh Francis pada tahun 2017.)
Beberapa meter
dari situ ada sebuah kapel yang disediakan untuk paus: ia merayakan misa di
sana dengan sebuah jemaat kecil pada pukul tujuh setiap pagi. Ini sangat
sederhana, seperti ruang makan, tapi jauh lebih besar, dan seperti kantin di
tempat kerja. Harmony menunjukkan kepadaku meja, sedikit terpisah dari yang
lain, tempat Francis mengambil makanannya, bersama dengan paling banyak enam
orang.
Di lantai dua
ada apartemen pribadi Bapa Suci, yang tidak boleh dikunjungi siapa pun. Saya
ditunjukkan replika persisnya di sayap yang berlawanan: ini adalah suite
sederhana yang terdiri dari ruang duduk kecil dan kamar tidur dan tempat tidur
tunggal. Salah satu Garda Swiss yang melindungi paus, dan yang sering
menghabiskan malam di luar pintu kamarnya, akan mengkonfirmasi informasi ini.
Saya akan sering bertemu dengannya di Roma, dan kami bahkan akan melakukan
kunjungan rutin ke Makasar Café di Borgo, sebuah bar anggur tidak jauh dari
Vatikan, di mana saya akan bertemu semua orang yang ingin bertemu saya secara
diam-diam. Selama berbulan-bulan, seperti yang akan kita lihat, pemuda ini akan
menjadi salah satu informan saya tentang kehidupan gay di Vatikan.
Sekarang kita
berada di binatu. Anna adalah seorang wanita kecil, lembut, sangat saleh, dan
Harmony memperkenalkan dia kepadaku sebagai 'tukang cuci’ paus. Pada dua kamar
di sebelah kiri kapel kepausan, biarawati ini dengan setia merawat pakaian paus
Francis. Dengan hati-hati, dia membuka, seolah-olah itu adalah kafan suci,
cawan dan alb untuk menunjukkan kepada saya (tidak seperti pendahulunya,
Francis menolak untuk mengenakan rochet atau mozzetta merah).
“Anda dapat
melihat berbagai kebiasaan yang dikenakan oleh yang mulia (paus). Pada umumnya
putih; hijau untuk hari biasa; merah dan ungu untuk acara-acara khusus; dan
yang terakhir adalah perak, tetapi Bapa Suci tidak pernah menggunakan warna
itu,” jelas Anna kepada saya.
Ketika saya
bersiap-siap untuk meninggalkan Domus Sanctae Marthae, saya bertemu Gilberto
Bianchi, tukang kebun paus, seorang Italia yang periang, pelayan setia Bapa
Suci, dan sangat memperhatikan pohon jeruk milik paus, yang telah ditanam di
luar, di depan kapel kepausan.
“Roma bukanlah
Buenos Aires,” kata Gilberto yang selalu khawatir, memberi tahu saya.
Saat dia
menyirami anggrek, tukang kebun Bapa Suci itu menambahkan: “Tadi malam terlalu
dingin untuk pohon jeruk, pohon lemon, pohon mandarin. Saya tidak tahu apakah
pohon-pohon itu akan selamat."
Sekarang merasa khawatir
sendiri, saya mengamati pohon-pohon berbaris di dinding, berharap bahwa mereka
akan mampu melewati musim dingin. Dan ya, kami tidak berada di Buenos Aires!
“Dinding yang
kau lihat di sana, di sebelah kapel, tempat pohon-pohon jeruk berada, menandai
perbatasan,” kata Harmony tiba-tiba berkata kepadaku.
"Perbatasan
apa?"
“Perbatasan
Vatikan! Karena di sisi lain ada Italia."
Dalam perjalanan
keluar dari Domus Sanctae Marthae, tepat di pintu depan, saya mendapati diri
saya berhadap-hadapan dengan sebuah tempat payung yang berisi sebuah payung besar
dengan warna pelangi: bendera pelangi!
"Ini bukan
payung milik Paus," kata Harmony dengan cepat, seolah-olah dia mencurigai
adanya kesalahpahaman.
Dan sementara
para Pengawal Swiss memberi hormat kepada saya dan para polisi menurunkan
pandangan mereka ketika saya pergi, saya mulai berkhayal. Milik siapakah payung
cantik dengan warna-warni pelangi tidak alami ini? Mgr. Battista Ricca,
direktur Santa Marta, yang dengan ramah mengundang saya untuk mengunjungi
kediaman yang menjadi tanggung jawabnya? Apakah itu ditinggalkan di sana oleh
salah satu asisten paus? Atau oleh seorang kardinal yang cappa magna-nya (sejenis jubah yang besar) berjalan sangat baik dengan payung
pelangi?
Bagaimanapun,
saya membayangkan adegan itu: pemiliknya yang beruntung, mungkin seorang
kardinal atau monsignore, berjalan-jalan di taman-taman Vatikan dengan bendera
pelangi di tangannya! Siapa dia? Beraninya dia? Atau mungkin dia tidak
menyadarinya? Saya membayangkan dia berjalan di Via delle Fondamenta dan
kemudian Rampa dell'Archeologia, untuk mengunjungi Benediktus XVI, yang hidup
tertutup di biara Mater Ecclesiae. Kecuali, di bawah payung beraneka warna itu,
dia melakukan tur kecil ke Istana Tahta Suci, kantor Kongregasi untuk Ajaran
Iman, Inkuisisi lama. Mungkin payung pelangi itu tidak memiliki pemilik yang
dikenal, dan dia juga ada di dalam ‘lemari.’ Payung itu terletak disitu. Lalu
ada orang yang meminjamnya, dan mengembalikannya, dan mengambilnya lagi, dan
menggunakannya. Lalu saya membayangkan para imam melewatinya, menukarnya sesuai
dengan keadaan dan cuaca buruk.
Sebagian
‘mengucapkan doa kepada pelangi’; beberapa berjalan di dekat Air Mancur Triton
atau Menara Saint John; beberapa orang pergi dan memberi penghormatan kepada
patung yang paling dihormati di taman-taman Vatikan, salah satunya adalah
patung Bernard dari Clairvaux, pembaharu hebat dan doktor Gereja, yang dikenal
karena puisi-puisi homofilnya dan cintanya kepada uskup agung Irlandia Malachy
of Armagh. Apakah penempatan patung kaku ini, yang membangkitkan kehidupan
ganda di jantung Katolik Roma, merupakan simbol dalam dirinya sendiri?
Bagaimana saya
ingin menjadi pengamat yang bijaksana, seorang penjaga Swiss yang bertugas,
seorang resepsionis di Santa Marta, untuk mengikuti kehidupan payung pelangi
itu, 'perahu mabuk' itu, dengan tingkah lebih ringan dari pada gabus yang
menari-nari di taman-taman Vatikan? Mungkinkah bendera pelangi ini - 'terkutuk
oleh pelangi', dalam kata-kata sang Penyair - menjadi kode rahasia sebuah
'parade buas'? Kecuali, pada kenyataannya, tujuan utamanya adalah untuk
melindungi orang dari hujan?
"Saya
datang ke Saint Martha di akhir tahun 2003," Francesco Lepore melanjutkan.
Meskipun dia
adalah imam termuda yang bekerja di tahta suci, dia mulai hidup di antara para
kardinal, uskup, dan nuncios (dubes) tua Vatikan. Dia kenal dan tahu mereka
semua, telah menjadi asisten beberapa dari mereka, bisa mengukur besarnya hadiah-hadiah
mereka dan kelemahan-kelemahan kecil mereka dan telah bisa menebak
rahasia-rahasia mereka.
"Orang-orang
yang bekerja dengan saya tinggal di sana, dan bahkan Mgr. Georg Gänswein, yang
akan menjadi sekretaris pribadi Paus Benediktus XVI, tinggal di sana juga,
bersama kami."
Lepore
menghabiskan satu tahun di kediaman yang terkenal ini, yang terbukti menjadi
sarang homo-erotisme besar yang sangat mengejutkan. “Saint Martha adalah tempat
kekuasaan,” dia menjelaskan. “Ini adalah persimpangan besar antara ambisi dan
intrik, tempat yang penuh dengan kompetisi dan iri hati. Sejumlah besar imam
yang tinggal di sana adalah homoseksual, dan saya ingat, selama makan, selalu
ada lelucon terus-menerus tentang masalah sex. Nama-nama julukan diberikan
kepada para kardinal gay, peran mereka sebagai perempuan, dan itu membuat
seluruh meja tertawa. Kami tahu nama-nama orang yang memiliki pasangan atau
yang membawa anak laki-laki dari luar kedalam Saint Martha untuk menghabiskan
malam bersama mereka. Banyak dari mereka menjalani kehidupan ganda: menjadi
imam di Vatikan di siang hari; menjadi homoseksual di bar dan klub di malam
hari. Seringkali para uskup itu memiliki kebiasaan mendorong kemajuan karir
pada para imam muda seperti saya, seminaris, Garda Swiss, atau umat awam yang
bekerja di Vatikan."
Beberapa dari
mereka telah memberi tahu saya tentang 'makanan yang merusak skandal' di mana
para pastor menceritakan kisah-kisah pengadilan kepausan dengan keras dan
kisah-kisah tentang anak laki-laki dengan sangat perlahan. Ah, gurauan di Domus
Sanctae Marthae! Bisikan yang juga saya temui di Domus Internationalis Paulus
VI, Domus Romana Sacerdotalis atau di apartemen Vatikan, ketika saya tinggal
dan makan siang di sana juga.
Francesco Lepore
melanjutkan: “Salah satu imam di Santa Marta bekerja di Sekretariat Negara. Dia
dekat dengan Kardinal Giovanni Battista Re. Pada waktu itu dia punya teman
seorang muda dari Slavia, dan di malam hari dia sering membawanya ke
kediamannya untuk ‘tidur’ dengannya. Kemudian dia menyerahkannya kepada kami
sebagai anggota keluarganya: diakui sebagai keponakannya. Tentu saja tidak ada
yang jatuh cinta kepadanya! Suatu hari, ketika imam itu dipromosikan, desas-desus mulai melayang.
Kemudian sebuah pernyataan publik dibuat oleh Kardinal Giovanni Battista Re dan
Uskup Fernando Filoni yang mengkonfirmasi bahwa orang Slavia muda itu memang
anggota keluarganya dan kasus itu ditutup!"
Jadi
kemaha-hadiran homoseksual di Vatikan bukan hanya masalah beberapa domba hitam,
atau 'jaring yang menangkap ikan buruk,’ seperti yang dikatakan Josef
Ratzinger. Itu bukanlah sebuah 'lobi' atau gerakan pembangkang; juga bukan
sekte freemasonry di dalam Tahta Suci: itu adalah sebuah sistem. Itu bukan
minoritas kecil, tetapi mayoritas besar.
Pada titik ini
dalam percakapan, saya meminta Francesco Lepore untuk memperkirakan ukuran
komunitas ini, termasuk semua kecenderungannya.
“Saya pikir
persentasenya sangat tinggi. Saya bisa mengatakannya di sekitar 80
persen."
Saat berdiskusi
dengan seorang uskup agung non-Italia, yang saya temui beberapa kali, dia
mengkonfirmasi kepada saya: “Tiga dari lima paus terakhir dikatakan homofilik,
beberapa asisten dan sekretaris negara mereka juga, serta sebagian besar
kardinal dan para uskup di Kuria. Tapi itu bukan masalah mengetahui apakah para
imam Vatikan memiliki kecenderungan semacam ini: mereka memang punya. Ini
masalah mengetahui - dan ini, pada kenyataannya, adalah perdebatan yang
sebenarnya - apakah mereka sedang mempraktekkan atau tidak melakukan tindakan
homoseksual. Di situlah segalanya menjadi semakin rumit. Beberapa uskup yang
memiliki kecenderungan homosex, tidak melakukan perbuatan homoseksualitas
mereka. Mereka mungkin homofilik dalam kehidupan dan budaya mereka, tetapi
tanpa memiliki identitas homoseksual."
Selama sekitar
selusin wawancara, Francesco Lepore memberi tahu saya tentang kegilaan besar di
Vatikan. Kesaksiannya tidak dapat disangkal. Dia memiliki beberapa kekasih di
antara uskup agung dan uskup; dia telah diusulkan oleh sejumlah kardinal yang
kita diskusikan: sebuah daftar tanpa akhir. Saya telah dengan cermat memeriksa
semua cerita itu, saya sendiri menghubungi para kardinal, uskup agung,
monsignori, nuncios, asisten, pastor biasa atau para bapa pengakuan yang
mengaku bertugas di St. Peter, semuanya pada dasarnya adalah homoseksual.
Untuk waktu yang
lama Lepore berada di dalam sistem. Namun itu mudah, ketika seorang kardinal dengan
diam-diam tertarik pada Anda, atau ketika seorang monsignore secara tidak
proporsional melamar Anda, mudah untuk melihat hal-hal 'yang tertutup dalam lemari', para gay yang sedang ‘berlatih’ dan
anggota lain dari 'paroki'. Saya sendiri pernah mengalaminya. Ya, permainan ini
terlalu mudah ditebak!
Karena meski ketika
Anda seorang bujangan yang sudah dikenal, dikurung di sebuah lemari yang bisa
dengan mudah menjadi tempat yang aman, dan Anda telah bersumpah akan hidup
selibat secara heteroseksual, selalu ada saat ketika Anda mau menyerahkan diri
Anda.
Berkat jasa
Lepore, dan segera, melalui proses jaringan, dan berkat jasa 28 orang informan,
para pastor, dan orang-orang awam lainnya, di dalam Vatikan - dan yang secara
terbuka mengaku gay kepada saya - saya tahu sejak awal penyelidikan saya, ke
mana harus pergi. Saya telah mengidentifikasi orang-orang yang berasal 'dari
paroki' bahkan sebelum saya bertemu mereka. Saya tahu para asisten untuk didekati
dan nama-nama monsignori yang harus saya ajak berteman. Tidak ada kekurangan
untuk mencari orang semacam itu.
Saya tidak akan
pernah melupakan percakapan tanpa akhir dengan Lepore di malam hari kota Roma,
di mana ketika saya menyebutkan nama kardinal atau uskup agung tertentu, saya
akan segera melihat dia bersemangat, meledak dengan sukacita dan akhirnya
berseru, melambaikan tangannya di udara: "Gayissimo!"
Untuk waktu yang
lama Francesco Lepore adalah salah satu imam favorit di Vatikan. Dia muda dan
menawan - bahkan seksi. Dia juga seorang intelektual yang sangat pandai. Dia
memikat baik secara fisik maupun intelektual. Pada siang hari dia menerjemahkan
dokumen-dokumen resmi paus ke dalam bahasa Latin dan menjawab surat-surat yang
ditujukan kepada Bapa Suci. Dia juga menulis artikel budaya untuk l'Osservatore romano, surat kabar resmi
Vatikan.
Kardinal
Ratzinger, calon Paus Benediktus XVI, pada waktu itu prefek Kongregasi untuk
Ajaran Iman, setuju untuk menulis kata pengantar untuk kumpulan esai ilmiah
Lepore, dan memuji imam muda itu.
"Saya
memiliki kenangan yang sangat menyenangkan tentang saat itu," kata Lepore
kepada saya, "tetapi masalah homoseksual tetap, lebih mendesak dari
sebelumnya. Saya merasa bahwa hidup saya sendiri bukan lagi milik saya. Dan
kemudian saya dengan cepat tertarik pada budaya gay Roma: Saya mulai menghadiri
klub-klub olahraga, heteroseksual pada awalnya, tetapi orang sudah tahu tentang
itu. Aku mulai jarang merayakan misa, keluar dengan pakaian sederhana, tanpa
jubah atau kerah imamat. Saya segera tidak tidur lagi di Saint Martha. Atasan
saya diberitahu tentang hal itu. Mereka ingin saya berganti pekerjaan, mungkin
memindahkan saya dari Vatikan, dan pada saat itulah Mgr. Stanisław Dziwisz,
sekretaris pribadi Paus Yohanes Paulus II, dan direktur Osservatore Romano, dimana saya banyak menulis di media itu, ikut
campur tangan dalam permintaan saya. Mereka berusaha mengizinkan saya untuk
tinggal di Vatikan."
Dalam buku ini
kita sering bertemu dengan Stanisław Dziwisz, yang sekarang seorang pensiunan
kardinal di Polandia, tempat saya bertemu dengannya. Untuk waktu yang lama dia
adalah salah satu dari orang-orang yang paling kuat di Vatikan, secara efektif
menjalankan tugasnya bersama dengan sekretaris utama negara, Angelo Sodano,
ketika kesehatan John Paul II memburuk. Akan menjadi eufemisme untuk mengatakan
bahwa legenda kelam mengelilingi klerus Polandia yang giat ini. Tetapi jangan
maju dulu; pembaca akan memiliki semua waktu di dunia untuk memahami sistem.
Jadi, terima
kasih kepada Dziwisz, Francesco Lepore yang ditunjuk sebagai sekretaris pribadi
Kardinal Jean-Louis Tauran, seorang Prancis yang sangat berpengaruh, seorang
diplomat berpengalaman dan 'menteri' urusan luar negeri untuk John Paul II.
Saya akan bertemu Tauran empat kali, dan dia akan menjadi salah satu informan
dan kontak reguler saya di Vatikan. Terlepas dari kepribadiannya yang tak terduga,
saya mengembangkan kasih sayang kepada kardinal yang luar biasa ini, yang
sangat menderita karena Parkinson sejak lama sebelum akhirnya menyerah pada
musim panas tahun 2018, tepat ketika saya merevisi versi terakhir buku ini.
Berkat Tauran
pula, yang sangat sadar akan homoseksualitasnya, Lepore mengejar hidupnya
sebagai seorang intelektual di Vatikan. Kemudian dia bekerja untuk kardinal
Italia, Raffaele Farina, yang mengelola perpustakaan Vatikan dan arsip rahasia,
dan kemudian bekerja pada penggantinya, Uskup Agung, Jean-Louis Bruguès. Dia
bertanggung jawab atas penerbitan manuskrip langka; dia mengedit koleksi
kolokia teologis yang diterbitkan oleh pers resmi Tahta Suci.
“Kehidupan ganda
saya, kemunafikan yang membakar itu, sangat membebani saya,” Lepore
melanjutkan. "Tapi saya tidak punya keberanian untuk membuang semuanya dan
meninggalkan imamat."
Akhirnya, dia
melepaskan hidup panggilannya, dengan hati-hati mencari cara terbaik untuk
melakukannya tanpa menimbulkan skandal.
“Saya terlalu
pengecut untuk mengundurkan diri. Karena kelemahan saya, saya ingin memastikan
bahwa keputusan itu tidak berasal dari saya.”
Menurut versi
yang dia berikan kepada saya (yang dikonfirmasi oleh Kardinal Jean-Louis Tauran
dan Farina), dia sengaja memilih untuk berkonsultasi dengan banyak situs gay
online, mengaksesnya di komputernya dari Vatikan, dan membiarkan komputernya
tetap terbuka, sambil menggabungkan berbagai artikel dan berbagai situs web.
“Saya tahu betul
bahwa semua komputer Vatikan berada di bawah kendali ketat, dan bahwa ulah saya
akan dapat terlihat dengan cepat. Dan itulah yang terjadi. Saya dipanggil dan
berbagai hal terjadi dengan sangat cepat: tidak ada pengadilan, dan tidak ada
hukuman. Disarankan agar saya kembali ke keuskupan saya, di mana saya akan
mengambil posisi penting. Namun hal itu saya tolak."
Insiden itu
ditanggapi dengan serius; memang pantas, di mata Vatikan. Kemudian Francesco
Lepore diterima oleh Kardinal Tauran, yang sangat sedih dengan apa yang baru
saja terjadi.
“Tauran dengan
ramah menegur saya karena bersikap naif, karena tidak mengetahui bahwa ‘Vatikan
memiliki mata di mana-mana,’ dan bahwa saya harus lebih berhati-hati. Dia tidak
menyalahkan saya karena menjadi gay, hanya karena telah ketahuan! Dan begitulah
semuanya berakhir. Beberapa hari kemudian saya meninggalkan Vatikan; dan saya
berhenti menjadi pastor untuk selamanya."
No comments:
Post a Comment