DI DALAM LEMARI VATIKAN
Frếdếric Martel
KEKUASAAN
HOMOSEXUALITAS
KEMUNAFIKAN
DAFTAR ISI
CATATAN DARI PENULIS DAN PENERBIT
|
|
|
|
Bab 1. Domus Sanctae Marthae
|
|
Bab 2. Teori Gender
|
|
Bab 3. Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?
|
BAGIAN I
FRANCIS
Bab 3
Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?
“Siapakah saya hingga berhak menilai?”
Giovanni Maria Vian mengulangi frasa ini, tampaknya dia masih berusaha menemukan
maknanya yang lebih dalam. “Siapakah saya hingga berhak menilai?” Apakah ini
doktrin baru? Sebuah ungkapan akan diartikan lebih atau kurang, secara acak?
Vian tidak benar-benar tahu harus berpikir apa tentang ungkapan itu. Siapakah
dia hingga berhak menilai?
Ungkapan itu, dalam bentuk
interogatif, diucapkan oleh Paus Francis pada malam 28 Juli 2013 di pesawat yang
membawanya kembali dari Brasil. Disiarkan ke seluruh dunia, frasa itu langsung
menjadi ungkapan paling terkenal dari kepausan. Dalam rasa empati, itu sangat
mencerminkan Francis, paus 'ramah-gay' yang ingin memutuskan hubungan dengan
homofobia para pendahulunya.
Giovanni Maria Vian, meski tugasnya
tidak boleh mengomentari kata-kata paus seperti yang diucapkannya, tetapi dia tetap
harus berhati-hati. Dia memberi saya transkrip resmi dari ‘khotbah improvisasi’
yang disampaikan Francis. Setelah dimasukkan kembali ke dalam konteks balasan
Francis, itu tidak sepenuhnya pasti, katanya kepada saya, bahwa ucapan itu
dapat dimaknai dengan cara yang 'ramah gay'.
Sebagai seorang awam, Vian adalah
seorang akademisi yang suka disebut 'profesor', dan direktur Osservatore Romano, koran Tahta Suci.
Koran harian resmi ini diterbitkan dalam lima bahasa, dan kantornya berlokasi
di jantung Vatikan.
"Paus banyak berbicara pagi
ini," Vian menjelaskan ketika saya tiba.
Korannya menerbitkan semua intervensi
oleh Bapa Suci, pesannya, tulisannya. Itu adalah laksana ‘Pravda Vatikan.’
"Kami adalah surat kabar resmi,
itu sudah jelas, tetapi kami juga memiliki bagian yang lebih bebas, dengan
editorial, artikel tentang budaya, penulisan yang lebih independen,"
tambah Vian, mengetahui bahwa kesempatannya untuk bermanuver sangat kecil.
Mungkin untuk membebaskan dirinya
dari berbagai kendala yang ada di Vatikan, dan untuk menunjukkan semangat kenakalannya,
dia dikelilingi oleh patung-patung Tintin. Kantornya dipenuhi dengan
poster-poster The Black Island, Tongkat Raja Ottokar, miniatur Tintin, Snowy,
dan Kapten Haddock. Sebuah invasi yang aneh dari benda-benda pagan di jantung Tahta
Suci! Dan saya berpikir bahwa semua itu tidak pernah terpikir oleh Hergé untuk
menyimpan Tintin di Vatikan!
Saya berbicara terlalu cepat. Vian
menempatkan saya dalam posisi pendengar setia, dengan cara bercerita tentang
artikel panjang di Osservatore Romano
tentang Tintin yang dikatakan membuktikan bahwa, terlepas dari karakternya yang
nakal dan sumpah serapah yang berkesan, reporter muda Belgia ini adalah
'pahlawan Katolik' yang terinspirasi oleh 'humanisme Kristen'.
“Osservatore
Romano adalah pro-Bergoglio di bawah Francis, dan pro-Ratzinger di bawah
Benedict XVI,” jelas seorang diplomat yang bermarkas di Tahta Suci.
Kolega lain di Osservatore Romano mengonfirmasi bahwa majalah itu ada untuk
'meredakan semua skandal'.
“Sikap diam dari Osservatore Romano juga berbicara,” Vian memberi tahu saya, meski
dengan humor. Dalam penyelidikan saya, saya sering mengunjungi kantor surat
kabar itu. Profesor Vian akan setuju untuk diwawancarai dengan direkam sebanyak
lima kali, dan tanpa direkam lebih sering lagi, seperti halnya enam rekannya
yang bertanggung jawab atas edisi Spanyol, Inggris dan Perancis.
Adalah seorang jurnalis Brasil, Ilze
Scamparini, koresponden Vatikan untuk saluran TV Globo, yang berani menghadap paus secara langsung dengan
pertanyaan tentang 'lobi gay'. Adegan itu diputar di pesawat dalam perjalanan
kembali dari Rio ke Roma. Itu adalah akhir dari konferensi pers yang di-improvisasi
dan paus merasa lelah, selalu diapit oleh Federico Lombardi, juru bicaranya.
"Satu pertanyaan terakhir?" tanya Lombardi, dengan tergesa-gesa untuk
mengakhiri sesi tanya jawab itu. Saat itulah Ilze Scamparini mengangkat
tangannya. Di sini saya akan mengutip dialog yang terjadi, dari transkrip asli
yang diberikan kepada saya oleh Giovanni Maria Vian.
‘Saya ingin meminta izin untuk
mengajukan pertanyaan yang sedikit rumit. Sebuah gambaran lain telah beredar di
seluruh dunia: tentang Mgr. Ricca, dan juga informasi tentang kehidupan
pribadinya. Bapa Suci, saya ingin tahu apa yang Anda rencanakan untuk dilakukan
soal ini. Bagaimana harapan Yang Mulia untuk mengatasi masalah ini, dan
bagaimana Anda berencana untuk menghadapi pertanyaan tentang lobi gay?"
“Terkait dengan Mgr. Ricca,” jawab paus,
“saya telah melakukan apa yang direkomendasikan oleh hukum kanonik: melakukan investigatio praevia (penyelidikan awal).
Investigasi ini belum menyimpulkan apa pun yang dituduhkan kepadanya. Kami
tidak menemukan apa pun. Itu jawaban saya. Tetapi ada sesuatu yang ingin saya
tambahkan: Saya melihat hal itu sering terjadi di Gereja, di luar kasus ini,
tetapi dalam kasus ini juga, orang mencari-cari, misalnya, untuk menemukan ‘dosa-dosa
kaum remaja’ dan kemudian menerbitkannya. Tidak ada kejahatan, kalau begitu?
Kejahatan adalah sesuatu, penyalahgunaan anak di bawah umur adalah kejahatan.
Tidak, dosa. Tetapi jika seorang awam, atau seorang imam, atau seorang
biarawati, telah melakukan dosa dan kemudian bertobat, Tuhan mengampuni ...
Tetapi mari kembali kepada pertanyaan Anda yang lebih konkret: Anda berbicara
tentang lobi gay. Baiklah! Banyak yang ditulis tentang lobi gay. Saya belum
menemukan seorang pun di Vatikan yang telah memberi saya kartu identitasnya
dengan tulisan ‘gay.’ Mereka bilang ada beberapa. Saya percaya bahwa ketika
Anda menemukan diri Anda berhadapan dengan orang seperti itu Anda harus
membedakan antara fakta menjadi ‘gay’ dari orang yang menjadi anggota sebuah lobi
gay saja. Karena tidak semua lobi itu baik. Yang ini adalah buruk. Jika
seseorang adalah gay dan mencari Tuhan, jika mereka menunjukkan itikad baik,
siapakah saya hingga berhak untuk menghakimi? Masalahnya adalah pada orang yang
memiliki kecenderungan ini, mengubah kecenderungan itu menjadi lobi. Itu
masalah yang lebih serius sejauh yang saya ketahui. Terima kasih banyak Anda telah
mengajukan pertanyaan itu. Terima kasih banyak!”
Mengenakan pakaian serba hitam, dan
dengan sedikit kedinginan, pada hari pertama saya bertemu dengannya, Pastor
Federico Lombardi mengingat konferensi pers itu dengan sangat jelas. Sebagai
seorang Jesuit yang baik, dia mengagumi ungkapan paus yang baru. ‘Siapakah saya
hingga berhak untuk menilai?’ Barangkali, tidak pernah ada ungkapan Francis
yang begitu mahir dalam dialektika Jesuit. Paus ‘menjawab pertanyaan dengan
pertanyaan!’
Kami berada di markas Yayasan
Ratzinger, di mana Lombardi sekarang menjadi presiden, di lantai dasar sebuah
gedung Vatikan di Via della Conciliazione, Roma. Saya akan mewawancarainya
beberapa kali di kantornya tentang tiga paus yang telah dia layani - Yohanes Paulus
II, Benediktus XVI dan Francis. Dia adalah kepala layanan pers yang pertama
dari tiga paus ini, dan menjadi juru bicara bagi para penerusnya.
Lombardi adalah seorang pria yang
lembut dan sederhana, yang mengabaikan gaya glamor dan keduniawian, seperti yang dilakukan oleh banyak
imam Vatikan. Saya dikejutkan oleh kerendahan hatinya, yang sering mengesankan
banyak orang yang telah bekerja dengannya. Sementara itu Giovanni Maria Vian,
misalnya, hidup sendirian di sebuah menara kecil yang megah di taman-taman
Vatikan, maka Lombardi lebih memilih untuk berbagi hidupnya dengan rekan-rekan
Jesuitnya di sebuah ruangan sederhana di komunitas mereka. Kami berada jauh
dari apartemen para kardinal terkenal yang sering saya kunjungi di Roma,
seperti apartemen Raymond Burke, Camillo Ruini Paul Poupard, Giovanni Battista
Re, Roger Etchegaray, Renato Raffaele Martino, dan banyak lainnya. Belum lagi
istana Kardinal Betori, yang saya kunjungi di Florence, atau Carlo Caffarra di
Bologna, atau Kardinal Carlos Osoro di Madrid. Dalam hal apa pun, tempat
tinggal Lombardi tidaklah seperti apartemen lainnya, yang belum saya kunjungi, apartemen
dari mantan menteri luar negeri Angelo Sodano dan Tarcisio Bertone, yang
mengejutkan orang-orang dengan kemewahan yang luar biasa dan ukuran besarnya.
“Ketika paus Francis mengucapkan
kata-kata itu, ‘Siapakah aku hingga berhak untuk menilai?’ saya berada di
sampingnya. Reaksi saya agak campur aduk, bisa dibilang. Anda tahu, Francis
sangat spontan saat itu, dia berbicara dengan sangat bebas. Dia menerima
pertanyaan tanpa mengetahuinya terlebih dahulu, tanpa persiapan. Ketika Francis
berbicara secara bebas, selama satu setengah jam di pesawat, tanpa catatan,
dengan 70 orang jurnalis, itu adalah spontan, itu sangat jujur. Tetapi apa yang
dia katakan belum tentu merupakan bagian dari doktrin; ini adalah percakapan biasa
dan harus dianggap demikian. Ini masalah hermeneutika.”
Dengan kata 'hermeneutics,' yang diucapkan
oleh Lombardi, yang pekerjaannya selalu berhubungan dengan penafsiran teks, seakan
dia membangun sebuah hirarki untuknya dan memberi makna pada frasa atau
perkataan dari para paus dimana dia pernah menjadi juru bicara mereka, saya
merasa bahwa pastor Yesuit ini ingin mengurangi pentingnya sikap pro-gay dari Francis.
Dia menambahkan: “Yang saya maksud disini
adalah bahwa frasa ini bukanlah bukti dari sebuah pilihan atau sebuah perubahan
doktrin. Tapi itu memang memiliki aspek yang sangat positif: ini adalah masalah
situasi pribadi. Ini adalah pendekatan yang didasarkan pada kedekatan,
pendampingan, perawatan pastoral. Tetapi itu tidak berarti bahwa (menjadi gay) itu
adalah baik. Ini berarti bahwa paus tidak merasa bahwa dirinya berada pada tempatnya
untuk menghakimi."
“Apakah ini adalah formula a la Yesuit?
Apakah ini Jesuitical?"
“Ya, jika Anda suka mengatakan
seperti itu, itu adalah ungkapan a la Yesuit. Itu adalah pilihan belas kasihan,
cara pastoral atas dilema pribadi. Ini adalah ungkapan kebijaksanaan. (Francis)
sedang mencari sebuah jalan. Dalam satu cara dia berkata: "Aku ada bersamamu
untuk melakukan perjalanan." Tetapi Francis juga menjawab pada situasi
individu (dalam kasus Mgr. Ricca) dengan tanggapan pastoral; dalam masalah
doktrin, dia tetap setia.
Di hari yang lain, ketika saya
menanyai Kardinal Paul Poupard tentang debat semantik yang sama, dalam salah
satu pertemuan rutin kami di rumahnya, pakar Kuria Roma ini, yang 'dekat dengan
lima orang paus' seperti yang dia katakan sendiri, mengamati : “Jangan lupa
bahwa Francis adalah paus Yesuit Argentina. Seperti yang saya katakan: Jesuit
dan Argentina. Kedua kata itu penting. Yang berarti bahwa ketika dia
mengucapkan frasa ‘Siapakah saya hingga berhak untuk menilai?’ yang penting
bukanlah apa yang dia katakan tetapi bagaimana hal itu diterima. Ini agak mirip
dengan teori pemahaman St. Thomas Aquinas: ‘setiap hal diterima sesuai dengan
apa yang ingin dipahami.' “
Francesco Lepore hampir tidak yakin
dengan penjelasan Paus Francis. Dan dia juga tidak berbagi 'hermeneutika' dari eksegetiknya.
Bagi mantan imam ini, yang mengenal
Mgr. Ricca dengan baik, jawaban paus ini adalah contoh umum dari pembicaraan-ganda
(sikap mendua).
“Jika kita mengikuti alasaannya, paus
mengatakan bahwa Mgr. Ricca adalah gay di masa mudanya, tetapi dia tidak lagi
menjadi seperti itu sejak dia ditahbiskan menjadi imam. Jadi apa yang diampuni oleh
Tuhan adalah dosa masa mudanya. Namun paus pasti tahu bahwa fakta-fakta tersebut
terjadi baru-baru ini."
Sebuah kebohongan? Setengah bohong?
Bagi seorang Jesuit, kata mereka, mengatakan kebohongan sama dengan mengatakan
setengah benar! Lepore menambahkan: “Ada aturan tidak tertulis di Vatikan,
yaitu bahwa seorang klerus harus didukung dalam segala keadaan. Francis telah
melindungi Battista Ricca terhadap dan melawan semua orang, seperti halnya John
Paul II melindungi Stanisław Dziwisz dan Angelo Sodano, atau ketika Benediktus
XVI membela Georg Gänswein dan Tarcisio Bertone sampai akhir, di hadapan semua
kritikan. Paus adalah seorang raja. Dia dapat melindungi orang-orang yang dia
sukai dalam segala keadaan, tanpa ada yang bisa menghentikannya.”
Di awal persoalan ini ada investigasi
terperinci oleh majalah Italia L'Espresso,
pada bulan Juli 2013 dimana halaman depannya dikhususkan sepenuhnya untuk meliput
masalah Vatikan dan dengan berani majalah itu memberi judul: 'Lobi gay'. Dalam artikel ini, Mgr.
Ricca disajikan dengan nama aslinya sebagai memiliki hubungan intim dengan
seorang tentara Garda Swiss ketika dia bekerja di kedutaan Tahta Suci di Swiss
dan kemudian di Uruguay.
Kehidupan malam dari Battista Ricca
di Montevideo sangat rinci diungkapkan: dia dikatakan telah dipukuli pada suatu
malam di tempat pertemuan umum, dan telah kembali ke rumah dinas dubes dengan
wajah bengkak setelah meminta bantuan beberapa imam untuk meminta tolong polisi.
L'Espresso melaporkan bahwa di lain
waktu, dia ditemukan terjebak di tengah malam di dalam lift, yang sayangnya
rusak, di kantor kedutaan Vatikan, dan belum juga ditolong oleh petugas pemadam
kebakaran sampai pagi, ketika dia ditemukan bersama dengan seorang 'pemuda
tampan' yang telah terjebak dengannya. Ini adalah sebuah keberuntungan yang busuk!
Majalah itu, yang mengutip nuncio
sebagai sumber, juga menyebutkan koper-koper milik tentara Garda Swiss, yang
diduga kekasih Ricca, di mana 'sebuah pistol, sejumlah besar kondom dan alat-alat
pornografi' dikatakan telah ditemukan. Juru bicara paus Francis, Federico
Lombardi, seperti biasa, membantah fakta-fakta itu, yang menurut pendapatnya,
'tidak dapat dipercaya.'
“Cara dimana perselingkuhan ini dikelola
oleh Vatikan cukup lucu. Begitu juga respons dari paus. Dia berkata: Itu adalah
dosa ringan! Itu adalah masa lalu! Seperti ketika Presiden Bill Clinton dituduh
menggunakan narkoba dan meminta maaf, menambahkan bahwa dia telah merokok ganja
tetapi tanpa menghirupnya! Ini membuat terkekeh seorang diplomat yang berbasis
di Roma yang mengenal seluk beluk Vatikan dengan sangat baik.
Pers sangat terhibur dengan
kesengsaraan sang klerus, kehidupan ganda yang dituduhkan kepadanya, dan
kegagalannya dalam menangani kasusnya. Pada saat yang sama, kita tidak boleh
lupa bahwa serangan itu datang dari Sandro Magister, seorang ahli Vatikan yang
pro-Ratzinger berusia 75 tahun yang hebat. Mengapa hal itu terjadi secara tiba-tiba
dan 12 tahun setelah peristiwa tersebut, apakah dia sengaja mempermalukan Mgr.
Ricca?
Kasus Mgr. Ricca ini sebenarnya
adalah ‘penyamaan skor’ antara sayap konservatif Vatikan, sebut saja faksi
pro-Ratzinger, dan sayap moderat yang mewakili Francis, dan, khususnya, antara
dua kubu homoseksual. Mgr. Ricca adalah seorang diplomat tanpa menjadi nuncio,
dan seorang 'Prelato d’Onore di Sua Santità' (wali kehormatan paus) yang tidak
terpilih menjadi uskup. Mgr.Battista Ricca adalah salah satu rekan terdekat Bapa
Suci. Dia bertanggung jawab atas Domus Sanctae Marthae, kediaman resmi paus,
dan juga mengelola dua tempat tinggal kepausan lainnya. Yang terakhir, dia
adalah salah satu perwakilan paus tertinggi di Bank Vatikan yang sangat
kontroversial itu, yang dikatakan bahwa klerus itu juga terlibat skandal
keuangan.
Jadi dugaan homoseksualitasnya hanyalah
dalih untuk melemahkan Francis. Agresi yang telah membuatnya menjadi korban,
ketika penugasannya menjadi nuncio dieksploitasi, ketika ada lebih banyak umat Katolik
membelanya dari para agresornya, mengingat kekerasan yang dideritanya. Mengenai
lelaki muda dengan siapa dia ditemukan di dalam lift, haruskah kita tunjukkan
di sini bahwa dia adalah orang dewasa yang melakukan tindakan homosex dengan
pria itu? Kita bisa menambahkan bahwa salah satu penuduh Ricca itu, diketahui,
menurut sumber saya, adalah seorang homofobik dan homoseksual juga! Permainan-berstandar-ganda
yang cukup tipikal di Vatikan.
Jadi perselingkuhan Ricca ini berada
dalam urutan penyamaan skor antara faksi-faksi gay yang berbeda di dalam Kuria
Roma - yang para korbannya termasuk Dino Boffo, Cesare Burgazzi, Francesco
Camaldo dan bahkan mantan sekretaris jenderal Kota Vatikan, Carlo Maria Viganò
- dan kami memiliki kesempatan untuk menceritakan kisah mereka nanti. Setiap
kali, para imam atau umat awam dikecam oleh para klerus, namun sebagian besar
dari mereka sendiri secara finansial adalah korup atau diturunkan jabatannya
karena perilaku yang tidak pantas secara seksual. Dan di sini kita memiliki
aturan lain dari Lemari, yang kelima:
Rumor, gosip, penyamaan-skor, balas dendam dan pelecehan seksual memang marak
di Tahta Suci. Masalah gay adalah salah satu sumber utama dari persekongkolan ini.
“Tahukah Anda bahwa paus dikelilingi
oleh kaum homoseksual?” Demikian saya ditanya dengan mata terbelalak oleh
seorang uskup agung yang nama panggilannya di Kuria Romawi adalah ‘la Païva’, seperti penghormatan yang
diberikan kepada seorang marquess dan pelacur terkenal. Jadi itulah yang akan
saya ungkapkan dalam buku ini.
Yang Mulia La Païva, dengan siapa
saya secara teratur menikmati makan siang dan makan malam, mengetahui semua
rahasia Vatikan. Saya bertindak seolah-olah saya naif: "Menurut definisi,
tidak ada yang mempraktikkan heteroseksualitas di Vatikan?"
"Ada banyak gay di Vatikan,"
kata La Païva melanjutkan, "Sangat banyak."
"Saya tahu ada kaum homoseks di
dalam rombongan John Paul II dan rombongan Benedict XVI, tetapi saya tidak tahu
tentang Francis."
"Ya, banyak orang di Santa Marta
adalah bagian dari ‘paroki,’ " kata La Païva, menggunakan dan
menyalahgunakan formula esoterik ini. "Menjadi paroki," dia mengulangi
sambil tertawa. Dia bangga dengan ekspresinya, seolah-olah dia telah menemukan
roti irisan. Saya kira dia telah menggunakannya ratusan kali selama karirnya
yang panjang, tetapi pada kesempatan ini, sebutan ‘paroki’ itu disediakan untuk
orang yang diinisiasi, dimana sebutan itu memiliki efek yang diinginkan.
Menjadi bagian dari ‘paroki' bahkan
bisa menjadi sub-judul buku ini. Ungkapannya kuno dalam bahasa Perancis dan
Italia: Saya menemukannya di bahasa gaul homoseksual tahun 1950-an dan 1960-an.
Kata ‘paroki’ itu mungkin sudah ada sebelum tahun-tahun itu, begitu mirip
dengan ungkapan dalam Sodom and Gomorrah
karya Marcel Proust dan Notre Dame des
Fleurs karya Jean Genet - meskipun saya tidak berpikir kata itu muncul di
salah satu dari buku-buku itu. Apakah ini lebih merupakan ungkapan vernakular,
dari ‘bar gay’ tahun 1920-an dan 30-an? Bukan tidak mungkin. Bagaimanapun, ia
secara heroik menggabungkan alam gerejawi dengan dunia homoseksual.
"Kau tahu aku menyukaimu,"
La Païva mengatakan secara tiba-tiba. “Tapi saya tidak setuju dengan Anda
karena tidak memberi tahu saya jika Anda lebih suka pria atau wanita. Mengapa
Anda tidak memberi tahu saya? Apakah Anda setidaknya seorang simpatisan?"
Saya terpesona oleh keterusterangan
La Païva ini. Uskup agung itu berpikir keras, dan bahkan menikmati dirinya
sendiri dan membiarkan saya melihat dunianya, dengan keyakinan bahwa itu akan
memungkinkan dia untuk memenangkan persahabatan dengan saya. Dia mulai
mengungkap misteri Vaticannya Francis, di mana homoseksualitas adalah sebuah rahasia
hermetis, sebuah freemasonry yang tidak bisa ditembus. La Païva yang ceroboh itu
membagikan rahasianya: bahwa dia adalah seorang pria penasaran! Dua kali lebih
ingin tahu daripada rata-rata orang pada subjek: bi-curious. Ini fakta! Di sini
dia merinci nama-nama dan gelar-gelar para 'praktisi' dan 'non-praktisi'
homosexual, sementara pada saat yang sama dia mengakui bahwa homofil (sikap
suka dengan homosex) yang ditambahkan kepada tindakan homoseksual bersama-sama,
merupakan mayoritas besar dari Kolese para kardinal!
Hal yang paling menarik, tentu saja,
adalah 'sistemnya'. Menurut La Païva, kehadiran homoseksual di dalam Kuria
secara luas adalah konstan dari satu paus ke paus berikutnya. Jadi mayoritas
rombongan Paus Yohanes XXIII, Paulus VI, Yohanes Paulus I, Yohanes Paulus II,
Benediktus XVI dan Francis dikatakan sebagai orang-orang ‘dari paroki’.
Dihukum untuk hidup bersama ‘fauna’
yang sangat tidak biasa ini, Paus Francis melakukan apa yang dia bisa. Dengan
semboyan ‘Siapakah aku ini hingga berhak untuk untuk menilai?’ dia mencoba
mengubah kesepakatan dasar. Untuk melangkah lebih jauh akan menyentuh doktrin,
dan dia segera memulai perang di dalam Kolese para Kardinal. Jadi ambiguitas
tetap lebih disukai, yang cocok dengan sifat paus Yesuit ini, yang cukup mampu ‘mengatakan
sesuatu dan kebalikannya dalam satu kalimat.’ Dia menjadi ramah-gay dan juga anti-gay
– sebuah karunia yang luar biasa! Perkataannya di depan publik sering bertentangan
dengan tindakan pribadinya.
Begitulah Francis terus-menerus
membela kaum migran tetapi, sebagai penentang perkawinan gay, dia mencegah
imigran gay yang tidak berdokumen untuk bisa menikmati regularisasi ketika
mereka memiliki pasangan yang menetap. Francis juga menyebut dirinya seorang
'feminis', tetapi menghalangi wanita yang tidak dapat memiliki anak pilihannya
sendiri dengan menolak pilihan perawatan kesuburan yang dibantu secara medis. Mgr.
Viganò menuduhnya pada tahun 2018 di dalam 'Testimonianza'
dengan mengatakan bahwa paus dikelilingi oleh kaum homoseksual dan terlihat
terlalu ramah terhadap kaum gay; pada saat yang sama, Francis menyarankan untuk
menggunakan disiplin psikiatri untuk mengatasi kaum homoseksual muda
(pernyataan ini yang kemudian dia sesali).
Dalam pidatonya di depan konklaf ketika
pemilihannya sebagai paus, Jorge menetapkan prioritasnya: ‘kaum pinggiran'. Di
matanya, konsep ini, yang akan bermanfaat baginya, mencakup pinggiran
'geografis', umat Kristiani di Asia, Amerika Selatan, dan Afrika, yang jauh
dari Katolik Roma yang kebarat-baratan, dan juga pinggiran 'eksistensial', untuk
menyatukan semua orang dimana Gereja telah meninggalkan mereka di pinggir
jalan. Terutama di antara mereka, menurut wawancara yang dia sampaikan kepada
Jesuit, Antonio Spadaro, adalah pasangan yang bercerai, minoritas dan
homoseksual. Di luar ide-ide ini ada simbol-simbol. Begitulah cara Francis
secara terbuka bertemu dengan Yayo Grassi, berusia 67 tahun, salah satu mantan
siswa gaynya, disertai dengan pacarnya (homosex) Iwan, orang Indonesia, di
kedutaan Vatikan di Washington. Foto selfie dan video menunjukkan pasangan itu
memeluk Bapa Suci.
Menurut sejumlah sumber, siaran
pertemuan antara paus dan pasangan gay ini bukan sekedar kebetulan. Awalnya hal
itu disajikan sebagai 'pertemuan pribadi', pertemuan yang hampir tidak
disengaja, oleh juru bicara Paus, Federico Lombardi, kemudian dikatakan menjadi
'audiensi' yang sebenarnya, hal ini juga dibenarkan oleh Lombardi.
Sementara itu, harus dikatakan bahwa
kontroversi telah pecah. Paus, dalam perjalanan yang sama ke Amerika Serikat,
bertemu - di bawah tekanan dari nuncio kerasulan yang sangat homofobik Mgr.
Viganò - seorang politisi lokal dari Kentucky, Kim Davis, yang menolak untuk
menyetujui pernikahan gay di wilayahnya, meskipun dia sendiri dua kali
bercerai. Dalam menghadapi protes yang diprovokasi oleh tokoh homofobik
terkenal ini, paus berbalik dan membantah bahwa dia mendukung posisi Davis (politisi
itu ditangkap dan dipenjara sebentar karena menolak untuk mematuhi hukum
Amerika). Untuk menunjukkan bahwa dia tidak berniat membiarkan dirinya
terperangkap dalam debat ini, dan sementara menyesali kerusakan yang disebabkan
di belakangnya oleh Viganò (yang akan segera dia singkirkan dari Washington),
paus mengimbangi gerakan homofobik Viganò dengan cara menerima, secara publik, mantan
murid gay dan teman kencannya. Sebuah tindakan mendua, dengan segala perangkap irenisisme
Yesuit yang sangat kental.
Contoh pengangkatan yang kacau dari duta
besar Perancis untuk Tahta Suci mengungkapkan ambiguitas yang sama, dan juga sikap
Machiavellianisme tertentu di pihak Paus Francis. Orang yang dimaksud adalah Laurent
Stéfanini: dia adalah seorang diplomat tingkat tinggi, seorang Katolik yang
taat, dianggap agak sayap kanan, dan anggota awam dari Ordo Malta. Seorang
profesional yang sangat terhormat, dia adalah kepala protokol di Istana Élysée
di bawah Nicolas Sarkozy, dan di masa lalu dia adalah orang nomor 2 di kedutaan
yang sama. Presiden François Hollande memilih untuk mengangkatnya sebagai duta
besar Perancis untuk Vatikan pada Januari 2015, dan pengangkatannya secara
resmi disampaikan kepada paus. Apakah pengumuman secara publik, yang muncul
dalam jurnal satir Le Canard Enchaîné,
adalah prematur? Tetap saja bahwa paus menunda persetujuannya. Motifnya:
diplomat itu gay!
Ini bukan pertama kalinya seorang
duta besar Perancis diinterogasi oleh Roma karena homoseksualitasnya. Hal itu
pernah terjadi pada tahun 2008 untuk pencalonan Jean-Loup Kuhn-Delforge, seorang
homoseksual yang secara terbuka mengakuinya, dan dia sedang dalam relasi
homosex dengan rekannya, seorang diplomat yang oleh Nicolas Sarkozy akan dipindah
ke Vatikan. Paus Benediktus XVI menolak untuk memberikan persetujuannya selama
setahun, memaksakan minta penggantian kandidat. Di sisi lain, perlu juga
ditunjukkan bahwa di masa lalu beberapa duta besar Perancis untuk Tahta Suci telah
secara terbuka mengaku homoseksual; ini adalah bukti bahwa aturan kepausan kadang-kadang
dapat dilanggar.
Kali ini kasus Stéfanini diblokir
pada tingkat tinggi. Paus Francis memveto pengusulannya. Apakah dia tersinggung
karena orang lain berusaha memaksakan keinginannya? Apakah dia berpikir bahwa
suatu upaya sedang dilakukan untuk memanipulasi dirinya dengan memaksakan
seorang duta besar gay padanya? Apakah proses persetujuan melalui nuncio
apostolik ke Paris dilewati? Apakah Stéfanini menjadi korban kampanye yang
dituduhkan kepadanya di Perancis (kita tahu bahwa duta besar Bertrand
Besancenot, yang dekat dengan Ordo Malta, mengawasi penugasan itu)? Haruskah
kita mencari intrik di sayap kanan Kuria, yang berusaha menggunakan kasus perselingkuhan
untuk menjebak paus?
Keruwetan ini diduga muncul dari
krisis diplomatik akut antara Francis dan François ketika Presiden Hollande
memberikan dukungan kuat pada pencalonan Stéfanini, nominasi yang sekali lagi
ditolak oleh paus. Tidak akan ada duta besar Perancis untuk Vatikan, kata Hollande
keras, jika paus menolak untuk menerima M. Stéfanini!
Dalam hal ini, para komplotan nyaris
tidak peduli dengan konsekuensi bagi partai yang bersangkutan, yang kehidupan
pribadinya sekarang dipajang di depan umum. Adapun untuk membela Gereja,
seperti yang mereka bayangkan, mereka sebenarnya justru melemahkannya dengan
menempatkan paus dalam situasi yang sangat sulit. Francis wajib menerima Stéfanini
dengan segala hormat, dan dengan permintaan maaf, dengan salah satu ironi
diplomasi Jesuit, dia mengatakan kepadanya bahwa dia tidak memiliki sesuatu
yang melawan dia secara langsung!
Uskup Agung Paris, pada gilirannya,
didorong untuk mencoba menyelesaikan masalah ini, seperti kardinal Perancis
Jean-Louis Tauran, seorang lelaki yang dekat dengan paus, yang tidak menemukan
sesuatu yang aneh dalam pencalonan seorang duta besar gay - justru sebaliknya!
Di pihak Roma, Kardinal Pietro Parolin, orang nomor 2 di Vatikan, bahkan harus
pergi ke Paris untuk bertemu François Hollande, dimana dalam diskusi yang
menegangkan, bertanya langsung kepadanya apakah masalahnya mungkin
'homoseksualitas Stéfanini'. Menurut cerita bahwa presiden mengatakan kepada
salah satu penasihatnya, Parolin, yang tampak sangat gelisah tentang masalah
ini, dan secara pribadi terpengaruh, hingga wajahnya merona merah tua karena
malu, ketakutan, tergagap bahwa masalahnya tidak ada hubungan dengan
homoseksualitasnya ...
Ketidaktahuan Paus Francis tentang Perancis
terungkap sebagai hasil dari permasalahan ini. Francis, yang tidak mau menunjuk
satu pun kardinal Perancis dan, tidak seperti semua pendahulunya, dia tidak mau
berbicara bahasa Perancis, dan yang - sayangnya! - kelihatannya membingungkan antara
kata sekularisme dengan atheisme, dan tampaknya paus menjadi
korban manipulasi yang kodenya tidak dia mengerti.
Sebagai korban sampingan, Laurent
Stéfanini terperangkap dalam tembak-menembak kritik, dalam pertempuran di luar
dirinya, dan yang tidak lagi menjadi fokusnya. Di Roma, itu adalah serangan
oleh sayap Ratzinger, dimana Stéfanini sendiri secara luas dikenal sebagai homoseksual,
yang menggerakkan bidaknya di sekitar papan catur untuk mempermalukan Paus
Francis. Ordo Malta, di mana diplomat itu menjadi anggota, terbagi antara tren
'tertutup' yang kaku dan tren 'tertutup' yang fleksibel, berbenturan di sekitar
kasusnya (Cardinal Raymond Burke, pelindung ordo berdaulat itu, dikatakan telah
'dibuat kebingungan’ oleh pencalonan Stéfanini). Nuncio di Paris, Mgr. Luigi
Ventura, seorang mantan nuncio di Chili (yang dekat dengan Kardinal Angelo
Sodano dan Legiun Kristus yang dipimpin oleh Marcial Maciel) saat ini mendapat
kecaman dari pers karena gagal menghentikan kejahatan pedofil dari Pastor
Fernando Karadima, memainkan permainan-ganda dengan menentang penunjukan
Stefanini yang akan membawa pihak-pihak yang berkepentingan di Paris dan Roma membutuhkan
waktu yang lama untuk memecahkan masalahnya. Di Perancis, kasus ini menjadi kesempatan
bagi kaum kanan dan kiri untuk menyamakan skor mereka, dengan latar belakang
perdebatan seputar hukum pernikahan gay: François Hollande melawan Nicolas
Sarkozy; ‘La Manif pour tous’,
organisasi anti-perkawinan-gay, melawan Hollande; dan hak golongan ekstrem
melawan hak golongan moderat. Presiden Hollande, yang dengan tulus mendukung
pencalonan Stéfanini, pada akhirnya merasa geli melihat adanya hak untuk mencabik-cabik
diri sendiri yang menyangkut nasib diplomat senior Sarkozyist ini, seorang Katolik
yang taat ... dan juga seorang homoseks. Dia mengajarkan pelajaran yang benar
tentang kemunafikan mereka! (Di sini, saya menggunakan wawancara saya dengan
beberapa penasihat Presiden Hollande dan perdana menteri Prancis Manuel Valls,
serta pertemuan dengan penasihat pertama dubes Vatikan untuk Paris, Mgr. Rubén
Darío Ruiz Mainardi.)
Dalam sedikit manuver yang lebih bersifat
Machiavellian, salah satu penasihat François Hollande menyarankan bahwa, jika
pencalonan Stéfanini ditolak, salah satu dari tiga nuncio yang berbasis di
Paris atau perwakilan Vatikan akan dipanggil ke istana Élysée untuk diberhentikan,
karena homoseksualitas mereka sudah terkenal di dunia. Quai d'Orsay (yang
merupakan alamat Kementerian Luar Negeri Perancis, di mana terdapat banyak personil
yang homoseksual, begitu banyaknya mereka hingga kadang-kadang disebut sebagai 'Gay d'Orsay').
“Anda tahu para diplomat Vatikan di
Paris, Madrid, Lisbon, London! Mereka menolak Stéfanini karena
homoseksualitasnya. Ini adalah keputusan paling lucu yang dibuat oleh kepausan
ini! Jika nuncio gay di Tahta Suci ditolak, apa yang akan terjadi dengan wakil apostolik
yang tersisa di mana saja di dunia?” kata seorang duta besar Perancis sambil
tersenyum, karena dia pernah memegang jabatan di Tahta Suci.
Menteri Luar Negeri Perancis, Bernard
Kouchner, membenarkan dalam sebuah diskusi di rumahnya di Paris: “Vatikan
menganggap saya sebagai orang yang memiliki posisi yang buruk untuk menolak
kandidat homoseksual! Saya memiliki masalah yang sama ketika kami ingin
menunjuk Jean-Loup Kuhn-Delforge sebagai duta besar Perancis untuk Vatikan,
ketika dia memiliki relasi homosex dengan pacarnya. Kami menghadapi penolakan
yang sama. Sama sekali tidak boleh melakukan diskriminasi atas seorang diplomat
senior berdasarkan homoseksualitasnya. Kami tidak bisa menerimanya! Jadi, saya
dapat mengungkapkan kepada Anda hari ini bahwa saya menelepon rekan saya, Mgr.
Jean-Louis Tauran, yang setara dengan Menteri Luar Negeri di Vatikan, dan
memintanya untuk menarik nuncio apostoliknya dari Paris, yang dia lakukan
segera. Saya berkata kepadanya: "Ini adalah gayung bersambut!" (Dua
diplomat Vatikan yang saya ajak bicara untuk menguji dua versi masalah ini, dan
dia menyatakan bahwa nuncio telah berhenti pada akhir masa jabatan lima tahunnya
yang normal.)
Satu kesaksian penting di sini:
Eduardo Valdés, dari Argentina, dekat dengan paus, dan dia adalah duta besar
untuk Tahta Suci selama urusan Stéfanini berlangsung.
“Saya yakin,” dia menjelaskan kepada
saya selama percakapan di Buenos Aires, “bahwa semua orang yang menentang
pengangkatan Stefanini sebagai duta besar adalah sama seperti dia (homoseksual).
Itu adalah sama dengan kemunafikan! Selalu menggunakan standar ganda yang sama!
Ini adalah cara yang paling praktis dan paling cepat mengutuk kaum
homoseksual.”
Selama lebih dari 14 bulan jabatan
itu tetap kosong, sampai François Hollande menyerah dan menunjuk seorang
diplomat yang disepakati bersama yang akan mengakhiri karirnya, untuk menikah
dengan anak-anak. Sementara itu, Stéfanini akan dengan senang hati menyatakan
bahwa penunjukan diplomatik ini bukan lagi menjadi haknya, seperti halnya dia
telah memilih homoseksualitasnya! (Sumber-sumber saya tentang 'berkas
Stéfanini' ini, terlepas dari nama-nama yang disebutkan di atas, Kardinal
Tauran, Uskup Agung François Bacqué dan selusin diplomat Vatikan lainnya; empat
orang duta besar Perancis untuk Tahta Suci: Jean Guéguinou, Pierre Morel, Bruno
Joubert dan Philippe Zeller; dan tentu saja duta besar Bertrand Besancenot dan
Laurent Stéfanini.)
Jadi, apakah Francis ramah terhadap
gay seperti yang orang-orang katakan? Beberapa orang berpikir begitu, dan
menceritakan kisah ini untuk mendukung tesis mereka. Dalam suatu audiensi
antara paus dan kardinal Jerman, Gerhard Müller, yang saat itu menjabat sebagai
prefek Kongregasi untuk Doktrin Iman, yang terakhir tiba dengan membawa arsip dari
seorang teolog tua yang dikatakan telah dikecam karena homofilia. Dia bertanya
kepada paus tentang sanksi yang akan dia ambil. Paus dikatakan telah menjawab
(menurut cerita yang disampaikan kepada saya oleh dua saksi di dalam
Kongregasi, yang mendengarnya dari bibir Müller): “Bukankah lebih baik
mengundang dia untuk minum bir, bicaralah kepadanya seperti seorang saudara dan
temukan solusi untuk masalah itu?”
Kardinal Müller, yang tidak
merahasiakan kebenciannya terhadap kaum gay, benar-benar kaget dengan jawaban
Francis ini. Kembali di kantornya, dia bergegas untuk menceritakan anekdot itu kepada
rekan-rekannya dan asisten pribadinya. Dia dikatakan telah mengkritik Paus
dengan kasar karena ketidaktahuannya tentang Vatikan, kesalahan penilaiannya
tentang homoseksualitas dan kelemahannya dalam mengelola file kasus. Semua kritikan
ini sampai ke telinga Francis, yang kemudian bertindak menghukum Müller secara
metodis: pertama-tama dengan menjauhkan dia dari rekan-rekannya satu demi satu,
kemudian dengan mempermalukannya di depan umum, sebelum menolak untuk memperpanjang
jabatannya hingga beberapa tahun ke depan dan membuatnya terpaksa mengambil
pensiun dini. (Saya bertanya kepada Müller tentang hubungannya dengan paus
selama wawancara di rumahnya, dan saya mendasarkan sebagian tulisan ini pada
kesaksiannya.)
Mungkinkah paus memikirkan tentang
kardinal konservatif seperti Müller atau Burke, ketika dia mengecam gosip tentang
Kuria? Dalam sebuah misa di Vatikan pada 22 Desember 2014, kurang dari setahun
setelah pemilihannya, Bapa Suci melancarkan serangannya. Hari itu, menghadapi
para kardinal dan uskup yang berkumpul untuk menerima berkat Natal, Francis
membuat mereka semua mendengar: paus membuat daftar katalog 15 'penyakit' Kuria
Romawi, termasuk 'spiritual Alzheimer' dan 'skizofrenia eksistensial'. Paus secara
khusus menargetkan kemunafikan para kardinal dan uskup yang menjalani ‘kehidupan
tersembunyi dan sering kacau,' dan dia mengkritik 'gosip' mereka, sebuah ‘terorisme
pembicaraan yang lepas kontrol’ yang asli.
Tuduhan-tuduhan yang dilontarkannya cukup
berat, tetapi paus masih belum menemukan kalimat pamungkasnya, yang bisa membunuh
karir korbannya. Dia melakukannya pada tahun berikutnya, di salah satu
homilinya di Santa Marta, pada 24 Oktober 2016 (menurut transkrip resmi Radio
Vatikan, yang akan saya kutip di sini, mengingat pentingnya kata-katanya): “Di
balik kekakuan ada sesuatu yang tersembunyi dalam kehidupan seseorang. Kekakuan
bukanlah hadiah dari Tuhan. Kelembutan, ya, kebaikan, ya, kebajikan, ya,
pengampunan, ya. Tetapi kekakuan, tidak! Di balik kekakuan selalu ada sesuatu
yang tersembunyi, dalam banyak kasus adalah berupa kehidupan-ganda, tetapi ada
juga sesuatu seperti penyakit. Betapa kaku penderitaannya: ketika mereka bersikap
tulus dan menyadari hal itu, mereka justru menderita! Dan betapa mereka sungguh
menderita!”
Pada akhirnya, Francis menemukan
formulanya: "Di balik kekakuan, selalu ada sesuatu yang tersembunyi, dalam
banyak kasus kehidupan-ganda." Ungkapannya disingkat untuk membuatnya
lebih efektif, sering diulang oleh orang-orang dekatnya: "Orang yang kaku
menjalani kehidupan ganda.” Dan sementara dia tidak pernah menyebutkan nama, tetapi
tidak sulit bagi kita untuk menebak para kardinal dan uskup yang dia maksudkan.
Beberapa bulan kemudian, pada 5 Mei
2017, paus melanjutkan serangannya, hampir dengan istilah yang sama: “Ada
orang-orang yang kaku dengan menjalani kehidupan-ganda: mereka tampak tampan
dan jujur, tetapi ketika tidak ada orang yang melihat mereka, mereka melakukan hal-hal
yang buruk... Mereka menggunakan kekakuan untuk menutupi kelemahan, dosa, dan gangguan
kepribadiannya ... Orang-orang munafik yang kaku, orang-orang dengan
kehidupan-ganda.”
Sekali lagi, pada tanggal 20 Oktober
2017, Francis menyerang para kardinal Kuria yang dia gambarkan sebagai 'orang
munafik', 'hidup dengan menonjolkan penampilan': “Seperti gelembung sabun, (orang-orang
munafik) ini menyembunyikan kebenaran dari Tuhan, dari orang lain dan dari diri
mereka sendiri, memperlihatkan wajah mereka dengan gambaran yang saleh, seakan
mau menunjukkan penampilan kekudusan ... Di luar, mereka menampilkan diri
mereka sebagai orang benar, sebagai orang yang baik; mereka suka terlihat
ketika mereka berdoa dan ketika mereka berpuasa, ketika mereka memberikan
sedekah. Tapi itu semua hanyalah penampilan luar dan di dalam hati mereka tidak
ada apa-apanya ... Mereka mengenakan make-up pada jiwa mereka, mereka hidup
dengan make-up: kekudusan adalah make-up untuk mereka ... Berbohong, banyak
melakukan kerusakan, kemunafikan, hal itu membahayakan: itu adalah cara hidup
mereka.”
Francis terus mengulangi ide-ide ini,
seperti pada Oktober 2018: “Mereka kaku. Tetapi Yesus tahu jiwa mereka. Dan
kita dikejutkan oleh hal itu ... Mereka kaku, tetapi di balik kekakuan selalu
ada masalah, masalah serius ... Berhati-hatilah jika berada di sekitar mereka
yang kaku. Berhati-hatilah di sekitar orang Kristen, apakah mereka orang awam,
pastor atau uskup, yang menampilkan dirinya kepada Anda sebagai orang yang ‘sempurna.’
Mereka kaku. Hati-hati. Mereka tidak memiliki semangat Tuhan."
Francis telah mengulangi
rumusan-rumusan ini, dan cukup parah jika menuduh, begitu seringnya hal itu
dilakukan sejak awal kepausannya sehingga kita harus mengakui bahwa paus ini berusaha
menyampaikan pesan kepada kita. Apakah dia menyerang lawan konservatifnya
dengan mencela permainan-ganda mereka tentang moralitas seksual dan uang? Itu
sudah pasti.
Kita bisa melangkah lebih jauh: paus
memperingatkan para kardinal konservatif atau tradisional tertentu, yang
menolak reformasi yang dilakukannya, dengan membuat mereka sadar bahwa dia tahu
tentang kehidupan tersembunyi mereka. (Penafsiran ini bukan dari saya; beberapa
kardinal, uskup agung, nuncio, dan imam, telah mengkonfirmasi strategi seperti ini
yang dilakukan oleh paus.)
Sementara itu, Francis yang jahil itu
terus berbicara tentang masalah gay dengan caranya sendiri, yaitu dengan cara
Jesuit. Dia mengambil langkah maju, lalu mundur. Kebijakan-kebijakan kecilnya selalu
ambigu dan sering bertentangan satu sama lain. Francis, sepertinya, tidak
selalu berpikir lurus dan konsisten.
Apakah ini masalah komunikasi yang
sederhana? Sebuah strategi yang salah untuk bermain-main dengan pihak oposisi,
kadang-kadang mengaduk-aduk pikirannya dan kadang-kadang membuatnya harus
bersikap licik, karena dia tahu bahwa bagi lawan-lawannya penerimaan
homoseksualitas adalah masalah mendasar dan pertanyaan yang bersifat pribadi.
Apakah kita sedang berurusan dengan seorang paus yang berkemauan lemah yang meniupkan
panas dan dingin secara tak beraturan karena kelemahan intelektual dan
kurangnya keyakinan, seperti yang dikatakan para pencela paus, kepada saya? Bahkan
para ahli Vatikan yang paling tajam sekali pun sedikit tersesat. Pro-gay atau
anti-gay, sulit untuk dikatakan. "Kenapa tidak minum bir bersama seorang gay?"
demikian usul Francis. Intinya, itulah yang telah dia lakukan, beberapa kali,
di kediaman pribadinya di Santa Marta atau selama perjalanannya. Misalnya, dia
secara tidak resmi menerima Diego Neria Lejarraga, seorang waria, terlahir
sebagai wanita, ditemani oleh pacarnya (perempuan). Pada kesempatan lain, pada
tahun 2017, Francis secara resmi menerima di Vatican Xavier Bettel, Perdana Menteri Luksemburg (pria) bersama
suaminya (homosex), Gauthier Destenay, seorang arsitek Belgia.
Sebagian besar kunjungan-kunjungan
ini diselenggarakan oleh Fabián Pedacchio, sekretaris pribadi paus, dan Georg
Gänswein, prefek rumah kepausan. Dalam foto-foto, kita melihat Georg dengan
hangat menyambut tamu-tamu LGBT-nya, yang memiliki keseruan tertentu ketika
kita mengingat kritik Gänswein yang sering terhadap para homoseksual.
Adapun Pedacchio, dari Argentina,
yang kurang dikenal oleh masyarakat luas, dia telah menjadi kolaborator
terdekat paus sejak 2013 dan tinggal bersamanya di Santa Marta, di salah satu
kamar di samping kamar Francis, nomor 201, di lantai dua (menurut seorang Garda
Swiss yang saya wawancarai, dan menurut Viganò dalam bukunya 'Testimonianza'). Pedacchio
adalah sosok misterius: wawancaranya jarang, atau telah dihapus dari internet;
dia tidak banyak bicara; biografinya yang resmi sangat minim. Dia juga menjadi
sasaran serangan dalam masalah sex dari sayap kanan Kuria Roma.
“Dia adalah pria yang keras. Dia
adalah seperti pria jahat yang dibutuhkan oleh setiap pria yang baik dan murah
hati di sisinya," demikian saya diberitahu oleh Eduardo Valdés, mantan
duta besar Argentina untuk Tahta Suci.
Dalam dialektika klasik 'polisi
jahat' dan 'polisi baik' ini, Pedacchio banyak dikritik oleh mereka yang tidak
memiliki keberanian untuk menyerang paus secara langsung. Jadi para kardinal
dan uskup di Kuria mengecam kehidupan reyot Pedacchio dan menggali sebuah akun
yang katanya telah dibuka di jaringan kencan sosial Badoo untuk 'mencari teman intim' (laman itu ditutup ketika
keberadaannya diungkapkan oleh pers Italia), tetapi tetap dapat diakses di
memori web dan apa yang dikenal sebagai 'web dalam'). Dalam akun Badoo ini, dan dalam beberapa wawancara,
Mgr. Pedacchio menyatakan bahwa dirinya menyukai opera dan memuja film sutradara
Spanyol Pedro Almódovar, setelah melihat 'semua filmnya' yang, seperti yang dia
akui, mengandung 'adegan seks panas' Maka panggilan hidup imamatnya diduga berasal
dari seorang pastor 'yang cukup istimewa' yang kemudian mengubah hidupnya. Sedangkan
untuk Badoo, Pedacchio mengecam sebuah
komplotan rahasia yang memusuhinya dan berkata bahwa itu adalah sebuah akun
palsu.
Bersikap tuli terhadap segala kritik
yang ditujukan kepada kelompoknya yang paling dekat, Paus Francis melanjutkan
kebijakan langkah-kecilnya. Setelah kejadian pembantaian atas 49 orang di
sebuah klub gay di Orlando, Florida, paus mengatakan, sambil menutup matanya sebagai
tanda kesedihan: “Saya pikir Gereja harus meminta maaf kepada orang-orang gay
yang telah dikutukinya (seperti juga Gereja harus) meminta maaf kepada orang
miskin, kepada wanita yang telah dieksploitasi, kepada kaum muda yang telah
kehilangan pekerjaan, dan karena telah memberikan restunya kepada begitu banyak
persenjataan (militer).'
Sejalan dengan kata-kata penuh ‘belas
kasih’ ini, Francis tidak fleksibel dalam masalah 'teori gender'. Delapan kali
antara 2015 dan 2017 dia menyatakan pendapat yang menentang ideologi 'gender',
yang dia sebut 'setan'. Kadang-kadang dia melakukannya secara dangkal, tanpa
mengetahui tentang subjeknya, seperti yang dia lakukan pada Oktober 2016 ketika
dia mengecam buku pelajaran sekolah Perancis yang menyebarkan 'indoktrinasi
teori gender yang licik,' sebelum penerbit Perancis dan Kementerian Pendidikan
Nasional mengkonfirmasi bahwa 'ini adalah buku pelajaran, sama sekali tidak
menyebutkan atau merujuk pada teori gender.' Kesalahan paus tampaknya bersumber
pada 'berita-berita palsu' yang disampaikan oleh asosiasi Katolik yang dekat
dengan ujung kanan Perancis, dan kemudian paus mengutipnya tanpa memeriksa
kebenarannya.
Salah satu sekretaris Francis adalah
monsignore yang bijaksana yang membalas setiap minggu untuk sekitar lima puluh
surat paus, di antaranya ada yang paling sensitif. Dia setuju untuk bertemu
saya, secara anonim.
“Bapa Suci tidak tahu bahwa salah
satu sekretarisnya adalah seorang pastor gay!” kata dia mengaku kepada saya
dengan bangga.
Imam ini memiliki akses ke semua
bagian Vatikan, mengingat fungsi yang dia pegang bersama paus, dan selama
beberapa tahun terakhir kami telah membuat kebiasaan untuk bertemu secara
teratur. Salah satu tempat ini, adalah restoran Coso di Via Lucina, dimana sumber saya itu memberi tahu saya sebuah
rahasia yang tidak ada orang lain yang tahu, dan hal itu menunjukkan sisi lain
dari Francis.
Sejak kalimatnya yang berkesan,
'Siapakah saya hingga berhak untuk menilai?' Paus telah mulai menerima sejumlah
besar surat dari kaum homoseksual yang berterima kasih atas perkataannya itu dan
mereka meminta nasihat kepadanya. Korespondensi besar ini dikelola di Vatikan
oleh dinas Sekretariat Negara, dan lebih khusus lagi oleh bagian yang dikelola
oleh Mgr. Cesare Burgazzi, yang bertanggung jawab atas semua korespondensi Bapa
Suci. Menurut anak buah Burgazzi, yang juga telah saya wawancarai, surat-surat
ini 'sering berisi perkataan putus asa'. Surat-surat itu datang dari para
seminaris atau pastor yang kadang-kadang 'hampir melakukan bunuh diri' karena
mereka tidak dapat mendamaikan homoseksualitas mereka dengan iman mereka.
"Sudah lama kami membalas
surat-surat itu dengan sangat teliti, dan surat-surat itu diberi tanda tangan Bapa
Suci," demikian sumber saya memberi tahu saya. "Surat-surat dari para
homoseksual selalu diperlakukan dengan banyak pertimbangan dan keterampilan,
mengingat adanya sejumlah besar gay di antara para monsignori di Sekretariat
Negara Vatikan."
Tetapi suatu hari Paus Francis memutuskan
bahwa dia tidak puas dengan pengelolaan korespondensi, dan menuntut agar
layanan itu direorganisasi. Paus menambahkan satu instruksi yang cukup mengganggu,
menurut sekretarisnya: “Tiba-tiba, paus meminta kami untuk berhenti membalas
surat-surat dari kaum homoseksual. Kami harus mengklasifikasikan surat-surat
itu sebagai ‘tidak dijawab.’ Keputusan itu amat mengejutkan kami. Berlawanan dengan apa yang
mungkin dibayangkan, paus ini sesungguhnya tidak ramah terhadap kaum gay. (Dua
pastor lain di Sekretariat Negara mengkonfirmasi keberadaan instruksi ini,
tetapi tidak pasti apakah itu berasal dari paus sendiri; mungkin hal itu disarankan
oleh salah satu pembantunya.)
Dari informasi yang saya miliki,
monsignori dari Sekretariat Negara masih melanjutkan 'pekerjaan perlawanan,'
seperti yang dikatakan oleh salah seorang dari mereka: ketika homoseksual atau
imam gay mengekspresikan niat mereka untuk bunuh diri dalam surat-surat mereka,
sekretaris paus berkumpul bersama untuk membubuhkan tanda tangan Bapa Suci pada
jawaban yang komprehensif, tetapi menggunakan eufemisme halus. Tanpa paus
sendiri menyadari telah melakukannya, tetapi paus Francis ‘seolah’ terus
mengirim surat-surat penuh belas kasih kepada kaum homoseksual. Hal ini
dilakukan atas prakarsa Sekretariat Negara.
No comments:
Post a Comment