Vortex - LAPORAN SINGKAT
AMAZON: “Saya mengINGINkan keBINGUNGan”
NEWS: VIDEO REPORTS
by Michael Voris, S.T.B. • ChurchMilitant.com • October 7, 2019
Tapi, mengapa kebingungan?
Setiap sinode di sini, di Roma, di bawah kepemimpinan
Francis, selalu memperkenalkan kosakata baru, istilah-istilah baru dan
tema-tema baru yang menghasilkan banyak kebingungan - yang berarti tidak ada
yang tahu sedikit pun apa arti yang sebenarnya.
Bergantung pada siapa yang membacanya atau siapa yang mendengarkannya,
mereka dapat mengartikan seratus hal yang berbeda atas kalimat yang sama.
Istilah-istilah ini tampaknya memang sengaja dibiarkan ambigu.
Jika Anda mau mengacaukan tatanan yang ada, maka ambiguitas adalah cara dan
dinamika yang sangat membantu.
Misalnya, dalam konferensi pers hari ini, istilah-istilah elastis (istilah
karet) telah muncul di mana-mana: ‘ruang
untuk para murid;’ ‘ekspresi otentik;’ ‘Gereja yang tidak tertutup;’ ‘sebuah
Gereja yang belajar dari orang-orang hutan;’ ‘mendengarkan sinode;’ ‘Gereja
yang tidak merujuk pada diri sendiri;’ dan tentu saja ‘Jalur-jalur Baru.’
Istilah-istilah ini tidak memiliki maknanya sendiri yang sebenarnya. Ia perlu
diberi makna, dan di sinilah letaknya bahaya dari sinode ini. Kebingungan
merajalela dalam kosa kata semacam ini.
Tetapi ada penjelasan untuk ini dan itu yang sebenarnya cukup sederhana – harus membuka mata.
Paus Francis sedang bercakap-cakap dengan beberapa kawan karib beberapa
waktu lalu, dan salah satu dari mereka mengamati bahwa beberapa kosa kata paus
Francis membingungkan dan membutuhkan kejelasan. Dan tanggapan Paus tentu mengungkapkan
banyak hal.
Paus berkata saat itu, "Saya menginginkan
kebingungan." Komentar ini sangat mengejutkan, membangkitkan ketakutan
di dalam jiwa – dan perhatian besar.
Dia berkata, "Saya menginginkan
kebingungan." Mari kita ulangi, Paus berkata, "Saya menginginkan kebingungan." Komentar ini sangatlah
mengejutkan, ia membangkitkan ketakutan di dalam jiwa serta perhatian yang amat
besar!!!
Tetapi memiliki manfaat, dimana kalimat itu membingkai seluruh nuansa kepausan
ini serta seluruh tindakannya. Kontradiksi
diri, penolakan untuk merespons dubia dan sebagainya. Pertanyaan yang
diajukan orang adalah: Mengapa? Mengapa
Paus menginginkan kebingungan?
Jawaban atas pertanyaan itu mungkin tersembunyi dalam filosofi beberapa
orang Amerika Selatan yang sangat mempengaruhi paus masa depan - orang-orang
seperti Juan Carlos Scannone, yang mengembangkan apa yang disebutnya ‘teologi kerakyatan,’
serta seorang penyair Rubén Darío. Tidak ketinggalan pula dari daftar ‘orang-orang
berpengaruh’ itu adalah pendukung besar dari teologi pembebasan, Gustavo
Gutiérrez.
Secara kolektif, para filsuf (teologi pembebasan) ini berpendapat bahwa untuk menjungkirbalikkan tatanan yang
mapan, maka kebingungan harus dipromosikan.
Maka kebingungan akan mempromosikan sebuah konflik, dan dari konflik itu,
realitas baru akan dibawa masuk.
Hal ini kemudian memunculkan serangkaian ide-ide yang lain. Jika Paus
mendorong kebingungan sehingga realitas baru bisa lahir, apakah realitas baru
ini sudah dia bayangkan dan, dalam benaknya, apakah realitas itu adalah tujuannya?
Atau apakah sesuatu berkembang begitu saja dan di mana pun realits itu jatuh,
maka ia akan jatuh begitu saja, dan kemudian kita yang akan berurusan dengan realitas
baru itu, saat ia muncul dengan sendirinya?
Misalnya, setelah Misa pembukaan di St. Peter, tiba-tiba ada sekelompok
orang Indian dari Amazon membentangkan spanduk yang isinya menjunjung tinggi dan
menghormati Ibu Pertiwi. Mereka sempat diusir dengan cepat oleh para penjaga
Vatikan, tetapi mereka masih sempat membuat pernyataan yang disaksikan oleh
publik.
Teologi Bunda Bumi atau Ibu Pertiwi, mengangkat
ciptaan ke status ilahi. Itu sebabnya Ibu Pertiwi mereka sembah. Dan itu adalah
paganisme.
Apa pun yang terjadi dan dimaksudkan dengan semua ini, jelas bahwa
setidaknya beberapa orang akan menyimpulkan bahwa Bumi Pertiwi memiliki semacam pijakan yang sama atau sejajar dengan
Gereja Katolik, dan bahwa keduanya entah bagaimana, dapat disintesis.
Nah hal itu akan menciptakan sebuah agama yang
sama sekali baru.
Hal ini jadi semakin jelas dalam konferensi pers hari ini, ketika sebuah
pertanyaan diajukan tentang makna atau simbolisme dari patung wanita hamil dan telanjang
yang dipresentasikan kepada Paus pada upacara penyembahan berhala serta penanaman
pohon di taman Vatikan, hari Jumat, 4 Oktober 2019.
Tidak ada hal seperti itu, tidak ada perintah Ilahi, bahwa Gereja boleh menjadi
sebuah Gereja yang sangat banyak mendengarkan apa saja, termasuk mendengarkan
paganisme dan bidaah.
Seorang
wartawan bertanya kepada panelis apa arti patung itu, apa yang diwakili
olehnya. Apakah itu Perawan Maria? Apakah itu Ibu Pertiwi? Atau yang lain?
Jawaban
yang diberikan tidak memberikan kejelasan – hal ini tidak terlalu
mengejutkan. Jawabannya adalah, intinya, ia memiliki arti yang berbeda untuk
orang yang berbeda - cukup adil, bukan? itu benar, bukan? Tapi itulah masalah.
Katolisitas memiliki ciri khas: kejernihan; 2000
tahun pemikiran yang jernih.
Dan
sementara tidak ada kosakata manusia yang dapat menangkap semua misteri Iman
dan wahyu ilahi, itu dapat mengesampingkan proposisi yang menentangnya. Ini
bisa mengarah pada kontradiksi dan kelemahan logis yang tidak boleh diizinkan
terjadi.
Karya
teologi lebih merupakan karya negasi daripada penegasan positif. Itu membuat
kita merenungkan misteri apa yang tersisa setelah semua yang tidak benar telah
disaring.
Ibadah penyembahan Ibu Pertiwi tidak bisa
secara logis berdiri di samping agama Katolik. Keduanya saling bertentangan.
Jika
Ibu Pertiwi adalah "ilahi" dan harus disembah, yang pastinya ada
dalam budaya Amazon, maka Ibu Pertiwi yang ciptaan manusia itu akan setara kedudukannya
dengan Tuhan (kita) yang tidak diciptakan.
Maka itu
adalah bidaah, karena ia menyangkal makna keilahian itu sendiri. Bahaya-bahaya
dalam Sinode Amazon inilah yang membuat banyak sekali umat beriman di dunia sangat
memperhatikan semua pembicaraan dan ungkapan serta kosa kata yang ambigu.
Dalam
konsepsinya sendiri, caranya mengekspresikan diri, itu adalah anti-Katolik -
bukan hanya non-Katolik, tetapi anti-Katolik.
Tidak ada hal seperti itu,
tidak ada perintah Ilahi, bahwa Gereja boleh menjadi sebuah Gereja yang sangat
banyak mendengarkan apa saja, termasuk mendengarkan paganisme dan bidaah.
No comments:
Post a Comment