Monday, January 11, 2021

Vigano: Gereja Katolik Disusupi Oleh Kaum Globalis

 

Uskup Agung Carlo Maria Vigano:

Gereja Katolik Disusupi Oleh Kaum Globalis 

https://www.theepochtimes.com/catholic-church-is-infiltrated-by-globalists-archbishop-carlo-maria-vigano_3649152.html?utm_source=parler&fbclid=IwAR3IKKdmzCGnWi0D2MTlx5D_PlJjoIC8sUxXf0tCY9ODi2-_GlhSK7VTKP0  

Duta Besar Vatikan untuk Amerika Serikat, Carlo Maria Vigano (kiri) dan Vincenzo Paglia (kanan), mendengarkan pidato paus Francis di Independence Hall di Philadelphia, Pa., Pada 26 September 2015. (Vincenzo Pinto / AFP via Getty Images) 

 

BY ELLA KIETLINSKA

 

January 8, 2021 Updated: January 9, 2021 

"Ada sekelompok konspirator yang telah bekerja dan masih bekerja di jantung gereja demi kepentingan para elit globalis,” kata Uskup Agung Carlo Maria Vigano pada acara War Room. Dia menyebut kelompok ini sebagai ‘deep church’ atau bisa dikatakan sebagai ‘gereja bayangan’ dan menjelaskan bahwa tujuan mereka adalah untuk menghancurkan lembaga kepausan dan mengamankan kekuasaan mereka atas gereja.

 

“Kebanyakan dari mereka dapat diidentifikasi, tetapi yang paling berbahaya adalah mereka yang tidak mengekspos diri mereka sendiri, mereka yang tidak pernah disebutkan oleh surat kabar,” kata Vigano menjelaskan dalam sebuah wawancara (pdf) dengan Steve Bannon, pembawa acara dari “War Room.”

 

Deep Church ini juga bekerja sama dengan "deep state" di Amerika dan kontak mereka difasilitasi pada 1990-an oleh mantan kardinal Amerika yang menjalankan misi politik di Cina atas nama pemerintah AS, kata Vigano, mantan duta besar Vatikan untuk Amerika Serikat. Deep state adalah istilah yang digunakan beberapa orang untuk mencerminkan keyakinan bahwa ada orang-orang berpengaruh di balik layar yang mengendalikan kebijakan pemerintah.

 

Vigano percaya bahwa kesepakatan tentang pengangkatan uskup-uskup di Cina, antara Vatikan dan rezim komunis Cina, yang dalam kata-katanya, "mencabut pertahanan Katolik Cina yang tidak tercela yang selama ini dipertahankan oleh Kepausan atas mereka," dan itu adalah tindakan keterlibatan dari gereja dengan rezim komunis Cina yang bersekutu dengan deep state global.

 

“Sampai kepausan Benediktus XVI, pihak kepausan belum membuat kesepakatan dengan kediktatoran Beijing, dan Paus Roma tetap memiliki hak eksklusif untuk mengangkat uskup dan mengatur keuskupan,” lanjut uskup agung itu.

 

Vatikan dan Cina menandatangani perjanjian yang tidak dipublikasikan pada 2018, yang memberi rezim Cina wewenang untuk menunjuk sendiri uskup-uskup di Cina dan memberikan Paus hak untuk memveto pengangkatannya, menurut laporan 2019 (pdf) dari Komisi Eksekutif Kongres AS tentang Cina. Namun kenyataannya hak veto ini tidak pernah dilaksanakan. Perjanjian tersebut diperpanjang pada Oktober 2020 selama dua tahun lagi.

 

"Kediktatoran Partai Komunis Cina [PKC] bersekutu erat dengan deep state global di satu sisi, sehingga bersama-sama mereka dapat mencapai tujuan yang mereka miliki bersama." Di sisi lain, rencana deep state untuk Great Reset adalah kesempatan bagi PKC untuk meningkatkan kekuatan ekonomi Cina di dunia, dimulai dengan invasi pasar nasional, kata Vigano.

 

“Cina sedang mengejar rencana domestiknya untuk memulihkan tirani Maois, yang menuntut pembubaran agama (terutama agama Katolik), dan menggantinya dengan agama-negara yang jelas memiliki banyak kesamaan dengan agama universal yang diinginkan oleh ideologi kaum globalis,” kata Vigano melanjutkan.

 

“Kita saat ini sedang dihadapkan pada pengkhianatan busuk terhadap misi gereja Kristus, yang dilakukan oleh para pemimpin tertinggi Gereja Katolik, dengan melakukan konflik terbuka melawan anggota hierarki Gereja Katolik bawah tanah di Cina, yang tetap setia kepada Tuhan dan gereja-Nya,” kata Vigano.

 

Vigano memuji Kardinal Joseph Zen, uskup emeritus Hong Kong, yang menentang kesepakatan Vatikan-Cina dengan menyebut kardinal Zen sebagai "seorang pengaku dan pembela iman yang terkemuka."

 

Sebelum perpanjangan perjanjian Vatikan-Cina, Cardinal Zen pergi ke Vatikan dengan rencana untuk bertemu dengan Paus untuk mengabarkan kepadanya tentang situasi di Hong Kong dan Gereja Katolik di Cina. Namun, cardinal Zen tidak diizinkan untuk bertemu dengan paus Francis.

 

"Ide untuk mencapai kesepakatan dengan Beijing itu gila," kata cardinal Zen kepada Daily Compass tentang kesepakatan Vatikan-Cina. "Ini seperti mencoba membuat perjanjian dengan iblis."

(Pejabat Vatikan yang ditugaskan untuk membuat kesepakatan dengan Cina dipimpin oleh cardinal Theodore Edgar McCarrick, si predator sexual anak, yang terkenal itu.)

 

 

Globalisme Versus Nasionalisme 

Vigano mengkritik Uni Eropa karena kesepakatan investasi bisnisnya baru-baru ini dengan rezim komunis Cina, yang dikenal karena pelanggaran sistematis atas hak asasi manusia dan penindasan yang kejam terhadap perbedaan pendapat. Sebagai bagian dari kesepakatan yang disepakati pada akhir Desember, rezim Cina membuat komitmen untuk meningkatkan akses pasar bagi investor UE di Cina.


 

Presiden China Xi Jinping (kanan) berjabat tangan dengan Pendiri dan Ketua Eksekutif World Economic Forum, Klaus Schwab (Kiri) sebelum menyampaikan pidato pada hari pertama Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, pada 17 Januari 2017. (Fabrice Coffrini /AFP via Getty Images) 

 

Pada Januari 2017 di Forum Ekonomi Dunia yang diadakan di Davos, Swiss, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina, Xi Jinping, memberikan pidato yang dipuji oleh semua hadirin, kata Steve Bannon, mantan Kepala Strategi Gedung Putih dan pembawa acara "War Room" mengatakan kepada The Epoch Times.

 

Pertemuan di Davos adalah "pertemuan paling elitis dari bisnis keuangan dunia serta komunitas politik dan budaya yang ada," kata Steve Bannon.

 

Dalam pidatonya, Xi memuji proyek globalisasi dan peran Cina sebagai pemimpinnya, dan melihat negara–negara lain sebagai "semua jenis negara bagian" dan memberi tahu peserta yang lain bahwa proyek tersebut akan memungkinkan mereka "menghasilkan lebih banyak uang daripada sebelumnya," kata Bannon.

 

Namun Xi meramalkan satu masalah yang dapat menghambat proyek-proyek itu: nasionalisme populis, lapor Bannon. "Semua massa yang belum ‘dicuci’ yang tidak terlatih atau bukan elit seperti tamu undangan yang hadir disana saat itu, yang ingin ikut bersuara," kata Bannon menjelaskan alasan Xi.

 

Presiden AS Donald Trump mengambil sumpah jabatan sementara istrinya, Melania Trump, memegang Kitab Suci dan putranya, Barron Trump, menyaksikan, di West Front gedung Capitol AS di Washington pada 20 Januari 2017. (Chip Somodevilla / Getty Images) 

 

Tiga hari kemudian Presiden Donald Trump memberikan pidato pembantaian Amerika yang terkenal pada upacara pelantikannya. Pidatonya pada intinya adalah konsep negara-bangsa yang berdaulat, "pertahanan negara-bangsa, negara-bangsa sebagai satu kesatuan, bahwa manusia dapat memperoleh kebebasan paling banyak di dunia yang sangat tidak sempurna, [manusia] dapat memiliki kebebasan yang paling mungkin,” kata Bannon menggambarkan visi Trump yang disajikan dalam pidatonya sebagai proyek nasionalis.

 

Padahal setiap orang yang berpartisipasi dalam pertemuan tahunan WEF di Davos mengetahui semua tentang kamp konsentrasi untuk orang Uyghur, penganiayaan di rumah orang-orang kristiani, pengambilan organ secara paksa, penindasan terhadap gereja Katolik bawah tanah, penindasan dan penyiksaan terhadap pengikut Falun Gong, dan gerakan demokrasi, dan situasi di Hong Kong saat ini — mereka memiliki informasi yang sempurna tentang segala hal namun mereka tidak peduli, katanya.

 

Model bisnis Cina didasarkan pada kerja paksa rakyat Cina, yang dibayar rendah dan dipaksa bekerja dengan jam kerja yang luar biasa panjang di pabrik-pabrik, kata Bannon.

 

“Pekerja budak Cina tersebar ke seluruh dunia sebagai komoditi ekspor dan mengizinkan para pekerja itu, apakah mereka berada di India, atau Eropa Barat atau Amerika Serikat, untuk tidak pernah mendapatkan kenaikan gaji. Maka, adalah keajaiban Donald Trump untuk mendapatkan pekerja kerah biru dengan memberi kenaikan gaji,” kata Bannon.

 

Kedua pidato ini mewakili “dua cara yang berlawanan secara diametral bahwa dunia harus diatur. Yang pertama didasarkan pada kebebasan ratusan tahun yang tidak sesempurna sebelumnya, benar, versus sistem totaliter," kata Bannon.

 

Presiden dan Pendiri Forum Ekonomi Dunia, Klaus Schwab, saat wawancara dengan The Associated Press di Davos, Swiss, pada 15 Januari 2017. (Michel Euler / AP Photo) 

 

The Great Reset 

The Great Reset adalah konsep untuk beralih dari "kapitalisme pemegang saham" kepada "kapitalisme pemangku kepentingan," dengan menggunakan pajak kekayaan, regulasi, dan kebijakan fiskal yang diarahkan bagi kesetaraan dan keberlanjutan, mempromosikan hasil yang lebih adil, dan menggunakan Revolusi Industri Keempat untuk menangani tantangan di bidang kesehatan dan sosial, Klaus Schwab, pendiri dan Ketua Eksekutif World Economic Forum (WEF) menjelaskan di situs web organisasi.

 

“Sekaranglah waktunya untuk Reset Besar ini,” Schwab, seorang Profesor Kebijakan Bisnis di Universitas Jenewa dan salah satu penulis buku “The Great Reset,” diumumkan di situs web WEF pada Juni 2020.

 

“Perubahan-perubahan yang telah kita lihat sebagai tanggapan terhadap COVID-19 membuktikan bahwa pengaturan ulang atas fondasi ekonomi dan sosial kita adalah mungkin,” kata Schwab.

 

Revolusi Industri Keempat akan menggabungkan perangkat seluler, dengan kekuatan pemrosesan data, kapasitas penyimpanan, dan akses kepada pengetahuan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk memberi kepada pemerintah-pemerintah “kekuatan teknologi baru untuk meningkatkan kendali mereka atas populasi, berdasarkan sistem pengawasan yang meluas dan kemampuan untuk mengontrol infrastruktur digital,” Schwab menulis.

 

Namun hal ini juga akan menimbulkan tantangan bagi privasi orang, karena pelacakan dan berbagi informasi tentang orang-orang adalah bagian penting dari konektivitas baru ini, tulis Schwab. “Revolusi yang terjadi dalam bioteknologi dan Artificial Intelligence (AI)… akan memaksa kita untuk mendefinisikan kembali batasan moral dan etika kita,” tambah Schwab.

 

Para arsitek Great Reset menggunakan media arus utama sebagai sekutu yang sangat diperlukan untuk membuat orang-orang menjadi percaya "bahwa perubahan radikal yang ingin mereka terapkan telah menjadi perlu karena pandemi, oleh perubahan iklim, dan kemajuan teknologi," kata Vigano.

 

Schwab menulis, “Kita harus membangun fondasi yang sama sekali baru untuk sistem ekonomi dan sosial kita,” untuk mengatasi krisis yang disebabkan oleh pandemi, perubahan iklim, dan krisis sosial. 

“Kita semua harus menyadari betapa para pendukung New World Order dan Great Reset membenci nilai-nilai yang tidak dapat dicabut dari peradaban Yunani-Kristen kita, seperti norma agama, keluarga, penghormatan terhadap kehidupan dan hak-hak pribadi manusia, dan kedaulatan nasional, yang tidak dapat diganggu gugat,” kata uskup agung itu. 

Joshua Phillip dan Alexander Zhang berkontribusi untuk laporan ini.

 

***** 

Great Reset: Kaum Globalis ‘Deep State’ Menguasai Dunia Dan Anda

Viganò: Francis Menjadi Sarana Untuk Membangun Kerajaan Antikristus

Giselle Cardia, 29 Desember 2020, 1 & 3 Januari 2021

Christina Gallagher – 31 Desember 2020

Enoch, 4 Januari 2021

LDM, 4 Januari 2021

Pedro Regis – 5066 - 5070