Friday, June 29, 2018

KARDINAL GERHARD MULLER: UMAT KATOLIK YANG SETIA (PADA AJARAN KRISTUS) SEDANG DIDORONG...


Cardinal Gerhard Muller, prefect emeritus of the Congregation for the Doctrine of the Faith
(Doc: Diane Montagna/LifeSiteNews)

By Dorothy Cummings McLean

NEWSCATHOLIC CHURCHThu Jun 28, 2018 - 1:40 pm EST

SEORANG KARDINAL JERMAN, GERHARD MULLER:
UMAT KATOLIK YANG SETIA (PADA AJARAN KRISTUS) SEDANG DIDORONG KELUAR GEREJA


SAN FRANCISCO, 28 Juni 2018 (LifeSiteNews) - Mantan Prefek (Kepala) Kongregasi untuk Ajaran Iman di Vatikan menuduh sesama uskup Jerman telah menyerah kepada Evangelisasi Baru. Putus asa dengan peranan ajaran Kristiani di dunia kontemporer, mereka semakin melemahkan doktrin agar Gereja dapat bertahan hidup. Dan mereka yang tidak setuju, akan dihukum.

"Umat beriman yang memeluk doktrin Katolik secara serius dituduh sebagai konservatif (kolot) dan terdesak keluar dari Gereja, dan terkena tuduhan fitnah dari media liberal dan anti-Katolik," demikian kata Kardinal Gerhardt Müller kepada Catholic World Report.  

Ditunjuk oleh Paus Benediktus XVI pada tahun 2012, Kard. Müller adalah Prefek (Kepala) Kongregasi untuk Ajaran Iman, sebelum dia diberhentikan Juli lalu oleh Paus Francis. Dalam  wawancara baru-baru ini, dia mengatakan kepada CWR bahwa ada uskup-uskup Jerman yang ingin menuntun Gereja kepada "modernitas," dengan mengacu pada ajakan St. Yohanes Paulus II untuk mempertobatkan dunia.

"Ada satu kelompok uskup-uskup Jerman, dengan pemimpin mereka yang menuntun, menganggap diri mereka sebagai pencipta tren dalam Gereja Katolik untuk menuju kepada modernitas," katanya.

Pemimpin dari Konferensi Waligereja Jerman itu adalah Cardinal Reinhard Marx.

“Para uskup ini menganggap bahwa proses sekularisasi dan de-kristenisasi Eropa sebagai perkembangan yang tidak dapat diubah,” lanjut Kardinal Müller. “Karena alasan inilah maka  Evangelisasi Baru - program Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI - dalam pandangan mereka, merupakan pertempuran melawan arah sejarah yang obyektif, menyerupai pertempuran Don Quixote melawan kincir angin.”

Solusi mereka? Menyerah kepada dunia!

"Mereka mencari sebuah tempat di mana Gereja dapat bertahan hidup dengan damai," kata Müller. “Karena itu semua doktrin iman dalam Gereja yang bertentangan dengan ‘arus utama dunia’, sebagai hasil konsensus masyarakat, harus direformasi.”

Dia menjelaskan bahwa inilah mengapa beberapa uskup Jerman menuntut pemberian Komuni Kudus kepada umat non-Katolik dan umat Katolik yang berada dalam keadaan dosa berat. Juga dalam agenda itu, Kardinal Müller mengungkapkan, ada sejumlah usulan radikal lainnya yang bertetangan dengan iman Katolik:

"Pemberian berkat perkawinan bagi pasangan homoseksual, interkomuni dengan Protestan, melonggarkan relasi perkawinan yang tak terpisahkan dalam perkawinan sakramental, pengenalan viri probati dan bersama dengan hal itu: penghapusan kehidupan selibat bagi imam, persetujuan bagi hubungan seksual sebelum dan di luar pernikahan," demikian Kard. Müller menambahkan.

Menyebut agenda para uskup ini sebagai "proses Protestanisasi yang menyolok," Kard. Müller mengatakan bahwa doktrin iman bagi uskup-uskup Jerman itu adalah hal sekunder di hadapan kasih mereka yang utama: kepada kekuasaan politik.

"Bagi banyak uskup, kebenaran wahyu dan pengakuan iman Katolik hanyalah satu lagi variabel dalam politik kekuasaan intra-eklesial (yang ada di dalam lingkup para klerus)," katanya kepada CWR.

“Beberapa dari mereka mengutip perjanjian pribadi yang dilakukan dengan Paus Fransiskus dan mereka berpendapat bahwa pernyataan-pernyataan paus dalam berbagai wawancara dengan wartawan dan tokoh masyarakat yang jauh menyimpang dari ajaran Katolik, telah menawarkan pembenaran, bahkan semacam ijin untuk 'melemahkan’ kebenaran iman yang didefinisikan dengan sempurna dan yang tak bisa salah.”

Kard. Müller mengamati bahwa keinginan untuk ‘dicintai oleh media dan dunia’ sangatlah bertentangan dengan semangat para rasul pertama dulu.

"Saat ini, banyak orang berpendapat bahwa diterima oleh media adalah lebih penting daripada kebenaran, dimana karena hal itu kita juga terpaksa harus menderita," demikian Kard. Müller mengingatkan pewawancaranya. “Petrus dan Paulus menderita kemartiran bagi Kristus di Roma, pusat kekuasaan di zaman mereka. Mereka tidak dihormati dan dirayakan oleh penguasa dunia ini sebagai pahlawan, melainkan diejek seperti Kristus di kayu salib. Kita tidak boleh melupakan dimensi kemartiran dari pelayanan Petrus serta tugas episkopal.”

Bertobat kepada dunia, bukan kepada Tuhan

Ditanya tentang kondisi iman Katolik di Jerman, Kard. Müller mengatakan bahwa banyak umat yang merasa "ditinggalkan dan dikhianati" oleh para pastor mereka yang mendukung popularitas duniawi.

"Menjadi populer dalam opini publik saat ini adalah kriteria bagi seorang uskup atau imam agar dianggap baik dan berhasil," kata Müller dengan nada sedih. “Kita sedang mengalami dan menjalani pertobatan kepada dunia, bukan kepada Tuhan, dimana hal ini bertentangan dengan pernyataan Rasul Paulus: Jadi bagaimana sekarang: adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus. Gal 1:10

Kardinal Müller mengindikasikan bahwa Kongregasi Ajaran Iman di Vatikan telah direndahkan dan dilecehkan saat ini, karena doktrin Gereja telah “dipaksa tunduk kepada persyaratan dan permintaan dari permainan kekuasaan dunia”.

Menggambarkan betapa berbahayanya obsesi akan kekuasaan dan gengsi ini, Kard. Müller menunjukkan bagaimana hal itu bisa membutakan orang terhadap kebenaran-kebenaran teologis tentang imamat dan pernikahan.

"Jika perutusan imamat dipahami melalui posisi kekuasaan, maka doktrin ini yang berbicara tentang mempertahankan Sakramen Imamat hanya bagi kaum pria Katolik saja, adalah bentuk diskriminasi terhadap perempuan," kata Kardinal Müller.

“Tetapi perspektif kekuasaan dan prestise sosial itu salah. Hanya jika kita melihat semua doktrin iman dan sakramen-sakramen dengan mata teologis, bukan dengan mata kekuasaan duniawi, maka doktrin iman mengenai prasyarat alamiah bagi sakramen-sakramen Tahbisan Suci dan pernikahan menjadi jelas bagi kita,” kata dia melanjutkan. “Hanya seorang pria yang dapat melambangkan Kristus sebagai Mempelai Pria bagi Gereja. Hanya satu pria dan satu wanita yang bisa menjadi simbol dari relasi Kristus dengan Gereja-Nya.”


Silakan melihat artikel lainnya disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/

Paus Fransiskus telah mengijinkan Jerman untuk memberikan interkomuni


Paus Fransiskus telah mengijinkan Jerman untuk memberikan interkomuni dengan tanda-tangannya sendiri.






Silakan lihat disini:


Wednesday, June 27, 2018

PENENTANGAN TERUS MENINGKAT TERHADAP INTERKOMUNI


PENENTANGAN TERUS MENINGKAT TERHADAP INTERKOMUNI
(Interkomuni: pemberian Komuni Kudus kepada orang non-Katolik)
SEORANG AHLI HUKUM CANON MENGATAKAN BAHWA PAUS TELAH MENCIPTAKAN SEBUAH “KEKACAUAN TOTAL”




Pernyataan kepausan 21 Juni 2018 tentang selebaran dan pedoman dari uskup-uskup Jerman yang memungkinkan beberapa pasangan Protestan-Katolik untuk menerima Komuni Kudus telah menimbulkan reaksi keras dari beberapa pihak, termasuk seorang ahli kanonik Jerman ( Profesor Thomas Schüller), seorang profesor hukum kanon di Universitas Münster, yang mengatakan bahwa Paus dan para dikasterinya telah menciptakan "tambal sulam pastoral" dan "suasana berantakan secara lengkap."

Seperti yang kami laporkan pada awal bulan ini, Paus Fransiskus, dalam penerbangannya kembali dari Jenewa ke Roma, mengklaim bahwa selebaran dari uskup-uskup Jerman bermasalah, bukan karena isinya, tetapi karena hal itu tidak sesuai dengan hukum kanon saat ini (canon 844). Hukum ini tidak mengizinkan konferensi waligereja untuk mengatur hal-hal seperti misalnya pertanyaan tentang apa yang merupakan “situasi darurat” yang diindikasikan oleh hukum kanon ini sehingga memungkinkan seorang Protestan yang menikah dengan seorang Katolik, untuk menerima Komuni Kudus. (Di sini, kami mengingatkan para pembaca bahwa Kardinal Walter Brandmüller dan yang lain-lainnya telah menunjukkan bahwa Paus telah salah dalam pernyataannya ini.) Paus Fransiskus juga mengatakan bahwa sesuatu yang dihasilkan dalam sebuah konferensi waligereja akan dengan cepat tersebar secara universal". Dan Paus Francis tetap memuji dokumen dari uskup-uskup Jerman itu sebagai hal yang "dilakukan dengan baik.”

Sebagaimana surat kabar Jerman Frankfurter Rundschau melaporkan pada 22 Juni 2018, bahwa Profesor Schüller saat ini “sangat terkejut dengan pesan-pesan penerbangan Paus.” Menurut Schüller, yang mengatakan bahwa ucapan paus bersifat “ambigu dan sebagian samar-samar.” Dia juga mengatakan kepada surat kabar itu bahwa klaim dari paus bahwa setiap keputusan konferensi uskup-uskup akan “tersebar secara universal" tidak hanya salah, menurut hukum kanon, tetapi ia juga bertentangan dengan niat Paus sendiri untuk mendelegasikan kompetensi ke tingkat nasional (gereja lokal). Profesor Schüller berkomentar sebagai berikut:

... Jelas sekali bahwa Francis ingin menenangkan konflik para uskup Jerman dengan membiarkan semua orang melakukan apa yang diinginkannya. Bagi kaum progresif, tentang siapa Paus mengatakan bahwa mereka telah "melakukan" tugas mereka "dengan baik," masih banyak ruang lingkup bermasalah yang berkaitan dengan isinya.

Profesor Schüller tampaknya memiliki keberatan yang besar tentang kelalaian paus ini sehubungan dengan pemberian Komuni Kudus kepada pasangan Protestan. Dia mengatakan bahwa, jika hal itu menjadi solusi dalam kasus-kasus individu yang berbeda dari satu keuskupan dengan keuskupan lain, maka di Jerman akan terciptalah sebuah "tambal sulam pastoral” - yang merupakan sebuah situasi yang tidak masuk akal, karena situasi ekumenis dalam perkawinan campur adalah hampir sama di mana-mana.” Profesor Jerman itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, karena dengan membuat keputusan seperti itu, Paus dan para dikasterinya telah menciptakan semacam “kekacauan total” di dalam gereja Katolik.

Profesor Schüller bukanlah satu-satunya orang yang menentang penafsiran liberal atas hukum canon 844 CIC serta pendekatan yang lebih longgar pada pemberian Komuni bagi umat non-Katolik, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para uskup Jerman saat ini.

Seorang imam dan ahli hukum Canon lainnya, Profesor Christoph Ohly dari Trier, mengatakan dalam sebuah wawancara 21 Mei 2018 lalu dengan surat kabar Katolik Jerman Die Tagespost, bahwa Paus memiliki otoritas terbatas dalam masalah ini karena otoritasnya "harus tunduk kepada Hukum Ilahi." Paus tidak bisa, kata Prof. Ohly menambahkan, melampaui atau mengubahnya (hukum Canon). Menurut Prof. Ohly, “Keyakinan bahwa kesatuan eklesial dan kesatuan sakramental adalah saling memiliki” membuat “perubahan seperti ini adalah mustahil.” Hanya dalam situasi darurat yang gawat atau dalam bahaya langsung kematian, interkomuni itu bisa diberikan.

Hukum Canon 844 §4, memungkinkan seorang Kristen Protestan menerima Komuni Kudus. Tetapi “Iman, Hukum Gereja, dan pendampingan pastoral tidak dapat dipisahkan,” demikian kata Prof. Ohly dalam wawancara sebelumnya. Dia juga menegaskan bahwa pertanyaan mengenai pemberian Komuni kepada pasangan Protestan ini berada di tangan Gereja Universal dan bukan di tangan konferensi waligereja lokal manapun.

(Canon 844 §4. Jika ada bahaya mati atau menurut penilaian Uskup diosesan atau Konferensi para Uskup ada keperluan berat lain yang mendesak, pelayan-pelayan katolik menerimakan secara licit sakramen-sakramen tersebut juga kepada orang-orang kristen lain yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, dan tidak dapat menghadap pelayan jemaatnya sendiri serta secara sukarela memintanya, asalkan mengenai sakramen-sakramen itu mereka memperlihatkan iman katolik dan berdisposisi baik.)

Marianne Schlosser, Profesor Teologi di Universitas Wina, Austria, dan anggota dari Komisi Teologi Internasional Vatikan, memperingatkan terhadap bahaya "relativisme" ini, sehubungan dengan debat mengenai sakramental saat ini. Dalam sebuah wawancara dengan Domradio.de, stasiun radio Diocese of Cologne, Prof.Schlosser menunjukkan bahaya dari adanya tekanan yang meningkat untuk melakukan interkomuni, jika sekali saja ada pasangan Protestan-Katolik secara resmi diizinkan untuk menerima Komuni Kudus. “Akankah tekanan moral tidak dilakukan untuk melakukan upacara ‘perjamuan terakhir’ pada ibadah Protestan?,” dia bertanya, dengan mengacu pada ajakan yang sudah lama ada, untuk mengadakan ‘perjamuan terakhir’ versi umat Katolik, sebagaimana yang pernah dinyatakan secara terbuka oleh umat Protestan. Selain itu, Schlosser juga bertanya-tanya mengapa orang-orang Protestan yang ingin menerima Komuni Kudus tidak juga memiliki “keinginan yang mendesak untuk menerima Sakramen Tobat dan Sakramen Perminyakan.”

Prof. Schlosser juga menekankan bahwa pernyataan "situasi darurat" seperti yang disebutkan di dalam Canon 844 mengacu pada situasi yang disebabkan oleh "keadaan eksternal," seperti misalnya ketidakmungkinan untuk menemui pendetanya sendiri. “Karena itu hubungan prinsip antara keanggotaan Gereja dan keikutsertaan resmi dalam Sakramen-sakramen tidaklah bisa  dihapuskan,” dia menjelaskan. Prof. Schlosser adalah anggota kedua dari Komisi Teologi Internasional yang mengajukan keberatan terhadap selebaran pastoral dari uskup-uskup Jerman tentang Komuni untuk pasangan Protestan, sebuah selebaran berisi pedoman yang baru-baru ini dipuji-puji oleh Paus Fransiskus. Anggota pertama yang menyampaikan keberatannya adalah Profesor Karl-Heinz Menke. Menke telah menyebut selebaran ini "cacat secara teologis" dan "tidak bijaksana," dan dia bahkan mengklaim bahwa persetujuan dua-pertiga dari dokumen ini oleh para uskup Jerman adalah "tidak sah."

Dengan demikian, kedua anggota ini telah bertindak sejalan dengan tugas Komisi Teologi Internasional, yaitu “membantu Tahta Suci dan terutama Kongregasi untuk Ajaran Iman dalam memeriksa pertanyaan-pertanyaan doktrinal yang sangat penting.”

Akan lebih baik jika Paus sendiri dengan penuh perhatian untuk memperhatikan nasihat ini.

Paus Fransiskus juga akan bertindak bijaksana jika dia mau mendengarkan suara-suara dari jajaran yang lebih tinggi yang menentang selebaran interkomuni dari Jerman ini. Bukan hanya Kardinal Willem Eijk yang merasa keberatan, tetapi juga Kardinal Walter Brandmüller dan Kardinal Gerhard Müller, Kardinal Paul Josef Cordes, Uskup Agung Charles Chaput, dan Uskup Athanasius Schneider, ini hanya contoh dari beberapa nama saja. Kardinal Cordes mengatakan pada bulan April 2018, misalnya, bahwa selebaran interkomuni dari uskup-uskup Jerman “tidak sah secara teologis.”

Kardinal Müller, dalam sebuah pernyataan baru yang ditulis untuk edisi Juli jurnal Jerman Herder Korrespondenz, juga menentang inovasi pastoral dari Jerman yang berkaitan dengan pasangan Protestan dan Komuni Kudus. Dia menyesalkan tumbuh suburnya "iklim anti-dogmatik" di dalam Gereja Katolik saat ini serta ramainya "perang kata-kata sesat" mengenai selebaran pastoral Jerman. Dia juga menyebut saran awal dari Paus, yaitu bahwa para uskup Jerman, entah bagaimana caranya, harus mencapai "keputusan bulat," sebuah "intervensi yang menyebar." Kardinal Müller mengingatkan kita bahwa "Paus bukanlah mediator dalam perjuangan antar partai," tetapi, lebih tepatnya, dia adalah “seorang saksi atas kebenaran yang menyatukan Gereja di dalam Kristus.”
Selain itu, Kardinal Jerman dan mantan kepala ‘Kongregasi bagi Doktrin’ memperingatkan bahwa "apa yang secara dogmatis adalah salah, akan menjadi destruktif bagi keselamatan jiwa ketika hal itu dilaksanakan dalam pendampingan pastoral yang diatur oleh prinsip-prinsip yang bertentangan dengan iman.” Kardinal itu mengtatakan bahwa eseorang tidak boleh dengan sengaja “membiarkan ajaran tidak tersentuh secara eksternal” (yaitu, tidak mengubah kata-katanya), ”tetapi, pada saat yang sama dia justru memberinya “makna yang sama sekali berbeda atau bahkan bertentangan”.

Kardinal Müller juga mengutip beberapa teks dari sejarah awal Gereja - seperti dari tulisan-tulisan St. Justin dan St. Ignatius dari Antiokhia - yang menjelaskan bahwa penerimaan Sakramen Tobat dan penerimaan sepenuhnya atas ajaran Gereja, serta kehidupan menurut hukum-hukum Kristus, adalah menjadi prasyarat bagi penerimaan Komuni Kudus. Hubungan antara Ekaristi Kudus dan penerimaan otoritas uskup Katolik juga ditekankan. Dengan demikian, kata kardinal Müller, Ekaristi Kudus adalah "sarana bagi kehidupan yang kekal" dan bukan "obat untuk melawan tekanan psikologis dan kesulitan dalam kehidupan pasangan yang sudah menikah."

Karena itu Ekaristi Kudus “tidak dapat memulihkan kesatuan gerejawi yang hilang” secara fisik, jika tidak ada “kesatuan supranatural yang dilakukan lebih dahulu dengan bantuan sebuah Kredo, Tujuh Sakramen, dan persekutuan yang nyata dengan Paus dan para uskup." Untuk mengajak umat non-Katolik menerima Komuni Kudus nampaknya hanya sebagai bentuk "kemurahan hati yang kelihatan dari luar" dan tindakan semacam itu dalam kenyataannya adalah "mengungkapkan penghinaan terhadap Iman yang diwahyukan, yang hanya dipercayakan kepada Gereja Katolik saja.”

Bahkan Uskup Agung Luis Ladaria, yang akan diangkat menjadi Kardinal, penerus Kardinal Müller pada Kongregasi untuk Ajaran Iman, mengatakan hari ini pada konferensi pers di Roma bahwa, bagi para uskup Jerman untuk membuat keputusan sendiri tentang suatu masalah yang sangat penting bagi Iman “akan dapat menciptakan kebingungan.” “Hal ini mengkhawatirkan Gereja Universal,” tambahnya. Sebuah solusi haruslah ditemukan “bagi seluruh Gereja.”

Sungguh sangat diharapkan bahwa Paus Fransiskus sendiri yang akan memperhatikan Prefeknya sendiri, para penasihat teologisnya sendiri, para kardinalnya, serta suara hati nurani yang terbentuk dengan baik.



Silakan melihat artikel lainnya disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/

Tuesday, June 26, 2018

UMAT KRISTIANI BERALIH KE YOGA, REIKI...


OPINIONCATHOLIC CHURCHFAITH

UMAT KRISTIANI BERALIH KE YOGA, REIKI, KARENA MISTERI-MISTERI SUPERNATURAL DARI IMAN MEREKA DIABAIKAN

 

by Sam Guzman

 






25 Juni 2018 (The Catholic Gentleman) - Baru-baru ini saya mengunjungi situs web perusahaan populer yang menjual produk seperti deodoran dan pasta gigi dengan bahan-bahan alami. Ingin tahu lebih banyak tentang bisnis ini, saya mengunjungi blog mereka yang konon tentang tren terbaru dalam bidang kesehatan dan kebugaran.

Apa yang menyambut saya dalam blog itu bukan seperti yang saya harapkan. Bukannya tips tentang olahraga atau makan sehat, blog ini justru menampilkan cerita tentang kekuatan penyembuhan kristal dan manfaat dari membaca kartu tarot. Ini sekaligus mengejutkan dan tak terduga bagi saya, karena praktek-praktek New Age dan okultisme, dalam berbagai bentuknya, telah mengalami kebangkitan besar, terutama di kalangan generasi millennial. Dan itu dilakukan oleh perusahaan yang menjual pasta gigi!

Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa, terlepas dari upaya terbaik dari kaum New Atheists (Atheist Baru), bahwa budaya kita lebih banyak dibanjiri dengan spiritualitas daripada saat-saat sebelumnya. Seseorang hampir tidak dapat pergi ke mana-mana hari ini tanpa melihat produk, artikel, dan guru-guru populer yang mendorong praktek-praktek seperti yoga, meditasi, reiki - dan sekarang, kartu tarot dan kristal – dimana hal ini dianggap sama pentingnya dengan gaya hidup yang sehat. Dalam dunia hiburan, serial yang sangat populer seperti Harry Potter, Star Wars, dan Game of Thrones semuanya menggunakan tema-tema sihir dan supranatural.

Apa yang harus kita lakukan dari semua ini?

Bidaah ... atau Kelaparan (spirituil)

Dari sudut pandang ajaran Kristiani, banyak dari tren ini tidak diragukan lagi adalah tergolong tersangka atau benar-benar sesat. Namun, kita harus berpikir dengan hati-hati sebelum mengeluarkan kutukan atas mereka, karena sementara praktek-praktek itu bisa dikatakan sebagai hal yang salah kaprah, tetapi banyak dari permainan budaya kita dengan dunia okultisme benar-benar mengkhianati rasa lapar yang mendalam bagi hal-hal yang supranatural.

Teolog Alexander Schmemann pernah berkata, "Mengutuk suatu bidaah itu relatif mudah. ​​Yang jauh lebih sukar adalah mendeteksi pertanyaan atas akibat-akibatnya, serta memberikan jawaban yang cukup memadai kepada pertanyaan ini." Dia benar. Sebagai umat Katolik, kita sering terburu-buru untuk menunjukkan apa yang salah dalam praktek-praktek neo-pagan itu hingga kita kehilangan, atau melalaikan, pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam atas jati diri dan akibat-akibat dari praktek itu. Dan yang pasti, kita akan gagal dalam memberikan jawaban yang memuaskan.

Sejatinya budaya kita saat ini sedang kelaparan akan hal-hal yang supranatural. Generasi saya telah dibesarkan untuk mempercayai bahwa kita tidak lebih dari pada monyet canggih, yang secara tidak disengaja menjadi ada, yang tinggal pada sebuah batu luar angkasa (bumi), yang beruntung (bisa mengambang) di lautan kosong dalam alam semesta yang tidak peduli apakah kita hidup atau mati. Ini adalah sebuah ‘keputusasaan’ yang mewujud dalam tingkatannya yang paling tinggi. Selain itu, kita juga telah diberitahu dan dididik sejak masa bayi, bahwa ilmu pengetahuan memiliki jawaban bagi hampir semua pertanyaan tentang keberadaan segala sesuatu, dan jika ada yang tidak terjawab, ia akan segera terselesaikan. Bagi setiap pertanyaan, pastilah ada jawabannya, bahkan sebelum anda menanyakannya. Maka ‘keberadaan’ demikian tidak lagi luar biasa aneh dan menakjubkan, tetapi hal itu merupakan sesuatu yang bersifat fisik dan duniawi belaka, dan membosankan.

Akibatnya, kaum dewasa muda saat ini banyak yang putus asa dalam menghadapi misteri yang otentik. Hal-hal seperti astrologi dan kristal sungguh menarik bagi mereka karena hal itu aneh dan menentang paradigma ilmiah-materialis. Tentu saja ada penjelasan bagi cara kerjanya, tetapi mereka membutuhkan tingkat kepercayaan tertentu. Dan terlepas dari apa yang dinyatakan oleh orang-orang atheis yang sombong, kita ingin memiliki keyakinan pada sesuatu yang tidak dapat kita jelaskan sepenuhnya. Pada dasarnya kita adalah makhluk religius, dan secara naluriah kita tahu bahwa ada lebih banyak lagi hal di dunia daripada yang kelihatan. Kita ini lapar akan keajaiban dan misteri, dan kita akan menerima hal pertama yang datang kepada kita, apakah itu benar atau salah, asalkan ia bisa menawarkan keajaiban dan misteri itu.

Kegagalan Kristianitas

Sekarang, anda mungkin membaca tulisan ini dan berpikir bahwa kristianitas, khususnya Katolik, percaya dan menyatakan keberadaan realitas supranatural, jadi mengapa kita  meninggalkannya untuk mengejar praktek-praktek neo-pagan? Bukankah rasa lapar mereka akan hal-hal yang supernatural akan bisa terpuaskan di paroki-paroki lokal mereka? Ya dan tidak. Ya, karena misteri supranatural yang diajarkan oleh Gereja memang ada. Tidak, karena dalam prakteknya kita sering menyangkalnya.

Kita mengaku percaya pada malaikat dan malaikat agung dan sejumlah orang-orang kudus yang bergabung bersama kita di dalam doa. Namun, kita telah melucuti peranan gereja kita dan menjadikannya sebagai pusat bisnis dengan karpet berwarna krem, bukan sebagai bait-bait yang suci.

Kami mengaku percaya bahwa pada setiap Misa Kudus ada mukjizat yang menghadirkan Tuhan secara jasmani untuk tinggal di antara kita. Namun kita menjadikan liturgi kita sebagai sebuah urusan kenyamanan, menghilangkan segala sesuatu yang sulit dimengerti atau dilakukan, yang membingungkan, yang menakjubkan, kuno, atau misterius. Kita menyanyikan lagu-lagu pop, bergandengan tangan, dan membagikan misteri terbesar, Ekaristi Kudus, seperti camilan di kafetaria, tanpa rasa hormat yang selayaknya.

Kita mengklaim para imam memiliki kekuatan supernatural untuk menguduskan, memberkati, dan berkhotbah. Namun kita mempermudah atau mengubah formula-formula suci mereka, menghilangkan ritual mereka, dan mendistribusikan tugas mereka kepada umat awam (asisten imam) sesering mungkin.

Kita mengaku percaya kepada Yang Maha Kuasa, Pencipta segala sesuatu, dimana dihadapan-Nya roh-roh yang terbakar menutupi wajah-wajah mereka, namun kita bersikeras menyeret-Nya kepada tingkatan yang setara dengan kita untuk mengakomodasi kebutuhan dan dosa-dosa kita. Kita mengatakan bahwa kita percaya akan misteri supernatural, tetapi kita berusaha, dengan segenap kekuatan kita, untuk menghancurkannya di setiap perbuatan kita.

Jika lex orandi, lex credendi (aturan doa menjadi aturan iman) adalah benar, maka kita tidak percaya pada apa yang kita katakan ‘kita percaya.’

Kristiani sekuler

Sejujurnya, kita telah gagal untuk menawarkan perjumpaan dengan misteri dalam beberapa waktu sekarang ini. Pengabaian iman secara besar-besaran oleh kaum muda bukanlah tanda dari kefasikan mereka, tetapi ini adalah sebagai dakwaan atas ketidakpercayaan praktis dari kita sendiri.

Sebagai umat Katolik, sejak dahulu kita telah merubah iman menjadi sebuah permainan intelektual tanpa unsur mistisisme, kita lebih mengutamakan pada filosofi yang jelas dan kerangka teologis yang diartikulasikan dengan baik. Tetapi kitab-kitab filosofi ini tak memiliki roh atau semangat, teologi filosofis tanpa perjumpaan mistik, berarti membunuh. Itu adalah kepala tanpa hati, dan ia tak bisa memberi kehidupan.

Ketika dunia berjalan menjauh - bosan dengan jawaban buku-buku teks dan haus akan Misteri Transenden - kita menjadi semakin bersifat duniawi. Kita menerima modernitas, modernitas sekuler, yang melucuti iman kita dari segala sesuatu yang bersifat supernatural, hingga kita kehilangan kredibilitas yang kita miliki.

Realita yang ada, adalah bahwa kebanyakan dari kita hidup seperti orang sekuler yang komplit pada sebagian besar waktu kita. Kita mengklaim percaya pada realitas supranatural, tetapi kita membagi-baginya menjadi satu jam saja, satu hari per minggu (dalam ibadah Misa) - dan bahkan mungkin tidak melakukan hal itu sama sekali. Surga selalu berada di suatu tempat yang jauh di luar sana, dan ia tidak pernah benar-benar mengganggu eksistensi harian kita. Kita tidak menganggap serius para pria dan wanita modern yang haus akan hal-hal yang gaib karena kita tidak percaya pada hal-hal gaib, terlepas dari apa yang kita katakan bahwa kita percaya hal itu.

Jawabannya

Saya memang bersikap kritis terhadap poin ini karena cukup membuat saya marah jika melihat banyak umat Katolik yang secara praktis menyangkal realitas supranatural dari iman kita dengan melakukan liturgi-liturgi yang tidak hormat atau bahkan meremehkan hal-hal yang paling suci dari agama kita, dan kemudian kita melihat umat Katolik yang sama itu juga mengkritik kesalahan-kesalahan kaum muda neo-pagan. Kecuali kita mau menerima dan melaksanakan iman kita sendiri dengan serius, maka tidak ada orang lain yang akan melakukannya.

Tetapi saya tidak hanya ingin mengkritik, saya juga ingin menawarkan solusi. Jawabannya tidak sulit untuk dipahami. Sederhananya begini: Ajarkanlah realitas supernatural iman kita di setiap kesempatan, pulihkanlah tradisi-tradisi yang melestarikan dan menghormati kenyataan ini, dan dengan demikian kita menawarkan suatu perjumpaan dengan apa yang disebut seorang teolog sebagai mysterium tremendum et fascinans – Misteri Agung dan Menakjubkan - yaitu Tuhan Mahakuasa.

Karena di mana saja Ekaristi Kudus diperlakukan dengan penghormatan yang besar dan sepenuh hati, di mana saja gedung-gedung masih tampak dan diperlakukan sebagai bait pemujaan dan penyembahan, di mana saja orang-orang kudus masih dihormati dan para malaikat dipanggil, di mana saja para imam dihormati sebagai mediator yang memiliki berkat karunia supernatural, di mana saja mukjizat-mukjizat masih dipercayai dan terjadi, maka iman akan bertumbuh. Dan hampir selalu orang-orang muda akan berduyun-duyun datang ke tempat-tempat seperti itu.

Jika kita ingin menjadi alternatif yang layak untuk menggantikan praktek neo-paganisme, maka kita perlu merangkul sekali lagi tradisi supranatural dari iman kita, bahasa-bahasa suci dalam ibadat kita, ritus-ritus dan formula-formula kita yang lama dan yang kita hormati, praktek-praktek mistik Katolik kita, siimbol-simbol kita yang kuno, tradisi mistik dari doa-doa kita. Kita tidak hanya membutuhkan lebih banyak lagi katekese, seolah hanya ide-ide saja yang dapat menyelamatkan kita. Kita membutuhkan lebih banyak lagi misteri, lebih banyak lagi transendensi, lebih banyak ritual, lebih banyak hal-hal ajaib, dan tidak lagi ada kata yang lebih baik dari ini.

Setiap umat Katolik harus menjadi seorang mistikus, dalam arti bahwa kita harus menghidupkan suasana supranatural bagi jiwa kita, sama seperti kita menghirup udara bagi kehidupan tubuh kita, karena memang demikianlah yang harus dilakukan. Setelah itu, dan hanya setelah itu, kita akan dapat berbicara secara otentik kepada dunia yang haus akan sesuatu yang ilahi.

Published with permission from The Catholic Gentleman.

Silakan melihat artikel lainnya disini : http://devosi-maria.blogspot.co.id/

Saturday, June 23, 2018

Keputusan yang membingungkan


PAUS MENOLAK PANDUAN INTERCOMMUNION DARI USKUP-USKUP JERMAN.
APAKAH HAL INI BERARTI BAHWA PAUS MENOLAK INTERCOMMUNION?





Berita muncul pagi ini bahwa uskup-uskup Jerman, yang telah menikmati dukungan dan pengaruh besar selama kepausan Paus Fransiskus, telah mengalami penolakan yang mengejutkan dari Roma, di mana Kongregasi untuk Ajaran Iman (CDF) menolak - dengan persetujuan paus - untuk menyetujui pedoman yang disampaikan oleh uskup-uskup Jerman, yang memungkinkan beberapa orang Protestan untuk menerima Komuni Kudus di gereja-gereja Katolik.


 

PAUS MERUBAH KEPUTUSANNYA SOAL INTERKOMMUNI, DENGAN MENGATAKAN BAHWA USKUP-USKUP LOKAL YANG MUSTI MEMUTUSKAN HAL ITU

 




Ketika berbicara tentang Paus Fransiskus, anda tidak boleh mempercayai begitu saja apa yang dikatakannya. Ada lebih banyak bukti tentang hal itu sepanjang waktu. Lihat disini dan disini.

Dan tentu saja, kita tidak boleh melupakan The Peron Rule. (pemimpin Komunis dari Argentina)

Mengenai masalah interkomunion, memang benar bahwa dia (paus) menandatangani penolakan CDF terhadap selebaran dari uskup-uskup Jerman.

Umat Katolik yang ingin percaya yang terbaik, akan segera merasa senang. "Hei lihat! Dia (paus) bersikap ortodoks (tradisionil) tentang yang satu ini (tentang siapa yang boleh menerima Komuni)! "

Tetapi sekarang, kita melihat apa yang sedang terjadi: itu tidak lain adalah sulapan tangan. Sebuah retorika palsu. Sebuah permainan kepausan berikutnya.

"Paus mengatakan bahwa uskup lokal harus membuat ketentuan mengenai interkomuni" demikian judul yang baru di media Crux. Paus telah berputar kembali ke masalah intercommunion dan dia memutarnya ke arah yang baru. Jika anda ingin melihat apa yang dia lakukan, anda harus memperhatikan cara bola berputar. Apakah anda melihat yang mana titik awalnya - yang tentu saja mewakili otoritas kepausan dan persetujuan dalam metafora kecil kita di sini – semua itu ditentukan dari mana bola itu mulai berputar?

Perhatikanlah dengan seksama - penekanan (huruf tebal) disini adalah dari saya:

Setelah seharian menggembar-gemborkan cara-cara di mana umat Kristiani dapat berbagi dalam persekutuan yang lebih besar, tetapi komitmen untuk bersatu itu tidak membuat Paus Francis mendukung bagian pengawas doktrinal di Vatikan dalam keputusannya untuk menuntut kehati-hatian terkait proposal untuk melakukan interkomuni dengan umat Protestan.

Pada penerbangan kembali ke Roma, hari Kamis, dari ziarah ekumenis seharian ke Jenewa, Francis mengatakan bahwa dia mendukung Prefect Vatikan untuk Kongregasi untuk Ajaran Iman, Kardinal terpilih Luis Ladaria, dalam mensyaratkan untuk memikirkan ulang rancangan proposal dari para uskup Jerman yang akan mengizinkan orang non-Katolik menerima Komuni meski dalam kondisi tertentu.

Bulan lalu, Kongregasi untuk Ajaran Iman (CDF) menolak proposal uskup-uskup Jerman, yang disetujui oleh sekitar tiga perempat dari para uskup selama pertemuan sebelumnya di musim semi. Dalam sebuah surat yang diterbitkan bulan ini, Ladaria mengatakan proposal itu "belum cukup matang untuk dipublikasikan."

Francis mengatakan bahwa Ladaria tidak bertindak secara sepihak, tetapi dengan izin paus ...
Hingga sekarang, kita semua masih berada di dalam pengertian yang sama. Semua orang memperhatikan bola yang berlabel, “Francis melarang interkomuni melalui CDF”. Tetapi ketika dia berbicara tentang Ladaria yang memiliki izin darinya, paus nampak mengalihkan perhatian kita. Orang-orang memperhatikan kata-katanya, dan ketika dia melihat mata kita tidak terpaku pada tangannya, dia menekan tombol untuk merubah keadaan. Bola masuk melalui cangkir yang lain dengan sangat cepat sehingga hampir tidak ada yang melihat perubahan yang terjadi. Coba diperlambat dan perhatikan bolanya:

… dan bahwa di bawah Hukum Cannon [sic] terserah kepada uskup setempat untuk memutuskan dalam kondisi apa komuni dapat diberikan kepada umat non-Katolik, bukan pada konferensi uskup-uskup lokal.

“Hukum Canon mengatakan bahwa uskup dari gereja tertentu, dan ini adalah kata yang penting, 'tertentu’, artinya dari sebuah keuskupan, bertanggung jawab untuk ini ... hal itu (tanggung jawab itu) ada di tangannya.”

Lagipula, kata Francis, masalah yang akan timbul jika mengadakan konferensi Waligereja dengan mengajukan pertanyaan semacam itu adalah bahwa "sesuatu yang dihasilkan dalam sebuah konferensi waligereja akan dengan cepat tersebar secara universal".

Apakah anda melihat paus beralih haluan dengan mempermainkan tombol switch disini?

Masalah yang ada dalam permainan ilusi versi Bergoglian ini adalah tidak adanya pengungkapan akhir dari sulapan ini. Si penyihir mengalihkan perhatian penonton dari apa yang terjadi di atas meja, dan kemudian mengucapkan terima kasih kepada mereka karena telah datang tanpa pernah mengangkat cangkir untuk menunjukkan di mana bola mendarat. Dia sebenarnya tidak ingin penonton tahu bahwa dia melakukan sihirnya, karena seluruh pekerjaannya hanya untuk mengalihkan perhatian penonton cukup lama, sehingga mereka lupa dia telah melakukan tipuan dalam sulapan itu.

Orang-orang yang menonton pertunjukan panggung itu akan pulang dengan asumsi bahwa bola itu berada tetap di tempatnya. Tetapi sebenarnya tidaklah seperti itu jika memakai piala yang bernama "Francis melarang interkommuni melalui CDF". Sekarang pialanya bernama "Francis mengatakan masing-masing uskup dapat memutuskan aturan tentang interkommuni".

Beberapa orang telah melihat Francis melakukan trik versi ini cukup sering, sehingga mereka telah belajar cara mencari sakelarnya. Tetapi kebanyakan orang, sayangnya, belum tahu. Dan karena mereka yakin bahwa bola masih berada di bawah piala atau cangkir itu, maka bola itu juga harus berada di bawah piala itu. Mereka akan bersedia berdebat dengan siapa pun yang mengatakan sebaliknya kepada mereka.

Sementara itu, media Katolik tidak mungkin melaporkan tentang si pesulap yang tidak bermoral ini, yang tidak benar-benar melakukan trik pesta yang tidak berbahaya, karena mereka pasti mengira dia hanya melakukan permainan yang tidak berbahaya.

Begitulah, permainan itu akan terus berlanjut.

Berangkat dari metafora saya yang tidak sempurna, sebelum ia runtuh, saya ingin kembali sejenak kepada apa yang saya tulis kembali pada bulan April. Saya mengatakan bahwa saya percaya Francis tidak senang dengan ‘kantong yang menyala’ ... karena ada handout atau pedoman interkomuni yang ditinggalkan di depan pintunya. Maka uskup-uskup Jerman melangkah masuk. Mereka terlalu manis. Ini bukanlah cara Francis bekerja, dan itu “adalah bagian yang bagus dari alasan mengapa dokumen mereka ditolak. Karena di mana Francis tampaknya paling nyaman bekerja melalui sindiran, maka uskup-uskup Jerman itu mencoba menciptakan sesuatu yang lebih eksplisit: Secara tertulis."

Dia menegaskan hal ini ketika dia mengatakan, dalam komentar yang dikutip di atas, bahwa "sesuatu yang berhasil dalam sebuah konferensi waligereja dengan cepat akan tersebar secara universal."

Kami tidak bisa percaya hal itu. Ingat, apa yang dia katakan kepada wanita Lutheran (yang kawin dengan pria Katolik) yang bertanya apakah dia dapat menerima Komuni pada bulan November 2015:

“Saya tidak akan pernah berani mengijinkan hal ini, karena ini bukanlah kompetensi saya. Satu baptisan, satu Tuhan, satu iman. Bicaralah kepada Tuhan, dan kemudian majulah (untuk menerima Komuni). Saya tidak berani mengatakan apa-apa lagi.”

Tidak ada yang berkuasa dari atas. Tidak ada surat keputusan resmi. Jauh lebih mudah untuk menendangnya jatuh dan menciptakan kekacauan. Memecah hingga berkeping-keping dan merusak iman universal. Satu uskup saja pada sebuah saat, sudah bisa hancur berantakan.