Friday, August 30, 2019

NEUMAYR DI BUENOS AIRES, MENYAMPAIKAN RASA MALU...


NEUMAYR DI BUENOS AIRES, MENYAMPAIKAN RASA MALU DAN PENYESALANNYA ATAS USKUP DARI ARGENTINA INI



"Kami merasa malu karena dia," kata mantan jaksa penuntut, tentang Jorge Bergoglio, selama kunjungan George Neumayr ke negara asal paus. " Bergoglio mewakili kualitas terburuk kita," kata pria itu menyimpulkan.

Neumayr, penulis buku The Political Pope dan salah satu antagonis yang paling mantap dari Theodore McCarrick dan para klerus busuk yang ikut serta atau membantu menutup-nutupi kejahatannya, kini sedang berada di Argentina untuk mencari jawaban.

Secara khusus, dia ingin tahu mengapa paus pertama dari Amerika Latin itu belum mau kembali ke negara asalnya sejak pemilihannya menjadi paus.

Berdasarkan reaksi dan jawaban dari beberapa orang yang diajak bicara oleh Neumayr, penyebabnya mulai semakin jelas dan lebih masuk akal.

Neumayr menggambarkan sosok Bergoglio sebagai seorang pria yang bersedia menutupi para klerus pelaku kejahatan sexual, karena hal itu akan bisa memberinya “peningkatan pengaruh”:

“Bergoglio akan memanggil mereka yang mau menyelidiki tentang seorang imam pederast (pelaku semburit) dan menyuruh mereka untuk berdiam diri,” kata orang dalam di Gereja Buenos Aires kepada saya. "Kemudian Bergoglio akan memberitahu imam yang sedang diselidiki dan mengatakan bahwa penyelidikan itu telah dihentikan olehnya. Kemudian Bergoglio memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan kepatuhan total darinya." Banyak imam seperti itu yang merasa ‘berhutang budi’ kepada Bergoglio.

Beberapa orang bertanya-tanya mengapa orang seperti Bergoglio itu bersedia dikelilingi oleh  banyak penjahat, para penjilat, orang-orang yang tak bermoral. Tetapi pertanyaan itu bukanlah misteri bagi umat Katolik di Argentina. “Dia telah melakukan hal yang sama ketika menjadi uskup agung,” kata seseorang. "Dia menggunakan rahasia orang-orang lain untuk mengendalikan mereka."

Dia telah melindungi terlalu banyak klerus yang ‘bermasalah’ - apakah itu adalah pelaku pelecehan sex atau dikenal karena keterlibatannya dalam suatu kejahatan – dimana hal ini bukan sekedar rumor semata. Daftarnya adalah panjang, dan saya sudah menulis hal itu sebelumnya, jadi saya tidak akan menyebutkan semuanya di sini. Beberapa telah menjadi akrab di telinga kita, namun terutama: Barros; Inzoli; Danneels; Ricca; Pineda; Peña Parra; dan ya, McCarrick, semuanya masuk kedalam pikiran kita. “Parade pertemanan yang memalukan” ini (sebagaimana Vaticanista Marco Tosatti menyebutnya) memberi tahu kita banyak hal tentang tipe pria (Bergoglio) yang sedang kita hadapi.

Kisah asal usul paus ini, yang menurut saya, belum pernah diteliti cukup detil, berdasarkan upaya Neumayr untuk menemukan jawabannya, namun diselimuti oleh banyak ketidaksukaan dan mitos yang sama. Banyak dari apa yang telah dia temukan dalam catatan pertama dan kedua dari serial tulisan yang sedang dikerjakannya, akan menjadi penegasan atas hal-hal yang sudah dibahas dalam buku-buku seperti The Dictator Pope karya Henry Sire (Marcantonio Colonna ). (Sire juga melakukan perjalanan ke Argentina untuk mencari jawaban saat melakukan penelitian bagi bukunya.)

Misalnya, paus adalah seorang Peronist yang diilhami oleh komunis. (Mentor politiknya adalah seorang komunis Paraguay yang bernama Esther Ballestrino.) Neumayr mengatakan:

Umat ​​Katolik Argentina menggambarkan Bergoglio sebagai ‘Peron gerejawi’ - bunglon yang bengis, sosialis, dan suka berbohong, dan melakukan taktik tercela apa pun untuk bisa mempertahankan kekuasaannya.

"Dulu Peron sering mengatakan bahwa dia adalah baling-baling cuaca, bahwa dia bergerak ke mana angin menuju," kata seorang wartawan kepada saya. “Bergoglio juga seperti itu. Pada hari Senin dia adalah seorang liberal. Pada hari Selasa dia adalah seorang konservatif. Pada hari Rabu dia menjadi liberal lagi. Dan begitu seterusnya."

Saya membahas masalah yang kritis tetapi sering terabaikan ini di sebuah postingan pendek yang sering saya sebut sebagai “Aturan Perón.” Saya sering memperingatkan orang-orang untuk tidak menerima perkataan paus begitu saja, karena dengan cepat dia akan mengubahnya atau bertindak dalam kontradiksi dengan perkataan sebelumnya. (Bagi mereka yang berada di luar lingkaran politik Argentina, fakta ini masih sering sulit dipahami.)

Orang yang mengatakan kepada Neumayr bahwa orang-orang Argentina merasa malu dengan Bergoglio, mengatakan bahwa Bergoglio adalah pemalsu: “Dia tidak tahu apa-apa – tidak tahu moral, tidak tahu teologi, tidak tahu sejarah. Tidak ada apa-apanya. Hanya kekuasaan saja yang menarik baginya. ”

Hal ini memang konsisten dengan apa yang telah kita lihat selama enam tahun terakhir ini. Selanjutnya Neumayr berkata: “Deskripsi paus Francis sebagai seorang ideolog gila kekuasaan sudah sangat luas, saya temukan sendiri hal ini. Saya berbicara panjang lebar dengan Antonio Caponnetto, yang merupakan penulis Argentina, yang telah menulis beberapa buku tentang Paus Francis. “Di seminari, teman-teman sekelasnya memanggilnya 'Machiavelli,'” kata Neumayr.

Mengenai pertanyaan mengapa dia menghindari berkunjung ke negara asalnya, Caponnetto memberi Neumayr dua alasan: “Satu, setidaknya separuh warga negara Argentina membencinya, dan dua, Francis tidak menyukai rezim Macri yang pro-kapitalis, yang konon 'konservatif'. Alasan terakhir ini tidak masuk akal: Macri tidaklah konservatif, karena seorang konservatif Argentina yang pertama mengatakan demikian."

Mengenai ketidakcocokan politik Paus dengan rezim Argentina saat ini, Santiago Estrada, mantan duta besar Argentina untuk Tahta Suci, mengatakan kepada Neumayr:

... jika kaum kiri yang keras kembali berkuasa, "Bergoglio akan mau kembali." Estrada berkata bahwa Bergoglio "pasti akan kembali tahun depan" jika Macri kalah, tetapi Bergoglio akan menyebutnya sebagai "kunjungan pastoral."

"Francis selalu bekerja di belakang layar" untuk membantu para lawan Macri; seorang agen politik Argentina berkata kepada saya. "Bergoglio ingin agar Macri kalah."

Pihak konservatif merasa takut akan prospek kemenangan Peronista. Seseorang yang memiliki sebuah blog yang khusus berbicara soal politik di Argentina, berkata kepada saya, “Saya akan meninggalkan negara itu. Negara itu tidak akan aman bagi kita."

Bergoglio sebagai kekuatan politik yang berbahaya adalah kisah yang juga telah kami dengar sebelumnya.

Satu aspek kehidupan Bergoglio, saya harap Neumayr dapat mencari tahu lebih banyak sebelum kembali ke rumahnya, adalah berkaitan dengan keluarga Bergoglio. Siapa mereka? Seperti apa hubungan Bergoglio dengan mereka? Bagaimana dia tumbuh dewasa? Seperti apa hubungannya dengan Tuhan? Mengapa dia berbohong kepada ibunya bahwa dirinya berada di seminari?

Dikatakan bahwa Bergoglio hanya memiliki satu saudara kandung yang selamat dari total lima anak-anak keluarga Bergoglio: seorang saudari bernama María Elena Bergoglio. Dimana dia? Apakah dia memiliki peran dalam kehidupan Bergoglio? Kenapa Bergoglio tidak pernah membicarakan dia? Apa yang dipikirkan Maria Elena tentang Bergoglio, kakaknya?

Saya tahu bahwa ada lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, tetapi bahkan beberapa jawaban akan lebih baik daripada tidak sama sekali. Saya memuji upaya Neumayr untuk memahami hal-hal ini. Beberapa cerita dapat benar-benar dipahami tanpa mengetahui bab-bab  pembuka.

Dan silakan kunjungi halaman George di The American Spectator dan bacalah kedua postingan ini. Saya berharap lebih banyak fakta akan terungkap.


**********
Steve Skojec adalah Penerbit, Pendiri dan Direktur Eksekutif OnePeterFive.com. Dia menerima gelar BA dalam bidang Komunikasi dan Teologi dari Franciscan University of Steubenville pada tahun 2001. Komentar-komentarnya telah muncul di The New York Times, USA Today, The Washington Post, The Washington Times, Majalah Crisis, EWTN, Huffington Post Live, The Fox News Channel , Foreign Policy, dan BBC. Steve dan istrinya Jamie, memiliki tujuh anak.


Tuesday, August 27, 2019

Vortex - SEBUAH PENGERTIAN BARU TENTANG APA YANG DIANGGAP ‘NORMAL’




the Vortex:
sebuah pengertian baru tentang apa yang dianggap ‘normal’

Ia harus ditolak, dilawan dan dikalahkan


August 26, 2019  


Sekarang sudah satu tahun lamanya - tepatnya kemarin – dimana yang pertama dari serangkaian bom diledakkan oleh uskup agung Carlo Maria Viganò di tengah dunia Katolik.

Ingatlah akan konteksnya: Laporan dewan juri Pennsylvania telah dirilis kira-kira seminggu sebelumnya, dan ia menjadi topik utama dalam pers sekuler.

Para kardinal sesat dari ‘Kaum Mapan’ dalam Gereja bersikap agak defensif, mereka memainkan permainan gasing (yang berputar-putar) dan sepakat untuk berbohong tentang semua yang mereka tahu. Berita tentang McCarrick telah keluar dua bulan sebelumnya dan telah menjadi sebuah kenyataan yang gamblang.

Berbagai umat Katolik, yang sampai saat itu dalam keadaan mengantuk tentang semua kejahatan ini, mulai menjadi merah wajahnya ketika berita itu muncul, artinya: mata mereka terbuka.

Vatikan telah berhasil dengan cekatan menghindari komentar yang keras tentang apa yang sedang terjadi di Gereja Amerika Serikat. Dan kemudian, tepat ketika Paus naik pesawat dari perjalanan ke Irlandia, berita itu pecah seperti petir raksasa.

Mantan duta besar Vatikan untuk Amerika Serikat, nuncio kepausan, Carlo Maria Viganò, seorang pria yang sangat disegani, muncul di muka umum, mengungkapkan bahwa tidak hanya semua yang dilaporkan tentang McCarrick adalah benar, tetapi yang jauh lebih penting, Paus sendiri sudah tahu hal itu, sebuah rombongan besar uskup AS terlibat dalam upaya menutup-nutupi ala mafia, dan banyak dari mereka adalah pelaku homoseksual yang aktif dan Paus harus mengundurkan diri.

Untuk menambah keseriusan kesaksiannya, Viganò mengakui bahwa dia akan bersembunyi selama sisa hidupnya, karena takut akan pembalasan yang mematikan.

Kesaksian Viganò memaksa seluruh masalah kembali ke halaman depan dan menjadi topik utama di dunia media Katolik.

Berita Itu mengejutkan dan menarik perhatian semua orang, khususnya apa yang kemudian disebut oleh Viganò sebagai ‘mafia gay busuk’ yang sedang menjalankan Gereja, mereka benar-benar lengah.

Memang, hari-hari menjelang rilis kesaksiannya kita telah melihat pergeseran momentum kembali kepada Kaum Mapan dalam gereja Amrik; mereka telah mengabaikan para pendusta seperti Donald Wuerl dan Kevin Farrell, demi menyangkal bagian tersembunyi dari kisah seputar McCarrick.

Wuerl menjadi pusat perhatian, yang cukup berarti karena dia adalah orang yang telah menggantikan McCarrick di D.C. dan menutupi kejahatannya.

Dia melakukan berbagai wawancara di mana dia berkata bohong. Para kardinal lainnya bergegas mengangkat mikrofon untuk berbohong dan menyangkal juga.

McCarrick mungkin bersalah, kata mereka, tetapi karena ‘iklim’ yang memungkinkan monster jahat seperti itu bisa naik pangkat, mereka semua "terkejut"

Wuerl, berbicara kepada Pastor Thomas Rosica yang suka berbohong, curang, dan sekarang dipermalukan,  dan berkata bahwa umat Katolik tidak perlu khawatir, Gereja tengah berjalan dengan baik.

Kaum Mapan dalam gereja Amrik berusaha memegang kendali atas pengiriman pesan, yang agak mudah dilakukan ketika Anda benar-benar tidak bertanggung jawab dan tidak transparan.

Ini adalah latar belakang, pada suatu pagi di musim panas yang membuat ngantuk, ketika bom kebenaran Viganò meledak di atas Paus Francis dan mafia gay yang busuk.

Para homoseksual dalam hierarki gereja menjadi kebingungan, tidak ada yang tahu bagaimana merespons karena mereka tahu itu adalah kebenaran. Para pembohong dan penipu selalu lunglai dan loyo saat dihadapkan pada realita; itu adalah sebuah momen "keadaan tanpa daya."

Bahkan Paus Francis sendiri benar-benar kebingungan ketika para wartawan mengajukan berbagai pertanyaan kepadanya. Pada saat itulah dia memberikan jawaban yang paling layak diingat dari zaman kepausan ini: "Saya tidak akan mengatakan sepatah kata pun."

Ungkapan itu – yang bukan "who am I to judge?" - akan menjadi ungkapan yang merangkum sifat kepausan ini di tahun-tahun mendatang.

Pada tahun berikutnya, Viganò terus mengeluarkan kesaksian baru yang terus menyebabkan ledakan berikutnya. Dia menyebutkan nama-nama, berbicara tentang contoh kebusukan tertentu dan menyebut sesama uskup sebagai pembohong.

Akhirnya, dia menyebut sebuah nama bagi apa yang pertama kali disebutnya sebagai "arus homoseksual" dalam hierarki: "mafia gay yang busuk."

Kesaksiannya yang tanpa henti memaksakan sebuah agenda khusus bagi pertemuan para uskup A.S. dalam pertemuan November di Baltimore.

Dan hal itu juga telah memaksa tangan Paus bertindak ketika dia langsung turun tangan dan memerintahkan hierarki A.S. untuk segera meninggalkan topik pembicaraan masalah yang diajukan Viganò, karena dia akan mengadakan pertemuan yang khusus membahas masalah itu, pencabulan sexual, pada Februari mendatang di Roma.

Implikasinya adalah bahwa semuanya akan ditetapkan pada KTT di Roma nanti yang dijadwalkan berlangsung selama tiga hari. Tetapi bukan itu masalah yang sebenarnya. Itu adalah tipuan, yang dirancang untuk menutupi dan mengabaikan dorongan klaim Viganò, bahwa kejahatan itu disebabkan oleh mafia gay yang busuk.

Bersama-sama, Paus dan Cdl. Pembohong, Blase Cupich dan Donald Wuerl, yang akhirnya harus mundur dengan malu, karena mereka berdua mengarang alasan bahwa itu bukanlah "mafia gay korup," melainkan karena "klerikalisme" yang harus disalahkan atas kejahatan tersebut.

Cupich yang telah dikirim oleh Paus untuk memadamkan api, melarang penyebutan homoseksualitas pada saat KTT Februari, atau berbicara tentang klerus homopredator yang mencabuli orang dewasa, bukan mencabuli anak-anak di bawah umur.

Pembicaraan mengenai para seminaris yang dicabuli dan dianiaya secara sexual oleh staf seminari yang homoseks, benar-benar dilarang.

KTT Roma pada bulan Februari adalah tempat para mafia gay yang korup mendapatkan kembali kendali pembicaraan. Dalam benak umat Katolik yang peduli, pengertian ‘normal’ yang baru telah ditetapkan.

Homoseksualitas dalam jajaran klerus sekarang terbuka, dan Roma tidak peduli. Kurangnya akuntabilitas dalam kehidupan ini, dan konsentrasi kekuasaan, telah memungkinkan mafia gay yang korup untuk kembali kepada bisnis mereka seperti biasa.

Orang-orang seperti James Martin, imam homosex,  bahkan merasa lebih bebas sekarang.

Masalahnya sekarang sudah keluar dari kamar closet, sekarang umat bisa dibohongi dan diputar-putar tanpa henti, dan umat sekarang dapat direndahkan dan diejek oleh berbagai klerus melalui istilah-istilah politik yang tinggi seperti, misalnya, ‘fanatik’ dan ‘pembenci.’

Yang jelas sangat menyilaukan adalah ini: Kebusukan dan kekotoran mafia gay yang korup itu lebih dalam dan lebih luas daripada yang dibayangkan oleh siapa pun yang mencintai Gereja.

Kebusukan dan kekotoran ini telah ditutup-tutupi untuk kemudian dimaafkan dan sengaja diabaikan oleh seluruh ‘Kaum Mapan’ dalam gereja, yang mengandalkan koneksi dan hubungan mereka dengan orang-orang jahat ini untuk menjaga makanan mereka tetap tersedia.

Ini adalah pertempuran yang sangat panjang dan kita harus terlibat. Masalah itu tidak akan hilang selama bertahun-tahun. Bahkan, sampai semua wali gereja yang jahat ini membusuk dan membara di liang kubur mereka, hanya pada saat itulah akan ada harapan, dalam pengertian duniawi: ada perubahan – namun hal itu juga tidak bisa dijamin.

Keadaan di dalam ordo-ordo religius, di dalam hierarki, di keuskupan dan tempat-tempat ibadah di seluruh dunia Barat adalah merupakan iklim yang memeluk dunia, dan tidak berusaha merubahnya.

Bahkan di antara berbagai umat Katolik yang mungkin tidak harus setuju dengan mafia gay yang korup ini, masih ada sikap persetujuan dan kelembutan; ini adalah sebuah penghancuran, kurangnya keinginan untuk menghadapi kejahatan secara langsung dan menentang kejahatan di tempat-tempat tinggi di Gereja. Pada akhirnya, inilah sebabnya mengapa Viganò masih harus bersembunyi karena takut akan hidupnya.

Kontribusi utama yang dibuat uskup agung Viganò bukan untuk mengekspos kejahatan, tetapi untuk menunjukkan adanya garis pertempuran, untuk membawa umat ke pada kesadaran Katolik.

Sekarang, tergantung pada umat beriman untuk memutuskan mau berjuang demi jiwa Gereja. Hal itu akan membutuhkan pengorbanan pribadi yang tinggi di setiap tingkatan, terutama berupa pengorbanan dalam hal reputasi dan relasi.

Ada sebuah mafia gay yang korup dengan sebuah cengkeraman yang kokoh di dalam Gereja. Putra dan putri Gereja yang setia sekarang harus bertempur dalam cara apa pun sesuai keadaan pribadi mereka.

Pengertian baru tentang apa yang dianggap "Normal" seperti ini, harus dilawan dan dikalahkan.


Sunday, August 25, 2019

PAUS DIKTATOR - 3. REFORMASI? REFORMASI APA?





Anda dapat membodohi semua orang dalam beberapa waktu,
atau membodohi beberapa orang sepanjang waktu,
tetapi Anda tidak dapat membodohi semua orang sepanjang waktu.
ABRAHAM LINCOLN







PAUS DIKTATOR

Marcantonio Colonna




  

3. REFORMASI? REFORMASI APA?

Paus Yang Tidak Seperti Paus Yang Lain

Dari saat Jorge Bergoglio terpilih sebagai Paus, dia menjelaskan bahwa dirinya akan menjadi Bergoglio yang berbeda, suatu karakteristik yang telah dia tunjukkan kepada warga Argentina dan yang dijelaskan oleh Profesor Rego de Planas dalam suratnya yang dikutip sebelumnya. Dia menceritakan bagaimana dia akan menghadiri pertemuan-pertemuan di mana para uskup lainnya akan menyetir, tepat waktu, di dalam mobil mereka, sedangkan Bergoglio akan datang terlambat, dalam kesibukannya, dan dengan keras menjelaskan perubahan-perubahan kegiatannya di dalam transportasi umum. Reaksinya adalah “Wow! Benar-benar gatal untuk menarik perhatian!” Dan dia menemukan bahwa banyak orang lain memiliki kesan yang sama. Demikian juga, ketika Francis menjadi Paus, dia tidak akan menggunakan salib dada paus tradisional, atau cincin, atau sepatu, atau kursi, tetapi dia akan memakai barang-barang lain yang lebih sederhana. Juga cukup terkenal bahwa dia menolak untuk pindah ke apartemen kepausan tua yang menghadap lapangan St. Peter dan dia menyisihkan beberapa kamar untuk dirinya sendiri di Casa Santa Marta, wisma tamu untuk para kardinal tamu, tempat dia tinggal sejak saat itu. Salah satu tindakannya yang paling nampak mementingkan diri sendiri adalah pergi pada pagi hari, setelah pemilihannya, ke rumah tamu tempat dia menginap selama Konklaf dan membayar tagihannya sendiri; sesuai dengan sikap kerendahan hati yang ada dalam kesempatan itu, dimana kamera-kamera televisi ada dimana-mana untuk merekam segala tindakannya. Pada hari yang sama, dia menelepon tukang cukurnya di rumah, dan dokter giginya, untuk membatalkan janji pertemuan, serta agen berita, untuk membatalkan wawancara dengan surat kabar, dan memastikan pers tahu tentang hal itu.

Semua media berebut ‘menjilatinya,’ seperti yang terjadi di Buenos Aires ketika dia bepergian dengan kendaraan umum kota (dengan sekretaris persnya hadir, dan seorang fotografer untuk merekamnya). Tidak ada keraguan bahwa di sini ada seorang paus yang mengalahkan semua orang lain dalam hal kerendahan hati. Sudah ada beberapa paus dalam seratus tahun terakhir yang berasal dari latar belakang paling rendah seperti halnya Jorge Bergoglio ("Peasant Popes" Pius X dan John XXIII), tetapi karena terpilih duduk di takhta kepausan, mereka mau menerima simbol tradisional jabatan mereka. Tetapi Bergoglio membedakan dirinya tidak hanya dengan sikap kerendahan hatinya tetapi juga dengan keramahan yang bisa menarik semua hati. Di Buenos Aires, seorang Katolik Argentina menjulukinya carucha (wajah pemarah) karena tingkah lakunya yang biasa ketika menjabat sebagai Uskup Agung, tetapi sekarang rekan senegaranya melihatnya berubah menjadi apa yang oleh Omar Bello disebut ‘Lassi kepausan,’ sosok yang hampir tidak mereka kenal.

Profesor Rego de Planas menjelaskan bahwa dia telah menafsirkan gerak-gerik Kardinal Bergoglio semasa menjadi Uskup Agung Buenos Aires sebagai bagian dari keinginan kuat untuk disukai oleh semua orang dan untuk mendapatkan popularitas yang mudah; tetapi setelah empat tahun kepausan Francis kita harus mengakui bahwa diagnosisnya terlalu sederhana. Dia belum mengerti apa itu seorang politisi Bergoglio yang ulung. Dia tahu bahwa dalam dunia modern citra adalah segalanya, dan bahwa seorang paus yang memiliki media sekuler di sisinya dapat melakukan hal-hal yang tidak pernah diimpikan oleh siapa pun; dan memang itulah programnya. Bagi media, Francis adalah reformator hebat yang dipilih untuk melakukan peremajaan Gereja secara ajaib. Tidak ada sulitnya untuk memperhatikan bahwa tanda kecil dari peremajaan seperti itu muncul selama masa jabatannya sebagai Uskup Agung Buenos Aires. Selama lima belas tahun menjabat, Gereja Katolik di Argentina mengalami penurunan keanggotaan sepuluh persen; angka-angka dalam jumlah imamat dan kehidupan religius bahkan lebih buruk. Setelah lebih dari empat tahun menjadi Paus, tidak ada indikasi bahwa segala sesuatu telah berubah sekarang. Secara nyata, "Efek Francis" telah membuktikan sebuah fenomena tersendiri bagi media.

Secara khusus, kita perlu bertanya apa yang terjadi pada tiga masalah utama yang ada di meja ketika para kardinal membuat lompatan besar dalam kegelapan. Salah satunya adalah skandal di Kuria Roma, di mana bukti-bukti baru telah diedarkan pada bulan Desember 2012; yang lain adalah pelecehan seksual di kalangan klerus, yang terbuka di seluruh dunia, yang telah menumpuk selama dua puluh tahun dan yang, pada saat kepausan Benediktus XVI, skandal itu telah mengajukan tawaran untuk menghancurkan seluruh otoritas moral Gereja; dan yang ketiga juga sudah lama berlangsung, kehancuran keuangan Vatikan yang telah menjadi skandal publik pada masa pemerintahan John Paul II dan sejauh ini menolak semua upaya untuk mengatasinya.


1. Apa yang terjadi dengan reformasi Kuria?

Kuria Romawi adalah pemerintah pusat Gereja Katolik. Ini adalah organisasi besar, termasuk sembilan Kongregasi, dua belas Dewan Kepausan, enam Komisi Kepausan dan tiga Pengadilan. Seperti yang diharapkan orang dari badan semacam itu, pertanyaan tentang reformasinya bukanlah hal yang baru. Dengan mempertimbangkan sejarahnya, kita dapat mengesampingkan periode ketika Kuria harus mengelola Negara Kepausan serta Gereja. Setelah jatuhnya Kekuatan Temporal pada tahun 1870, Kuria berkembang menjadi lembaga yang secara keseluruhan bersikap jujur dan efisien, dan layak menjalankan fungsinya sebagai organisme pengarah Gereja universal. Tetapi ia memiliki kelemahan alami yang ada pada birokrasi mana pun, dan ditambahkan ke cacat lokal bahwa itu sangat bergaya Italia dalam hal personel, dan cenderung kepada sikap nepotisme tradisional, terutama di pos-pos kecil, non-klerikal, seperti misalnya penjaga pintu atau sopir.

Jika seseorang harus menunjuk ke masa ketika bias material yang tidak semestinya mulai muncul, mungkin itu tahun-tahun terakhir pemerintahan Pius XII, ketika paus yang sangat cakap itu mulai kehilangan kendali pribadinya atas berbagai urusan di Vatikan. Pada tahun 1953 dirasakan bahwa Kuria telah menyelinap ke tangan sebuah klik yang terdiri dari lima kardinal, yang dikenal secara tidak sopan sebagai Pentagon. Pemimpin mereka adalah Nicola Canali, menteri keuangan Vatikan, yang terkenal karena aliansinya yang dekat dengan para bankir kepausan pada waktu itu dan dengan keponakan Paus sendiri, Pangeran Carlo Pacelli, yang sangat berpengaruh.

Masalah ini tidak diatasi oleh paus berikutnya, Yohanes XXIII, dalam masa lima tahun pemerintahannya yang singkat; dari semua reputasinya sebagai seorang pembaharu, Paus Yohanes tidak melakukan apa pun untuk Kuria. Paul VI, yang telah menghabiskan hampir seluruh karir klerusnya di Roma, naik takhta pada tahun 1963 dengan keinginan terpuji untuk mereformasi Kuria, tetapi prestasinya tidak mencapai tujuannya. Satu hal yang berhasil dia lakukan adalah menginternasionalkan personelnya, tetapi ini sejalan dengan lompatan besar dalam jumlah, dari 1.322 menjadi 3.150, bersama semua implikasi dari birokrasi yang tumbuh terlalu besar. Lebih buruk lagi adalah keputusan Paus Paulus untuk menempatkan seluruh Kuria di bawah otoritas keseluruhan Sekretariat Negara. Tidak diragukan lagi hal ini dimaksudkan untuk memperkenalkan tindakan koordinasi, tetapi itu juga berarti bahwa sebagian besar departemen, yang fungsinya murni religius, menjadi sasaran dari lengan politik Vatikan. Dan kesalahan terburuk dari semua itu adalah apa yang dilakukan oleh Paus Paulus dengan keuangan Gereja. Hal ini dilakukan di bawah arahan Uskup Agung Paul Marcinkus, seorang klerus tanpa embel-embel, dari Chicago, yang sayangnya tugas itu berada di luar kemampuannya di dunia keuangan internasional, di mana penunjukkannya seakan telah melemparkan dirinya. Pendekatan pragmatisnya untuk menjaga Vatikan bertahan secara ekonomi membawanya ke dalam hubungan dengan para bankir Mafia, Michele Sindona dan Roberto Calvi, dengan segala konsekuensi yang mengerikan ketika hal ini diungkapkan. Pada tahun 1987, dikeluarkanlah surat perintah penangkapan Marcinkus, tetapi Paus Yohanes Paulus II, dalam preferensi yang luar biasa untuk hak prerogatif duniawi Gereja atas tugas moralnya, memilih untuk melindunginya di bawah kedaulatan Vatikan. Pelajaran-pelajaran ini masih tidak dipelajari oleh penerus Marcinkus, Uskup Donato de Bonis, yang diberhentikan pada tahun 1993 setelah terjadinya skandal lebih lanjut dan secara tidak sengaja menunjuk Prelate (sebagai Kepala penasihat spiritual) Ordo Malta, juga untuk mendapat manfaat dari hak istimewa ekstrateritorial lembaga tersebut. Bersembunyi selama bertahun-tahun di markas Romawi milik Ordo, dia tidak berani melangkah ke jalan umum karena takut ditangkap oleh polisi Italia.

Yohanes Paulus II terpilih pada tahun 1978 sebagai Paus muda yang bersemangat yang diharapkan untuk bisa menangani masalah-masalah dalam Gereja, tetapi pemerintahan internal bukanlah keahliannya. Sejak awal dia mengabdikan dirinya untuk melakukan kunjungan dunia, dan dia mengabaikan tuntutan sehari-hari dari organisasi yang melayaninya. Pengangkatan Kardinal Angelo Sodano sebagai Sekretaris Negara pada 1991 memperburuk situasi yang sudah membusuk. Kroniisme dan korupsi yang diperparah oleh rezim Kardinal Sodano termasuk di antara skandal-skandal yang menutupi penyembunyian amoralitas seksual dari pendiri Legionaries of Christ, Pastor Marcial Maciel, karena besarnya dan banyaknya jumlah bantuan yang dapat dikontribusikan oleh organisasi yang kuat itu untuk Vatikan. Dengan Kardinal Tarcisio Bertone, Sekretaris Negara dari 2006 hingga 2013, kebusukan berjalan ke arah yang berbeda. Paus Benediktus XVI, yang mengangkatnya, menjauhkan diri dari urusan kurial sejak awal masa pemerintahannya, meskipun dia sendiri telah bekerja di jantung Kuria selama 24 tahun sebelum pemilihannya sebagai paus. Ketakutan yang dimiliki kaum liberal adalah bahwa dia akan membawa dendam atas pengalaman masa lalu yang tidak disadarinya, dan dia menjadi seorang pertapa virtual, dengan akibat bahwa Kuria jatuh ke dalam kekacauan faksi. Dalam kondisi ini Kardinal Bertone memiliki kebebasan untuk mengejar kepentingannya sendiri; dia sangat meningkatkan kekuatan Sekretariat Negara yang sudah terlalu besar dengan menanamkan calon-calonnya di tempat-tempat strategis di setiap Kongregasi, Dewan atau Komisi, dan mereka adalah orang-orang yang ikut bertanggung jawab ketika Paus Francis terpilih. Mereka membentuk sebuah ‘kepentingan diri’ yang besar yang berusaha untuk menghalangi keinginan Paus sendiri, dan hal ini telah menjadi salah satu faktor penting dalam membujuk Benediktus XVI untuk turun tahta, dengan meyakinkan Benediktus bahwa dia tidak bisa lagi mengatasinya. Kita telah melihat sebelumnya bagaimana Kardinal Bertone memilih untuk membatalkan rencana Benediktus untuk memilih Kardinal Scola sebagai penggantinya – ini hanyalah satu contoh dari ‘monster Frankenstein’ yang baru saja dihadapkan kepada seorang paus yang berkuasa.

Situasi ini telah dibawa secara dramatis ke hadapan mata publik oleh skandal "Vatileaks" tahun 2012. Perselingkuhan ini dipicu oleh kepala pelayan Paus, Paolo Gabriele, yang memutuskan untuk mengekspos kepada pers tentang korupsi yang dia ketahui ada di sekelilingnya. Dia hanya dapat mengambil dokumen-dokumen sensitif yang tersisa di kantornya dan menyerahkannya kepada jurnalis Gianluigi Nuzzi. Di antara dokumen-dokumen itu ada surat menyurat antara Monsinyur Carlo Maria Viganò, Kardinal Bertone dan Paus sendiri, dan mereka mengungkapkan protes Monsignor Viganò, yang telah diberhentikan dari jabatannya sebagai Sekretaris Gubernur karena dia menolak untuk mendukung reformasi. Kebocoran itu dipublikasikan di televisi Italia dalam program ‘Gli intoccabili’ pada Januari 2012, dan Nuzzi menindaklanjutinya pada bulan Mei dengan bukunya: Sua Santità: Le carte segrete di Benedetto XVI. Kepala pelayan itu diadili di pengadilan Vatikan dan dijatuhi hukuman penjara delapan belas bulan, tetapi Benediktus XVI memaafkannya pada 22 Desember, mengakui bahwa Gabriele bertindak karena keprihatinan atas jaringan manipulasi dan intrik di mana Paus dijerat.

Waktu dari pemberian pengampunan itu tidaklah kebetulan. Lima hari sebelumnya, Paus Benediktus menerima laporan rahasia, yang disiapkan untuknya oleh Kardinal Herranz, de Giorgi, dan Tomko, yang ditugaskan untuk menyelidiki kebocoran itu sejak bulan Maret. Tugas para kardinal adalah menanyai puluhan saksi dan mempelajari situasi di Vatikan yang diungkapkan oleh dokumen-dokumen yang bocor, dan apa yang mereka temukan sungguh menghebohkan. Mereka menunjukkan gambar tidak hanya tentang mesin Vatikan yang berjalan dengan caranya sendiri yang terlepas dari keinginan Paus, tetapi juga kebusukan moral yang telah lama diketahui orang dalam, tetapi yang sampai sekarang belum ada yang menyebutkan nama. Laporan itu sendiri tidak pernah dipublikasikan, tetapi substansi tuduhannya diungkapkan dalam berbagai sisi dan pernyataan selama beberapa tahun ke depan. Rincian muncul dari jaringan homoseksual dalam Vatikan yang berkolusi untuk mempromosikan kepentingannya sendiri. Para uskup mempekerjakan orang-orang awam dengan catatan kriminal yang menjelajahi bar-bar Romawi dan klub-klub malam untuk mendapatkan anak laki-laki pemuas nafsu bagi mereka, dan mereka diganjar dengan karir yang dilindungi di lingkungan Vatikan. Seorang monsignor telah dikuntit pada kunjungan ke panti pijat homoseksual dan diperas dengan foto-foto dari pertemuannya disitu dengan kaum lelaki gay. Kisah-kisah beredar di seputar para wali gereja yang dikenal dengan nama-nama wanita, disertai dengan petunjuk luas tentang kecenderungan mereka, dan para sekretaris yang dibayar 15.000 euro sebulan, untuk pekerjaan dan pelayanan yang jelas tidak terbatas di kantor saja.

Ini adalah situasi yang diwarisi oleh Paus Fransiskus, dan dia dipilih dengan sepengetahuan penuh tentang perlunya reformasi dan dengan harapan bahwa dia akan bisa mewujudkannya. Secara khusus dianggap bahwa perlu untuk mereformasi Sekretariat Negara, yang telah tumbuh terlalu kuat dan merupakan faktor utama dalam sekularisasi Kuria yang terlalu sekuler. Kita perlu memeriksa seberapa sukses Francis selama lima tahun dalam memuaskan harapan orang banyak yang dibebankan kepadanya.

Satu bulan setelah pemilihannya, Paus Fransiskus menunjuk sebuah dewan yang terdiri dari delapan kardinal untuk mengawasi proses reformasi; mereka kemudian ditambah menjadi sembilan dan sekarang dikenal sebagai C9. Hingga Juni 2017 telah ada delapan belas kali pertemuan dewan ini, tetapi reformasi yang telah dilakukan sejauh ini tidak lebih dari bermain-main saja di ujungnya. Ada sedikit penggabungan Dewan Kepausan, tetapi dampaknya pada badan-badan Vatikan yang lebih besar adalah nol. Sekretaris salah satu Dicastery berkomentar: “Francis telah membuat banyak kepala berguling-guling, mungkin terlalu banyak, tetapi hasilnya langka. Ada komisi-komisi pekerja, ada kelompok-kelompok belajar, ada beberapa konsultan, tetapi tidak ada yang tahu kapan hasil yang nyata akan terlihat, atau apakah itu akan pernah terlihat."

Mengenai keuangan kepausan, pejabat yang sama mengatakan: "Adalah Ratzinger yang merupakan ‘paus perputaran,’ Fracis telah menyelinap ke jalur perputaran itu, tetapi dengan cara yang agak kacau .... Dewan sembilan kardinal, yang disebut C9, ditunjuk olehnya untuk melaksanakan rencana reformasi, telah mengadakan banyak pertemuan tanpa mengambil keputusan penting. Dan kemudian ada pertanyaan tentang pemerintahan sinodal. Sinode para Uskup, kata Francis, sedang disusun kembali, berdasarkan model Konsili Vatikan II, tetapi dalam praktiknya tidak ada yang tahu caranya bagaimana.”

Kunci kegagalan ini dapat ditemukan dalam ucapan Paus Francis sendiri: “Saya tidak bisa melakukan reformasi itu sendirian karena saya sendiri adalah sangat tidak terorganisir.” Ini adalah cara eufemistik untuk mengungkapkan fakta bahwa kegemaran Bergogo selalu lebih bertujuan untuk menimbulkan gangguan daripada membangun. Slogannya yang terkenal untuk umat beriman adalah, "Hagan lío" – ciptakan sebuah kekacauan! Ini mungkin (atau tidak mungkin) menjadi nasihat yang bermanfaat bagi jiwa-jiwa yang bersemangat untuk keluar dari kemalasan dan kepuasan diri, tetapi itu bukanlah prinsip yang baik untuk mengatur Gereja, dan bahkan lebih merupakan cetak-biru bagi reformasi administrasi dari sebuah organisasi yang kesulitannya sudah dalam keadaan berantakan sejak sebelum Francis datang.

Paus Francis dengan demikian mendelegasikan proses reformasi kepada C9, tetapi di sini juga ada masalah. Sembilan kardinal ini adalah kelompok yang sangat berbeda; mereka tidak berprestasi dari catatan pribadi sebagai orang yang hebat sebagai administrator, dan sebagian besar mereka hanya memiliki sedikit pengalaman tentang Kuria. Karena itu, mereka membawa pengetahuan yang agak dangkal tentang kompleksitas yang harus mereka perbarui. Jika mereka berada di bawah paus yang menunjukkan kemampuan administratif yang kuat, mereka mungkin dipuji karena membawa pandangan luar yang segar; tetapi di bawah paus ini yang juga orang luar dari Kuria, mereka menunjukkan semua kelemahan sebuah komite tanpa kepemimpinan yang jelas. Di atas semua itu, pekerjaan mereka selalu dilumpuhkan oleh seorang paus yang lebih tertarik bermain permainan kekuasaan daripada mengawasi reformasi.

Salah satu aspek dari ini adalah bahwa banyak perubahan Paus Francis telah didorong oleh ideologi daripada efisiensi (misalnya tidak ada yang bisa mengatakan bahwa pemberhentian Kardinal Burke sebagai Prefek Segnatura Apostolik dilakukan atas pertimbangan integritas atau kompetensi) , tetapi fenomena yang ada, jauh lebih dalam dari itu, seperti yang akan dijelaskan dalam Bab 6.

Akibat dari kurangnya penilaian administratif yang baik adalah bahwa reformasi yang diusulkan terhuyung-huyung antara inersia di satu sisi dan radikalisme yang buruk di sisi lain. Contohnya adalah proposal yang dibuat pada bulan-bulan awal kepausan Francis untuk menurunkan Sekretariat Negara dan mengganti namanya menjadi Sekretaris Kepausan - yang merupakan kantor yang sama sekali berbeda. Baru-baru ini Kardinal Rodríguez Maradiaga telah mengusulkan menggabungkan tiga pengadilan Vatikan, Lembaga Pemasyarakatan, Rota dan Segnatura, ke dalam Dicastery of Justice. Tetapi salah satu fungsi Segnatura adalah untuk mendengar banding dari Rota, sehingga hakim yang sama akan ikut serta di dalam tingkat banding pertama maupun kedua. Sistem hukum yang hanya terdiri dari satu pengadilan adalah sebuah fenomena yang hanya ditemukan di negara-negara totaliter, dan proposal tersebut menunjukkan kurangnya pengetahuan dan penalaran dari orang-orang yang yang mengusulkannya. Di sisi lain, rencana untuk memecah dan mengkotak-kotakkan Sekretariat Negara, yang semula diusulkan, adalah reformasi yang sangat diperlukan bagi sebuah lembaga yang terlalu kuat. Pengabaian atas masalah ini bukan lantaran ketidakpraktisan, melainkan karena kepentingan pribadi dari Sekretariat Negara itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan dari Kongregasi yang lebih besar juga tidak dipertimbangkan oleh C9.

Beberapa contoh dari kekacauan dan ketidakefisienan yang telah menjadi ciri khas dari “reformasi” paus Francis dimuat dalam sebuah artikel pada bulan Juni 2017. Pada bulan September 2016 ‘Dewan untuk Awam, Keluarga dan Kehidupan’ secara resmi tidak ada lagi dan digabung ke dalam Dicastery baru di bawah Kardinal Kevin Farrell. Tetapi sekretarisnya baru ditunjuk pada Juni 2017; dimana dia tinggal di Brasil dan tidak akan bisa datang ke Roma selama beberapa bulan. Wakil sekretaris belum juga ditentukan. Ini adalah pos-pos kunci, dan tanpa pos itu dicastery tidak dapat mulai bekerja. Staf Dewan yang lama masih ada di sana, menunggu untuk diberhentikan, di tengah suasana yang oleh salah satu dari mereka, digambarkan sebagai "sebuah kekacauan yang tenang dan diam-diam."

Pada Agustus 2016 Dicastery baru untuk Mempromosikan Pembangunan Manusia Integral dibentuk, dan mulai berlaku sejak 1 Januari 2017, dan dengan Kardinal dari Afrika, Peter Turkson, sebagai Prefeknya. Dicastery ini seharusnya merupakan penggabungan dari Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, untuk Pelayanan Pastoral bagi Migran dan Orang-orang Pengungsi, dan untuk Bantuan Pastoral bagi Pekerja Perawatan Kesehatan, bersama dengan Cor Unum. Tetapi Kardinal Turkson (yang merupakan sarjana Alkitab tanpa pengalaman administrasi sama sekali) mengatakan bahwa tidak jelas baginya apa yang harus dilakukan Dicastery, dan dia masih menunggu perintah.

Merangkum hasil sedikit dari apa yang telah dicapai C9, seorang jurnalis mengutip komentar seorang kardinal dan seorang uskup agung yang telah bekerja di Kuria selama bertahun-tahun: “Sebuah reformasi seperti ini! Kita bisa mempersiapkannya sendiri, dalam waktu sesingkat sebuah pagi, sambil duduk di sebuah meja.”

Langkah lebih lanjut ke arah yang salah adalah hasil dari cara-cara yang tidak resmi dari paus Francis. Di masa lalu ada sistem yang menyediakan bagi setiap kepala dari sebuah lembaga Vatikan untuk bertemu dengan Paus secara teratur, biasanya dua kali sebulan; itu disebut udienza di tabella. Namun sekarang kebiasaan itu telah dihapus; para pejabat harus membuat janji khusus, dan mereka sering diberi tahu bahwa Paus terlalu sibuk. Dalam kasus pemecatan tiga pejabat Kongregasi untuk Ajaran Iman (28 Oktober 2016), Kardinal Müller berkali-kali meminta audiensi untuk memohon demi mereka, dan ketika dia akhirnya diberikan satu kesempatan untuk bertemu paus Francis, setelah dua atau tiga bulan terlambat.

Akibatnya adalah bahwa Sekretariat Negara telah menjadi penjaga gerbang, melalui siapa semua urusan harus lewat, dan menjadi filter antara Paus dan Kuria. Sekretariat Negara menjadi semakin kuat dari sebelumnya. Dan sementara hal seperti ini terus berlangsung, maka reformasi tidaklah mungkin.

Satu kesalahpahaman yang perlu dikoreksi dipromosikan oleh para jurnalis yang suka menggambarkan seorang paus liberal yang bertarung melawan sekelompok pejabat agama dan pejabat sentral. Ini adalah gagasan kuno bahwa Kuria terdiri dari kaum konservatif yang tujuannya adalah untuk melestarikan kekuasaan kepausan dan yang menentang reformasi liberal. Memang benar, jika kita merujuk kembali pada sketsa historis yang diberikan sebelumnya, tentang rezim yang dijalankan Kardinal Canali pada 1950-an, dan yang coba dipertahankan Kardinal Ottaviani setelahnya; tetapi Ottaviani secara komprehensif disingkirkan oleh Paus Paulus VI. Sebagai gantinya, Paul VI mengangkat seorang uskup Prancis sebagai Sekretaris Negara dari luar Kuria, Jean-Marie Villot (1969-79). Villot memperkenalkan sebuah rezim yang mungkin disebut birokratis menurut cara Prancis, tetapi yang tentu saja, tidak konservatif papalis, dan perubahan lama itu dibubarkan selamanya. Hal iIni belum tentu merupakan sebuah perbaikan, karena sistem lama, apa pun cacatnya, setidaknya didasarkan pada prinsip-prinsip moral, yaitu monarki kepausan tradisional. Para kardinal yang menonjol dalam Kuria sejak saat itu tidak terlalu bersikap konservatif, dan tidak menunjukkan perhatian khusus untuk menegakkan otoritas kepausan sebagai prinsip teologis. Jika kita melihat apa yang terjadi, itu adalah prinsip kepentingan pribadi mereka sebagai birokrat, dan karakteristik seperti itu tidak diganggu di bawah Paus Francis yang "liberal."

Kesalahan yang telah dijelaskan sejauh ini adalah hal-hal sepele yang relatif, dan paling buruk hal itu hanya menggambarkan kurangnya kompetensi Francis sebagai seorang pembaharu. Tetapi kenyataan yang sebenarnya adalah jauh lebih buruk. Ini termasuk adanya persaingan kacau serta konflik yang dihasilkan oleh cara-cara manipulativ Paus Francis, dan yang akan dijelaskan dalam Bagian 3 di bawah ini, karena mempengaruhi Sekretariat Negara, Sekretariat Ekonomi dan berbagai badan keuangan Vatikan. Dan keburukan meluas kepada keadaan moral Kuria, di mana gambaran-gambaran menakutkan seperti itu disampaikan kepada Benediktus XVI dua bulan sebelum dia turun tahta. Setiap gagasan bahwa Paus Francis telah menetapkan dirinya untuk mereformasi aspek itu, akan membuat Bergoglio semakin terasing.

Keberadaan lobi homoseksual di Vatikan, yang diungkapkan oleh laporan para kardinal pada Desember 2012, adalah skandal yang tidak pernah diatasi oleh Paus Francis, dan justru dia terkesan membiarkannya. Salah satu kasus yang paling terkenal adalah kasus Monsignor Battista Ricca, yang adalah uskup dari Istituto delle Opere di Religione. Monsinyur Ricca memulai kariernya sebagai anggota layanan diplomatik kepausan. Setelah bertugas di Bern, dia ditugaskan ke Uruguay pada tahun 1999 dan tanpa sungkan-sungkan dia membawa serta teman prianya (teman kencan homosex), yaitu seorang kapten jorok di Angkatan Darat Swiss yang bernama Patrick Haari. Memanfaatkan waktu jeda antara pengunduran diri nuncio (dubes Vatikan) yang lama dan kedatangan penggantinya, maka Mgr.Ricca menjadi pengganti sementara pada pos itu, dan dia tanpa ragu menempatkan pacar homosexnya, Haari, di kedutaan itu, dengan memberikan pekerjaan, gaji, dan penginapan. Nuncio baru, yang tiba di Montevideo pada awal tahun 2000, mencoba mengeluarkan Ricca dan Haari, tetapi yang pertama (Mgr.Ricca) ‘terlindung’ oleh persahabatannya dengan Uskup Agung (belakangan menjadi Kardinal) Re, yang pada waktu itu menjabat sebagai Sostituto di Sekretariat Negara.

Urusan syahwat adalah merupakan skandal terbuka bagi para klerus dan para biarawati yang mewarnai kedutaan besar Vatikan di Montevideo, tetapi tidak ada yang bisa dilakukan, bahkan meski Haari pernah dibawa pulang pada suatu malam oleh beberapa pastor dari sebuah rumah pertemuan homoseksual, di mana dia habis digebuki oleh beberapa preman kasar. Barulah ketika Mgr. Ricca sendiri tertangkap dalam sebuah lift bersama seorang pemuda yang telah dikenal polisi, pada Agustus 2001, maka dubes (nuncio) yang telah lama merasa tertekan dan menderita itu, mampu menyingkirkan bawahannya. (Dan di dalam koper Haari, ketika dia pergi, ditemukan penuh dengan kondom dan gambar serta alat-alat pornografi).

Setelah penugasan lebih lanjut ke Trinidad dan Tobago, di mana dia bertengkar dengan nuncio-nya, Mgr.Ricca akhirnya dikeluarkan dari dinas diplomatik aktif pada tahun 2005, dan dia diberi pekerjaan di Roma dengan status sebagai anggota dewan komisaris dari jabatan kedudukan tertinggi. Tanggung jawabnya termasuk pengelolaan rumah tamu para kardinal di Via della Scrofa, tempat yang sebenarnya diperuntukkan bagi Cardinal Bergoglio, tetapi dia tidak bersedia tinggal disitu, dan di mana dia kemudian terkenal karena membayar dengan uangnya sendiri tagihannya, pada pagi hari setelah pemilihannya. Mengingat bahwa Montevideo menghadap ke arah Buenos Aires di seberang mulut River Plate, tampaknya tidak mungkin bahwa Uskup Agung Kardinal saat itu tidak menyadari peristiwa yang terjadi dibawah tanggung jawab kedutaannya, tetapi hal itu tidak mencegahnya untuk memulai persahabatan dengan Monsignor Ricca, yang mendukungnya ketika Bergoglio terpilih menjadi Paus.

Dalam waktu tiga bulan sejak peristiwa itu, pada Juni 2013, Mgr. Ricca diangkat sebagai Prelate of the IOR, Bank Vatikan. Penunjukan itu menjadi bahan pertanyaan para wartawan kepada paus Francis beberapa minggu kemudian, dalam salah satu konferensi persnya yang dilakukan di atas pesawat terbang, ketika dia ditanyai tentang promosi seorang homoseksual yang terkenal kejam ini (Mgr.Ricca), dan kemudian pertanyaan itu mengingatkan orang akan komentar paus Francis yang terkenal itu: “Who am I to judge?” ("Siapakah saya hingga berhak menghakimi?") Kenyataannya, perlindungan paus Francis terhadap Mgr. Ricca memang cocok dengan pola yang sudah terjadi sejak sebelumnya ketika Francis menjadi Uskup Agung Buenos Aires, di mana dia mengelilingi dirinya dengan orang-orang yang secara moral adalah bobrok, sehingga membuat mereka berada di bawah pengaruh dan perintahnya.

Orang dapat mengatakan bahwa rata-rata orang Katolik yang saleh akan tersinggung jika mengetahui bahwa jabatan-jabatan tinggi di dalam Gereja diduduki oleh orang-orang yang melanggar kewajiban kesucian mereka secara terang-terangan, seperti yang dilakukan oleh Monsignor Ricca, dan yang sangat luar biasa, bahwa mereka tidak hanya ditoleransi perbuatannya, tetapi justru dilindungi dan dipromosikan. Dan situasi itu tidak hanya terus berlanjut tanpa pengawasan di bawah Paus Francis; bahkan hal itu tampak semakin memburuk. Pada bulan Oktober 2015 kami disuguhi tontonan seorang pejabat Kongregasi untuk Doktrin Iman, Mgr. Krzysztof Charamsa, yang dengan sombongnya mengundurkan diri dari posisinya, dan mengumumkan bahwa dia adalah seorang homoseks yang aktif, dan melontarkan, untuk konsumsi Pers, sebuah umpatan terhadap ajaran moral Gereja. Dia juga mengungkapkan terus terang keberadaan lobi homoseksual di dalam Kuria, yang memang terkenal, tetapi justru menerima dukungan dari dalam. Fakta penting dari kasus ini adalah bahwa Mgr. Charamsa telah bekerja selama bertahun-tahun sebagai penentang ajaran Gereja yang seolah-olah dia adalah juru bicaranya, dan juga bahwa, dengan semua pembicaraan tentang pembersihan Kuria, tidak ada upaya yang pernah dilakukan untuk menegur tokoh-tokoh seperti itu; memang butuh sikap yang tulus di pihaknya untuk berhenti dari jabatannya yang telah dia khianati dengan gamblang.

Uskup lain yang menerima ‘giliran’ yang memalukan adalah Monsinyur Luigi Capozzi, sekretaris dari Kardinal Coccopalmerio. Pada Juni 2017 Luigi Capozzi ditangkap oleh Gendarmeria (pihak keamanan) Vatikan karena dia menjadi tuan rumah bagi sebuah pesta narkoba di apartemen mewah milik Kardinal Coccopalmerio di Palazzo del Sant 'Uffizio, dan diketahui bahwa Luigi Capozzi menggunakan mobil Coccopalmerio yang berplat nomor Vatikan untuk mengangkut narkoba tanpa dihentikan oleh polisi Italia. Kemudian Kardinal Coccopalmerio, yang sama-sama terkenal karena menganjurkan toleransi terhadap homoseksualitas, dan mungkin juga karena dia adalah orang dekat paus Francis, telah mengusulkan kepada paus Francis agar asistennya yang terpercaya ini untuk memimpin sebuah keuskupan.

Makna yang lebih luas dari infiltrasi kebusukan ini adalah bahwa lobi homoseksual telah bekerja untuk mengubah Ajaran moral Gereja demi kepentingan kelompok mereka sendiri, dan ajaran moral yang baru itu, yang sesat itu, telah menjadi milik mereka dengan adanya kecenderungan liberalisasi yang diperkenalkan oleh Paus Francis. Sebagai contoh, Uskup Agung Bruno Forte menulis teks untuk Sinode tentang Keluarga pada tahun 2014, yang isinya berupa usulan untuk melonggarkan ajaran Katolik tentang homoseksualitas. Teksnya ditolak oleh Sinode, tetapi penolakan ini bukan karena tidak adanya upaya dari pihak Paus Francis untuk memajukan tujuan liberalisasi. Mungkin kasus yang bahkan lebih memalukan adalah dari Uskup Agung Vincenzo Paglia, yang luar biasanya dia adalah Presiden Dewan Kepausan untuk Keluarga dan yang baru-baru ini oleh paus Francis dia dijadikan Presiden Institut Studi untuk Pernikahan dan Keluarga John Paul II, sebuah badan yang dimaksudkan oleh Yohanes Paulus untuk melakukan pengawasan terhadap ajaran Gereja.

Pada bulan Desember 2014, Paus Francis memanfaatkan pertemuan Kuria untuk memberikan ucapan selamat Natal dan menyampaikan kepada mereka sebuah pidato panjang dan tajam, di mana dia menguraikan dengan detail, lima belas cara di mana mereka berbuat kebusukan. Pendekatan reformasi kuria ini menggambarkan selera paus Francis untuk mengomel terus-menerus dan melakukan penghinaan yang membedakan dirinya dengan tahun-tahun pertama pemerintahannya (dia tampaknya menyadari sekarang bahwa orang-orang sudah bosan dengan pidato-pidato itu); dimana dia juga jatuh ke dalam pola retorika terkenal yang dirancang untuk menunjukkan bahwa dirinya sebagai pembaharu radikal, namun tidak didukung oleh langkah-langkah praktis yang sesuai dengannya. Kebusukan sejati di dalam Kuria Roma, baik administratif maupun moral, bukanlah sesuatu yang sejauh ini ditunjukkan oleh Francis dengan melalui tindakan reformasinya; sebaliknya itu adalah kelemahan yang telah dia manfaatkan dan yang terus tumbuh di dalam masa  pemerintahannya.


2. Apa Yang Terjadi Dengan "Toleransi Nol" Bagi Para Klerus Pelaku Perbuatan Seksual?

Pada saat publik disadarkan pada laporan dari Herranz dan Tomko, atas apa yang disebut dalam pers sebagai "mafia gay" atau "lobi gay" di Vatikan, maka hal itu sudah sering diduga sebelumnya oleh orang banyak. Fenomena homoseksualitas yang meluas di kalangan klerus dan uskup telah menjadi pengetahuan umum sejak 2001 ketika Boston Globe memulai serangkaian paparan, dan meluncurkan masalah "skandal pelecehan seks kaum klerus" yang telah membentuk sebagian besar lanskap Katolik sejak saat itu. Realita dari pelecehan tersebut telah dikonfirmasi oleh John Jay Report, sebuah investigasi yang ditugaskan oleh Konferensi Uskup Katolik Amerika Serikat, yang diterbitkan pada tahun 2004, yang menemukan kenyataan bahwa lebih dari 80% korban adalah laki-laki remaja. Pada 2004, laporan-laporan juga mulai meledak dari keuskupan-keuskupan di seluruh dunia, dengan temuan-temuan serupa; Gereja, dengan standar apa pun, memiliki masalah besar. Pada 2012, keuskupan dan konferensi para uskup nasional di Australia, Kanada, Argentina, Brasil, Chili dan Meksiko, Filipina, India, dan sebagian besar Eropa, semuanya melaporkan pola yang sekarang sudah dikenal luas.

John Jay Report meliput periode dari tahun 1950 hingga 2002 dan mendapati bahwa pengaduan telah memuncak pada periode yang bertepatan dengan mode untuk mengabaikan atau membaharui pedoman penerimaan siswa seminari yang membuka kesempatan bagi kaum homoseksual untuk belajar dan ditahbiskan sebagai imam - tahun 1960 hingga 1980-an - suatu periode yang dapat disamakan oleh Bergoglio dengan Revolusi Seksual internal Gereja Katolik. Bahwa gelombang mendunia dari sikap permisif terhadap perbuatan seksual seperti ini, yang lagi trendi dan mengemuka di tahun 70-an ini, akan melangkahi kredibilitas Vatikan. Meskipun Francis telah mengabaikan laporan Herranz dan Tomko, tetapi petunjuk luas atas masalah ini menjadi jelas dengan munculnya Vatileaks 2012, yang mengungkapkan adanya jaringan homoseksual yang luas dengan dana yang besar, yang sedang beroperasi di dalam Kuria. Dokumen-dokumen itu mengungkapkan para pejabat pengadilan telah menyetujui properti-properti yang dimiliki Vatikan di Roma untuk digunakan sebagai rumah pelacuran gay yang ditujukan untuk para imam. Kisah-kisah di Roma dari wali gereja Vatikan yang mengusulkan untuk memasukkan para seminaris dan para rohaniwan yang lebih muda, sangat banyak. Dengan situasi seperti ini, tidak mengherankan bahwa seorang pria yang dikhususkan untuk melakukan intrik populis, seperti halnya Jorge Bergoglio, yang akan menempatkan pedoman "siapakah aku ini hingga berhak untuk menilai" yang dimilikinya, akan muncul di depan umum.

Terlepas dari upaya pers sekuler untuk memelototi kesalahan masa lalu dari Paus Benediktus, tetapi catatan tersebut menunjukkan bahwa mantan kepala CDF itu telah melakukan reformasi yang signifikan dan efektif, yang digambarkan di AS sebagai "kebijakan tanpa toleransi" (toleransi nol). Pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, setidaknya pada tahun 2001, masih menjadi subjek yang mampu menimbulkan kemarahan di kalangan publik, dan tuntutan untuk melakukan reformasi sangat keras. Tetapi bahkan pada saat itu lobi homoseksual, yang telah mendunia setelah diadopsi oleh LSM-LSM dalam PBB dan UE, telah menciptakan langkah besar dalam hal manajemen pencitraan. Media sekuler berkolaborasi, menciptakan perbedaan artifisial antara "klerus pedofil" yang menyeramkan dan mengerikan yang memangsa anak-anak, remaja lelaki dan perempuan pra-remaja, dengan gambaran baru yang dipoles hingga nampak indah tentang "lelaki gay" yang dapat diterima secara moral. Telah ditemukan bukti luas bahwa lobi LGBT juga berusaha untuk menurunkan batas usia legal untuk dianggap layak memberi persetujuan tindakan sexual, untuk anak laki-laki berusia 14 tahun, dimana usia-usia itu sangat disukai oleh para pelaku homoseksual klerus. Dalam konteks perubahan budaya yang lebih besar ini dan kenyataan yang ada di dalam Vatikan, mungkin dapat dimengerti bahwa reformasi Paus Benediktus - yang mencakup larangan terhadap laki-laki dengan kecenderungan homoseksual untuk masuk seminari - tidak banyak berhasil, bahkan sebelum larangan itu digerogoti oleh penggantinya.

Menurut data yang disajikan oleh CDF kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada Januari 2014, Benediktus XVI telah memecat atau menghentikan lebih dari 800 imam karena pelecehan seksual di masa lalu, antara 2009 dan 2012. Ini termasuk pastor Marcial Maciel, pendiri berpengaruh dari Legionaries of Christ yang di bawah paus sebelumnya telah menikmati kekebalan dari penyelidikan. Pada tahun 2011, CDF mengirim surat kepada konferensi para uskup dunia, meminta mereka untuk mengadopsi pedoman ketat tentang bagaimana menanggapi tuduhan yang mencakup bantuan kepada para korban, perlindungan anak di bawah umur, pendidikan pastor dan agama di masa depan, dan kolaborasi dengan otoritas sipil.

Pedoman tersebut mengharuskan para uskup untuk meneruskan semua kasus baru kepada otoritas sipil dan kepada CDF. Dalam surat pastoral Maret 2010 kepada umat Katolik Irlandia, Benedict mengkritik penerapan hukum Gereja yang lemah oleh para uskup, dimana kegagalan mereka telah "merusak secara serius kredibilitas dan efektivitas Anda sendiri." Dia mencatat adanya sebuah "kecenderungan yang salah arah" terhadap penerapan hukuman kanonik, yang katanya, disebabkan oleh "salah tafsir KV II."

Tetapi pedoman ini hanyalah pengulangan kalimat sebelumnya yang dianjurkan oleh Ratzinger, ketika dia menjabat  sebagai kepala Kongregasi untuk Ajaran Iman. Pada bulan April 2001, hanya beberapa bulan setelah skandal mulai pecah, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan norma-norma yang mengharuskan para uskup untuk melaporkan semua tuduhan terhadap klerus yang tergolong “delicta graviora” (pelanggaran berat) terhadap Perintah Allah yang keenam, kepada CDF, sebuah kompetensi yang dihapus dari Kongregasi untuk Klerus and the Roman Rota. Tiga minggu kemudian, Ratzinger telah mengirim surat kepada setiap uskup di dunia yang mengingatkan mereka tentang norma-norma dan bersikeras untuk melaksanakannya.

Tindakan paling tegas Paus Benediktus diambil dalam kasus seorang pastor yang telah lama diabaikan, pastor Marcial Maciel, pendiri ordo imamat yang sangat kaya, Legiun Kristus. Berbagai keluhan dan tuduhan telah menumpuk terhadap Maciel selama beberapa dekade, tetapi masyarakat tidak siap menghadapi kenyataan mengerikan - penipuan selama puluhan tahun yang telah dilakukan Maciel - yang akhirnya muncul keluar. Selama masa kepausan Yohanes Paulus II, Legiun Kristus dan Maciel menikmati bantuan paus dan dukungan dari Sekretaris Negara yang kuat, Kardinal Angelo Sodano, yang dilaporkan telah menerima banyak uang dari kelompok itu. Pada tahun 2004, menjelang akhir kepausan John Paul, Ratzinger telah memerintahkan penyelidikan CDF pada Maciel dibuka kembali dan akhirnya yakin ada substansi untuk melakukan klaim setelah kantornya mewawancarai lebih dari 100 mantan seminaris dan imam. Maciel mengundurkan diri sebagai kepala Legiun hanya beberapa hari sebelum kematian Yohanes Paulus II, di mana pada saat pemakaman itu, Kardinal Ratzinger mengecam "kebusukan" dari pencabulan seks kaum klerus yang telah tumbuh luas di dalam Gereja.

Penyelidikan berlanjut setelah Ratzinger terpilih sebagai paus dan pada bulan Mei 2006 CDF memerintahkan Maciel untuk "melepaskan segala bentuk pelayanan publik" dan untuk pensiun dan masuk ke dalam "kehidupan penyesalan dan doa yang dicadangkan baginya"; Maciel meninggal pada tahun 2008. Pada akhirnya diketahui bahwa pendiri Legiun Kristus itu  telah menjalani kehidupan ganda selama beberapa dekade; kecanduan morfin, pelecehan seksual terhadap anak laki-laki dan laki-laki muda, memelihara tiga orang gundik di dua negara dan menjadi ayah dari enam anak, dan semua kebejatan ini terlindung oleh kewajiban pengabdian kepada pendiri ordo (menjadi semacam kultus); dan didukung oleh uang yang disumbangkan kepada Legiun Kristus yang semula ditujukan bagi karya-karya religius.

Dengan suksesi Benediktus XVI, bahkan mereka yang tidak mendukung pihak "konservatif" di Gereja, merasakan perubahan besar. Michael Sean Winters, seorang kolumnis di National Catholic Reporter, memuji Benediktus karena berfokus memeriksa orang-orang yang telah melindungi para pelaku. Dia menyebut bahwa penekanan sebelumnya pada pelaku pencabulan, adalah "pendekatan yang sama sekali tidak efektif." Pencabulan anak di bawah umur, katanya, "mengerikan" tetapi "yang menyakitkan, yang benar-benar menimbulkan rasa pengkhianatan, adalah bahwa para uskup tidak menanggapi perbuatan ini dengan ketegasan yang sesuai."

Kesediaan Benediktus untuk meminta pertanggungjawaban para uskup adalah apa yang diperlukan untuk memperbaiki gereja,” kata Winters. "Paus Benediktus telah mendapatkannya. Dan dia telah memberi tahu bahwa para uskup yang tidak bertanggung-jawab akan diganti." Ini dikonfirmasikan beberapa hari sebelum pengunduran diri Benediktus diberlakukan oleh anggota senior korps diplomatik Vatikan, Uskup Agung Miguel Maury Buendia, yang mengatakan, "Paus Benediktus ini telah memindahkan dua atau tiga uskup per bulan di seluruh dunia ... Ada dua atau tiga contoh di mana mereka mengatakan tidak, tetapi Paus tetap memindahkan mereka."

Terlepas dari pengakuan lisan dari Paus yang baru (paus Francis), reformasi akuntabilitas ini tampaknya telah menguap begitu saja setelah pengunduran diri Benediktus. Bahkan, bagi mereka yang menaruh perhatian, Francis mulai memberi tanda ‘arah yang baru’ segera, dengan memilih untuk menghormati salah satu uskup yang paling terkenal mendukung liberalisasi; seperti yang telah dicatat di atas, Kardinal Danneels, untuk muncul bersama paus baru di balkon di Basilika Santo Petrus pada malam pemilihannya.

Anne Barrett Doyle, co-direktur Akuntabilitas Uskup, berkomentar: “Tidak ada paus lainnya yang berbicara dengan penuh semangat tentang kejahatan pelecehan seks anak seperti Francis. Tidak ada paus lain yang sering menyebut 'toleransi nol'.“ Namun demi nama tema favoritnya, "belas kasihan," Francis dengan tegas memutuskan program reformasi Ratzinger / Benediktus, mengurangi hukuman bagi para imam pelaku kebusukan pencabulan, menjadi hukuman yang hanya berupa "doa seumur hidup" dan pembatasan dalam merayakan Misa. Pada Februari 2017 terungkap bahwa Francis “diam-diam mengurangi sanksi terhadap segelintir imam pedofil, dengan alasan menerapkan visinya tentang gereja yang berbelaskasih, bahkan terhadap pelanggar terburuk sekalipun.”

Kasus yang sangat terkenal adalah keputusan Francis untuk menolak hukuman CDF terhadap pastor Italia, Mauro Inzoli, yang dinyatakan bersalah pada tahun 2012 oleh pengadilan gerejawi, dengan kesalahan yang berupa pencabulan terhadap anak laki-laki seusia dua belas tahun dan dia menangguhkan peningkatan karirnya. Inzoli telah membuat marah orang-orang Italia karena sikapnya yang kasar - dia mencabuli anak laki-laki di ruang pengakuan dan meyakinkan mereka bahwa pencabulan seksualnya itu disetujui oleh Tuhan - dan kecintaannya pada gaya hidup yang mewah telah memberinya julukan "Don Mercedes" di media.

Tetapi pada tahun 2014, setelah naik banding yang dilakukan oleh teman-teman Inzoli di dalam kuria, Francis mengurangi hukuman imam itu menjadi "doa seumur hidup," dan janji untuk menjauh dari anak-anak, memberinya izin untuk merayakan Misa secara pribadi. Francis juga memerintahkannya untuk menjalani lima tahun psikoterapi, suatu pendekatan medis yang disukai oleh para uskup pada puncak tahun-tahun krisis pencabulan seksual, dan terbukti bahwa tindakan itu tidak banyak berpengaruh.

Dua teman Inzoli di dalam curia akan menjadi tokoh penting dalam pertengkaran kemudian antara Francis dan para pengkritiknya di dalam kolese para kardinal atas Amoris Laetitia. Kardinal Coccopalmerio, mantan uskup auksilier untuk Kardinal Martini, adalah presiden Dewan Kepausan untuk Teks Legislatif dan Mgr. Pio Vito Pinto yang sekarang menjadi dekan Rota Romawi. Kedua prelatus ini telah menjadi tokoh kunci dalam mendukung Francis melawan kritikan terhadap Amoris Laetitia, yang kebetulan termasuk dalam pengkritik itu adalah Kardinal Müller, prefek CDF. Seorang jurnalis berkomentar: "Paus Francis, dengan mengikuti saran dari kelompok sekutunya di kuria, mendesak untuk membatalkan reformasi yang dilembagakan oleh pendahulunya, John Paul II dan Benediktus XVI, dalam menangani kasus-kasus para imam pelaku pencabulan."

Kelonggaran ini, bagaimanapun, menjadi bumerang dan setelah pengaduan dari kota asal Inzoli, Cremona, polisi membuka kembali kasusnya. Dia diadili dan dihukum, dan dijatuhi hukuman empat tahun sembilan bulan penjara karena "lebih dari seratus episode" mencabuli lima anak laki-laki, berusia 12-16. Lima belas pelanggaran lainnya berada di luar undang-undang pembatasan ini. Setelah upaya pembelaan Inzoli di pengadilan sipil, Vatikan telah terlambat untuk memulai uji coba pengadilan kanonik yang baru.

Desas-desus bahwa Francis berniat untuk menyerahkan pengurusan kasus-kasus pelecehan seks kembali dari Cardinal Müller kepada Rota Romawi dan Kongregasi untuk Klerus, terus beredar sampai pemecatan kardinal Müller dilakukan pada bulan Juli 2017. Nicole Winfield dari Associated Press mencatat bahwa Francis juga telah menolak usulan majelis pengadilan para uskup, yang diminta oleh komisi yang menangani pelecehan sex yang dibentuknya sendiri, dan kemudian paus Francis memindahkan dua staf CDF yang bertugas menangani kasus-kasus semacam itu, dan menolak memberikan alasan apa pun kepada Cardinal Müller. Saran lain dari komisi, yang berupa pedoman untuk keuskupan dalam menangani klaim pencabulan, tidak pernah sampai pada konferensi para uskup atau bahkan dimuat dalam situs web Vatikan. Pendekatan baru Francis ini dikritik oleh seorang korban pencabulan karena komisi penasehat pelecehan seksual yang dibentuk oleh Francis ternyata dibaikan sendiri olehnya. Marie Collins, yang kemudian mengundurkan diri dari komisi tersebut, mengutip budaya birokrasi Vatikan yang selalu menghalangi dan tidak bertindak apa-apa, dan dia mengatakan bahwa model seperti itu tidaklah tepat. "Semua orang yang melakukan pencabulan, melakukan hal itu secara sadar," kata Collins kepada Associated Press. “Bahkan terhadap mereka yang pedofil, para ahli akan memberi tahu Anda, bahwa para pelakunya masih harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Karena sesungguhnya mereka dapat menolak kecenderungan mereka yang jelek itu."

Kasus Inzoli, bukanlah kasus sendirian. Winfield menulis bahwa "dua pengacara kanon dan seorang pejabat gereja" mengatakan kepadanya bahwa penekanan paus Francis pada "belas kasihan" telah menciptakan lingkungan di mana "beberapa" imam yang berada di bawah sanksi kanonik yang dikenakan oleh CDF, telah berhasil mengajukan banding kepada Francis untuk mendapatkan grasi melalui koneksi kurial yang kuat. Seorang pejabat yang tidak disebutkan namanya itu mencatat bahwa permohonan semacam itu jarang berhasil ketika Benediktus XVI memerintah, dimana dia telah melepaskan lebih dari 800 imam dari perutusan mereka.

Masih ada pertanyaan lain tentang pengetahuan dan keterlibatan Bergoglio dalam kasus, yang telah berlangsung selama beberapa dekade, pelecehan seksual terhadap siswa oleh para pastor di Antonio Provolo Institute, sebuah sekolah untuk anak-anak tunarungu di Argentina dan Verona, Italia. Nicola Corradi dan Horacio Corbacho ditangkap pada 2016 di Argentina, setelah 24 mantan mahasiswa institut itu mengajukan pengaduan, mulai tahun 2009. Meskipun keuskupan Verona secara resmi meminta maaf kepada para korban Italia dari imam yang sama di sekolah itu di sana, setelah Benedictus memerintahkan penyelidikan, tetapi Vatikan tidak melakukan tindakan apa pun sejak itu. Bahkan setelah siswa yang bernama Corradi, dalam sepucuk surat kepada Francis pada tahun 2014, memintanya untuk membentuk sebuah komisi investigasi. Satu-satunya tanggapan yang diterima kelompok korban pencabulan itu dari Roma adalah surat dari Uskup Agung Angelo Becciu yang mengatakan bahwa permintaan dibentuknya komisi itu telah diteruskan ke konferensi para uskup Italia. Asosiasi Provolo mengatakan kepada kantor berita Associated pada tahun 2016: "Sampai sekarang, tidak ada apa pun yang terjadi."

“Kita harus bertanya pada diri sendiri: Paus, yang selama bertahun-tahun menjadi kepala gereja Argentina, apakah dia tidak tahu apa-apa tentang pencabulan yang dilakukan para klerus di negaranya?” Pengacara untuk kelompok korban itu, Carlos Lombardi, mengatakan kepada pers, “Apakah dia hidup di luar realitas ini atau dia bersikap sangat sinis ... tetapi semua itu adalah sebuah ejekan. "


3. Apa Yang Terjadi Pada Reformasi Keuangan Vatikan?

Masalah korupsi. Tidaklah mengherankan bahwa kasus korupsi terburuk di Kuria selalu terjadi di departemen yang mengelola uang, baik karena godaan pribadi atas kekayaan, dan karena pejabat di departemen itu tidak mengetahui soal bisnis dan keuangan dunia, hingga mereka berada dalam bahaya terus-menerus untuk ditarik ke dalam metode karakter yang meragukan atau ilegalitas langsung. Tuduhan-tuduhan kriminal yang diungkapkan Uskup Agung Marcinkus dan Uskup de Bonis pada tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan telah disebutkan, tetapi, luar biasanya, peringatan-peringatan itu tidak digubris di Vatikan. Sebaliknya, telah ada berbagai tanda bahwa budaya ketamakan dan ketidakjujuran semakin memburuk dalam dua puluh tahun sebelum pemilihan Paus Fransiskus ke Tahta Suci.

Contoh mencolok dari hal itu muncul dalam waktu tiga bulan dari peristiwa itu. Ini adalah kasus Mgr. Nunzio Scarano, kepala akuntan di APSA (Amministrazione del Patrimonio della Sede Apostolica), yang ditangkap pada Juni 2013 dengan tuduhan mencoba menyelundupkan 22 juta euro dari Swiss ke Italia dengan sebuah jet pribadi. Dalam penyelidikan terungkap bahwa Mgr. Scarano telah bertahun-tahun menjalani kehidupan mewah yang didanai oleh imbalan dari penunjukannya bertugas di Vatikan. Dia tinggal di apartemen tujuh belas kamar di Salerno yang penuh dengan karya seni, termasuk Van Gogh dan Chagall, dan dikenal sebagai "Monsignor 500" yang diilhami dari uang kertas 500 euro di mana dia terkenal melakukan transaksi.

Sebagai kaki tangan dalam rencana penyelundupan uangnya, Mgr. Scarano melakukan kesalahan dengan memilih seorang agen dinas rahasia Italia, Giovanni Mario Zito, yang dia bayar sebesar € 217.000 untuk perannya. Ketika Zito mengungkapkan rencana itu kepada pihak berwenang, Scarano membantah kesalahannya dan menjelaskan tentang uang 217.000 euro itu dengan menuduh Zito mencuri uang itu dari dirinya. Pada persidangan Scarano pada Januari 2016, tuduhan penyelundupan uang telah gagal hanya dengan alasan bahwa rencana tersebut tidak dilaksanakan olehnya, tetapi Scarano dihukum karena pencemaran nama baik karena tuduhan yang dia lakukan terhadap Zito.

Kasus Scarano meledak tidak hanya sebagai contoh individuil tetapi karena Mgr. Scarano segera mulai membuat tuduhan kesalahan keuangan yang meluas di Vatikan. Dia mengungkapkan bahwa pejabat APSA secara rutin menerima hadiah dari bank yang ingin menarik uang Vatikan, termasuk perjalanan, hotel bintang lima dan pijat. Mereka melakukan praktiknya dengan sering mentransfer dana dari satu bank ke bank lain, sebagian untuk menjaga agar manfaat uangnya tetap mengalir. Mgr. Scarano juga berbicara tentang kecurangan yang dilakukan oleh pejabat APSA dalam proses penawaran untuk berbagai kontrak yang konon kompetitif hingga mendapatkan keuntungan.

Benediktus XVI telah memulai proses reformasi: dia menciptakan Otoritas Informasi Keuangan untuk memastikan transparansi, dan dia mengambil keputusan untuk memanggil Moneyval, badan Dewan Eropa untuk melawan tindak pencucian uang, untuk mengaudit badan keuangan Kuria, dan dengan demikian menundukkan Vatikanpd inspeksi dari pihak luar, pertama dalam sejarahnya. Segala masalah keuangan mungkin telah berhenti disitu, namun pengakuan Scarano mungkin merupakan pemicu untuk melakukan tinjauan yang lebih luas. Pada bulan Juli 2013, Paus Fransiskus mendirikan Pontificia Commissione Referente di Studio e di Indirizzo sull'Organizzazione della Struttura Economica, Administrativa della Santa Sede. Komisi ini memerintahkan sejumlah konsultan guna menganalisis badan-badan tertentu di dalam kuria, di mana sebuah penjelasan singkat diperlukan.


Badan-Badan Keuangan Vatikan

Amministrazione del Patrimonio della Sede Apostolica (APSA) adalah merupakan bendahara dan departemen akuntansi umum Vatikan. Badan itu memiliki "bagian biasa", yang bertanggung jawab untuk mengelola kepemilikan properti Takhta Suci, dengan sebuah kantor pembelian, dan "bagian luar biasa" yang mengawasi portofolio investasi besar.

The Istituto per le Opere di Religione (IOR) secara populer dikenal sebagai "Bank Vatikan", yang menjalankan fungsi sebagaimana sebuah bank. Badan ini mengelola akun yang seharusnya untuk badan atau individu yang terhubung dengan Vatikan, tetapi penyelidikan pada 2013 menunjukkan bahwa sejumlah besar fungsinya dipegang oleh orang-orang di luar Vatikan, mungkin untuk keperluan penggelapan pajak. Ada ribuan akun tiba-tiba ditutup saat ini. Pada bulan Juli 2013, kepala IOR, Ernst von Freyberg, secara terbuka mengakui bahwa pencucian uang adalah salah satu kegiatan yang diijinkan karena tidak adanya kendali, dan von Freyberg menyebut Mgr. Scarano sebagai "profesional sejati dalam pencucian uang".

Badan lain yang perlu dipertimbangkan adalah Gubernur Negara Kota Vatikan, yang bertanggung jawab atas sejumlah besar uang yang mengalir dari semua museum dan berbagai toko dan supermarket di Kota Vatikan.

Di atas dan melebihi hal ini adalah Sekretariat Negara, yang seperti dikatakan sebelumnya, telah memperoleh peningkatan kekuasaan dalam setengah abad terakhir sebagai badan dengan otoritas atas semua departemen kurial. Secara khusus, Kardinal Bertone, sebagai bagian untuk menciptakan kerajaannya, antara tahun 2006 dan 2013, telah sangat berhati-hati membangun kendali atas setiap aspek keuangan Vatikan. Beberapa departemen yang memiliki relevansi khusus adalah Prefektur Urusan Ekonomi Tahta Suci (yang tanggung jawabnya akan diambil alih oleh Sekretariat Ekonomi baru pada tahun 2015), Kongregasi Propaganda Fide, yang memiliki anggaran sangat besar, dan Kongregasi untuk Pengesahan Orang-orang Kudus, karena sejumlah besar nama yang mengalir masuk guna meneliti proses beatifikasi dan kanonisasi – ini adalah sebuah kegiatan yang menjadi bisnis besar dengan peningkatan proses semacam itu di bawah Yohanes Paulus II.


Reformasi Setengah Hati

Pada Februari 2014, penyelidikan oleh Komisi yang dibentuk musim panas sebelumnya, telah mengungkapkan, antara lain, bahwa 94 juta euro telah ditemukan di Sekretariat Negara yang tidak dicatat dalam laporan keuangan. Ini membuktikan adanya sebuah puncak dari gunung es. Atas dasar konsultasi yang telah dibuat, Dewan membuat rekomendasi komprehensif untuk melakukan reformasi struktur keuangan Vatikan. Sebagai sebuah badan pengawas umum, ia memiliki sebuah Dewan untuk urusan ekonomi, dengan keanggotaan internasional yang terdiri atas delapan orang prelatus dan tujuh umat awam, untuk bertemu setiap dua bulan. Reformasi struktural yang paling radikal adalah pembentukan Sekretariat Ekonomi, dengan kekuasaan yang sangat luas. Badan itu harus sejajar dengan Sekretariat Negara, melapor langsung kepada Paus, dan hal itu adalah untuk mengambil alih tanggung jawab yang luas yang sampai saat ini berada di tangan badan-badan lain. Badan ini akan mencakup tugas dari Prefektur Urusan Ekonomi dan akan mengambil alih dari APSA seluruh "bagian biasa", pengelolaan real estate dan personil. Bahkan yang lebih ambisius, Badan itu akan memikul tanggung jawab keuangan dan sumber daya manusia dari Sekretariat Negara - bagian dari pemangkasan komprehensif dari kekuasaan Sekretariat Negara yang sedang diusulkan pada saat itu.

Tetapi para Kardinal di jantung Kuria terlalu kuat untuk mengizinkan pergolakan seperti itu. Kardinal Parolin, yang diangkat paus Francis sebagai Sekretaris Negara pada Oktober 2013, berjuang keras demi kepentingan kantornya yang sangat kuat. Mitos bahwa paus Francis adalah reformis radikal yang mengesampingkan kepentingan pribadi, telah dibantah oleh apa yang terjadi selanjutnya. Saat itu tidak ada tindakan lain yang lebih mudah daripada menerima rencana yang dibuat atas rekomendasi dari perusahaan konsultan terkemuka - KPMG, McKinsey & Co., Ernst & Young, Promontory Financial Group - dengan kompetensi yang diakui untuk memberi nasihat tentang efisiensi dan transparansi. Tetapi paus Francis mengizinkan sekelompok kardinal untuk melumpuhkan reformasi itu sejak awal. Garis utamanya diberlakukan - pembentukan Dewan dan Sekretariat untuk Ekonomi - tetapi bagian-bagian penting dibuang. Sebagai contoh, telah ditunjukkan bahwa sebuah badan administrasi murni, seperti APSA, tidak perlu memiliki seorang kardinal; tetapi keuntungan ini terlalu berharga untuk dilepaskan, dan APSA terus dipimpin oleh seorang kardinal (Domenico Calcagno, yang berbagai tindakannya akan segera dibahas). APSA tidak menyerahkan pengelolaan real estatnya kepada Sekretariat Ekonomi, meskipun ia menyerahkan kendali atas pendapatan sewa. Gubernur dan Kongregasi Propaganda tetap otonom. Sekretariat Negara menolak semua upaya untuk memotong peranannya, dan di bidang keuangan ia mempertahankan kendali "Peter's Pence", sumbangan yang diberikan kepada Tahta Suci oleh umat beriman di seluruh dunia, yang menghasilkan pemasukan lebih dari 50 juta euro per tahun.

Kardinal Australia, George Pell, yang memiliki reputasi sebagai administrator yang tangguh, diangkat menjadi kepala Sekretariat Ekonomi pada Februari 2014, dengan mandat selama lima tahun. Bersama sekutunya, seorang umat awam Prancis, Jean Baptiste de Franssu, yang bertanggung jawab atas IOR, Pell dengan cepat mulai memberi dampak pada urusan Vatikan. Dalam beberapa bulan, Kardinal yang blak-blakan mengumumkan bahwa dia telah menemukan 936 juta euro di berbagai dikasteri Vatikan yang belum dimasukkan dalam neraca, dan pada Februari 2015 angka itu telah naik menjadi 1,4 miliar. Namun fakta ini tidak membuatnya semakin populer di kalangan pejabat di sekitarnya. Kardinal Pell tidak pernah menjadi ahli dalam hal gaya diplomatik, dan orang-orang Italia tidak terbiasa dengan sosok Anglo-Saxon yang blak-blakan, meskipun jujur, yang sebuah contohnya telah diberikan pada mereka.


Pengawal Lama

Oposisi terhadap Kardinal Pell telah dipimpin oleh empat orang kardinal, yang selain suka menghambat reformasi keuangan, tetapi juga ingin mengembalikan struktur Vatikan ke posisi sebelum Pell muncul. Kita dapat memulai berbicara tentang Kardinal Domenico Calcagno, yang telah menjadi presiden APSA sejak 2011 dan yang merupakan kardinal paling memalukan dari keempatnya. Gianluigi Nuzzi, dalam salah satu komentarnya yang lebih blak-blakan, menggambarkan Calcagno sebagai "wali gereja yang licik dan ahli dalam rahasia-rahasia Kuria."
Sebelum diangkat dalam Kuria, Calcagno adalah Uskup Savona, di mana antara tahun 2002 dan 2003 dia telah berulang kali mengabaikan laporan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur oleh salah seorang pastor, dan dia hanya memindahkannya ke paroki lain. Yang lebih mengejutkan adalah bahwa Calcagno masih berada dalam status penyelidikan atas transaksi real-estate yang membahayakan keuangan keuskupan. Ini adalah sebuah komentar tentang kepausan Francis bahwa orang-orang dengan latar belakang seperti itu dianggap tidak sesuai memegang salah satu pos keuangan utama di Vatikan.

Kardinal lain, yang pada pandangan pertama mungkin tampak telah menghilang dari bidang keuangan, adalah Giuseppe Versaldi, yang adalah Presiden Prefektur Urusan Ekonomi dari 2011 hingga 2015. Pada tahun 2014, Kardinal Versaldi terpantau dalam sebuah panggilan telepon yang meminta kepada kepala rumah sakit Bambino Gesù di Vatikan, agar merahasiakan dari paus, berita bahwa 30 juta euro dana rumah sakit telah disalahgunakan. Respons terhadap temuan ini, setahun setelah kepausan Paus Francis, tampak ringan-ringan saja. Kardinal Versaldi kehilangan posisi sebagai Prefektur Urusan Ekonomi tetapi diganjar penghargaan karena diangkat menjadi Prefek Kongregasi untuk Pendidikan Katolik, posisi yang masih dipegangnya. Dari sana dia mempertahankan hubungan yang konstan dengan Kardinal Calcagno dan tidak berusaha untuk memulihkan kekuasaannya sebelumnya.

Kardinal ketiga yang harus diperhatikan adalah Giuseppe Bertello, Presiden Gubernur dari Negara Kota Vatikan, yang kurang antusias terhadap transparansi, yang sudah terlihat pada tahap awal upaya reformasi. Gianluigi Nuzzi menguraikan berbagai tanggapan yang menghalang-halangi, yang disampaikannya bersama dengan Sekretaris Jenderal, pada akhir 2013, terhadap permintaan informasi keuangan yang dibuat oleh Komisi untuk reformasi. Kesamaan yang dimiliki Calcagno, Versaldi dan Bertello adalah bahwa mereka semua dibawa ke Vatikan oleh Kardinal Bertone ketika dia menjadi Sekretaris Negara. Asosiasi ini dianggap beracun pada tahap pertama kepausan Francis, dan diduga bahwa kepala mereka akan segera ‘copot’. Namun faktanya, mereka masih berkuasa dan telah menunjukkan ketahanan luar biasa.

Di atas ketiga orang ini adalah Sekretaris Negara, Kardinal Pietro Parolin. Perlawanannya terhadap rezim transparansi yang baru yang diperkenalkan oleh Paus Francis, telah didokumentasikan oleh Gianluigi Nuzzi, tetapi karakteristik utamanya adalah tekadnya untuk tidak melepaskan satu ons pun dari kekuatannya yang besar. Karena itu, dia segera mengidentifikasi Kardinal Pell sebagai musuh utamanya, dan dia telah mengabdikan dirinya dalam tiga tahun terakhir untuk menghentikan usahanya pada reformasi dan memotong kekuatannya. Dalam hal ini, paus Francis telah memberinya kebebasan, berulang kali mengabulkan tuntutannya untuk menghancurkan struktur keuangan baru yang tampaknya akan diberlakukan pada tahun 2014.

Perlu dicatat bahwa tidak satu pun dari empat kardinal yang diuraikan di atas dapat dianggap mewakili kasta kurialis yang dikhususkan untuk menjaga kontrol terhadap paus yang sedang melakukan reformasi. Mereka semua sampai di pos mereka baru-baru ini, Cardinals Calcagno, Versaldi dan Bertello telah dipasang disitu oleh Sekretaris Negara, Bertone, pada tahun yang sama, 2011, sedangkan Kardinal Parolin diangkat oleh Paus Francis sendiri pada tahun 2013. Yang mereka perjuangkan adalah bukan sistem pemerintahan tradisional tetapi sistem yang sampai pada bentuknya sekarang, bersama dengan semua bentuk penyalahgunaannya, di zaman yang sangat modern ini.


Membalik Reformasi

Kunci dari pembalikan reformasi yang dirancang pada tahun 2014 terletak pada kontras dalam kecakapan politik antara Cardinal Pell dan empat kardinal yang berhadapan dengannya. Sebagai orang Anglo-Saxon, George Pell memiliki asumsi budaya parlementer: reformasi struktur Vatikan telah diputuskan oleh otoritas hukum, para pejabat jelas akan menghormati kebijakan dan tugas untuk melaksanakannya, dan yang harus dilakukan hanyalah melanjutkannya. Kesalahan itu tidak dilakukan oleh Cardinals Parolin, Calcagno, Versaldi dan Bertello. Mereka adalah orang Italia, dan dari mana mereka berasal, telah ada perbedaan besar antara apa yang akan dilakukan oleh administrasi dan apa yang ingin dilakukan mereka. Di atas segalanya, pelajaran sejarah dari sistem peradilan para pangeran Italia, tak terkecuali peradilan kepausan, telah ada di sumsum tulang mereka. Di bidang itu, suatu hasil tidak dilakukan melalui debat dan resolusi administratif, tetapi diperoleh dengan memiliki telinga raja, mengunjungi sang saja hari demi hari, dan memberikan nasehat yang masuk akal terus-menerus ke telinganya. Itulah jalan yang telah mereka ikuti dengan sangat sukses.

Skandal utama selama empat tahun terakhir adalah cara APSA, di bawah Kardinal Calcagno, mampu mendapatkan kembali kekuasaannya. Sementara perhatian media sedang difokuskan pada IOR (hal ini bisa dimengerti, mengingat kesalahan masa lalunya), tetapi tidak diperhatikan bahwa APSA sendiri telah beroperasi sebagai "Bank Vatikan" paralel, dan telah lolos dari reformasi yang menjadi sasaran IOR. APSA telah lama mengelola akun untuk pelanggan pribadi dan membuka akun berkode untuk mereka di bank-bank Swiss (tidak diketahui apakah saat ini masih berlangsung). Hal ini telah menjadi sumber favorit bagi orang Italia yang kaya, yang memungkinkan mereka untuk memasukkan uang ke dalam dana investasi dan menghindari membayar pajak. Dalam layanan ini, APSA bertindak dalam persaingan dengan lembaga saudaranya sendiri dalam pencarian pelanggan, dengan para pejabatnya diketahui meyakinkan para investor bahwa APSA akan mengungguli IOR. Ada alasan untuk meyakini bahwa selama ini APSA, bukan IOR, yang merupakan pabrik kriminalitas nyata dalam keuangan Vatikan. Di bawah Kardinal Calcagno, APSA telah mengabaikan upaya reformasi dengan berbuat kurang ajar, sementara itu mereka juga telah menentang aturan ekonomi baru dengan melibatkan konsultan eksternal dan pengacara mahal untuk membantunya menutup masa lalunya yang suram. Adapun Paus Francis, dia telah berulang kali diberitahu akan semua ini, tetapi tidak mengambil tindakan apa pun.

Ketidakjujuran, atau setidaknya, manfaat besar atas ketidakmampuan mereka, adalah bahan baku bagi skandal yang muncul pada 2016. Sekitar lima belas tahun yang lalu, pengelolaan kepemilikan real-estate besar the Basilica of St.Peter dilepaskan dari the Canons dan diserahkan kepada APSA. Portofolio mencakup sekitar 300 properti, terutama di Roma tengah, sering kali bernilai sejarah tinggi. Pada tahun 2016 ditemukan bahwa ada sekitar 80 apartemen yang ditinggalkan begitu saja. Banyak dari properti lain dilepaskan dengan harga murah yang tidak masuk akal, atau harga sewanya tidak dibayar oleh penyewa dan dibiarkan tidak tertagih; kadang-kadang sewa preferensial merupakan cara yang sah untuk memastikan akomodasi di Roma kepada karyawan Gereja, tetapi seringkali aturan yang disepakati telah digunakan demi keuntungan pribadi secara tidak sah. Akibatnya adalah bahwa pendapatan dari warisan yang kaya ini telah berubah menjadi defisit 700.000 euro, dan the Canons of St.Peter diberitahu pada 2016 bahwa mereka tidak dapat memilih anggota baru karena tidak ada dana untuk membayar mereka.

Ini hanyalah salah satu aspek dari rezim yang berlaku di APSA. Kardinal Pell telah berulang kali meminta Paus untuk pemberhentian Kardinal Calcagno, dan Francis menjawab bahwa dia akan memecatnya jika bukti ditunjukkan. Sebenarnya berbagai bukti telah diserahkan kepada paus Francis tetapi Calcagno terus saja dilindungi. Calcagno tahu bagaimana cara memperoleh keistimewaan dari paus, dan sudah lama dia sering makan bersama paus, hampir setiap malam. Dalam perang melawan Pell, Kardinal Calcagno sering menang; dia berhasil mengembalikan kepada APSA pengawasan aset keuangan Vatikan yang sebelumnya telah diserahkan ke Sekretariat Ekonomi.

Dorongan melawan korupsi di Vatikan telah dikurangi menjadi olok-olok oleh para pejabat yang terus memegang jabatan tinggi. Tanda yang paling jelas adalah kenyataan bahwa tidak satu pun penuntutan atas kejahatan keuangan telah dilakukan di Pengadilan Negara Kota Vatikan di bawah paus Francis. Badan pengawas Vatikan, Otoritas Informasi Keuangan, telah mengirim 17 laporan ke Kantor Promotor Keadilan, tetapi tidak satupun dari laporan itu yang menghasilkan penuntutan, apalagi hukuman. Kita dapat membandingkan ini dengan nasib Mgr. Lucio Vallejo, mantan Sekretaris Prefektur untuk Urusan Ekonomi, yang diadili pada musim panas 2016 dan dijatuhi hukuman 18 bulan penjara (yang dia jalani di dalam sel Vatikan sendiri) karena dia telah merilis dokumen rahasia untuk Gianluigi Nuzzi, dengan maksud untuk mengungkap reformasi yang cacat. Pada saat yang sama, pembantunya, Francesca Chaouqui, dijatuhi hukuman hukuman sepuluh bulan. Keduanya adalah satu-satunya penuntutan yang dihasilkan oleh semua skandal keuangan Vatikan. Pesannya adalah jelas: kejahatan keuangan tetap ada dalam arsip Vatikan tanpa batas waktu; jika Anda membongkar kejahatan ini, maka Andalah yang akan dikejar-kejar dengan kencang.

Tanda awal bahwa reformasi keuangan ditolak adalah nasib dari audit komprehensif yang diperkenalkan oleh Cardinal Pell. Pada bulan Desember 2015, diputuskan bahwa PricewaterhouseCoopers akan melakukan audit luar terhadap semua badan Vatikan, dan ini segera dimulai. Namun setelah empat bulan penangguhannya diumumkan, tanpa alasan, pada Juni 2016 secara resmi audit itu dibatalkan. Langkah itu datang dari Kardinal Parolin sendiri, dimana yang menjadi Sostituto, Uskup Agung Becciu, menelepon PricewaterhouseCoopers untuk memberi tahu mereka bahwa audit itu tidak boleh diterapkan pada Sekretariat Negara, sehingga membuat proses audit itu hampir tidak ada gunanya.

Bahkan sebelum dimulainya audit, pada Oktober 2014, telah terjadi perombakan beberapa wewenang yang telah dipindahkan ke Sekretariat Ekonomi, dan pada Juli 2016, oleh Motu Proprio yang ditandatangani oleh Paus, kekuasaan besar yang awalnya diberikan kepada Sekretariat Ekonomi, dicabut, dan Sekretariat itu dibiarkan dengan peran yang tidak lebih dari pengawasan saja. Wall Street Journal menggambarkan hal ini sebagai "tanda bahwa kepentingan Vatikan yang terjadi selama ini, telah mendapatkan dukungan dari Paus." Pihak Sekretariat Ekonomi belum diberitahu sebelumnya tentang Motu Proprio, sama seperti audit PricewaterhouseCoopers yang dibatalkan yang juga tidak dikonsultasikan kepada Sekretariat Ekonomi. Itu adalah sinyal yang jelas bahwa Sekretariat Negara kembali memegang kendali dan tidak memperhatikan kenyamanan bagian yang lain. Padahal kenyataannya jauh lebih buruk daripada situasi di atas kertas. Sekretariat Ekonomi sekarang dibiarkan kosong, dan banyak dari staf nominalnya sebenarnya tunduk pada APSA, di mana mereka berhutang kesetiaan mereka yang sebenarnya. Setelah mendapatkan kembali kendali atas sumber daya manusia, Sekretariat Negara menggunakan kekuatan itu untuk memastikan bahwa pekerjaan di bawah Kardinal Pell hanya pada urusan kontrak jangka pendek dan tanpa keamanan dan manfaat yang berlaku di Sekretariat Negara dan APSA.

Apakah fakta-fakta ini menunjukkan bahwa Paus Francis sendiri menentang reformasi keuangan? Hal itu tampaknya merupakan kesimpulan yang kurang dapat dibenarkan, tetapi dari sudut pandang paus Francis nampaknya hal itu membayang di belakang permainan kekuasaan yang merupakan jantung dari gaya memerintahnya. George Pell termasuk dalam kelas prelatus - Kardinal Burke dan Müller adalah contoh terkenal lainnya - yang telah mendapatkan ketidaksukaan Francis karena kemandirian mereka dan penolakan mereka untuk jatuh kedalam peran sebagai pion. Kardinal Pell telah terbiasa menyampaikan buah pikirannya kepada Paus tentang berbagai hal, tidak hanya masalah keuangan, dan dia tidak pernah terkesan dengan prestasi Francis sebagai seorang pembaharu. Melihat hal-hal seperti reformasi keuangan dan administrasi Kuria, atau dorongan untuk melawan para pastor yang melakukan kesalahan di bidang sexual, Pell berkomentar: “Francis adalah lawan dari Theodore Roosevelt. Karena Francis berbicara keras namun membawa tongkat kecil." Paus Francis tidak menyukai orang-orang semacam itu berada di sekitarnya, terutama dalam posisi kekuasaan seperti yang dia percayakan kepada Pell pada tahun 2014. Tetapi gayanya yang khas juga tidak akan mau menohok orang-orang seperti itu secara langsung. Komentar yang tepat telah dibuat tentang Francis: "Daripada menarik paku sendiri, paus Francis lebih suka memakai alat yang lain." Dan alat-alat yang dia sukai untuk diterapkan kepada Pell adalah Cardinal Calcagno, yang terikat padanya untuk memulihkan kekuasaannya, dan Kardinal Parolin, yang sebagai Sekretaris Negara, telah menerapkan dan menyetujui semua tindakan tirani dari kepausannya.

Ada ancaman lain yang menggantung di atas kepala Cardinal Pell sejak beberapa lama dan sekarang telah terwujud. Sebagai seorang uskup di Australia, dia dituduh telah gagal mengambil tindakan terhadap kasus-kasus pencabulan di Australia, di antara para klerus, dan dia mengakui kesalahan yang dibuatnya karena kurang serius mengatasi masalah itu. Bukan tujuan buku ini untuk menampilkan Kardinal Pell sebagai pahlawan, dan mungkin karena kurangnya kepekaan dalam karakternya hingga dia harus bertanggung jawab atas kegagalannya. Baru-baru ini dia dituduh menganiaya beberapa anak laki-laki, dalam tuduhan yang berhubungan dengan insiden empat puluh tahun yang lalu dan yang dia sangkal sejak tuduhan itu dibuat. Sebelum diketahui apakah pihak berwenang Australia akan menuntut, dicatat bahwa tuduhan tersebut merupakan pelanggaran ringan, sehingga jika ini merupakan kasus biasa, maka kasus itu akan dibatalkan beberapa waktu lalu, dan seorang politisi Australia, Amanda Vanstone, berpendapat atas masalah ini: "Apa yang kita lihat tidak lebih baik daripada gerombolan perusak dari zaman kegelapan." Keputusan untuk menuntut dilakukan pada Juni 2017, dan Kardinal Pell kembali ke Australia untuk diadili. Ada orang-orang yang berpikir bahwa musuh-musuh Pell, baik di Australia maupun di Vatikan, telah menggunakan senjata ini untuk melawannya, dimana mereka menunjuk pada keadaan kebetulan antara terjadinya gejolak kasus pelecehan seks dan saat-saat penuh tekanan dalam perang di Vatikan.

Jika demikian, skema tersebut memiliki kelemahan tertentu. Pertama, Kardinal Pell belum diminta untuk mengundurkan diri dari penunjukannya di Vatikan, seperti yang diharapkan oleh musuh-musuhnya. Kedua, tampaknya agak tidak mungkin bahwa dia akan dinyatakan bersalah, bahkan pada pengadilan tingkat pertama, apalagi saat naik banding. Ini berarti bahwa dia mungkin akan kembali ke Roma suatu hari nanti dan mengambil ‘pentungan’ lagi bagi para lawannya. Dalam kasus itu (dan seperti yang telah dilihat selama ini) strategi oposisi tampaknya adalah memotong sayapnya sebanyak mungkin, menunggu sampai berakhirnya mandat lima tahunnya, untuk mengembalikan segala sesuatu seperti sebelum dia ditunjuk, dan kemudian menyalahkan kegagalan reformasi keuangan pada Pell. Atas semua upaya licik ini, inilah jalan yang memang didukung oleh paus.

Bahkan pada tingkat ini, bagaimanapun, seseorang dapat dibolehkan untuk menunjuk sebuah kendala: Paus Francis tidak akan hidup selamanya. Selalu saja ada bahaya bahwa paus berikutnya akan menjadi pembaharu sejati, bahwa dia akan memerintahkan penyelidikan atas apa yang sedang terjadi di Vatikan, dan kemudian dunia akan menemukan bagaimana reformasi yang dijanjikan kepada kita telah dipalsukan secara menyeluruh. Orang-orang akan menilai apa artinya bahwa tiga orang kardinal yang diasumsikan sedang dalam perjalanan keluar dari posisinya pada tahun 2013, tetapi ternyata sekarang mereka kembali lagi, dan bahwa niat yang dinyatakan untuk mengurangi kekuasaan Sekretariat Negara telah menghasilkan situasi di mana Sekretariat itu menjadi jauh lebih kuat dan sewenang-wenang daripada sebelumnya.

Rincian kegagalan reformasi keuangan Vatikan diketahui oleh para jurnalis yang telah mempelajari masalah ini: semua itu disampaikan dalam banyak artikel yang telah dikutip dalam bab ini. Namun pelajaran menyeluruh masih belum diambil. Sebuah dakwaan yang tepat telah dikaburkan oleh gagasan orang luar tentang partai kurialis, konservatif di Vatikan, yang sengaja disusun secara samar-samar dan digambarkan secara menyesatkan. Di dalam Curia, semua orang tahu persis siapa musuh Cardinal Pell, dan mereka juga tahu bahwa, jauh dari berada di dalam liga yang mau melawan kehendak Paus, mereka justru memperoleh kekuatan dari bantuan yang diperlihatkan kepada mereka oleh paus Francis.


Perang Terbuka

Konflik antara Sekretariat Ekonomi dan APSA memasuki fase baru dan penuh kekerasan pada Mei 2017 ketika surat resmi dibagikan dari Sekretariat Ekonomi kepada semua departemen di Vatikan, dan memerintahkan mereka untuk memberikan informasi keuangan untuk dilakukan audit oleh PricewaterhouseCoopers yang akan berlangsung di bawah arahan APSA. Ini adalah tindakan yang telah diblokir ketika ia dilaksanakan oleh Sekretariat Ekonomi. Mgr. Rivella, yang bertanggung jawab atas surat itu, mengklaim bahwa Dewan Ekonomi telah memberi wewenang kepada APSA untuk melakukan prosedur revisi, sebuah pernyataan yang segera terbukti tidak benar. Dalam beberapa hari, Kardinal Pell dan Auditor General mengirim surat kepada departemen terkait yang menyetujui pesanan dan menyatakan bahwa APSA telah bertindak melebihi kompetensinya.

Pemenang pertempuran ini segera terungkap: pada 20 Juni "pengunduran diri" diumumkan dari Auditor General, Libero Milone, diduga karena dia menolak menerima pengurangan gajinya. Setelah berbulan-bulan tidak ada kabar, pada tanggal 24 September Milone secara terbuka mengungkapkan pemecatan dirinya, dan laporan dari tangan pertamanya disampaikan, ditambah dengan beberapa perincian yang telah ditambahkan oleh saksi mata. Milone menceritakan bahwa pada pagi hari tanggal 19 Juni, Uskup Agung Becciu memerintahkannya untuk mengundurkan diri dalam sebuah wawancara pribadi, dan menyatakan bahwa perintah itu datang langsung dari paus Francis secara pribadi. Terlepas dari protes Milone bahwa pengaduan terhadapnya dibuat-buat, pemecatan itu tetap berjalan dengan gaya negara totaliter. Pada hari yang sama Polisi Vatikan menggerebek kantor Auditor General, didampingi oleh anggota Pemadam Kebakaran Vatikan. Mereka menahan dan menginterogasi Mr. Milone selama berjam-jam, dan mereka sering membentaknya; hal ini dilakukan setelah menyita semua peralatan elektronik, milik pribadi dan milik inventaris jabatannya, serta semua file yang ada di kantornya. Mereka kemudian melanjutkan untuk memaksa membuka pintu ke kantor Wakil Auditor Jenderal, Ferruccio Pannico, untuk mengepak dan membawa file-nya. Anehnya, kunci-kunci kantor Pannico dan kombinasi angka sandi untuk membuka brankasnya, keduanya tersedia di tangan petugas polisi. Namun prosedur tindakan yang lebih keras dan lebih mengintimidasi menggunakan kapak, linggis, palu, dan pahat, ternyata lebih mereka sukai. Pannico, yang tidak ada di kantor saat itu, juga dipaksa mengundurkan diri pada hari berikutnya. Karyawan rendahan dan para pengunjung yang malang yang kebetulan datang ke kantornya hari itu, ikut ditahan dan kehilangan telepon seluler mereka selama interogasi. Pengunduran diri Milone dan Pannico terjadi sebagai buah dari sebuah ultimatum: mengundurkan diri atau ditangkap. Mereka diwajibkan untuk menandatangani surat yang memaksa mereka untuk menutup mulut, dan Mr. Milone dalam wawancaranya 24 September, masih dapat mengungkapkan sebagian dari kebenaran yang sedang terjadi.

Berbeda dengan ‘klaim pemanis bibir’ bahwa pengunduran diri itu dilakukan karena penolakan Mr. Milone untuk menerima pengurangan gaji, namun tuduhan terhadapnya pada 19 Juni adalah hal yang sepenuhnya berbeda, dan itu termasuk "keluhan" yang dia sampaikan di sebuah perusahaan dari luar Vatikan ketika dia mendapati bahwa komputernya telah dirusak orang tak dikenal. Inilah yang sebenarnya terjadi: para konsultan menemukan bahwa komputer telah menjadi target akses yang tidak sah, sementara komputer sekretarisnya telah terinfeksi spyware yang menyalin semua file miliknya. Sangat menarik bahwa ketika Mr. Milone membuat pernyataannya pada tanggal 24 September, Uskup Agung Becciu membalas dengan keras, menyangkal tuduhannya dan menyatakan bahwa alasan pemecatan itu adalah bahwa Milone (sebagai pejabat yang telah ditunjuk untuk mencari kesalahan keuangan di Vatikan) telah "memata-matai" atasan dan stafnya, termasuk Becciu sendiri. Kasus ini memang komplex, datang dari sebuah organisasi yang telah membawa spionase internal ke tingkat yang tidak diketahui sejak Rumania diperintah oleh Ceausescu.

Mengenai penyebab sebenarnya dari pemecatan Milone, segera dikatakan bahwa dia terlalu dekat dengan keuangan Sekretariat Negara. Satu badan yang privasi penelitiannya terancam adalah Centesimus Annus, sebuah yayasan yang sedang diperiksa yang seharusnya menjadi pusat penggalangan dana Gereja, tetapi yang disebut oleh Moneyval pada tahun 2012 sebagai ‘mengendalikan sebagian besar kekayaan Vatikan.’ Bahkan yang lebih sensitif, Milone mulai mengejar tuduhan bahwa Peter’s Pence - sumbangan umat beriman kepada Tahta Suci - telah dialihkan untuk membantu pendanaan kampanye presiden Hillary Clinton pada tahun sebelumnya.

Waktu dari terbukanya masalah ini juga penting diperhatikan, dan itu berkaitan dengan pengumuman yang disampaikan beberapa hari kemudian bahwa Kardinal Pell akan didakwa melakukan pelecehan anak oleh polisi Australia. Pada tanggal 19 Juni, hanya Sekretariat Negara yang mengetahui hal ini di Roma, melalui nuncio-nya di Australia, sementara Kantor Pers Vatikan membuat pengumuman, dengan persenjataan lengkap yang tidak perlu, sepuluh hari kemudian. Kesimpulan yang dapat ditarik dari peristiwa ini adalah bahwa, dengan tersingkirnya Pell dari ‘medan perang’, Sekretariat Negara merasa aman untuk menyingkirkan sekutu utama Pell juga, dan bahwa skandal itu akan segera dibayangi oleh dugaan pelecehan sexual.

Tanggung jawab pribadi Paus Francis atas manuver politik ini menunjukkan adanya sedikit keraguan. Uskup Agung Becciu meyakinkan Milone pada 19 Juni bahwa perintah pemecatannya datang dari Paus, dan hanya ada sedikit alasan untuk meragukannya: karena hal itu termasuk dalam pola dari berbagai tindakan untuk ‘mencampakkan seseorang’ yang diperintah oleh Jorge Bergoglio, dari belakang layar, selama perjalanan kariernya. Dalam wawancaranya 24 September, Milone mengungkapkan bahwa setelah pemecatannya dia menulis surat kepada paus, melalui saluran yang aman, mengecam ketidakadilan dan memprotes bahwa dirinya adalah korban "una montatura" (sebuah tindakan yang sengaja direncanakan). Tetapi Milone tidak pernah menerima balasan dari paus, juga dia tidak berhasil dalam usahanya untuk berbicara secara pribadi dengan Paus Francis.

Peran yang dimainkan dalam persekongkolan ini oleh Penganjur Keadilan di Vatikan, juga membutuhkan komentar. Pendekatannya yang kejam terhadap Mr. Milone sangat kontras dengan kebijakannya yang sangat dibutuhkan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam menangani berbagai kasus kejahatan keuangan yang dilaporkan ke kantornya. Kelumpuhan sistem peradilan di Vatikan tetap harus menjadi perhatian utama.

Episode menyedihkan yang telah dijelaskan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan, di antaranya:

- Karena kantor Auditor General terletak di properti ekstra-teritorial tetapi tidak di Wilayah negara Vatikan, apakah Polisi Vatikan melampaui yurisdiksi mereka dengan menyeberang ke tanah Italia dan melakukan penyerbuan dan penahanan di luar Negara Vatikan?
- Mengingat bahwa serangan polisi-negara semacam ini tidak terjadi karena perselisihan soal gaji, maka apakah itu membenarkan pengangkutan kotak penuh berisi file; mungkinkah investigasi Milone dibawa dia terlalu dekat dengan realita yang melibatkan orang-orang di posisi kekuasaan, sehingga dia harus dihentikan dan semua bukti dihapus?
- Akhirnya, bagaimana bisa paus Francis percaya bahwa bisa ada reformasi keuangan di Vatikan jika dia sendiri telah menempatkan hampir semua kekuasaan, kepolisian dan departemen peradilan, kepada sebuah sistem yang terstruktur dan orang-orang yang bertanggung jawab atas kebusukan di Vatikan sejak awal?

Sebuah pengamatan yang cukup meresahkan dan kesimpulan yang sama-sama merisaukan untuk meringkas apa yang telah dikisahkan sampai sekarang: empat badan yang sangat penting telah dibentuk dalam beberapa tahun terakhir, Otoritas Informasi Keuangan, Dewan Ekonomi, Sekretariat Ekonomi, dan Kantor Auditor General. Sejak awal, entitas ini telah menjadi target serangan oleh anggota Pengawal Lama yang ditinggalkan, dan diberdayakan kembali oleh paus Francis sendiri. Melalui infiltrasi kepada Otoritas Informasi Keuangan dan Dewan Ekonomi, dengan perampingan dan penghapusan pemimpinnya, Kardinal Pell, dan pemberhentian Auditor General, Libero Milone, keempat badan ini sekarang telah dinetralkan kekuasaannya, bahkan bisa dikatakan: dimusnahkan.

Apakah paus sadar akan serangan-serangan ini? Orang dalam telah mengkonfirmasi kepada kami bahwa jawabannya adalah ya, dan bahwa dia menandatangani satu demi satu perintah eksekutif yang tidak logis untuk mempercepat kematian mereka.

Hal ini membawa kita pada tiga pertanyaan terakhir:

- Mengingat pemblokiran efektif terhadap empat badan yang disebutkan diatas dan pemulihan kembali struktur Vatikan sebelumnya, berapa lama pengadilan Italia akan menunggu sebelum bisa menuntut nama-nama warga Italia yang telah melanggar hukum Italia, dalam tindakan pencucian uang hingga penggelapan pajak, dengan menggunakan akun sandi-APSA dan melindungi saluran keuangan ke dan dari luar negeri yang bebas pajak?
- Mungkinkah otoritas perbankan Eropa dan internasional akan memutuskan untuk menutup akses APSA ke fasilitas perbankan global sampai pembersihan atas struktur Vatikan dan orang-orang yang dipantau secara eksternal, telah terjadi?
- Dan mungkinkah kita akan melihat Pemerintah Italia meolak Perjanjian Lateran tahun 1929 yang menjadikan Vatikan sebagai negara asing, sehingga menciptakan taman bermain tanpa hukum dan korup seperti yang telah terjadi sekarang?