Friday, November 29, 2019

USKUP AGUNG VIGANO: PAUS SEDANG MENUNDUKKAN GEREJA KATOLIK...



Archbishop Carlo Maria ViganĂ² at the Rome Life Forum on
May 18, 2018.Steve Jalsevac / LifeSiteNews


OPINIONCATHOLIC CHURCHThu Nov 21, 2019 - 9:52 am EST


USKUP AGUNG VIGANO: PAUS SEDANG MENUNDUKKAN GEREJA KATOLIK KEPADA KEKUATAN-KEKUATAN BESAR YANG MENGHENDAKI SEBUAH PEMERINTAHAN DUNIA


21 November 2019 (LifeSiteNews) - Selama dua puluh abad, Gereja Katolik telah memiliki iman kepada Yesus Kristus, satu-satunya Juruselamat, yang telah disampaikan kepada kita secara utuh, ketika gereja menerimanya dari para Rasul dan Bapa Gereja dengan ongkos darah para Martir, dan oleh kesaksian para Pengaku Iman dan para Orang Kudus yang tak terhitung banyaknya dari segala macam orang dan dari semua bahasa. Iman ini telah diturunkan oleh orang tua kepada anak-anak mereka, oleh para imam dan kaum religius. Iman itu telah disebarkan oleh para misionaris yang bersemangat ke setiap benua di dunia, di bawah bimbingan para penerus Rasul Petrus yang telah menjamin kesatuan Mempelai Kristus dengan mengukuhkan saudara-saudara di dalam iman. Tetapi dengan paus Francis ini, kami dengan perasaan yang sangat sakit sekali mengakui betapa sangat memecah-belah dan merusak pelayanannya selama ini.

Melalui deklarasi yang dia tandatangani di Abu Dhabi, di mana dia menyatakan bahwa "Pluralisme dan keragaman agama, warna kulit, jenis kelamin, ras dan bahasa adalah dihendaki oleh Tuhan dalam kebijaksanaan-Nya," dan dengan sekian banyak kecaman yang dilontarkannya terus-menerus atas apa yang dia sebut sebagai ‘proselitisme,’ paus Francis tidak hanya telah menghina setiap dorongan misionaris, tetapi dia juga telah menolak mandat yang diberikan oleh Kristus kepada semua Rasul: "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Mat 28: 19-20).

Strategi paus saat ini disamarkan melalui berbagai tipu daya dan kebohongan, dan disembunyikan oleh banyak sikap diamnya, ketika ditemukan niatnya yang menyimpang hingga menyulut  kebingungan besar di antara umat beriman, sementara dia banyak dipuji-puji oleh para musuh Gereja.

Sinode Amazon adalah merupakan bagian dari desain yang jauh lebih besar dan tersembunyi. Itu tidak lain adalah sebuah elemen yang sangat mengganggu, dari sebuah proyek besar, yang dikembangkan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan didukung oleh kekuatan finansial dan Masonik dunia. Bagaimana kita dapat menjelaskan bahwa berhala Pachamama dihadirkan di tengah sinode, melalui sebuah inisiatif PBB, dalam teks-teks yang dirancang untuk memberi indoktrinasi ideologis kepada umat beriman?

‘Semuanya berdiri bersama dan saling menyatu bersama.’Ini tidak lain adalah sebuah ilmu palsu yang didirikan di atas dugaan pemanasan global yang akan menimbulkan bencana, yang terutama disebabkan oleh tingkah manusia; sebuah ekologi integral yang menempatkan di pusat penciptaan bukan manusia yang diciptakan dalam gambar dan rupa Allah, dan dipanggil untuk berbagi kehidupan ilahi dalam keabadian yang diberkati dengan Penciptanya, tetapi Bumi Pertiwi ‘yang ilahi,’ yaitu Pachamama, dari mana manusia ditarik dan ke mana ia harus kembali. Dari sudut pandang ini, oleh karena itu, bahkan penyembahan berhala juga dihendaki oleh Allah, dan Paus Francis merayakannya di hadapan dunia, mencemarkan tempat yang paling suci di Roma Kristiani - basilika yang dibangun di atas makam Rasul Petrus.

Selama Sinode Amazon barusan, sebuah tindakan sakrilegi yang sangat besar telah dilakukan melalui perayaan yang diadakan di Taman Vatikan dan penampilan Pachamama di San Peter dan Santa Maria di Traspontina. Penyembahan kepada Allah yang hidup dan yang sejati, yang diwahyukan dan dimanifestasikan dalam Yesus Kristus, yang dipuja dan diakui oleh Gereja Katolik selama dua rubu tahun ini, telah dicemarkan oleh unsur-unsur yang sangat menyembah berhala dan sinkretistik.

Penyembahan berhala itu merupakan serangan paling serius yang dilakukan terhadap Kemuliaan Ilahi. Para martir telah mencucurkan darah mereka dan membayar perlawanan mereka terhadap penyembahan berhala melalui nyawa mereka. Para martir yang sama yang telah membasahi dan menguduskan bumi Roma berhala kuno, baru saja menyaksikan tindakan mulia mereka dinodai oleh perayaan penghormatan kepada Pachamama.

Kitab Suci Perjanjian Lama mengajarkan kepada kita bahwa penyembahan berhala adalah perbuatan yang tidak tahu malu dan pelacuran, itu adalah pencemaran atas perjanjian pernikahan yang telah dilakukan Allah dengan umat-Nya.

Santo Paulus, memperingatkan umat kristiani awali di Korintus: “Apakah yang kumaksudkan dengan perkataan itu? Bahwa persembahan berhala adalah sesuatu? Atau bahwa berhala adalah sesuatu? Bukan! Apa yang kumaksudkan ialah, bahwa persembahan mereka adalah persembahan kepada roh-roh jahat, bukan kepada Allah. Dan aku tidak mau, bahwa kamu bersekutu dengan roh-roh jahat. Kamu tidak dapat minum dari cawan Tuhan dan juga dari cawan roh-roh jahat. Kamu tidak dapat mendapat bagian dalam perjamuan Tuhan dan juga dalam perjamuan roh-roh jahat. Atau maukah kita membangkitkan cemburu Tuhan? Apakah kita lebih kuat dari pada Dia? (1 Kor 10: 19-22).

Gereja Katolik, bukannya waspada dan menolak ancaman yang datang dan menggelapkan cakrawala seluruh umat manusia, tetapi Gereja Katolik justru menyerahkan dirinya untuk melayani sebagai pengeras suara bagi ideologi utopis dan anti-Kristus, dengan cara tunduk secara mengerikan kepada kekuatan-kekuatan besar yang mendominasi kancah dunia dan Gereja Katolik secara aktif mempromosikan proses perubahan besar yang ditujukan untuk membentuk sebuah Pemerintah Dunia.

Di hadapan skenario seperti itu, di mana kelangsungan hidup Gereja Katolik sangat terancam, di hadapan begitu banyak perbuatan tercela dan pernyataan oleh Paus, ada seratus cendekiawan telah menyusun Deklarasi yang meminta "dengan hormat agar Paus Francis secara terbuka dan tanpa ambiguitas untuk bertobat dan untuk memperbaiki kerusakan ini." Saya merasa sudah menjadi tugas saya untuk menyatukan suara saya dengan mereka. Dengan cara yang sama, semua uskup dan kardinal Gereja Katolik harus merasa berkewajiban untuk "melakukan koreksi persaudaraan kepada Paus Francis atas semua skandal ini."

"Ya Allah, melalui rahmat Engkau telah memanggil kami untuk menjadi anak-anak terang; jangan biarkan kami diselimuti oleh kegelapan kesalahan ini, tetapi buatlah kami selalu berada dalam kebenaran-Mu, guna menerangi gelapnya malam dunia ini." (Dari liturgi Ambrosian hari ini).

Datanglah, Tuhan Yesus! Tunjukkanlah kuasa kerajaan-Mu atas Gereja dan dunia! Janganlah mengabaikan permohonan dari Mempelai-Mu ini, Gereja-Mu, dan janganlah mengabaikan harapan kami. Dan jika Engkau tidak berkenan mengabulkan permhonan kami, biarlah kami menunggunya terus dengan ketekunan, kesetiaan dan kasih.

Surat pribadi dari Stefanie Nicholas, umat awam, kepada Jorge Mario Bergoglio


Sebuah surat pribadi dari Stefanie Nicholas, seorang umat awam,
kepada Jorge Mario Bergoglio




DEAR JORGE MARIO BERGOGLIO…



Jorge Mario Bergoglio yang terkasih,

Rasanya aneh untuk menyampaikan surat ini kepada seorang atasan dan pemimpin publik dengan cara seperti ini, tetapi yakinlah, saya tidak bermaksud untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa hormat saya dengan cara menghilangkan sebutan ‘Bapa Suci’ atau pun ‘Paus Fransiskus.’ Sebaliknya, saya memanggil Anda dengan menyebut nama Anda karena penyebutan ini bisa mengingatkan saya pada sisi kemanusiaan Anda, karena saya telah dibanjiri oleh lautan berita buruk mengenai diri Anda, seolah harapan saya hanya bergantung pada seutas tali. Penyebutan nama Anda disini mengingatkan saya bahwa Anda diciptakan menurut gambaran Allah, dimana Anda telah diadopsi ke dalam keluarga-Nya melalui baptisan Anda, dan Anda juga ditebus oleh kematian Putra Tunggal-Nya.

Hal ini juga mengingatkan saya bahwa Anda dilahirkan di Argentina, pada bulan Desember 1936, dari orang tua Katolik yang sangat mengasihi Anda. Saya membayangkan Anda sebagai bayi kecil, semuanya serba kecil dan baru. Saya membayangkan ibu Anda mendekati Anda, memeluk Anda erat-erat, menikmati kehalusan punggung bawah Anda di bawah jari-jarinya yang kokoh, mendengarkan irama lembut napas Anda. Saya juga membayangkan ayah Anda menatap Anda tertidur lelap, bulu mata kecil di pipi Anda yang lembut, sambil membisikkan kata ‘Jorge’ kepada Anda, merasa bangga dan puas dalam nada suaranya ketika dia terbiasa mendengar suara nama Anda diucapkan. Anda adalah sebuah keajaiban bagi orang tua Anda saat itu. Sebuah hidup baru. Sebuah harapan.

Tampaknya aneh bagi saya untuk memikirkan Anda dengan cara ini, tetapi ada alasan kuat untuk itu. Sulit bagi saya untuk berharap bisa memahami Anda secara lebih konvensional, untuk mencari tahu apa yang membuat hati Anda tergerak. Anda hidup setara dengan seluruh hidup saya di sebuah era dan tempat yang sama sekali tidak bisa saya pahami. Ada sebuah jarak sejauh samudera luas di antara saya dan Anda, dalam banyak hal ... tetapi terutama dalam hal iman yang kita berdua miliki. Ada agama Katolik yang saya percayai sepenuhnya, dengan karunia iman yang diberikan kepada saya yang tidak dapat dijelaskan pada tahun 2018 ... dan kemudian ada lagi agama Katolik yang Anda percayai. Apakah Anda selalu percaya pada Injil palsu yang sama ini? Atau apakah Anda memulai dengan hanya setetes racun dari kaum Modernis, yang diberikan kepada Anda selama bertahun-tahun sampai Anda melupakan iman seperti anak kecil dan tulus yang pernah Anda miliki dulu? Saya tidak tahu, tapi saya curiga iman Anda adalah dari jenis yang terakhir itu. Hal itu membuat saya sangat sedih karena Anda. Memang, Anda bukanlah penyebab dari semua kesedihan saya ini. Anda hanyalah sebuah hasil. Tetapi saya tahu satu hal: Katolisitas yang kami percayai tidaklah sama dengan Katolisitas Anda. Kedua Katolisitas kita berbeda jauh sejauh samudera nan luas. Iman kita terpisah oleh samudera.

Saya yakin Anda bisa menebak pertentangan doktrinal yang kita miliki. Ada begitu banyak, dan pada saat yang sama, hanya ada satu yang penting bagi saya sekarang, setidaknya dalam surat ini. Saya percaya bahwa Gereja tidak dapat bertentangan dengan dirinya sendiri. Tetapi Anda yakin gereja bisa seperti itu. Bertentangan dengan dirinya sendiri. Tidak ada ruang tengah di antara kedua pandangan ini. Hanya ada satu saja yang benar. Saya tahu bahwa berdebat dengan Anda adalah sia-sia. Sudah banyak orang yang mencobanya, namun gagal. Ada begitu banyak uskup, begitu banyak imam, begitu banyak teolog, begitu banyak umat awam dan orang-orang yang cerdas. Bahkan para kardinal, yang sejauh ini menghadirkan dubia kepada Anda. Tapi Anda mengabaikan mereka semua.

Saya bukanlah siapa-siapa, Jorge, tapi saya pikir saya adalah juga seperti semua orang lain. Setidaknya, ada banyak sekali orang yang seperti saya - banyak umat Katolik sederhana dan tulus yang menghadiri Misa pada hari Minggu, dan berdoa rosario, dan mencoba untuk mencintai sesama mereka. Kami adalah orang-orang yang tidak ingin menjadi musuh paus, orang-orang yang tidak ingin memberontak terhadap siapa pun. Namun kami terlantar, ombak bergulung tinggi, dan kami takut. Tidak bisakah Anda melihatnya? Tidak bisakah Anda merasa sedikit kasihan kepada kami?

Mengubah Gereja tidak akan menghancurkan kepercayaan Anda. Bagi Anda, ajaran Gereja hanyalah serangkaian gagasan seperti ide-ide manusia yang lainnya. Saya akan menganggap yang terbaik dari Anda dan mengatakan bahwa mungkin Anda benar-benar berpikir bahwa Yesus Kristus menginginkan perubahan yang sedang Anda upayakan ini. Saya yakin bahwa sebagai seorang pastor, sebagai bapa pengakuan, Anda telah mendengar rasa sakit dari orang-orang dengan cara yang hampir tidak dapat saya bayangkan. Mungkin semua itu sampai kepada Anda; mungkin itu membebani Anda sedemikian rupa sehingga Anda merasa terdorong untuk bertindak, untuk meringankan penderitaan yang Anda lihat, dengan cara Anda sendiri. Mungkin Anda ingin memberi jalan bagi orang-orang ini, orang-orang yang bercerai dan menikah lagi, atau yang berjuang dengan ketertarikan terhadap sesama jenis dan tidak bisa berpikir bahwa mereka bisa tetap hidup suci.

Tetapi penderitaan yang ingin Anda sembuhkan itu, dengan cara Anda sendiri, tidak akan bisa hilang, Jorge. Itu hanya akan digantikan oleh sebuah penderitaan yang lain, satu-satunya penderitaan yang harus kita benci dan takuti sebagai orang Kristen. Dengan mengubah Gereja, Anda akan menyebabkan penderitaan yang tidak ada gunanya pada banyak orang. Anda akan menyebabkan penderitaan yang tidak dapat dipersembahkan sebagai silih kepada Allah, penderitaan yang tidak berupa berdiri di kaki salib – tetapi Anda hanya menimbulkan penderitaan yang akan bermanfaat bagi iblis. Seharusnya Anda tahu, menurut saya, bahwa mengubah Gereja bukanlah apa yang saya inginkan, bukan menyuguhkan serangkaian gagasan untuk diperdebatkan berdasarkan untung rugi manusia. Apakah saya percaya bahwa Anda benar-benar dapat melakukannya? Tidak. Saya tidak akan percaya. Tetapi mungkin Anda bisa? Jika Anda, entah bagaimana, akan melakukannya? Jika beberapa janji Gereja sepenuhnya adalah saling bertentangan satu sama lain, terus-menerus, tanpa ada koreksi dan perbaikan, tanpa campur tangan Tuhan untuk memperbaikinya?

Saya pikir saya akan kehilangan iman saya kepada Tuhan. Saya pikir banyak dari kami, umat awam, akan melakukannya. Saya berdoa, saya mohon kepada Yesus untuk menyelamatkan kami dari kengerian ini, dari kemungkinan buruk ini, tetapi kadang-kadang saya takut. Saya tidak terlalu memikirkan hal ini. Sebagian besar dari kami tidak mau kehilangan iman sejati. Kami menjalani kehidupan ini, kami berdoa, kami pergi ke Misa. Tetapi kadang-kadang di malam hari, saya harus menghadapi segala kengerian yang menyedihkan ini. Kami semua harus menghadapi hal ini.

Kami semua harus menghadapi ketakutan yang berada di atas segala ketakutan ini: bahwa Katolisitas mungkin salah, dan bahwa Anda, Jorge Mario Bergoglio, mungkin adalah orang yang bisa membuktikannya, bahwa ajaran Katolik memang salah. Bahwa ada kemungkinan bagi kami untuk menerima sebuah kehidupan yang tanpa tujuan di dalam Gereja Katolik, apakah kami bisa memiliki kebenaran yang dapat diketahui, apakah kami bisa memiliki kode moral yang tidak berubah, apakah kami bisa menyaksikan keindahan Bunda Gereja kita yang kudus... Saya telah menjalani kehidupan ini dalam waktu yang lama. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri saya jika saya harus menghadapinya lagi. Anda mungkin menemukan Gereja yang belum matang, yang masih perlu diperbaiki. Mungkin bahkan beberapa orang yang membaca surat ini akan menolak untuk mengakui pernah merasa takut akan hal-hal seperti ini. Saya tidak yakin apakah saya bisa mempercayai mereka. Saya pikir kita semua merasakan hal ini, di dalam gelap.

Apakah Anda tahu apa artinya bagi kami, umat Katolik yang sederhana ini, untuk kehilangan iman kepada Tuhan, Jorge? Apakah Anda bisa mengerti? Apakah Anda memahami bahwa penderitaan karena kehilangan Tuhan akan jauh lebih besar daripada penderitaan seorang wanita yang harus hidup sebagai kakak-adik terhadap suaminya yang melanggar hukum perkawinan Gereja, atau penderitaan seorang pria muda dengan ketertarikan sesama jenis yang harus tidur sendirian, yang merindukan hubungan romantis yang tidak bisa dia alami? Tulisan saya ini bukan untuk merendahkan penderitaan orang-orang ini. Tidak. Ini untuk mengingatkan Anda bahwa penderitaan mereka, seperti yang saya sebutkan diatas, bisa berakhir. Penderitaan mereka, jika mereka setia kepada Tuhan, akan menuntun mereka ke Surga.

Penderitaan yang Anda timbulkan? Kekacauan, kurangnya kejelasan ... jiwa-jiwa yang kehilangan Kristus karena Anda? Penderitaan mereka tidak akan pernah berakhir. Penderitaan mereka akan membawa mereka kedalam neraka, tempat cacing-cacing tidak mati, di mana mereka akan menghadapi pemisahan yang kekal dari Allah. Terlepas dari ketakutan yang saya miliki di malam hari, saya tahu bahwa Katolisitas, Katolisitas yang sejati, adalah sungguh benar. Yesus Kristus adalah Tuhan. Saya harus tetap teguh dan saya harus membantu orang lain agar tetap teguh pula. Saya harus berpegang teguh pada Iman. Itu yang terpenting. Jika saya tetap memiliki iman saya, tidak ada penderitaan lain yang menjadi sia-sia. Karena fakta-fakta ini, saya harus menentang perbuatan Anda. Itu adalah kewajiban moral saya.

Tetapi untuk meraih tangan Kristus, saya harus melintasi samudera luas ini untuk bisa menjangkau Anda. Jorge, saya harus mengasihi Anda. Saya tidak percaya bahwa saya akan diselamatkan jika saya tidak mengasihi. Saya tidak tahu mengapa Tuhan membiarkan Anda menyakiti kami seperti ini. Saya tidak tahu mengapa Tuhan membiarkan begitu banyak jiwa menjadi musnah. Tapi saya tahu bahwa hal ini belum berakhir. Saya tahu bahwa harapan tetap ada, dan saya akan melakukan hal-hal yang menumbuhkan harapan itu. Saya akan memikirkan Anda dengan cara manusiawi, lebih dari sekadar mengkhawatirkan seorang paus jahat yang sedang menghancurkan Gereja. Saya akan menganggap Anda sebagai seorang anak, sebagai bayi Jorge Mario Bergoglio, karena dengan beberapa alasan, saya melihat Anda dengan cara ini dalam imajinasi saya membuat saya menangis - memberi saya perasaan manusiawi yang melankolis, di mana saya ingat bahwa musuh terburuk saya sekali pun, pasti memulai kehidupannya di dalam keindahan sebagai bayi yang polos dan tanpa dosa. Ingatan ini memungkinkan saya berdoa untuk Anda dengan rasa kasih, sementara kasih saya juga merasakan bahwa hal yang sebaliknya adalah mustahil.

Saya akan berdoa untuk Anda agar ketika Anda mati, Anda akan mati sebagai seorang anak kecil, dalam pelukan Yesus dan Maria. Hanya itu yang bisa saya lakukan. Saya berharap doa-doa kami semua sudah cukup.







Stefanie Nicholas adalah seorang yang menjadi Katolik secara tak terduga dari latar belakang Yunani Ortodoks. Sejarah Perang Salib memainkan peran positif dalam perjalanan imannya, dan dia yakin bahwa Rosario akan menyelamatkan dunia. Pembaca dapat kontak dengannya di Facebook atau di Twitter @StefMNicholas.




Thursday, November 28, 2019

Di dalam Lemari Vatikan – 9. Bab 7 – Kode Maritain


 

 

 

 DI DALAM LEMARI VATIKAN

Frếdếric Martel




KEKUASAAN

HOMOSEXUALITAS

KEMUNAFIKAN

 

 

 DAFTAR ISI


CATATAN DARI PENULIS DAN PENERBIT


Bab 1. Domus Sanctae Marthae
Bab 2. Teori Gender
Bab 3. Siapakah Saya Hingga Berhak Menilai?
Bab 4. Buenos Aires
Bab 5. Sinode
Bab 6. Roma Termini
BAGIAN II - PAULUS
Bab 7. Kode Maritain




  

BAGIAN II

PAULUS



Bab 7


Kode Maritain




Kardinal Paul Poupard memiliki salah satu perpustakaan terbaik di Vatikan: Saya menghitung ada 18 rak dengan masing-masing rak terdiri atas 11 tingkat. Sebagai ukuran kasar, rak itu melengkung, menempati seluruh ruang resepsi oval besar.

“Ada hampir 15.000 buku seluruhnya,” kata Cardinal Poupard memberi tahu saya dengan kesederhanaan yang terasa dibuat-buat. Dia menerima saya dengan memakai sandal, dikelilingi oleh tumpukan folio dan naskah berhiaskan tanda tangannya, dalam salah satu kesempatan dari banyak kunjungan saya.

Kardinal dari Perancis itu tinggal di lantai paling atas dari sebuah istana yang terhubung dengan Tahta Suci, menghadap ke Piazza di San Calisto, di distrik bobo Trastevere di Roma. Istana itu luas; begitu pula apartemennya. Dua biarawati Meksiko melayani Yang Mulia Kardinal, yang duduk dalam kemegahan seperti seorang pangeran di istananya.

Menghadap perpustakaan, kardinal memotretnya di atas sebuah tripod. Sebuah karya besar, ditandatangani oleh seniman Rusia, Natalia Tsarkova, yang juga pernah diduduki oleh John Paul II dan Benedict XVI. Cardinal Poupard duduk santai dengan anggun, duduk di kursi yang tinggi, satu tangan dengan lembut membelai dagunya, yang lain memegang halaman-halaman pidato tulisan tangannya. Di jari manis kanannya: terselip cincin keuskupan dihiasi dengan batu biru-hijau khas Veronese.

“Seorang seniman membuat saya berpose monoton selama hampir dua tahun. Dia ingin gambar itu sempurna, dan agar seluruh ‘alam semesta’ saya mengisi lukisan itu. Anda dapat melihat buku-buku, biretta merah, itu sangat pribadi,” kata Poupard memberi tahu saya. Kemudian dia menambahkan: "Saya nampak jauh lebih muda ..."

Di belakang Dorian Grey ini, yang modelnya tampaknya berumur lebih tua daripada potretnya, saya perhatikan ada dua lukisan lain, tergantung di dinding.

"Itu adalah dua karya penulis Katolik Perancis, Jean Guitton, yang memberikannya kepada saya," kata Poupard menjelaskan.

Saya melihat pada plaster hiasan dinding. Cukup menarik seperti potret pada kuda-kuda, berupa gereja Guittons biru dan terlihat seperti warna Chagall pucat.

Dengan menggunakan tangga hijau, kardinal dapat mengambil buku-buku pilihannya dari perpustakaannya. Dia memamerkan karya-karyanya sendiri dan cetakan artikel-artikel dari jurnal teologis yang tak terhitung jumlahnya, yang memenuhi seluruh rak. Kami berbicara lama tentang penulis francophone yang dia sukai: Jean Guitton, Jean Daniélou, François Mauriac. Dan ketika saya menyebutkan nama Jacques Maritain, seorang filsuf Katolik terkenal, Kardinal Poupard berdiri, nampak gemetar oleh kegembiraan. Dia berjalan menuju rak untuk menunjukkan kepadaku karya lengkap dari filsuf Perancis itu.

“Paul VI yang memperkenalkan filsuf Jacques Maritain kepada kardinal Poupard. Hal itu terjadi pada 6 Desember 1965, saya ingat dengan sangat jelas."

Kardinal Poupard sekarang berbicara tentang dirinya sebagai orang ketiga. Pada awal diskusi kami, saya merasakan kegelisahan yang samar-samar: bahwa saya mungkin lebih tertarik pada sosok Jacques Maritain daripada karya Poupard. Dan di sini dia nampak bersemangat, tanpa mengedipkan mata.

Kami membahas panjang lebar karya Jacques Maritain dan hubungannya yang terkadang penuh badai dengan penulis André Gide, Julien Green, François Mauriac dan Jean Cocteau, dan terlintas dalam benak saya bahwa semua penulis Kristen pra-perang Perancis ini sangat berbakat. Mereka juga homosex. Mereka semua. Homosex!

Sekarang kita kembali untuk berdiri di depan plaster hiasan dinding Jean Guitton, yang diperhatikan kardinal Poupard seolah mencari rahasia mereka. Dia memberi tahu saya bahwa dia telah menyimpan hampir dua ratus surat dari Maritain: korespondensi yang tidak diterbitkan yang mungkin saja mengandung banyak rahasia. Berdiri di depan lukisan Guitton, saya bertanya pada kardinal Poupard tentang seksualitas mentornya itu (Maritain). Bagaimana mungkin pria yang terpelajar dan misoginis ini, seorang anggota Académie française, yang pada dasarnya menjalani hidupnya dalam kesucian, dengan model Jacques Maritain, hanya di akhir hidupnya dia menikahi seorang wanita yang jarang dia bicarakan, yang jarang dilihat siapa pun, dan wanita itu secara prematur meninggalkannya sebagai duda, dan setelah itu dia tidak pernah berusaha menikah lagi?

Kardinal itu meluncurkan tawa Mephistophelian yang kontinyu, ragu-ragu, dan kemudian berkata: "Jean (Jacques Maritain) diciptakan untuk punya istri, sama seperti saya diciptakan menjadi tukang sepatu!" (Dia memakai sandal.)

Kemudian, tiba-tiba dia nampak serius, dengan hati-hati menimbang kata-katanya, dia menambahkan: “Kita semua adalah lebih rumit daripada yang kita pikirkan. Di belakang penampilan garis lurus, ada banyak hal-hal yang lebih kompleks.”

Kardinal Poupard, yang pada dasarnya sangat pandai mengendalikan dan menahan diri, serta menjaga emosinya, namun kali ini dia terbuka untuk pertama kalinya. Dia menambahkan: “Menahan nafsu bagi Maritain, bagi Guitton, adalah cara mereka sendiri untuk berdamai dengan berbagai hal; itulah cara mereka melakukannya. Masalah pribadi, sejak dahulu kala."

Dia tidak mengatakan lebih dari itu. Dia menebak bahwa dirinya mungkin sudah keterlaluan dalam berbicara. Dan dengan melakukan kepura-puraan yang terampil, dia dengan berani menambahkan kutipan ini, yang akan sering dia ulangi selama percakapan reguler kami: "Seperti Pascal, penulis favorit saya, akan mengatakan: itu semua adalah dari urutan yang berbeda."

Untuk memahami Vatikan dan Gereja Katolik, pada zaman Paulus VI atau hari ini, Jacques Maritain adalah titik masuk yang baik. Saya secara bertahap menemukan pentingnya kode (Maritain) ini, suatu kata sandi yang kompleks dan rahasia ini, kunci nyata untuk memahami Lemari. Itulah kode Maritain.

Jacques Maritain adalah seorang penulis dan filsuf Perancis yang meninggal pada tahun 1973. Dia tidak dikenal di kalangan masyarakat umum saat ini, dan karyanya tampaknya ketinggalan zaman. Namun demikian, pengaruhnya sangat besar dalam kehidupan keagamaan Eropa abad kedua puluh, terutama di Perancis dan Italia, dan itu adalah contoh buku teks untuk penyelidikan saya.

Buku-buku dari orang-orang yang bertobat menjadi Katolik ini masih sering dikutip oleh Paus Benediktus XVI dan Francis, dan kedekatannya dengan dua paus sebelumnya, Yohanes XXIII dan Paul VI, terbukti dengan baik, dan khususnya menarik bagi kita.

“Paul VI memandang dirinya sebagai salah satu murid setia Jacques Maritain,” kata kardinal Poupard menegaskan kepada saya.

Paus masa depan, Giovanni Montini, (paus Paulus VI) seorang pembaca yang antusias dari karya-karya Maritain dari tahun 1925 dan seterusnya, bahkan menerjemahkan salah satu bukunya (Three Reformers: Luther, Descartes, Rousseau) dan juga menulis kata pengantar untuk buku itu. Setelah menjadi Paus Paulus VI, dia tetap berhubungan sangat dekat dengan teolog dan filsuf Prancis itu, dan bahkan mempertimbangkan untuk mengangkat Maritain sebagai kardinal.

“Saya ingin meletakkan rumor itu ke tempat tidur sekali dan untuk selamanya. Paul VI sangat menyukai Maritain, tetapi tidak pernah ada pertanyaan untuk mengangkatnya menjadi kardinal," kata kardinal Poupard, menggunakan kalimat yang sopan bagi saat itu.

Jelas bukan kardinal; tapi Maritain masih memikat Paul VI. Bagaimana kita bisa menjelaskan pengaruh yang tidak biasa itu? Menurut beberapa saksi yang saya wawancarai, hubungan mereka bukanlah suatu kerja sama secara diam-diam atau pertemanan pribadi, seperti yang terjadi antara Paul VI dan Jean Guitton: karena paham 'Maritainisme' benar-benar melakukan ketertarikan abadi pada Gereja Italia.

Harus dikatakan bahwa pemikiran Maritain, yang berfokus pada dosa dan berkonsentrasi pada rahmat, menggambarkan sebuah agama Katolik yang murah hati, meskipun terkadang naif. Kesalehan ekstrim Jacques Maritain, imannya yang tulus, kedalaman pemikiran yang mengagumkan, memberi contoh yang mengesankan Roma. Semangat politik dari karyanya melakukan yang selebihnya: di Italia pasca-fasis, Maritain membela gagasan bahwa demokrasi adalah satu-satunya bentuk politik yang sah. Dengan melakukan hal itu, dia menunjukkan jalan menuju perpecahan yang penting antara umat Katolik dan anti-Semitisme dan ekstremisme ultra-kanan. Hal ini berkontribusi pada rekonsiliasi orang-orang Kristen dengan demokrasi: di Italia hal itu mengantarkan pada jalan untuk persahabatan yang panjang antara Vatikan dan Demokrasi Kristen.

Mantan pastor Curia, Francesco Lepore, membenarkan pengaruh Jacques Maritain pada Vatikan: “Karya Maritain cukup penting untuk dipelajari bahkan hingga hari ini di universitas-universitas kepausan. Masih ada ‘lingkaran Maritain’ di Italia. Dan sebuah kursi Maritain bahkan baru-baru ini diresmikan oleh presiden Republik Italia."

Kardinal Giovanni Battista Re, 'menteri' urusan dalam negeri John Paul II, memberi tahu saya tentang kesenangannya kepada Maritain dalam dua pertemuan saya di Vatikan, dan menyampaikan banyak pendapat dari wali gereja yang lain yang mengalami sesuatu yang sangat mirip: “Saya hanya punya sedikit waktu dalam hidup saya untuk membaca. Tetapi saya telah membaca tulisan-tulisan Maritain, DaniĂ©lou, Congar, Life of Christ Mauriac. Ketika saya masih sangat muda, saya membaca semua karya penulis itu. Bahasa Perancis adalah bahasa kedua bagi kami. Dan Maritain adalah titik rujukan kami."

Kekaguman yang sama juga disuarakan oleh Kardinal Jean-Louis Tauran, 'menteri' urusan luar negeri di bawah John Paul II, yang saya wawancarai empat kali di kantornya di Roma: “Jacques Maritain dan Jean Guitton memiliki pengaruh yang sangat besar di sini, di Vatikan. Mereka sangat dekat dengan Paulus VI. Nama dan ide Maritain bahkan lebih banyak dikutip di bawah Yohanes Paulus II.”

Namun, seorang diplomat asing yang berpengaruh di Tahta Suci menempatkan daya tarik ini ke dalam pandangannya sendiri: “Orang Katolik Italia menyukai sisi mistis Maritain, dan menghargai kesalehannya, tetapi pada akhirnya mereka menemukan bahwa dia terlalu berapi-api. Tahta Suci selalu takut pada orang awam yang fanatik ini!”

Wakil Dekan Kolese para Kardinal, orang Perancis, Roger Etchegaray, yang saya temui dua kali di apartemen besarnya di Piazza di San Calisto di Roma, membuka matanya lebar-lebar ketika saya mengucapkan nama kode Maritain.

"Saya kenal Jacques Maritain dengan baik."

Kardinal itu, yang sudah lama menjadi duta besar 'terbang' bagi John Paul II, berhenti sejenak, menawari saya cokelat dan kemudian menambahkan, ketika dia telah mendapatkan kembali ketenangannya: “Ketahuilah. Itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Anda tidak bisa mengenal seseorang. Hanya Tuhan yang benar-benar mengenal kita."

Kardinal Etchegaray mengatakan kepada saya bahwa dia mengajak Maritain ke rumahnya di Perancis Selatan dimana dia akan menghabiskan masa pensiunnya disana, setelah menunda selama 20 tahun. Termasuk buku-buku karya Maritain, juga buku-buku Julien Green, François Mauriac, André Gide, Henry de Montherlant, dan karya-karya Jean Guitton, yang juga merupakan teman dekatnya. Dan semua penulis ini, tanpa kecuali, adalah homofilik atau homoseksual.

Tiba-tiba kardinal Roger Etchegaray memegang tangan saya dengan penuh perhatian seperti dari tokoh-tokoh di Caravaggio. "Apakah kamu tahu berapa umur saya?" Kardinal bertanya kepada saya.

"Kurasa begitu, ya ..."

"Saya sudah 94 tahun. Kamu tidak akan percaya, kan? Umur sembilan puluh empat tahun. Di usia saya, bacaan saya, ambisi saya, rencana saya agak terbatas."

Pengaruh abadi dari Maritain berakar dengan pemikiran teologis dan politisnya, tetapi juga memberi makan orang banyak melalui contoh kehidupannya. Di jantung misteri Jacques Maritain adalah pernikahannya dengan RaĂ¯ssa, istrinya, perempuan, serta perjanjian rahasia yang menyatukan mereka. Pertemuan antara Jacques dan RaĂ¯ssa awalnya dibangun pada pertobatan ganda yang spektakuler menjadi Katolik: sebelumnya dia Protestan; dia orang Yahudi. Bersatu oleh cinta yang penuh gairah, pernikahan mereka bukannya tanpa cinta atau pun kenyamanan. Itu bukanlah pernikahan type borjuis, bukan pernikahan pengganti, meskipun Maritain mungkin ingin menggunakannya untuk menghindari kesepian, dan apa yang kadang-kadang disebut 'kesedihan pria tanpa wanita'.

Dari sudut pandang ini, pernikahan itu mengingatkan pada penulis seperti Paul Verlaine, Louis Aragon atau, kemudian, Jean Guitton. Hal itu juga menggemakan pernikahan AndrĂ© Gide yang terkenal, dengan sepupunya Madeleine, yang tampaknya tidak pernah disempurnakannya: “Istri Gide menggantikan ibunya sebagai simbol dari tiang pengekang yang harus selalu dapat ia kembalikan, dan tanpa itu tiang kegembiraan lainnya, pembebasan, penyimpangan, akan kehilangan semua maknanya,” demikian tulis George Painter, penulis biografi Gide. Penulis The Vatican Cellars itu juga menyeimbangkan antara kebebasan dengan keterbatasan.

Bagi Jacques Maritain, ada dua kutub: yaitu istrinya RaĂ¯ssa, dan dunia kedua, yang bukan berupa dunia penyimpangan, tetapi dari 'kecenderungan yang ramah.’ Bukannya menyerah kepada 'Iblis,’ karena iblis akan menggoda dia melalui kebaikan persahabatan.

Jacques Maritain dan RaĂ¯ssa (pria-wanita, suami-istri) membentuk pasangan yang ideal - tetapi tanpa seks dalam sebagian besar hidup mereka. Heteroseksualitas trompe-loeil ini bukan hanya pilihan berdasarkan agama (versi mereka), seperti yang mereka percayai dalam waktu yang lama. Pada tahun 1912, para pengikut Maritain memutuskan untuk mengambil sumpah kesucian bersama (suami-istri; tidak melakukan hubungan sex), yang tetap rahasia untuk waktu yang lama. Apakah pengorbanan keinginan sexual suami-istri ini merupakan hadiah bagi Tuhan? Ongkos bagi keselamatan kekal? Itu adalah mungkin. Para pengikut Maritain banyak berbicara tentang 'persahabatan spiritual.' Mereka berkata bahwa mereka 'ingin saling membantu (pasangannya) untuk bisa sampai kepada Tuhan' (tanpa melakukan hubungan sex antara suami-istri). Di balik norma hubungan pria-wanita versi Cathar ini, orang bisa melihat adanya pilihan sex yang populer: homosex, karena jenis hubungan seperti itulah yang disukai oleh banyak kaum homosex. Karena rombongan Maritain memang termasuk sejumlah besar kaum homoseksual.

Sepanjang hidupnya, Jacques Maritain adalah seorang pria yang memiliki 'persahabatan yang penuh cinta' dengan tokoh-tokoh homoseksual terbesar di abadnya: terbukti bahwa dia adalah teman atau orang kepercayaan Jean Cocteau, Julien Green, Max Jacob, RenĂ© Crevel dan Maurice Sachs, juga dengan François Mauriac, seorang penulis 'tertutup' yang kecenderungan asmara sejatinya tidak hanya diwujudkan, tetapi dilampiaskan setelah penerbitan biografinya yang  penting oleh Jean-Luc BarrĂ©.

Di rumah mereka di Meudon, Maritain dan RaĂ¯ssa terus-menerus menerima umat Katolik selibat, intelektual homoseksual, dan pemuda tampan dengan keramahtamahan paling efusif. Dengan semacam hikmat yang sangat disukai rombongan banci itu, sang filsuf Maritain tidak henti-hentinya berbicara tentang dosa homoseksual, dan berseru 'Aku mencintaimu' kepada teman-teman mudanya, yang dia sebut sebagai 'dewi' - yang memilih untuk tidak memiliki kehidupan seks dengan istrinya, dan karenanya tidak memiliki anak.

Homoseksualitas adalah sebuah obsesi Jacques Maritain. Teman dekat Paul VI ini selalu kembali kepada obsesinya, seperti diungkapkan dalam korespondensi yang sekarang diterbitkan. Tentu saja, dia melakukannya secara terpisah dan, kita dapat mengatakan: ‘jalan Ratzingerian'. Maritain ingin menyelamatkan kaum gay yang ia undang ke kotanya di Meudon, untuk melindungi mereka dari 'Kejahatan.' Kebencian terhadap diri sendiri, mungkin. Tetapi memperhatikan orang lain juga, tulus dan jujur. Tempres Autres.

Kontra-intuitif, Katolik fanatik ini hampir tidak tertarik pada Katolik yang lebih ortodoks, sebagai kelompok yang lebih heteroseksual. Dia tentu saja berkorespondensi secara teratur dengan pastor Jesuit, Henri de Lubac, seorang kardinal masa depan, dan kurang bergaul dengan penulis Paul Claudel. Dia juga mengenal Georges Bernanos secara profesional, tetapi persahabatannya ‘yang bergairah’ dengan orang-orang seperti itu jarang terjadi.

Di sisi lain, Maritain tidak melewatkan satu pun tokoh homoseksual besar pada masanya. Dia benar-benar memiliki ‘gaydar’, seperti yang akan kita katakan saat ini. Adalah fakta bahwa Maritain mengkhususkan diri dalam berbagai pertemanan yang bersifat homosex dengan dalih mencoba membawa beberapa penulis 'sesat’ terbesar abad kedua puluh agar kembali kepada iman dan kesucian. Dan untuk menjauhkan para penulis ini dari dosa dan kemungkinan neraka - karena pada masa itu kondisi homoseksual masih memiliki bau belerang (busuk) atas dirinya - Maritain mengatur tentang tata cara mengawasi mereka, 'memilah-milah masalah mereka', sebagaimana dia katakan, yang mengharuskannya untuk menghabiskan banyak waktu bersama mereka! Jadi AndrĂ© Gide, Julien Green, Jean Cocteau, François Mauriac, Raymond Radiguet dan Maurice Sachs terlibat dalam dialog dengannya, seperti hampir semua homoseksual terkenal saat itu. Secara sepintas, dia mencoba untuk mempertobatkan mereka dan membuat mereka menjadi suci; dan kita tahu bahwa pertobatan dan keteguhan, sebagai upaya untuk menekan kecenderungan homosex ini, tetap merupakan sikap yang klasik sampai akhir 1960-an.

Implikasi dari debat ini bagi subjek kita sangatlah besar. Kita tidak dapat memahami Paus Yohanes XXIII, Paulus VI atau Benediktus XVI, atau sebagian besar kardinal di Kuria Roma, jika kita tidak menguraikan kode atau paham 'Maritainisme' ini sebagai ajaran intim yang disublimasikan atau diwujudkan. Di Italia, di mana Maritain serta beberapa literatur Katolik dan homoseksual, memiliki pengaruh yang cukup besar, dimana seluruh hierarki Vatikan mengetahui topik tersebut dalam hati mereka.

Salah satu sejarawan paling penting dari literatur gay di Italia, Profesor Francesco Gnerre, yang telah menerbitkan teks-teks penting tentang beberapa penulis, termasuk Dante, Leopardi dan Pasolini, menjelaskan keadaan yang aneh ini kepada saya selama beberapa kali diskusi di Roma.

“Tidak seperti Perancis, yang memiliki tokoh Rimbaud dan Verlaine, Marcel Proust, Jean Cocteau dan Jean Genet, dan banyak lagi lainnya, literatur homoseksual hampir tidak ada di Italia sampai tahun 1968. Pertama kali homoseksualitas muncul di halaman depan surat kabar Italia ada pada tahun 1970-an, dengan Pasolini sebagai tokohnya. Sampai saat itu, kaum homoseksual Italia harus puas dengan membaca publikasi dari Perancis. Hal itu agak mirip bagi umat Katolik Italia, yang sejak lama membaca tulisan-tulisan Katolik Perancis, yang sangat berpengaruh di sini. Tetapi yang benar-benar luar biasa adalah bahwa mereka adalah para penulis yang persis sama: homosex!"

Mari kita masuk ke detailnya di sini. Kita harus, karena rahasia Lemari didasarkan pada 'kode Maritain' ini serta pertempuran yang membuat Jacques Maritain melawan empat penulis utama Perancis: André Gide, Jean Cocteau, Julien Green, dan Maurice Sachs.

Dengan Gide, untuk memulai, perdebatan dianggap gagal. Korespondensi Maritain dengan the Protestan Gide, Gide's Diaries, dan sebuah pertemuan panjang antara kedua pria itu di akhir 1923, membuktikan bahwa Maritain ingin mencegah penulis hebat itu untuk menerbitkan bukunya, Corydon, sebuah risalah yang berani di mana Gide mengungkapkan tentang dirinya dan menguraikan pandangan militan atas empat buah dialog tentang homoseksualitas. Jadi Maritain pergi ke rumahnya untuk meminta kepadanya, dalam nama Kristus, untuk tidak menerbitkan buku itu. Dia juga khawatir tentang keselamatan jiwanya setelah penerbitan buku itu, yang merupakan pengakuan atas homoseksualitasnya. Gide seakan melihat terbitnya buku itu datang dari kejauhan. Dan karena aturannya mengenai kehidupan, yang merupakan jantung moralitas dari karyanya Fruits of the Earth, adalah agar dia berhenti melawan godaan, maka dia tidak berniat kehilangan kebebasannya untuk menyerah pada permintaan dari pengkhotbah yang pemarah ini.

"Aku benci berbohong," jawab Gide kepadanya. “Mungkin di situlah Protestantisme saya berlindung. Umat ​​Katolik tidak menyukai kebenaran.”

Maritain melakukan banyak upaya untuk mencegah penulis menerbitkan risalah kecilnya itu. Tetapi tidak berhasil. Beberapa bulan setelah pertemuan mereka, André Gide, yang telah lama menerima keadaan homoseksualitasnya secara pribadi, menerbitkan bukunya Corydon dengan nama aslinya. Dan Jacques Maritain, seperti halnya François Mauriac, sangat ketakutan.

Mereka tidak akan pernah memaafkan Gide karena 'melangkah keluar'.

Pertempuran kedua terjadi melawan Jean Cocteau, dengan topik yang sama. Maritain sudah lama berteman dengan Jean Cocteau, dan cengkeramannya lebih ketat kepada penulis muda yang bertobat daripada terhadap penulis besar Protestan itu. Selain itu, di Meudon, Jean Cocteau masih tampak berperilaku baik dan sebagai seorang Katolik yang teliti. Tetapi ketika dia jauh dari Maritain, dia memiliki banyak kekasih (homosex), termasuk Raymond Radiguet muda, yang akhirnya dia kenalkan kepada Maritain. Anehnya, pria dari Meudon itu, bukannya menolak hubungan homoseksual yang sangat tidak wajar ini, tetapi dia juga mencoba menjinakkan kekasih muda Jean Cocteau. Radiguet, seorang ahli sastra yang telah menulis novelnya The Devil in the Flesh pada usia 20, dan kemudian mati tak lama setelah menderita demam tifoid, mengatakan tentang masa ini, dalam ungkapan yang indah: “Ketika kamu tidak menikah, kamu akan dipertobatkan.”

Tapi Maritain gagal lagi. Jean Cocteau mengambil langkah besar dalam penerbitan bukunya, White Book, pertama secara anonim dan kemudian dengan nama aslinya, di mana dia mengakui homoseksualitasnya.

"Rencana ini adalah jahat," Maritain menulis kepadanya. “Ini adalah pertama kalinya Anda secara terbuka menyatakan kepatuhan Anda pada kejahatan. Ingat Wilde dan kemerosotan yang berlangsung sampai kematiannya. Jean, ini adalah keselamatanmu yang dipertaruhkan, itu adalah jiwamu yang harus aku pertahankan. Antara iblis dan aku, pilih siapa yang kau cintai. Jika Anda mencintaiku, Anda tidak akan menerbitkan buku ini dan Anda akan membiarkan saya menyimpan naskahnya.”

"Aku butuh cinta, dan untuk bercinta dengan jiwa-jiwa," adalah jawaban berani dari Jean Cocteau.

Buku The White Book memang akan diterbitkan. Pertentangan antara kedua pria itu akan semakin dalam, dan hubungan mereka yang berupa 'persahabatan yang penuh kasih,' yang telah dihentikan untuk sementara waktu, kini diteruskan terlepas dari segala sesuatu yang terjadi, seperti yang ditunjukkan oleh korespondensi mereka. Selama kunjungan baru-baru ini ke biara Dominikan di Toulouse, tempat Jacques Maritain menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya, Bruder Jean-Miguel Garrigues membenarkan kepada saya bahwa Jean Cocteau terus mengunjungi Maritain sampai kematiannya, dan bahwa dia sering datang untuk menemuinya di Toulouse.

Pertempuran ketiga berjalan lebih baik untuk Maritain, meskipun hal itu juga berakhir dengan kekalahannya oleh Julien Green. Selama hampir empat puluh lima tahun kedua lelaki itu terlibat dalam korespondensi reguler. Mistis dan sangat religius, dialog mereka dimainkan di ketinggian yang luhur. Tetapi di sini sekali lagi dinamikanya didasarkan pada sebuah 'luka': yaitu homoseksualitas. Julien Green dihantui oleh hasrat prianya, yang telah ia alami sejak masa mudanya sebagai bahaya yang sulit untuk didamaikan dengan kasih Allah. Maritain menebak rahasia Julien Green meskipun dia tidak pernah secara eksplisit menyebutkannya selama beberapa dekade pertama korespondensi mereka. Tak satu pun dari mereka yang menyebut tentang 'kecenderungan homosex,' yang menggerogoti mereka, terutama ketika mereka berusaha menyembunyikan hal itu.

Jacques Maritain, juga seorang yang baru bertobat, mengagumi Julien Green atas pertobatannya pada tahun 1939, yang merupakan hasil dari 'kampanye' seorang Dominikan yang percaya bahwa imamat adalah solusi bagi masalah homoseksualitas (sejak itu kami menemukan bahwa pastor Dominikan ini adalah juga seorang gay). Maritain mengagumi penulis itu atas ketekunannya, yang jauh lebih mengagumkan karena ia menggunakan iman untuk melawan kecenderungan homoseksualnya.

Namun, selama bertahun-tahun, Julien Green telah berubah, dan pada akhirnya ia mengambil langkah penting: ia mulai dengan mengungkapkan jati dirinya dalam pekerjaannya, untuk menjadi homoseksual secara terbuka (saya juga berpikir tentang South, bukunya), dan juga mulai merenungkan kehidupan romansanya di siang bolong, seperti yang dibuktikan oleh buku Diaries-nya, dan oleh akun yang diberikan oleh kekasihnya yang terkenal. (Korespondensi Julien Green yang lengkap dan tanpa sensor masih akan dipublikasikan. Menurut informasi yang saya terima, kesaksian itu bukan hanya mengenai homoseksualitas aktif Julien Green, tetapi juga obsesi nyata dengan gay-sex.)

Pertempuran keempat, yang dia juga kalah - dan sungguh kalah! – Dia bertengkar dengan teman sejatinya, penulis bayangan dari tahun-tahun antar-perang, Maurice Sachs. Sebagai orang Yahudi yang pindah ke agama Katolik, Maurice Sachs dekat dengan Jacques Maritain, yang ia panggil sebagai ‘Jacques tersayang'. Tapi dia juga seorang homoseksual muda yang antusias. Dia rajin berdoa, tetapi dia tidak dapat menjadi seminaris yang memalukan karena persahabatannya yang beracun. Dalam novelnya Le Sabbat, narator, yang memberi tahu teman-temannya bahwa ia telah pergi ke 'Seminari', ditanya apakah ini klub gay baru! Kritikus sastra Angelo Rinaldi menulis tentang diri Maurice Sachs: “Seorang kepala biara pada gilirannya mengenakan jubah dan pakaian dalam merah muda ... berlindung di kabin sauna di mana ia menghabiskan hari-hari bahagia sebagai bayi yang rakus.” Maurice Sachs akan segera ditarik ke dalam setiap jenis moral busuk dari neraka yang tersedia. Setelah 1940 anak didik Jacques Maritain ini akan menjadi kolaborator dan pĂ©tainiste, dan, meskipun ia seorang Yahudi, ia akan berakhir sebagai informan Nazi sebelum meninggal, dibunuh di ujung parit dengan peluru di belakang leher, oleh seorang pria anggota SS pada tahun 1944 – sebuah cara hidup yang tidak terpikirkan, semuanya.

Keempat pertempuran yang kalah dari Jacques Maritain mengungkapkan, di antara fakta-fakta lain, obsesi seorang filsuf dengan homoseksualitas. Hubungan Maritain dengan pertanyaan soal gay, menurut saya, lebih dari sekadar sebuah pengakuan belaka.

Di sini saya menggunakan kata 'gay' dengan sebuah tujuan, sebagai anakronisme yang disengaja. Jika kita lebih suka dengan kata-kata yang spesifik dengan zamannya sendiri - dan untuk alasan itu saya menggunakan konsep 'persahabatan yang penuh cinta', 'homofilia' atau 'kecenderungan' bila perlu - kita juga kadang-kadang harus memanggil sesuatu dengan nama mereka. Sudah terlalu lama tertulis di buku pelajaran sekolah bahwa Rimbaud dan Verlaine adalah 'teman' atau 'pendamping', dan bahkan hari ini saya membaca di museum-museum Vatikan yang menggambarkan Antinous sebagai 'teman favorit' Kaisar Hadrian, padahal sebenarnya dia adalah kekasihnya. Di sini penggunaan anakronistis kata 'gay' berbuah secara politis.

Selain terhadap Kristus atau Santo Thomas Aquinas, keasyikan besar lainnya dalam kehidupan Jacques Maritain adalah terhadap masalah gay. Jika dia tidak mempraktikkan homoseksualitas, atau hanya melakukannya sangat sedikit, dia mengalaminya dengan kecemasan yang sama paniknya dengan iman Katoliknya. Dan itu adalah rahasia Jacques Maritain, dan salah satu rahasia imamat Katolik yang paling tersembunyi: pilihan selibat dan kesucian adalah produk dari sublimasi atau penindasan diri.

Karena bagaimana mungkin Maritain bisa berteman dengan semua penulis gay di masanya, 'para ratu nasional yang luhur' dari sastra (mengutip ungkapan lain Angelo Rinaldi), ketika Maritain juga sangat membenci homoseksualitas? Apakah dia homofob? (anti homosex) Apakah dia seorang voyeur? Apakah dia terpesona oleh lawannya, seperti yang telah diperkirakan? Saya tidak percaya bahwa hipotesis ini benar-benar meyakinkan. Kebenaran adalah jauh lebih nyata dari kepekaannya yang sebenarnya.

Pengakuan Jacques Maritain ditemukan dalam sepucuk surat kepada Julien Green tahun 1927. Di sini istilah dan pengertian dialog tampaknya terbalik: sementara Julien Green masih tersiksa oleh dosa homoseksualitasnya, tetapi Jacques Maritain yang, dalam korespondensi mereka, tampaknya telah menemukan solusi untuk apa yang ia sebut 'kejahatan misterius ini.'

Dan apa yang dia sarankan untuk Julien Green? Kesucian. Dihadapkan dengan 'cinta yang steril' dari homoseksualitas, 'yang akan selalu bersifat buruk, sebuah bentuk penolakan yang mendalam terhadap salib,' Jacques Maritain mempertahankan 'satu-satunya solusi' di matanya: 'cinta kepada Tuhan di atas segalanya,' yaitu: berpantang. Obat yang ia tawarkan kepada Julien Green, yang sudah diresepkan juga untuk Gide, Cocteau dan Maurice Sachs, yang ternyata menolaknya, adalah yang ia dan RaĂ¯ssa pilih: substitusi tindakan seksual dengan iman dan kesucian.

“Injil tidak memberi tahu kita untuk memutilasi hati kita, tetapi ia menasihati kita untuk menjadikan diri kita sendiri sebagai sida-sida (orang yang dikebiri) demi kerajaan Allah. Begitulah pertanyaan itu muncul di mata saya,” tulis Jacques Maritain kepada Julien Green.

Menyelesaikan masalah homoseksualitas melalui kesucian, sebuah bentuk pengebirian, untuk memberikan kesenangan kepada Tuhan: Ini adalah ide Maritain, dengan sedikit warna masokisme, dan ini adalah ide yang kuat. Ini akan diterima di antara mayoritas kardinal dan uskup pasca perang. “Raja yang tersisa dari kesedihan seseorang,” kata Louis Aragon, penulis brilian lain yang dengan berisik bernyanyi di depan umum tentang 'mata' istrinya, Elsa, sehingga ia kemudian dapat, secara pribadi, mengejar anak laki-laki untuk menjadi pasangannya.

Dalam sepucuk surat kepada Cocteau, Jacques Maritain membuat pengakuan lain yang jelas: cinta kepada Tuhan adalah satu-satunya yang dapat membuat kita melupakan cinta duniawi yang telah dia kenal dan, “walaupun sulit bagi saya untuk mengatakan hal ini, tetapi saya tahu hal itu selain melalui buku-buku.”

“Kalau tidak melalui buku?” Kami menduga bahwa pertanyaan tentang homoseksualitas adalah pertanyaan yang membara di masa muda Jacques Maritain, seorang pria yang dalam hal apapun bersifat banci dan peka, berbakti kepada ibunya seperti sebuah karikatur, dan bahwa ia lebih suka menghancurkan buku catatan pribadinya untuk memastikan bahwa penulis biografinya 'tidak berani bicara terlalu jauh' atau sampai bisa menemukan 'perselingkuhan pribadi lama' (dalam kata-kata penulis biografinya, Jean-Luc BarrĂ©).

“Saya tidak ingin menyebutkan kata itu dengan label ‘homoseksualitas,’ dalam biografi saya tentang Maritain, karena semua orang pasti akan mencela buku saya," kata Jean-Luc BarrĂ© memberi tahu saya saat makan siang di Paris. “Tapi seharusnya hal itu saya lakukan. Jika saya menulisnya hari ini, saya akan mengatakan hal-hal yang lebih jelas tentang ini. Sehubungan dengan Jacques Maritain, orang mungkin dapat berbicara tentang homoseksualitas yang laten, bahkan cukup nyata."

Cinta luar biasa dari masa muda Jacques Maritain diceritakan oleh Ernest Psichari. Kedua pemuda itu masih remaja ketika mereka bertemu di LycĂ©e Henri IV di Paris pada tahun 1899 (Jacques Maritain berusia 16). Cinta homo pada pandangan pertama. 'Persahabatan yang penuh kasih' dari kekuatan yang tak terbayangkan, berkembang di antara mereka. Unik dan tidak bisa dihancurkan, ikatan mereka adalah suatu 'keajaiban besar', seperti yang dikatakan Jacques Maritain kepada ibunya. Kepada ayahnya, Ernest Psichari mengaku: "Saya tidak bisa lagi membayangkan kehidupan tanpa persahabatan dengan Jacques Maritain; itu adalah cara untuk memahami saya tanpa diri saya sendiri terlibat. Namun “Gairah ini fatal,” kata Jacques Maritain menulis dalam surat yang lain.

Hubungan mereka yang bergairah sudah cukup dikenal saat ini. Baru-baru ini diterbitkan, korespondensi antara dua anak laki-laki itu – ada 175 surat cinta mereka.

- bahkan menciptakan sebuah rasa seperti vertigo: “Saya merasa bahwa dua organ milik kita yang tidak kita ketahui, saling menembus dengan lembut, dengan rasa takut-takut, perlahan-lahan,” tulis Maritain. “Ernest, kamu adalah temanku. Hanya kamu saja”; “Matamu laksana sinar yang luar biasa. Rambutmu bagaikan hutan perawan, penuh dengan bisikan dan ciuman”; "Aku mencintaimu, aku hidup, aku selalu memikirkanmu"; "Hanya di dalam kamu, hanya di dalam kamu saja aku hidup"; “Kamu adalah Apollo. (...) Maukah kamu pergi denganku ke Timur, jauh ke India sana? Kita akan berada sendirian di padang gurun”; "Aku mencintaimu, aku menciummu"; “Surat-suratmu, permataku, memberiku kesenangan yang luar biasa dan aku selalu membacanya berulang-ulang tanpa henti. Aku jatuh cinta kepada semua suratmu, huruf a, huruf d, huruf n, dan huruf r.” Dan seperti Rimbaud dan Verlaine, kedua kekasih ini menandatangani puisi mereka dengan menyatukan nama inisial mereka.

Apakah penyatuan total dengan orang yang dicintai ini sempurna, atau apakah itu tetap suci? Kami tidak tahu. Yves Floucat, seorang filsuf dan spesialis Thomist dalam karya Jacques Maritain dan Julien Green dan salah satu pendiri Centre Jacques Maritain, yang saya wawancarai di rumahnya di Toulouse, berpikir itu mungkin 'persahabatan yang bergairah tetapi murni'. Dia menambahkan, meskipun tentu saja dia tidak memiliki bukti apakah mereka memiliki hubungan fisik atau tidak, bahwa itu adalah 'cinta sejati antara orang-orang yang berjenis kelamin sama.'

Bruder Jean-Miguel Garrigues dari biara Dominikan tempat Jacques Maritain mengakhiri hari-harinya, dan yang juga saya wawancarai di Toulouse, menjelaskan: “Hubungan antara Jacques Maritain dan Ernest Psichari lebih dalam daripada persahabatan biasa. Saya bisa mengatakan bahwa relasi mereka itu lebih bersifat ‘mengasihi’ daripada ‘menyukai,’ dalam arti bahwa relasi itu dituntun lebih oleh keinginan hati untuk membantu orang lain berbahagia daripada oleh keinginan emosional atau duniawi. Bagi Jacques Maritain, relasi itu lebih merupakan urutan ‘persahabatan yang penuh kasih’ daripada homofilia, jika kita melihatnya sebagai keinginan libido yang disublimasikan. Sedangkan bagi Ernest Psichari, di sisi lain, dia memiliki kehidupan homoseksual yang aktif selama bertahun-tahun."

Hari ini, pada kenyataannya, tidak ada lagi keraguan tentang praktek homoseksualitas Ernest Psichari. Hal itu dikonfirmasi oleh biografinya baru-baru ini, oleh publikasi 'buku harian perjalanannya' dan oleh munculnya pernyataan dari saksi baru. Homoseksualitasnya bahkan sangat aktif: dia memiliki banyak ‘teman intim’ yang tak terhitung jumlahnya di Afrika - Ă  la Gide - dan dia menggunakan para pelacur pria hingga saat kematiannya.

Dalam sebuah korespondensi yang tetap tidak dipublikasikan untuk waktu yang lama, antara Jacques Maritain dan penulis Katolik Henri Massis, dua teman terbaik Ernest Psichari secara eksplisit mengakui homoseksualitasnya. Henri Massis bahkan khawatir bahwa 'kebenaran yang mengerikan akan terungkap suatu hari nanti'. Kita harus mengatakan bahwa AndrĂ© Gide tidak ragu-ragu mempermainkan Ernest Psichari dalam sebuah artikel di Nouvelle Revue Française pada bulan September 1932. Penulis Katolik Paul Claudel, yang sangat sedih dengan kenyataan ini, mengusulkan serangan balik yang ia lakukan sudah digunakannya dalam kaitan dengan Arthur Rimbaud: jika Ernest Psichari bertobat ketika dia masih menjadi homoseksual, itu adalah kemenangan yang luar biasa bagi Tuhan. Dan penulis Paul Claudel meringkaskan argumennya: “Karya Tuhan lebih dikagumi dalam jiwa semacam itu.”

Namun, Ernest Psichari meninggal dalam pertempuran pada usia 31, terbunuh oleh peluru Jerman pada keningnya, pada 22 Agustus 1914. Jacques Maritain mengetahui berita itu beberapa minggu kemudian. Menurut penulis biografinya, berita kematian Ernest Psichari membuatnya shock, pingsan, dan sedih. Jacques Maritain tidak pernah melupakan kematian orang yang dicintainya itu, dan dia tidak pernah berhasil melupakan cinta besar masa mudanya – lebih besar dari cintanya kepada Kristus dan kepada RaĂ¯ssa (istrinya). Bertahun-tahun kemudian dia berangkat dalam perjalanannya ke Afrika, mengikuti jejak kekasihnya; dia pergi menemui saudara perempuan Ernest Psichari dan selama Perang Dunia Kedua dia ingin berperang juga agar dia bisa mati seperti Ernest Psichari. Sepanjang hidupnya, Jacques Maritain terus-menerus menyebutkan cintanya dan, setelah kehilangan Eurydice-nya, ia berbicara tentang 'gurun kehidupan' setelah kematian Ernest Psichari. Sebuah kesedihan yang sangat ia rasakan, dengan sebenarnya, 'selain melalui buku-buku.'

Untuk memahami sosiologi Katolik yang sangat khusus, dan khususnya tentang Vatikan tentang masalah yang saya amati ini, kita harus bergantung pada apa yang saya pilih di sini yang disebut sebagai 'kode Maritain'. Disublimasikan, jika tidak disebut sebagai ‘ditekan,’ homoseksualitas sering diterjemahkan ke dalam pilihan hidup ‘selibat dan kesucian,’ dan bahkan lebih sering, ke dalam homofobia internal. Namun kebanyakan paus, kardinal, dan uskup yang berusia di atas 60 saat ini, tumbuh di dalam atmosfer dan cara berpikir dari 'kode Maritain' ini.

Jika Vatikan adalah sebuah sistem teokrasi, hal itu juga adalah gerontokrasi. Seseorang tidak akan mampu memahami Gereja dari Paulus VI sampai Benediktus XVI, bahkan Fransiskus, beserta para kardinal mereka, moral mereka atau intrik mereka dalam hal gaya hidup gay kontemporer. Untuk memahami kompleksitasnya, kita harus kembali ke pola lama, bahkan jika pola tersebut bagi kita seusia dengan zaman yang lain. Sebuah zaman di mana seseorang bukan homoseksual tetapi 'homofilik;’ di mana identitas homoseksual dibedakan dari praktik-praktik yang dapat memunculkannya; sebuah masa ketika biseksualitas adalah hal yang biasa; dunia rahasia di mana perkawinan yang mencari kenyamanan adalah menjadi aturan dan pasangan gay adalah sebuah pengecualian. Suatu masa ketika pantang sexual dan selibat heteroseksual (tidak berhubungan sex dengan lawan jenis) dari para imam dipeluk dengan gembira oleh para homoseksual muda dari Vatikan.

Sudah pasti bahwa profesi imamat adalah pilihan alami bagi pria yang membayangkan mereka memiliki moral yang tidak wajar. Tetapi karier dan gaya hidup sangat bervariasi antara kesucian mistik, krisis spiritual, kehidupan ganda, kadang-kadang sublimasi, fanatisme, atau pun penyimpangan. Dalam semua kasus, perasaan umum tentang rasa tidak aman tetap ada, digambarkan dengan baik oleh para penulis Katolik Perancis yang homoseksual dan 'keseimbangan abadi mereka antara anak-anak lelaki yang kecantikannya merusak mereka, dan Tuhan yang kebaikan-Nya membebaskan mereka.’ (ini adalah ungkapan lain dari Angelo Rinaldi).

Itulah sebabnya konteksnya, walaupun mungkin memiliki pesona perdebatan teologis dan sastra dari zaman lain, sangat penting bagi subjek saya saat ini. Seorang imam yang tak mempedulikan urusan sex pada 1930-an dapat dengan mudah menjadi homofilik pada 1950-an dan aktif mempraktikkan homoseksualitas pada 1970-an. Beberapa kardinal yang saat ini bekerja telah melewati tahap-tahap itu, mengalami internalisasi hasrat sexual mereka, perjuangan melawan diri mereka sendiri, homofilia, dan kemudian, segera, mereka berhenti 'menyublimasikan' atau bahkan 'mengatasi' homoseksualitas mereka, dan mereka mulai menjalaninya dengan ‘bijaksana,’ dengan penuh keberanian dan kadang-kadang bahkan dalam keadaan mabuk.

Tentu saja, para kardinal yang sama ini, yang sekarang telah mencapai usia kanonik, hampir tidak 'berlatih' pada usia 75 atau 80, tetapi mereka pada dasarnya ditandai, dicap selamanya, oleh identitas yang kompleks itu. Yang paling penting, mereka selalu melakukan perjalanan satu arah, bertentangan dengan teori-teori yang telah dibangun sebelumnya: sikap itu berubah dari penolakan kepada pembangkangan, atau untuk menempatkannya dalam istilah yang digunakan oleh Proust di buku Sodom and Gomora, penolakan terhadap 'kutukan ras' demi kepentingan 'orang pilihan.' Dan ini adalah aturan lain dari Lemari, yang kesembilan: Homofil di Vatikan umumnya bergerak dari kesucian menuju kepada homoseksualitas; kaum homoseksual tidak pernah mundur dan menjadi homofilik.

Seperti yang diamati oleh teolog-psikoanalisis Eugen Drewermann, bahwa 'ada semacam keterlibatan rahasia antara Gereja Katolik dengan homoseksualitas.' Saya sering menemukan dikotomi ini di Vatikan, dan kita bahkan dapat mengatakan bahwa itu adalah salah satu rahasianya: penolakan keras terhadap homoseksualitas di luar Gereja; namun dukungan yang luar biasa dalam Tahta Suci. Karenanya semacam ‘freemasonry gay' yang sangat banyak hadir di Vatikan, tetapi misterius jika dilihat dari luar.

Dalam penyelidikan saya, banyak kardinal, uskup agung, monsignori, dan para imam lainnya yang tak terhitung jumlahnya, bersikeras untuk memberi tahu saya tentang pengabdian religius mereka pada karya-karya François Mauriac, André Gide atau Julien Green, padahal orang-orang ini adalah terkenal homosex. Dengan hati-hati, dan karena sangat hemat dengan kata-kata, mereka memberi saya kunci perjuangan mereka yang menyayat hati: dari 'kode Maritain.' Saya kira itu adalah cara mereka, dengan kelemahlembutan tak terbatas dan kecemasan introvert tertentu, untuk mengungkapkan salah satu rahasia yang selalu menghantui mereka.